Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jalan merupakan prasarana yang berperan penting dalam arus lalu lintas, sehingga
selama masa layanan jalan tersebut diusahakan menghindari masalah yang berhubungan
dengan kerusakan jalan. Prasarana jalan terbebani oleh volume lalu lintas yang tinggi dan
berulang-ulang akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas jalan yang dapat
diketahui dari kondisi permukaan jalan, baik secara structural maupun fungsional yang
mengalami kerusakan (Pradani., 2016).
Perkerasan lentur (Flexible Pavement) adalah sistem perkerasan jalan dimana
konstruksinya terdiri dari beberapa lapisan. Setiap lapisan perkerasan pada umumnya
menggunakan bahan maupun persyaratan yang berbeda sesuai dengan fungsinya, yaitu
untuk menyebarkan beban roda kendaraan sedemikian rupa sehingga dapat ditahan oleh
tanah dasar dalam batas daya dukungnya (Highway Research Board,1945). Tujuan dari
perkerasan lentur bertujuan untuk mendistribusikan beban permukaan yang kemudian
turun melewati lapisan perkerasan sedemikian rupa sehingga beban tidak melebihi daya
dukung tanah. (C. R. Lowrie,1951).
Menurut ASSHTO dan Bina Marga konstruksi jalan terdiri dari lapisan permukaan
(Surface Course), lapisan pondasi atas (Base Course), lapisan pondasi bawah (Subbase
Course), lapisan tanah dasar (Subgrade) (Lie Keng Wong, 2013).
Pengujian triaxial adalah pengujian benda uji tanah kohesif berbentuk silinder yang
dibungkus karet kedap air yang diberi tekanan aksial sampai terjadi longsoran (SNI 03-
4813-1998). Percobaan triaksial merupakan metode yang paling umum dipakai karena
menghasilkan data yang akurat tetapi membutuhkan waktu yang relatif lebih lama.
Didalam uji triaksial ada 3 tipe pengujian yang dapat dilakukan dan masing-masing
memiliki tujuan yang berbeda. Uji triaksial dapat dilaksanakan dengan tiga cara, yaitu Uji
triaksial Unconsolidated–Undrained (tak terkonsolidasi-tak terdrainase) (UU), uji triaksial
Consolidated–Undrained (terkonsolidated – tak terdrainase) (CU), dan uji triaksial
Consolidated–Drained (terkonsolidasi – terdrainase) (CD) (Nurdian, 2015).
Pada penelitian Nurdian dkk. (2015) uji triaksial yang digunakan adalah uji
Unconsolidated-Undrained (tak terkonsolidasi-tak terdrainase) dan uji kuat geser langsung
didapatkan nilai kohesi hasil pengujian triaksial lebih besar 1,1 – 1,3 kg/cm daripada nilai
kohesi uji geser langsung. Sedangkan pada penelitian Rahayu dkk. (2015) pengujian tanah
gambut dilakukan uji triaksial Consolidated – Undrained dan Unconsolidated – Undrained
didapatkan nilai kohesi efektif (c’) 7,55 kPa untuk uji Unconsolidated –Undrained dan
nilai kohesi (c) 26,26 kPa.
Pada penelitian ini akan dilakukan uji triaksial dengan menggunakan metode UU –
CU – CD terhadap tanah lempung dan hasil dari penelitian ini akan digunakan untuk
pembuatan suatu perkerasan lentur (Flexible Pavement)

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimanakah aplikasi triaxial testing dalam perencanaan flexible pavement?
2. Apa sajakah parameter pada percobaan triaxial testing dalam perencanaan flexible
pavement?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi parameter fisik tanah dengan
menggunakan percobaan triaxial tipe Unconsolidated undrained (UU), Consolidated
drained (CD) and Consolidated undrained (CU) serta penggunaan parameter tersebut
dalam perencanaan flexible pavement.
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia
pendidikan khususnya Teknik Sipil dalam bidang pengaplikasian triaxial testing
dalam perencanaan flexible pavement.
1.4.2 Manfaat praktis
1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai cara mengamalkan ilmu
selama kuliah dengan melakukan penelitian dalam rangka menyelesaikan
pendidikan S1 serta memberikan pengetahuan kepada peneliti lain mengenai
pengaplikasian triaxial testing dalam perencanaan flexible pavement.
2. Bagi Universitas (Unnes), penelitian diharapkan dapat dijadikan bahan referensi
dan informasi pendidikan dalam bidang Teknik Sipil.
3. Bagi peneliti lain, dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain yang akan
mengangkat tema yang sama namun dengan sudut pandang yang berbeda.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Triaxial
Triaxial adalah salah satu metode pengujian yang bertujuan untuk mencari
parameter fisik tanah yang terdiri dari parameter c (kohesi) dan ϕ (sudut geser dalam)
(Amirullah, 2014). Pengujian triaxial pengujian kekuatan geser yang sering digunakan dan
cocok untuk semua jenis tanah. Keuntungan dari pengujian ini adalah bahwa kondisi
pengaliran dapat dikontrol, tekanan air pori dapat diukur dan, bila diperlukan, tanah jenuh
dengan permeabilitas rendah dapat dibuat terkonsolidasi (Hidayat, 2008). Pengujian
triaksial di lakukan terhadap sampel–sampel tanah berbentuk silinder yang dibungkus
dengan membran yang fleksibel. Sebuah sampel dibuat terkekang oleh tekanan dengan
menempatkannya dalam suatu ruangan tekanan. Kemudian diuji dengan menambah
besarnya beban aksial sampai sampel tanah runtuh. Prosedur tersebut kemudian diulang
terhadap sampel – sampel lainnya pada tekanan samping yang berbeda. Hasil pengujian
diinterprestasikan pada penggambaran lingkaran Mohr bagi setiap sampel pada saat
keruntuhan. Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan bahwa bidang horisontal dan
vertikal adalah bidang – bidang utama di mana tegangan – tegangan utama adalah tekanan
samping (Nurdian dkk., 2015).
Didalam uji triaksial ada 3 tipe pengujian yang dapat dilakukan dan masing-masing
memiliki tujuan yang berbeda. Berdasarkan pernyataan Amirullah (2014), triaxial sendiri
terbagi dari tiga jenis dalam pelaksanaannya yaitu :
1. Triaxial Unconsolidated-Undrained (UU)
Pengujian Unconsolidated Undrained dilakukan untuk mensimulasikan
kondisi di lapangan apabila penambahan/pemberian beban relatif cepat sehingga
lapisan tanah belum sempat terkonsolidasi (air di dalam pori tanah tidak sempat
mengalir ke luar selama proses pemberian beban), oleh karena itu pengujian ini
juga dinamakan quick test. Sebagai contoh dalam kasus ini adalah suatu lapisan
tanah yang menerima beban relatif cepat seperti beban urugan yang berlangsung
relatif singkat.
2. Triaxial Consolidated-Undrained (CU)
Pengujian Consolidated Undrained dilakukan untuk mensimulasikan
kondisi lapisan tanah yang telah terkonsolidasi dan kemudian menerima
penambahan beban yang relatif cepat. Pada kasus ini mula-mula air di dalam pori
tanah dibiarkan mengalir keluar akibat proses konsolidasi, dan setelah tanah
terkonsolidasi sempurna (100%), lapisan tanah tersebut menerima tambahan beban
yang relatif cepat sehingga air di dalam pori tanah pada saat penambahan beban
tidak sempat mengalir ke luar. Sebagai contoh pada kasus ini adalah beban tanki
yang didirikan di atas suatu urugan pada tanah lempung yang telah mengalami
konsolidasi 100%.
3. Triaxial Consolidated-Drained (CD)
Pengujian Consolidated Drained dilakukan untuk mensimulasikan kondisi
pemberian beban pada tanah yang telah terkonsolidasi dengan kecepatan yang
relatif lambat dibandingkan dengan keluarnya air dari pori tanah.
Parameter kekuatan geser tanah pada percobaan triaxial ditentukan dengan bantuan
lingkaran Mohr.

Gambar 1. Lingkaran Mohr


Parameter kekuatan geser tanah tersebut terdiri dari sudut geser dalam (ф) dan kohesi
(c). selain itu, besarnya tekanan air di dalam pori tanah selama proses pembebanan pada
pengujian UU dan CU juga dapat ditentukan. Pada triaxial CU dan CD yang mengacu pada
standar pengujian ASTM D4767 dan ASTM D7181, sampel uji yang digunakan harus melalui
tiga tahap pengujian yaitu :
1. Tahap Penjenuhan (Saturation Stage)
2. Tahap Konsolidasi (Consolidation Stage)
3. Tahap Penggeseran (Shear Stage)
Perbedaan CU dan CD itu sendiri terletak pada kondisi penggeserannya, yaitu geser
Undrained pada CU dan geser Drained pada CD. Kemudian untuk triaxial UU yang mengacu
pada standar pengujian ASTM D2850, sampel uji yang digunakan hanya melalui tahap
penggeseran saja (Shear Stage) pada kondisi Undrained tanpa melalui tahap konsolidasi
(Consolidation Stage), sehingga diberi nama Unconsolidated Undrained.
2.2 Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
Perkerasan lentur merupakan salah satu jenis teknologi perkerasan yang menggunakan
aspal sebagai bahan pengikatnya. Lapisan perkerasan ini akan meneruskan dan menyebarkan
beban lalu lintas dari permukaan sampai ke tanah dasar. Perkerasan lentur secara garis besar
dapat dikatakan sebagai bahan yang fleksibel. Desain perkerasan yang fleksibel didasarkan
pada pendistribusian beban sampai ke tanah dasar. Oleh karena sifat penyebaran gaya maka
muatan yang diterima oleh masing-masing lapisan berbeda dan semakin ke bawah semakin
kecil. Lapisan permukaan harus mampu menerima seluruh jenis gaya yang bekerja, lapis
pondasi atas menerima gaya vertikal dan getaran, sedangkan tanah dasar dianggap hanya
menerima gaya vertikal saja.

Gambar 2. Distribusi beban

Perkerasan lentur pada umumnya seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3. dibawah
ini.

Gambar 3. Struktur Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)


Menurut Manual Desain Perkerasan Jalan No.02/M/BM/2013 Bina Marga, jenis
struktur perkerasan yang diterapkan dalam desain struktur perkerasan baru terdiri atas :
1. Struktur perkerasan pada permukaan tanah asli
Pada struktur ini lapisan pondasinya diberi perbaikan tanah dasar atau lapis
penopang.

Gambar 4. Struktur Perkerasan Lentur (Lalu Lintas Berat) pada


Permukaan Tanah Asli
2. Struktur perkerasan pada timbunan
Pada struktur ini, timbunan pada lapisan pondasi dipadatkan pada CBR desain.

Gambar 5. Struktur Perkerasan Lentur (Lalu Lintas Berat) pada Tanah


Timbunan

3. Struktur perkerasan pada galian.


Pada struktur ini, lapisan pondasinya diberi perbaikan tanah dasar atau lapis
drainase.

Gambar 6. Struktur Perkerasan Lentur (Lalu Lintas Berat) pada Galian


Berdasarkan ketiga gambar di atas, perbedaannya terletak pada perlakuan pada setiap
lapisan pondasinya . Pada Gambar 4. Lapisan pondasinya membutuhkan perbaikan tanah
dasar, pada Gambar 5. Lapisan pondasinya dipadatkan dengan CBR desain, sedangkan
pada Gambar 6. Lapisan pondasinya butuh perbaikan tanah dasar atau diberi lapis drainase.
Lapisan-lapisan tersebut berfungsi sebagaipenerima beban lalu lintas dan kemudian
menyebarkannya ke lapisan di bawahnya. Berikut ilustrasi masing-masing lapisan dibawah ini
(Fatma, 2013):

Gambar 7. Struktur Perkerasan Lentur


Struktur perkerasan lentur mempunyai susunan yang terdiri atas beberapa lapisan,
antara lain :

1. Lapisan Permukaan (Surface Course)


Lapisan permukaan merupakan lapisan yang terletak paling atas yang
bersentuhan langsung dengan beban roda kendaraan. Lapisan permukaan berfungsi
sebagai :
a. Lapisan perkerasan penahan beban roda yang mempunyai stabilitas tinggi untuk
menahan roda selama masa pelayanan.
b. Lapisan kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap ke
lapisan bawahnya dan melemahkan lapisan-lapisan tersebut.
c. Lapis aus (wearing course), lapisan ulang yang langsung menderita gesekan
akibat roda kendaraan.
d. Lapisan yang menyebarkan beban ke lapisan bawah sehingga dapat dipikul oleh
lapisan lain dengan daya dukung yang lebih jelek.
2. Lapisan Pondasi Atas (Base Course)
Lapis pondasi atas adalah bagian lapis perkerasan yang terletak antara lapis
permukaan dengan lapis pondasi bawah (atau dengan tanah dasar bila tidak
menggunakan lapis pondasi bawah) (Tenriajeng, 2002).Lapisan ini karena terletak
tepat di bawah permukaan perkerasan, maka lapisan ini menerima pembebanan yang
berat dan paling menderita akibat muatan beban kendaraan yang melintas.
Oleh karena itu, material yang digunakan harus berkualitas sangat tinggi dan
pelaksanaan konstruksi harus dilakukan dengan cermat. Kualitas bahan pada lapisan
ini lebih baik dari pada lapis pondasi bawah (Sukirman,1999). Fungsi lapis pondasi
atas antara lain sebagai :
a. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan
beban ke lapisan di bawahnya.
b. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.
c. Bantalan terhadap lapis permukaan.

3. Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)


Lapisan pondasi bawah merupakan lapis permukaan yang terletak antara
lapis pondasi atas dan tanah dasar (Sukirman, 1999). Lapisan pondasi bawah ini
berfungsi sebagai :
a. Bagian dari konstruksi perkerasan untuk menyebarkan beban roda ke tanah dasar.
Lapisan ini harus cukup kuat, mempunyai CBR 20% dan Plastisitas Indeks (IP)
≤ 10%.
b. Efisiensi penggunaan material. Material pondasi bawah relatif murah
dibandingkan dengan lapisan perkerasan di atasnya.
c. Mengurangi tebal lapisan di atasnya yang lebih mahal.
d. Lapis peresapan, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi.
e. Lapisan pertama, agar pekerjaan dapat berjalan lancar.
f. Lapisan untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar
naik ke lapis pondasi atas.
Bahan untuk lapis ini diambil dari bahan yang tidak memenuhi syarat
apabila digunakan sebagai lapis pondasi (Sukirman, 1999). Bahan yang sering
digunakan antara lain sebagai berikut :
a. Lapis aspal beton (laston) bawah.
b. Pasir dan batu (sirtu) kelas A dengan nilai CBR 70%.
c. Pasir dan batu (sirtu) kelas B dengan nilai CBR 50%.
d. Pasir dan batu (sirtu) kelas C dengan nilai CBR 30%.
e. Tanah atau lempung kepasiran dengan nilai CBR 20%.

4. Lapisan Tanah Dasar (Subgrade)


Tanah tanah dasar adalah permukaan tanah semula. Lapisan ini merupakan
permukaan tanah galian atau permukaan tanah timbunan yang dipadatkan untuk
perletakan bagian-bagian perkerasan lainnya. Lapisan tanah dasar merupakan bagian
terbawah yang menerima beban. Lapisan ini jarang sejenis karena berasal dari alam.
Oleh karena itu, diperlukan evaluasi yang detail pada banyak titik untuk mengetahui
kekuatan tanah dasar tersebut. Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan
sangat tergantung dari sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Persoalan yang
menyangkut tanah dasar antara lain sebagai berikut :
a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari jenis tanah tertentu akibat
beban lalu lintas.
b. Sifat kembang susut tanah akibat perubahan kadar air.
c. Daya dukung tanah pada daerah dengan lapisan tanah yang berbeda atau tidak
sama dan sukar ditentukan secara pasti sehingga mempunyai sifat dan
kedudukan yang berbeda pula.
d. Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu lintas. Serta
perbedaan penurunan akibat adanya lapisan tanah lunak di bawah tanah dasar.
e. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan penurunan yang
diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir kasar (granular soil) yang tidak
dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan.
f. Kondisi geologis dari lokasi jalan perlu dipelajari dengan teliti untuk
memperkirakan kemungkinan lokasi jalan ada pada daerah patahan (Sukirman,
1999).

2.3 Material Konstruksi Lapis Perkerasan


Bahan perkerasan merupakan bagian yang diutamakan di dalam pertimbangan
analisa parameter perancangan perkerasan karena salah satu parameter kekuatan konstruksi
jalan terletak pada pemilihan yang tepat dari material yang akan digunakan di dalam suatu
rancangan perkerasan jalan (Widodo, 2014 dalam Sutrisno, 2011). Beberapa material
konstruksi lapisan perkerasan antara lain :

1. Tanah
Tanah dominan pada elemen perkerasan tanah dasar (subgrade) dan
elemen bahu jalan dan dapat pula digunakan pada elemen lapis pondasi bawah
(subbase), dalam hal penggunaan metode pelaksanaan stabilisasi ataupun pada
struktur perkerasan berbasis jalan dengan biaya rendah (low cost road) (Widodo,
2014 dalam Sutrisno, 2011).
Tanah dasar akan menjadi pondasi dari suatu perkerasan struktur lentur
dan kaku. Tanah dasar dapat berupa batuan keras, batuan lunak atau tanah.
Kondisi lapangan yang ditemui untuk persiapan tanah dasar, yaitu :
a. Kondisi tanah asli.
b. Tanah yang berasal dari hasil timbunan.
c. Tanah yang berasal dari galian.

2. Pasir
Penggunaan pasir bersifat situasional misalnya sebagai material terpilih
untuk lapis pondasi bawah atau sebagai bahan utama perkerasan untuk fungsi
drainasi (fungsi filter pada drainasi bawah permukaan seperti subdrain, bahan
filtrase pada badan jalan dalam kondisi muka air tanah yang tinggi), lapis
penutup setelah penghamparan beberapa jenis lapis permukaan, bahan
tambahan suatu campuran aspal hotmix. Pasir difungsikan sebagai bahan dasar
utama pembetonan pada struktur perkerasan kaku (Widodo, 2014 dalam
Sutrisno, 2011). Karakteristik pasir pada perkerasan antara lain :
a. Pasir yang digunakan umumnya berupa pasir laut dan pasir vulkanis dengan
syarat yang harus dipenuhi sebagai bahan perkerasan.
b. Gradasi baik dapat digunakan sebagai lapis pondasi bawah, terutama bila
tata salir (filler) diperlukan drainasi.
c. Bisa digunakan sebagai lapis antara tanah dasar yang lunak dengan lapis
pondasi bawah.
d. Sebagai bahan campur hotmix terutama pasir halus sampai sedang yang
bersih, dibatasi maksimum 30 % dari total campuran.
3. Agregat Pecah (Crushed)
Penggunaan agregat sangat dominan pada elemen perkerasan lentur
sebagai material lapis pondasi atas, lapis pondasi bawah, lapis permukaan,
bahun jalan yang diperkeras atau berpenutup dan konstruksi pelebaran jalan.
Agregat alam yang biasa disebut pitrun (bila diambil dari alam terbuka) dan
bakrun (bila diambil dari sungai). Agregat buatan diperoleh dengan proses
pemecahan baru dengan alat pemecah batu (stone crusher). Untuk dijadikan
material yang memenuhi syarat sebagai bahan perkerasan jalan. Klasifikasi
agregat pecah berdasarkan dimensi butiran :
a. Agregat berbutir kasar. Ukuran > ¼ inch (6,35 mm) yaitu bahan tertahan
saringan no.4.
b. Tingkat kelengketan aspal pada agregat. Sifat ini dipengaruhi oleh jenis
agregat, porositas, dan material yang melapisi permukaan.

4. Mineral Pengisi (Filler)


Filler adalah mineral pengisi rongga udara yang merupakan agregat
halus yang minimum 75% lolos saringan no.200 yaitu berupa abu (dust).
Abu kapur atau semen dapat memperbaiki adhesi antara aspal dan agregat.
Menurut Hardiyatmo (2007), bahan pengisi filler yang merupakan material
berbutir halus yang lolos saringan no. 200 (0,075 mm), dapat terdiri dari
debu batu, kapur padam, semen portland,atau bahan non-plastis lainnya
bahan pengisi ini mempunyai fungsi sebagai pengisi antara partikel agregat
yang lebih kasar, sehingga rongga udara menjadi lebih kecil dan
menghasilkan tahanan gesek, serta penguncian antar butiran yang tinggi.
Jika ditambahkan ke dalam aspal, bahan pengisi akan menjadi suspensi,
sehingga terbentuk mastik yang bersama-sama dengan aspal mengikat
partikel agregat. Dengan penambahan pengisi aspal menjadi lebih kental, dan
campuran aspal akan bentambah kekuatanya.
Bahan pengisi (filler) untuk campuran aspal adalah bahan pengisi
yang ditambahkan harus terdiri dari debu batu kapur, cement portland, abu
terbang, abu tanur semen, atau bahan nonplastislainnya dari sumber
manapun. Bahan tersebut harus bebas dari bahan yang tidak dikehendaki.
Bahan pengisi yang ditambahkan harus kering dan bebas dari gumpalan-
gumpalan dan bila diuji dengan penyaringan sesuai SNI 03-4142- 1996 harus
mengandung bahan yang lolos saringan No.200 (75 micron) tidak kurang
dari 75 % dari yang lolos saringan No. 30 (600 micron) serta harus
memenuhi gradasi
5. Aspal (Asphalt)
Aspal terbuat dari bahan alam dengan senyawa kimia penyusun utama
hidrokarbon. Merupakan hasil eksplorasi minyak bumi dengan warna hitam
bersifat plastis hingga cair, tidak larut dalam larutan asam cair dan alkali
atau air. Namun sebagianbesar larut dalam aeter, CS2, bensol, chlorofoam.
Aspal yang digunakan pada perkerasan jalan terdiri dari aspal alam yaitu
aspal gunung (rock asphalt), aspal danau, (lake asphalt), dan aspal buatan
yaitu aspal minyak.
Aspal merupakan bahan yang larut dalam Karbon Disulfida yang
mempunyai sifat tidak tembus air dan mempunyai sifat adesi atau daya
lekat sehingga umum digunakan dalam campuran perkerasan jalan dimana
aspal sebagai bahan pengikatnya. Aspal merupakan material yang berwarna
hitam sampai coklat tua dimana pada temperatur ruang berbentuk padat
sampai semi padat. Jika temperatur tinggi aspal akan mencair dan pada saat
temperatur menurun aspal akan kembali menjadi keras (padat) sehingga
aspal merupakan material yang termoplastis. Berdasarkan cara
memperolehnya aspal dapat dibedakan atas aspal alam dan aspal buatan.
Aspal alam adalah aspal yang tersedia di alam seperti aspal danau di
Trinidad dan aspal gunung seperti aspal gunung seperti aspal di Pulau
Buton (Mashuri, 2010).
Aspal buatan adalah aspal yang diperoleh dari proses destilasi minyak
bumi (aspal minyak) dan batu bara. Jenis aspal yang umum digunakan pada
campuran aspal panas adalah aspal minyak. Aspal minyak dapat dibedakan
atas aspal keras (aspal semen), aspal dingin/cair dan aspal emulsi. Aspal
keras/aspal semen , AC dikategorikan berdasarkan nilai penetrasinya seperti
AC pen 40/50, yaitu AC dengan penetrasi 40 – 50, AC pen 60/70, yaitu
penetrasi 60 – 70, AC pen 85/100, yaitu AC penetrasi 85 – 100.
Sifat-sifat fisik aspal
Aspal sebagai bahan pengikat sering dikarakterisasi sesuai dengan
sifat-sifat fisiknya. Sifat-sifat fisik aspal secara langsung menggambarkan
bagaimana aspal tersebut berkontribusi terhadap kualitas perkerasan aspal
campuran panas. Pengujian fisik aspal yang paling awal adalah pengujian
yang diturunkan secara empiris seperti pengujian penetrasi, pengujian
viskositas aspal yang merupakan cara untuk menggambarkan sifat-sifat fisik
aspal sebagai bahan pengikat. Hingga kini hunbungan sifat-sifat fisik aspal
hasil pengujian dan di lapangan terkadang tidak memuaskan. Kemudian pada
Tahun 1980-an dan 1990-an dikembangkan pengujian fisik berupa pengujian
bahan pengikat superpave yang bertujuan untuk mengetahui kinerja bahan
pengikat aspal yang secara langsung terkait dengan kinerja perkerasan. Bentuk
lain dari sifat-sifat fisik aspal adalah keawetan aspal dalam hubungannya
dengan usia atau masa layan perkerasan. Aspal secara umum, seiring dengan
bertambahnya waktu aspal akan mengalami peningkatan viskositas yang
membuat aspal cenderung keras dan rapuh.
Aspal yang cenderung keras dan rapuh dapat disebabkan oleh beberapa
faktor
seperti:
1. Proses oksidasi yaitu adanya reaksi antara aspal dengan oksigen di udara.
2. Penguapan, yaitu penguapan bahan-bahan pembentuk aspal yang terjadi
selama proses produksi campuran aspal panas.
3. Polimerisasi, yaitu proses pembentukan molekul yang lebih besar dimana
molekul-molekul ini akan menyebabkan pengerasan pada aspal yang
bersifat progresif.
4. Proses tixotropi yaitu proses dimana aspal sebagai bahan pengikat
mengalami peningkatan nilai viskositas dan pengerasan aspal yang
diakibatkan oleh proses hidrofilik dimana pada aspal terbentuk suatu kisi-
kisi partikel.
5. Proses syneresis, yaitu proses pemisahan bahan yang kurang viskos dari
dalam aspal yang lebih viskos yang diakibatkan oleh penyusutan atau
pengaturan ulang struktur-struktur bahan pengikat dalam aspal akibat
proses fisik dan kimia (exxon, 1997).
6. Proses pemisahan yaitu, hilangnya material-material yang turut
membentuk aspal akibat proses pemisahan resins, aspaltenes dan oil oleh
penyerapan selektif dari beberapa jenis agregat. Sampai saat ini tidak ada
pengukuran langsung mengenai proses penuaan aspal sebagai bahan
pengikat. Yang ada sekarang ini adalah pengukuran penuaan aspal dengan
melakukan proses simulasi di laboratorium seperti pengujian nilai
penetrasinya, pengujian geser dinamis (Direct Shear Reometer), uji tarik
tidak langsung, Uji bending rheometer serta pengujian viskositasnya.
Mensimulasikan efek dari penuaan aspal adalah penting dilakukan karena
kualitas aspal yang tersedia di setiap negara adalah berbeda sehingga sifat-
sifat fisik dalam hal proses penuaan juga akan berbeda.
Penuaan aspal sebagai bahan pengikat dapat dikategorikan sebagai
berirkut:
1. Proses penuaan jangka pendek, terjadi pada saat aspal dipanaskan dan
dicampur dengan agregat panas dalam alat pencampur di AMP.
2. Proses penuaan jangka panjang, yaitu terjadi pada saat jalan telah
dibangun dan biasanya diakibatkan oleh pengaruh lingkungan dan
beban lalu-lintas yang lewat di atasnya.
Tipikal pengujian penuaan aspal sebagai bahan pengikat yang
umum dikenal adalah:
1. Pengujian Thin Film Oven Test (TFOT)
2. Pengujian Rolling Film Oven Test (RTFO).
3. Pengujian Pressure Aging Vessel (PAV).
Pengujian PAV ini telah diadopsi pada superpave untuk
mensimulasikan efek penuaan jangka panjang yang terjadi sebagai
akibat pelayanan jalan dalam kurun waktu 5 tahun sampai 10 tahun
(Mashuri, 2010).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan bahan


Rangkaian peralatan uji geser triaxial untuk melaksanakan uji geser tanpa
konsolidasi dan tanpa drainase terdiri atas beberapa kelompok peralatan. Kelompok
peralatan tersebut meliputi peralatan pembeban aksial, peralatan ukur, peralatan
pengontrol tekanan, sel triaxial dan perlengkapannya, serta peralatan lain, sedangkan
bahan yang digunakan dalam uji triaxial adalah tanah dan air.

Anda mungkin juga menyukai