Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebuah Negara akan terorganisir dan teratur dengan adanya seorang


pemimpin, sebuah lembaga apapun pasti memerlukan seorang pemimpin,
begitupun dengan islam butuh adanya seorang pemimpin yang mampu memimpin
umatnya. Nabi Muhammad tidak secara spesifik mengajarkan umatnya tentang
bagaimana cara mengangkat seorang khalifah (pengganti Nabi sebagai pemimpin
umat islam). Nabi menyerahkan hal ini kepada umat islam karena pengangkatan
khalifah adalah masalah duniawi dan ranah ijtihad. Sesuai ajaran islam yang
paling ditekankan dalam mengangkat khalifah adalah umat islam harus
menggunakan tata cara, dan sistem demokrasi (permusyawaratan).1

Sistem musyawarah inilah yang dipakai umat islam untuk memilih dan
mengangkat khalifah sebagi pemimpin umat islam setelah wafatnya Rasulullah.
Adapun khalifah yang terpilih adalah Abu Bakas As-Sidiq, Umar Bin Khattab,
Utsman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib, yang dikenal sebagai khulafaur
Rasyidin.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana pemerintahan pada periode Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
a. Proses Pengangkatan Sebagai Khalifah
b. Tantangan dan Ancaman yang dihadapi
c. Perluasan wilayah Islam Pada Masa Abu Bakar
d. Kebijakan Pada Masa Abu Bakar Ash-Shidiq
2. Bagaimana pemerintahan pada periode khalifah Umar bin Khattab

1
Faisal Ismail. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogjakarta: Gosyen Publishing,
2015. P. 144.
a. Proses Pengangkatan Sebagai Khalifah
b. Penyebaran Islam Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab
c. Kebijakan Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab
3. Bagaimana pemerintahan pada periode khalifah Utsman bin Affan
a. Proses Pengangkatan Sebagai Khalifah
b. Penyebaran Islam Pada Masa Abu Bakar
c. Kebijakan Pada Masa Abu Bakar Ash-Shidiq
d. Fitnah dan Wafatnya Khalifah Utsman bin Affan

4. Bagaimnaa pemerintahan periode Ali Bin Abi Thalib


a. Proses Pengangkatan Sebagai Khalifah
b. Kebijakan Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
c. Persitiwa Tahkim dan Meninggalnya Khalifah Ali bin Abi Thalib
BAB II

PEMBAHASAN

A. Periode Pemerintahan Khalifah Abu Bakar As-Shidiq


Nama lengkap Abu Bakar Ash-Shidiq adalah Abu Bakar Abdullah Bin Abi
Quhafah Bin Utsman Bin Amr Bin Masud Bin Taim Bin Murrah Bin Ka’ab Bin
Lu’ay Bin Ghalib Bin Fihr At-Taimi Al-Qurasyi. Berari silsilah nabi bertemu
dengan Murrah Bin Ka’ab. Dilahirkan pada tahun 573 M, ayahnya bernama
Utsman (Abu Kuhafah) bin Amr bin Ka’ab bin Saad bin Laym bin Mun’ah bin
Ka’ab bin Lu’ay, berasal dari suku Quraisy. Sedangkan ibunya bernama Ummu
Al-Khair salmah binti Sahr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taym bin Murrah. Garis
keturunnya bertemu pada neneknya yaitu Ka’ab bin Sa’ad. Abu Bakar termasuk
orang yang pertama kali masuk islam. Baginya tidaklah sulit mempercayai ajaran
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, karena sejak kecil ia telah mengenal
keagungan Nabi Muhammad SAW. (dedi, hl 67)

a. Proses Pengangkatan Sebagai Khalifah


Abu Bakar dan Rasulullah adalah sama-sama seorang pedagang, persamaan
profesi tersebut membuat hubungan persahabatan Abu Bakar dan Rasulullah
sangat erat dan akrab. Setelah Abu Bakar masuk islam waktu dan perhatiannya
banyak dicurahkan untuk mengabdi dan menyiarkan agama islam bersama Nabi
Muhammad SAW, tidak ada lagi perhatiannya kepada urusan perdagangan,
kecuali hanya untuk mencukupi dan memenuhi keperluan hidup untuk
keluarganya sehari-hari.

Abu Bakar bukan hanya mempercayai kerasulan Nabi Muhammad, Beliau


juga sangat giat dan cakap dalam mengajak orang-orang untuk memeluk agama
islam, atas jasa Beliau sekelompok orang masuk islam seperti Utsman Bin Affan,
Zubair Bin Awwan, Sa’ad Bin Abi Waqqas dan Thalhah Bin Ubaidillah bahkan
mereka menjadi pahlawan islam. (buku yg sama, 146).
Setelah Rasulullah wafat, umat islam mengusulkan agar segera memilih
pengganti Nabi. Setelah berderbatan panjang di Saqifah Bani Saidah (tempat yang
biasa digunakan kaum Anshar untuk membahas suatu masalah) akhirnya Abu
Bakar terpilih menjadi khalifah secara aklamasi dengan alasan bahwa Abu Bakar
pernah ditunjuk Nabi sebagai Imam shalat ketika Rasulullah sakit keras. (dedi, hal
69)

b. Tantangan dan Ancaman pada Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq


Khalifah Abu Bakar menghadapi kesulitan dan masalah pada awal
pemerintahannya karena pada masa itu adalah masa transisi dari Nabi Muhammad
ke tangan Abu Bakar. Adapun tantangan dan ancaman beliau adalah
1. Menghadapi Orang-Orang Murtad
Peristiwa wafatnya Nabi, menjadikan kesempatan untuk menyatakan apa
yang selama ini tersembunyi dari hati mereka. Mereka menyatakan
murtad.
2. Menghadapi orang-orang yang Mengaku Nabi
Salah seorang yang mengaku nabi paslu yaitu Musailamah Al-Kazzab di
Yamamah, dan menikah dengan Sajah yang juga mengaku nabi paslu dari
Bani Tami. Nabi palsu lainnya yang muncul adalah Al-Aswad Al-Ansi di
Yaman dan Thulaihah bin Khuwailid dari Bani Asad. Sebenarnya
masyarat mengetahui kesesatan nabi-nabi palsu tersebut tapi mereka
mendukung dan bergabung dengan tujuan untuk menghadapi Quraisy yang
menurut mereka hendak memonopoli di Tanah Arab. Ada pula sebagian
orang-orang yang murtad ikut bergabung dengan nabi-nabi paslu tersebut
agar mendapat bantuan dalam melawan islam, tetapi ada juga yang tidak
bergabung seperti yang dilakukan oleh penduduk Bahrain.
3. Menghadapi Orang-Orang yang Tidak Mau Mengeluarkan Zakat
Orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat ini terdiri dari orang-
orang yang salah memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan disebabkan oleh
kekikiran mereka. Dalam ayat Al-Quran disebutkan “Ambilah sodaqah
(zakat) dari sebagian harta mereka, dengan sodaqoh itu kamu
membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103). Para
pembakang memahami ayat tersebut bahwa hanya Nabi Muhammad saja
yang wajib membayar zakat. Begitu pula ayat-ayat lain yang lebih jelas
lagi, seperti ayat: “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian
tertentu, bagi orang (muslim) yang meminta dan orang-orang yang tidak
mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). (QS. Al-Ma’arif: 24-25).
(faisal. Hal 148-151)
c. Perluasan Wilayah Islam Pada Masa Khalifah Abu Bakar
Setelah pergolakan dalam negeri berhasil dipadamkan terutama memerangi
orang-orang yang murtad, khalifah Abu Bakar menghadapi kekuaatn Persia dan
Romawi yang setiap saat ingin menghancurkan islam. Untuk menghadapi persia,
Abu Bakar mengirim tentara islam di bawah pimpinan Khalid bin Walid dan
Mutsanna bin Haritsah dan berhasil merebut beberapa daerah penting Irak dari
kekuasan Persia. (dedi, hal 73)

Perluasan wilayah negara Islam yang penting pada masa pemerintahan


khalifah Abu Bakar adalah perluas ke negri Syam (Syiria) yang pada waktu itu
menjadi daerah jajahna bangsa Romawi. Abu Bakar membagi tentara islam
menjadi empat passukan untuk memasuki negeri Syam, yaitu:

1. Pasukan yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Jarrah yang dikirm ke
Himsh. pasukan
2. Pasukakan yang dipimpin oleh Yazid bin Abu Sufyan ditugaskan ke
Damaskus.
3. Pasukan yang dipimpin oleh Amru bin Ash yang dikirm ke Palestina.
4. Pasukan yang dipimpin oleh Syurahbil bin Hasanah dikirim ke lembah
Yordania.

Semula pasukan Muslim yang dikirm ke Syam berjumlah 12.000, kemudian


ditambah jumlahnya menjadi 24.000 tentara muslim. Pasukan-pasukan tersebut
bergerak kea rah masing-masing sesuai tujuan. Namun hanya pasukan Amru bin
Ash yang mendapat beberapa kemenangan dalam pertempuran di perbatasan
Palestina.

Keadaan yang kurang berhasil ini diketahui oleh Abu Bakar, kemudian Abu
Bakar mengubah strategi. Pertama, pasukan-pasukan islam disatukan untuk
menghadapi pasukan Romawi. Kedua, Khalid bin Walid yang semula bertempur
di Irak, di perintahkan ke negeri Syam dan memipin pasukan tentara mulism.
Pertemuran yang sengit antara tentara Islam dan tentara Romawi di Syam
diantaranya perang Ajnadain.

Pertempuran Ajnadain terjadi pada tahun 13 H, tentara muslim berkekuatan


30.000 personil di bawah komando panglima Khalid bin Walid, sedangkan tentara
Romawi berkekuatan 100.000 personil di bawah panglima Theodore, walau
jumlah antara tentara muslim dan tentara Romawi tidak seimbang tapi atas izin
Allah pasukan mulism mendapat kemenangan atas perang tersebut. Separuh
tentara Romawi tewas dan yang lainnya melarikan diri. (faisal ismail, 153-154,
sejarah dan kebudayan islam, Gosyen Publishing, Yogjakarta. 2015)

d. Kebijakan Pada Masa Khalifah Abu Bakar


Bentuk beradaban yang paling besar pada masa pemerintahan Abu Bakar
adalah penghimpunan Al-Quran, karena pada masa itu para penghafal Al-Quran
banyak yang gugur dalam bedan perang Yamamah. Abu Bakar Ash-Shidiq
memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk menghimpun Al-Quran dari pelepah
kurma, kulit binatang, dan dari penghafal Al-Quran. Hal ini untuk menjaga
eksitensi Al-Quran. Umar bin Khattablah yang pertama kali mengusulkan
penghimpunan Al-Quran ini walau Abu Bakar sempat ragu, karena Rasulullah
tidak pernah melakukan hal tersebut. Sejak itulah Al-Quran dikumpulkan menjadi
satu mushaf.
Selain itu, peradaban islam yang terjadi pada masa pemerintahan Abu Bakar
terbagi beberapa tahap, yaitu:
a. Dalam bidang sosial dan ekonomi, mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan sosial rakyat. Untuk kemaslahatan rakyat Abu Bakar
mengelola zakat, infaq dan sedekah, ghanimah harta rampasan perang dan
jizyah dari warga non muslim, sebagian sumber pendapatan dari Baitul
Mal.
b. Praktik pemerintahan khalifah Abu Bakar yang terpenting adalah
menegnai suksesi kepemimpinan atas inisiatifnya khalifah Abu Bakar
menunjuk Umar bin Khattab untuk menggantikannya. Hal ini dilakukan
agar tidak terjadi lagi perdebatan panjang yang nyaris menyulut umat
islam ke jurang perpecahan. (dedi74)
Setelah memerintah selama 2 tahun 3 bulan 10 hari, Abu Bakar meninggal
dunia pada tanggal 21 Jumadil Akhir 13 H bertepatan dengan tanggal 22 Agustus
634 M.
B. Periode Pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab
Umar bin Khattab berasal dari keturunan mulia, berasal dari suku Quraisy,
bangsawan Arab yang paling disegani. Silsilah Umar dapat digambarkan sebagai
berikut, Umar adalah putra Khattab bin Nufail bin bin Abd al-‘Uzza bin Riyah bin
Abdullah bin Qarth bin Razah bin ‘Adiy bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib al-
‘Adawi al-Quraisy. Nasab Umar bertemu dengan nasab Nabi Muhammad pada
Ka’ab. Sementara ibunya Umar bernama Hantamah putri Hasyim, putra dari al-
Mughiroh al-Makhzumiyah.
a. Proses Pengangkatan Sebagai Khalifah
Al-Faruq atau sang pembeda itulah julukan yang diberikan Rasulullah untuk
Umar bin Khattab, karena ia dapat membedakan yang benar dan yang batil.
(Mustofa Murad, Kisah Hidup Umar bin Khattab, Zaman. Jakarta. 2007. Hal18)
Umar terkenal dengan watak keras, pemberani dan tidak mengenal gentar.
Umar bin Khattab masuk islam saat Rasulullah telah melakukan dakwah selama
lima tahun, dengan adanya Umar bin Khattab menjadi seorang muslim tidak ada
yang takut lagi melaksanakan shalat di rumh, kafir Quraisy tidak berani
mengganggu kaum muslim. Sebelum masuk islam memang Umar terkenal
“musuh” islam, tetapi setelah masuk islam Umar menjadi pembela dan pejuang
islam.
Peristiwa masuknya Umar kepada islam awalnya berniat ingin memmbunuh
Nabi Muhammad SAW karena Umar menganggap bahwa Rasulullah telah
membuat perpecahan kaum Quraisy dan mencela agamanya, dalam perjalanan
Umar bertemu dengan Nu’aim bin Abdillah dan mengatakan bahwa adiknya yaitu
Fatimah dan suaminya Sa’ad bin Zaid telah masuk islam, mendengar perkataan
Nu’aim bin Abdillah tersebut Umar marah besar dan pulang menenui Fatimah dan
Sa’ad bin Zaid, saat itu mereka sedang membaca Al-Quran surat Thaha: 1-8,
Umar langsung membentak Fatimah dan menamparnya. Namun setelah Umar
membaca ayat-ayat suci Al-Quran, ia merasa kagum dan terpesona dengan
keindahana ayat-ayat Al-Quran, kemudian Umar luruh hatinya dan menemui Nabi
untuk menyatakan masuk islam. Sejak itu pertahan islam semakin kuat. (faisal
157)
Pengangkatan Umar sebagai Khalifah tidak banyak mengalami kendala karena
memang sebelumnya Abu Bakar telah menunjuk langsung Umar bin Khattab
sebagai penggantinya.
b. Perluasan Wilayah Islam Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab
Umar bin Khattab berhasil membebaskan negeri-negeri jajahan Imperium
Romawi dan Persia. Kemudian timbulah konflik antara umat Islam dan bangsa
Romawi dan Persia yang pada akhirnya mendorong umat islam mengadakan
penaklukan negeri Romawi dan Persia serta negara-negara jajahannya. Faktor-
faktor lain yang melatarbelakangi konflik antara umat Islam dengan bangsa
Romawi dan Persia adalah pertama, bangsa Romawi dan Persia tidak menaruh
hormat terhadap masuk baik islam. kedua, Romawi dan Persia selalu berusaha
menghancurkan Islam. Ketiga, bangsa Romawi dan Persia sebagai negara yang
subur dan terkenal kemakmurannya, tidak mau menjalin hubungan perdagangan
dengan negeri-negeri Arab. Kempat, bangsa Romawi dan Persia menghasut suku-
suku Badui untuk menentang pemerintahan Islam dan mendukung musuh-musuh
Islam. Kelima, letak geografis kekuasaan Romawi dan Persia sangat strategis
untuk kepenttingan keamanan dan pertahanan islam. (dedi, hal81)
Penaklukan Persia. Setelah Umar bin Khattab menjadi khalifah, perluasan
wilayah islam yang telah ditaklukan pada masa khalifah Abu Bakar diteruskan
oleh Umar, ia mengirimkan tentara ke Persia yang berjumlah 8.000 personil di
bawah panglima Sa’ad bin Abi Waqqash. Pada tahun 15 H, terjadilah
pertempuran dengan tentara Persia yang berkekuatan 30.000 orang di bawah
panglima Rustam. Dalam perang tersebut tentara Persia kalah dan panglima
Rustam tewas. Akhirnya ibu kota Persia, Al-Madain jatuh ke tangan islam.
Jatuhnya Al-Madain ke tangan islam, raja Persia yaitu Jazdagirad melarikan
diri, tetapi kemudian berhasil mengirim tentaranya yang berjumlah 100.000 orang.
Pada tahun 21 H, tentara Islam bertempur lagi dengan tentara Persia dengan
dipimpin oleh Nu’man bin Muqarrin al-Muzani di Nahwand. Pada perang ini
akhirnya di menangkan oleh tentara Islam. Kemudian kota-kota lain yang
dikalahkan oleh tentara islam adalah Ahwaz, Qam dan Kasym, sedangkan raja
Persia yaitu Jazdagird makin lama semakin tidak berkutik dan akhirnya pada
tahun 31 H, yaitu pada masa khalifah Utsman bin Affan Jazdagird terbunuh.
Pertempuran di Damaskus. Pada masa khalifah Abu Bakar, tentara Islam
dapat memenangkan perang Ajnadain di Syam melawan Romawi tetapi belum
tuntas. Umar bin Khattab setelah menjadi khalifah segera memerintahkan tentara
Islam untuk meneruskan perang melawan tentara Romawi di Syam. Tentara Islam
mulai melakukan pengepungan terhadap kota Damaskus, Khalid bin Walid dan
pasukannya berjaga di pintu timur, Abu Ubaidah melakukan pengawasan di pintu
yang di sebut Bab al-Jabiah, Amru bin Ash menempati posisinya di Bab Tuma,
Syurahbial bin Hasanah menempati posnya di Bab al-Faradis dan Jazid bin Abi
Sufyan melakukan pemantauan di Bab ash-Shaghir. (faisal, 159-160)
Terjadilah serangkain pertempuran antara tentara Islam dengan penduduk kota
Damaskus, tepat pada Februari 635 setelah terjadi pengepungan sekitar enam
bulan Damaskus akhirnya dapat ditaklukan. Kebanyakan masyarakat Damaskus
justru lebih memilih berdamai dan menyerahkan sepenuhnya kota tersebut kepada
otoritas Islam. (kisah hidup umar, 93)
Pertempuran Yarmuk. Pertermpuran tentara Islam dengan tentara Romawi
terjadi lagi di dekat sungai Yarmuk. Heraclius mengerahkan tentaranya berjumlah
200.000 orang dengan melibatkan sekutunya yaitu kerajaan Ghassasinah, di
komandoi oleh raja terakhir Ghassasina sendiri yaitu Jabalah bin Aiham.
Sementara tentara Islam berjumlah 24.000 orang di bawah komando panglima
Abu Ubaidah. Pertempuran ini akhirnya di menangkan oleh tentara Islam.
Abu Ubaidah dan Khalid telah menaklukan wilayah Hims, Qinnisrin, Laziqiah
dan Halab (Aleppo). Amru dan Syurahbil berhasil merebut Akka, Yaffa, Khazzah
dan lainnya, dan hanya Baitul Maqdis yang belum menyerah kepada tentara
Islam. Baitul Maqdis dipertahankan mati-matian oleh tentara Romawi dan orang-
orang kristen setempat dan menyebabkan kerugian bagi tentara Islam, namun
pada akhirnya tentara Islam berhasil menaklukan Baitul Maqdis.
Penaklukan Mesir. Amru bin Ash dan tentaranya pertama kali berhasil
merebut kota Arisy dan kemudian menduduki kota Farana. Dala, merebut kota ini,
tentara Islam mendapat dukungan dan bantuan dari bangsa Mesir sendiri yang
tertindas di bawah penjajahan Romawi.
Pada pertempuran selanjutnya di Ummu Dunain, tentara Islam tidak kuasa
melawan tentara Romawi, maka tentara islam di tambah 4.000 orang, termasuk
diantaranya Zubair, Ubadah bin Shamit dan al-Miqdad bin Aswad. Selanjutnya
terjadilah peperangan di dekat Ainu Syams. Berkat kemahiran Amru bin Ash
dalam mengatur taktik stategi peperangan, tentara Islam memperoleh
kemenangan. Di pihak tentara Romawi sebagian melarikan diri dan bertahan di
benteng Babilyon.
Pertempuran di bentang Babilyon terjadi pada tahun 20 H. Tujuh bulan
lamanya pasukan muslim mengepung ketat benteng itu, yang mengakibatkan
Muquqis (gubernur Mesir yang diangkat oleh kaisar Romawi) mengutus delegasi
untuk merundingkan perdamaian dengan Amru bin Ash. Delegasi tersebut ditahan
oleh Amru selama dua hari dan kepadanya diminta memilih salah satu dari tiga
pilihan:
1. Masuk islam dan mereka mendapat hak dan kewajiban seperti hak dan
kewajiban kaum muslim.
2. Membayar jizyah (pajak)
3. Berperang
Dari tiga pilihan tersebut Muqauqis memilih pilihan ketiga yaitu membayar pajak
terhadap pemerintahan islam.

Penaklukan Iskandariyah. Setelah pasukan muslim memenangkan perang di


benteng Babilyon, tentara islam mengincar kota Iskandariyah yang menjadi ibu
kota Mesir. Sebelum berperang khalifah Umar bin Khattab mengirim surat kepada
Amru, Umar memperingatkan jika kota Iskandariyah tidak dapat ditaklukan maka
posisi tentara islam akan lebih berbahaya, karena Romawi akan mendapat peluang
untuk melancarkan serangan besar-besaran.

Setelah menerima peringatan dari khalfah Umar bin Khattab, Amru membulatkan
tekad dan gigih menyerbu kota Iskandariyah. Tentara Islam meneobos dan terus
menyusup ke dalam kota Iskandariyah, akibatnya banyak korban dari tentaar
Romawi. Dalam situasi kemelut dan krisis itu, Muqauqis mengadakan perdamaian
dan menerima syarat-syarat: membayar jizyah, kebebasan melaksanakan
ibadat/agama, tentara Romawi harus meninggalkan Mesir. Dengan kemenangan
tentara islam ini, maka seluruh negeri Mesir masuk ke dalam wilayah kekuasaan
dan pemerintahan islam. (fasial, 158-164)

c. Kebijakan Pada Masa Khaifah Umar bin Khattab

Untuk menunjang kelancaran administrasi dan operasional tugas-tugas


eksekutif, Umar melengkapinya dengan jawatan:

a. Dewan Al-Kharraj (jawatan pajak)


b. Dewan Al-Addats (jawatan kepolisian)
c. Nazar Al-Nafiat (jawatan pekerjaan umum)
d. Dewan Al-Jund (jawatan militer)
e. Baitul Mal (lembaha pembendaharaan Negara)

Khalifah umar bin Khattab adalah khalifah yang sangat sukses dalam memimpin
umat islam dan negara Madinah. Di antara keberhasilan dan kebijakan pada masa
khalifah Umar bin Khattab adalah:

1. Membentuk lembaga negara


2. Membagi kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif
3. Mendirikan Baitul Mal
4. Mencetak mata uang sendiri sebagai alat transaksi
5. Membentuk satuan-satuan pasukan keamanan
6. Mengatur secara rapi perjalanan pos
7. Menetapkan penanggalan Hijriah (tahun 1 Hijriah dihitung sejak hijrahnya
Nabi dari Mekkah ke Madinah yang bertepatan dengan 622 M)
8. Melaksanakan hisbah
9. Umar menghapus nikah mut’ah (kontrak)

Umar telah berhasil membangun sistem kehidupan masyarakat di atas


landasan tata tertib moral, sosial, kkultural dengan ciri has dan citra islam. Pada
pagi Ahad, awal bulan Muharam tahun 24 H (644 M) Umar bin Khattab
meninggal dunia. Pada waktu Umar hendak menunaikan sembahyang subuh,
seorang Persia bernama Abu Lu’luah berhasil menyusup ke masjid, kemudian
menikam Khalifah dengan sebuah golok beberapa kali. (faisal, 164-166).

C. Periode Pemerintahan Khalifah Utsman Bin Affan

Utsman bin Affan termasuk salah seorang yang pertama masuk islam. Beliau
terkenal dengan kejujurannya dan pernah menafkahkan sebagian hartanya untuk
memajukan islam. Beliau menikah dengan putri Rasulullah yang bernama
Rukayyah, setelah istri pertamanya wafat dinikahkan lagi dengan Ummi Kutsum,
putri Rasulullah. Oleh karena itu Utsman bin Affan diberi gelar Dzun-Nuraini,
yang artinya mempunyai dua cahaya, dan pernah hijrah dua kali, ke Habasyah dan
Madinah.(Darussalam Gontor, 1425 H:52) Nama lengkapnya, Utsman bin Affan
bin bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abd Al-Manaf dari suku Quraisy. lahir pada
tahun 576 M, enam tahun setelah kelahiran Rasulullah. Ibunya bernama Urwy bin
Kuraiz bin Rabi’ah bin Habib bin Abd Asy-Syams bin Abd Manaf.

Demi kemajuan islam Utsman bin Affan menafkahkan sebagian hartanya,


yaitu dengan membeli telaga milik Yahudi seharga 12.000 dirham untuk
mengibahkannya kepada kaum muslimin pada saat hijrah ke Yatsrib,
mewakafkan tanah seharaga 15.000 dinar untuk perluasan Masjid Nabawi,
menyerahkan 940 ekor unta, 60 ekor kuda, 10.000 dinar untuk keperluan Jaisyul
Usrah pada Perang Tabuk. Setiap hari Jumat, Utsman bin Affan membebaskan
seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan. Pada musim paceklik di
masa pemerintahan Abu Bakar, Utsman bin Affan menjual berbagai kebutuhan
sehari-hari dengan harga yang sangat murah, bahkan membagi-bagikannya
kepada kaum muslimin.
a. Proses Pengangkatan Sebagai Khalifah
Sebelum meninggal Umar telah memanggil tiga calon penggantinya, yaitu:
Utsman, Ali dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Dalam pertemuan dengan mereka
secara bergatian, Umar berpesan agar penggantinya tidak mengangkat kerabat
sebagai pejabat. Di samping itu Umar telah membentuk dengan formatur yang
bertugas memilih penggantinya kelak. Mekanisme pemlihan khalifah ditentukan
sebagai berikut: pertama, yang berhak menjadi khalifah adalah yang dipilih oleh
anggota formatur dengan suara terbanyamk. Kedua, apabila suara terbagi secara
berimbang, Abdullah bin Umar berhak menentukannya. Ketiga, apabila campur
tangan Abdullah bin Umar tidak diterima, calon yang dipilih oleh Abd Ar-
Rahman bin Auf harus diangkat menjadi khalifah.
Anggota formatur memilih dua calon kandidat yaitu: Ali bin Abi Thalib dan
Utsman bin Affan. Diluar suara sidang formatur yang dilakukan oleh Abd- Ar-
Rahman bin Auf terjadi silang pemilihan, Ali memilih Utsman dan Utsman
memilih Ali. Kemudian, Abd-Rahman bermusyawarah dengan masyarakat dan
sejumlah pembesar diluar anggota formatur. Ternyata, suara di masyarakat
terpecah menjadi dua, yaitu kubu Bani Hasyim yang mendukung Ali dan kubu
Bani Ummayah yang mendukung Utsman. Kemudian, Abd Ar-Rahman
memanggil Ali untuk menanyakan kesanggupannya sebagai khalifah Ali
menjawab bahwa dirinya berharap dapat berbuat sejauh pengetahuan dan
kemampuannya. Setelah itu, Abd Ar-Rahman berganti mengundang Utsman dan
menanyakan hal yang sama, Utsman menjawab dengan tegas bahwa ia sanggup
dirinya menjadi khalifah. Mendengar jawaban itu, segeralah dilaksanakannya
bai’at, saat itu usia Utsman 70 tahun.
b. Perluasan Wilayah Islam Pada Masa Utsman bin Affan
Perluasan wilayah islam telah mencapai Asia dan Afrika, seperti daerah
Herat, Kabul, Ghazni, dan Asia Tengah, Armenia, Turnisia, Cyprus, Rhodes,
dan bagian yang tersisa dari Persia dan berhasil menumpas pemberontakan yang
dilakukan oleh orang Persia. (dedi, 86-88)
Serbuan Serdadu Romawi dan Mesir. Jatuhnya mesir ke tangan islam
sangat merugikan Byzantium, oleh karena itu mereka melanggar perjanjian
damai yang telah mereka sepakati. Kota Iskandariyah di serang, namun dapat di
pukul mundur oleh pasukan islam, kemudian pada tahun 31 H (654 M), mereka
menyerang Mesir untuk kali kedua dipimpin langsung oleh Kaisar Konstantyn
putera Heraklius, akan tetapi dapat dipukul mundur juga oleh pasukan islam,
dibawah pimpinan Abdullah bin Sa’ad. Dalam pertempuran ini disebut dengan
perang Zatus Shawari. (buku nia, 52-53)
Perang Zatus Shawari atau Perang Tiang Kapal, suatu peperangan di tengah
lautan yang belum pernah dilakukan Nabi Muhammad Saw, Khalifah Abu Bakar
dan Umar. Disebut perang Zatus Shawari, karena pada perang tersebut dilakukan
dilaut tengah dekat kota Iskandariyah. (dedi, hal 89)
c. Kebijakan Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah Utsman pelaksanaan tugas eksekutif di
pusat dibantu oleh sekretaris negara yaitu Marwan bin Hakam, anak paman
khalifah Utsman bin Affan. Namun dalam prakteknya Marwan juga sebagai
penasehat pribadi khalifah. Selain sekretaris negara khalifah Utsman juga
dibantu oleh pejabat pajak, pejabat kepolisian, pejabat keuangan atau Baitul
Mall.
Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan daerah, khalifah Utsman
mempercayakan kepada gubernur untuk setiap wilayah atau provinsi. Pada
masanya, wilayah kekuasaan negara Madinah dibagi menjadi sepuluh provinsi.
1. Nafi’ bin Al-Haris Al-Khuza’i, Amir wilayah Mekah
2. Sufyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi, Amir wilayah Thaif
3. Ya’la bin Munabbih Halif Bani Naufal bin Abd Manaf, Amir wilayah
Shan’a
4. Abdullah bin Abi Rabiah, gubernur wilayah Al-Janad
5. Utsman bin Abi Al-Ash Ats-Tsaqafi, gubernur wilayah Bahrain
6. Al-Mughirah bin Syu’bah Ats-Tsaqafi, gubernur wilayah Kufah
7. Abu Musa Abdullah bin Qais Al-Al-Asy’ari, gubernur wilayah
8. Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur wilayah Damaskus
9. Umar bin Sa’ad, gubernur Himsh
10. Amr bin Al-Ash As-Sahami, gubernur wilayah Mesir.

Seorang gubernur diangkat dan diberhentikan oleh khalifah. Kedudukan


gubernur di samping sebagai kepala pemerintahan daerah, juga sebagai
pemimpin agama, pemimin ekspedisi militer, penetap undang-undang dan
pemutus perkara, yang dibantu oleh sekretaris, pejabat pajak, pejabat keuangan
dan pejabat kepolisian.

Selain membagi wilayah kekuasaan, Utsman juga membukukan mushaf Al-


Quran. Pembukuan ini didasarkan atas alasan dan pertimbangan untuk
mengakhiri perbedaan bacaan di kalangan umat islam yang diketahui pada saat
ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan, pembukuan ini dilaksanakan oleh
suatu panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit.

Utsman bin Affan juga membangun sarana umum dan fasilitas lainnya,
seperti pembangunan daerah pemukiman, jembatan, jalan, masjid, wisma tamu,
pembangunan kota-kkota baru yang kemudian tumbuh pesat, Masjid Nabawi
diperluas.
d. Fitnah dan Wafatnya Khalifah Utsman bin Affan
Amr bin Al-Ash gubernur Mesir di gantikan dengan Abdullah bin Sa’ad
saudara sesusuannya. Demikian juga gubernur Bashrah, Abu Musa Al-Asy’ari
digantikan oleh Abdullah bin ‘Amr yang juga keluarganya. Begitu pula beberapa
jabatan tinggi di zaman khalifah Utsman bin Affan juga diangkat dari
keluarganya, yaitu keluarga besar Bani Umayyah. Langkah inilah yang dianggap
ganjil oleh beberapa sahabat, maka tidak mengherankan, menyebabkan
timbulnya kemarahan dan kebencian sebagian umat islam kepada Utsman dan
wali-walinya.
Api kemarahan sebagai umat islam kepada Utsman semakin lama semakin
menyala ditambah seorang penghasud bangsa Yahudi yang baru masuk islam,
yaitu Abdullah bin Saba’. Dia mengembara kemana-mana dan ke kota-kota
besar, menghasut dan menjel-jelekkan nama Utsman bin Affan. Racun fitnah
tersebut tersebar di Hijaz, Bashrah, Kufah, Syam dan Mesir. Abdullah bin Saba’
menghasut sejadi-jadinya bahkan berani mengatakan bahwa Nabi Muhammad
pernah berwasiat agar pangkat khalifah diberikan kepaada Ali bin Abi Thalib.
Hasutnya itu termakan oleh rakyat dan beranggapan bahwa Utsman mengambil
pangkat khalifah dengan jalan yang tidak benar, yaitu melanggar wasiat
Rasulullah.
Ibnu Saba’ dan para pengikutnya di Mesir, Bashrah dan Kufah telah sepakat
datang ke Madinah, mereka berjumlah 600 orang dan dikepala oleh Muhammad
bin Abi Bakar dan Muhammad bin Abi Huzaifah, mereka memohon agar
menggantikan wali-walinya dan Abdullah bin Sa’ad gubernur Mesir.
Permintaan mereka diuturti oleh khalifah Utsman bin Affan.
Keputusan khalifah Utsman bin Affan menyenangkan hati mereka dan
mereka pun pulang. Namun fitnah kembali terjadi, dengan membawa berita
bahwa mendapat utusan Utsman membawa sepucuk surat yang ditulis oleh
Marwan dan distempel oleh Utsman sendiri, surat itu berisi perintah kepada
Abdullah bin Sa’ad, gubernur Mesir supaya menindas dan menghukum para
pemberontak. Utsman menyangkal tuduhan itu dan bersumpah tidak sama seklai
menyutuh untuk membuat surat dan tidak tahu menahu tentang surat tersebut.
Saat itu, keadaan semakin tidak menentu, fitnah tersebar dimana-mana.
Peluang ini digunakan oleh sebagian kelompok untuk mengepung kediaman
Utsman selama 40 hari. Setelah pengepungan sampai pada hari ke delapan belas,
Utsman meminta bantuan kepada Mu’awiyah dan kepada wali-wali yang lain.
Ketika para pemberontak mengetahui hal itu, mereka semakin naik darah dan
memasuki kediaman khalifah Utsman bin Affan, mereka memukul dengan
pedang hingga Utsman bin Affan meninggal dunia dan merampas hartanya.
D. Periode Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib

Ali adalah putra Abi Thalib ibn Abdul Muthalib, berarti adalah sepupu Nabi
Muhammad Saw. Ali masuk islam ketika berusia 13 tahun, menurut A.M Saban,
sedangkan menurut Mahmudunnasir, saat Ali berusia 9 tahun dan termasuk salah
satu orang yang pertama masuk islam.

a. Proses Pengangkatan Sebagai Khalifah

Pengukuhan Ali sebagai khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang


khalifah sebelumnya, Ali di bai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas
meninggalnya Utsman bin Affan. Saat Ali ditunjuk sebagai khalifah menolak,
akan tetapi rakyat mengemukakan agar segera mempunyai pemimpin, lalu Ali
akhirnya bersedia di bai’at menjadi khalifah.

Ali bin Abi Thalib dibai’at oleh mayoritas rakyat dari muhajirin dan Anshor
dan para sahabat, seperti Thalhah dan Zubair. Beliau dibai’at tidak secara
aklamasi karena banyak sahabat senior yang ketika itu di luar kota Madinah.

b. Kebijakan Pada Masa Pemerintahan Ali bin Abi Thalib


Hal yang pertama dilakukan oleh khalifah Ali adalah menarik kembali semua
tanah yang telah dibagikan khalifah Utsman kepada kaum kerabatnya dan
mengganti semua gubernur yang tidak disenangi oleh rakyat, di antaranya Ibnu
Amir penguasa Bashrah diganti oleh Utsman bin Hanif, gubernur Mesir di ganti
oleh Qays, muawiyah juga diminta mundur dari jabatannya namun menolak,
bahkan tidak mengakui kekhalifahan Ali.
Pemerintahan khalifah Ali dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang tidak
stabil karena adanya pemberontakan dari sekelompok kaum muslimin sendiri.
Pemberontakan pertama datang dari Thalhah dan Zubair diikuti oleh siti Aisyah
yang kemudian terjadi perang jamal, dikatakan demikian karena siti Aisyah pada
waktu itu menggunakan unta dalam perang melawan Ali.
Terjadinya perang jamal ini, diawali oleh penarikan bai’at oleh Thalhah dan
Zubair, karena alasannya bahwa khalifah Ali tidak memenuhi tuntutan mereka
untuk menghukum pembunuhan Utsman. Bahkan penolakan khalifah Ali ini
disampaikan kepada Siti Aisyah, yang tidak tahu mengenai kematian khalifah
Utsman bin Affan. Kemduian Siti Aisyah bergabung bersama dengan Thalhah dan
Zubair untuk menentang khalifah Ali. Muawiyah turut andil dalam
pemberontakan ini tetapi terbatas hanya pada usaha untuk menurunkan
kredibilitas khalifah dimata umat islam, dengan cara menuduh bahwa khalifah Ali
berada di balik pembunuhan khalifah Utsman bin Affan.
Khalifah Ali bin Abi Thalib berusaha menghindari pertumpahan darah dengan
mengajukan kompromi, tetapi beliau tidak berhasil sampai akhirnya terjadi
pertempuran antara khalifah Ali bersama pasukannya dengan Thalhah, Zubair,
Aisyah dan bersama pasukannya. Perang ini terjadi pada tahun 36 H, Thalhah dan
Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri dan Aisyah di tawan kemudian
dikembalikan ke Madinah.
Setelah khalifah Ali menyelesaikan pemberontakan Thalhah dan Zubair, pusat
kekuasaan islam di pindahkan ke kufah, sehingga Madinah tidak lagi menjadi ibu
kota kedaulatan islam.
Peperangan antara umat islam terjadi lagi, yaitu antara khalifah Ali bersama
pasukannya dengan Muawiyah sebagai gubernur Suriah bersama pasukannya.
Perang ini terjadi saat khalifah Ali memerintahkan agar Muawiyah turun dari
jabatannya, namun Muawiyah menolaknya. Perang ini terjadi di kota Shiffin,
sebelah barat sungai Euphrat, dinamakan perang Shiffin. Perang ini hampir saja
dimenangkan oleh khalifah Ali, namun atas kecerdikan Muawiyah yang
didampingi oleh Amr bin Ash yang banyak berpengalaman dalam politik dan
perang, ia mengajukan suatu siasat denngan mengacungkan Al-Quran dengan
tombaknya, yang berarti mereka mengajak berdamai dengan menggunakan Al-
Quran. Khalifah Ali mengetahui bahwa itu hanya tipu muslihat, namun karena
didesak oleh pasukannya, khalifah Ali menerima tawaran tersebut dan akhirnya
terjadilah persitiwa tahkim.

c. Persitiwa Tahkim dan Meninggalnya Khalifah Ali bin Abi Thalib


Konflik politik antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah Ibnu Abi Sufyan
diakhiri dengan tahkim. Dari pihak Ali bin Abi Thalib diutus seorang ulama yang
terkenal sangat jujur dan tidak “cerdik” dalam politik, yaitu Abu Musa Al-
Asy’ari, sedangkan dari pihak Muawiyah diutus seorang yang terkenal “cerdik”
dalam politik yaitu Amr bin Ash.
Dalam tahkim tersebut kelompok Ali terpecah menjadi dua bagian, yaitu
kelompok yang menerima tahkim dan kelompok yang menolak adanya tahkim dan
menyatakan keluar dari pendukung Ali bin Abi Thalib yang disebut sebagai kaum
khawarij. (93-98)
Setelah datang waktu tahkim sesuai denngan perjanjian, para wakil dari kedua
belah pihak berkumpul di Dumatul Jandal. Utusan Ali berjumlah 100 orang yang
diketuai oleh Abu Musa Al-Asy’ari, dan dari pihak Muawiyah berjumlah sama
diketuai oleh Amr bin Ash. Dengan siasat licik Amr bin Ash memenagkan dapat
memenangkan persidangan tahkim tersebut. Amru bin Ash mengusulkan bahwa
Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah haruslah diturunkan pangkat. Soal khalifah
diserahkan kepada umat islam. Keterangan dari Amr bin Ash diterima oleh Abu
Musa Al-Asy’ari untuk menjadi dasar perundingan.
Amr bin Ash menghormati derajat dan umur yang lebih tua darinya, maka Amr
bin Ash meminta kepada Abu Musa Al-Asy’ari untuk terlebih dahulu berdiri
diatas mimbar dan menerangkan hasil dasar perundingan dari kedua belah pihak.
Abu Musa Al-Asy’ari berpidato sesuai kesepakatan yaitu memberntikan Ali dan
Muawiyah sebagai khalifah, namun saat Amr bin Ash menaiki mimbar, ia berkata
berbeda, ia menerima dan menguatkan berhentinya Ali sebagai khalifah, namun
menetapkan pangkat Muawiyah sebagai gubernur.
Hasil perdamaian yang mengecewakan umat islam membuat Ali diacuhkan,
sementara dari pihak kaum khawarij merencanakan pembunuhan terhadap Ali.
Kaum khawarij memukul hebat kepada Ali saat dia akan adzan di masjid dan
menyebabkan khalifah Ali bin Abi Thalib meninggal dunia, pada tanggal 17
Ramadhan 40 H, bertepatan pada tahun 661 M.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Nabi Muhammad tidak secara spesifik mengajarkan umatnya tentang
bagaimana cara mengangkat seorang khalifah (pengganti Nabi sebagai pemimpin
umat islam). Nabi menyerahkan hal ini kepada umat islam karena pengangkatan
khalifah adalah masalah duniawi dan ranah ijtihad.

Sistem musyawarah inilah yang dipakai umat islam untuk memilih dan
mengangkat khalifah sebagi pemimpin umat islam setelah wafatnya Rasulullah.
Adapun khalifah yang terpilih adalah Abu Bakas As-Sidiq, Umar Bin Khattab,
Utsman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib, yang dikenal sebagai khulafaur
Rasyidin.
DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Faisal. sejarah dan kebudayan islam. Yogjakarta: Gosyen Publishing,


2015.

Murad, Mustofa. Kisah Hidup Umar bin Khattab. Jakarta: Zaman, 2007.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bansung: Pustaka Setia, 2008.

Anda mungkin juga menyukai