Video menjelaskan bagaimana teacher Toni menyelesaikan masalah pembelajaran di kelas
dengan menggunakan teori belajar behavioristic. Menurut Bapak/ Ibu, masalah apa yang mungkin muncul bila dalam proses pembelajaran diterapkan Teori Belajar Behavioristik? Jawab: Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Akan tetapi, teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekadar hubungan stimulus dan respon. Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut. Dari kajian mengenai teori belajar behavioristic di atas, maka sebenarnya akan memungkinkan munculnya masalah bila dalam proses pembelajaran diterapkan teori belajar behavioristic. Masalah-masalah tersebut antara lain: 1. Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), bersifat meanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur sehingga pembelajaran pada perkembangan abad 21 seperti sekarang ini yang bersifat student centered tidak tercapai. 2. Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Hal ini tentu akan berpengrauh terhadap perkembangan kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. 3. Siswa dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas yang ditetapkan lebih dulu secara ketat. Pembiasaan (disiplin) sangat esensial dan harus ditaati. Kekuatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan. Kadangkala hal-hal seperti ini akan mematikan kreativitas siswa. 4. Keberhasilan atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas dipuji atau diberi. Kebiasaan-kebiasaan penguatan positif berupa pujian ataupun hadiah jika suatu saat tidak dilakukan atau diberikan atas suatu keberhasilan maka akan menimbulkan turunnya motivasi belajar siswa karena factor pembiasaan dalam pembelajaran yang selalu mendapatkan balasan. 5. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam merubah pengetahuan dikategorikan sebagai “kesalahan dan harus dihukum”. Pengaruh hukuman ini terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara. Sedangkan dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum atau siswa) bila hukuman tersebut berlangsung lama dan terus menerus. 6. Hukuman verbal maupun fisik seperti kata – kata kasar, ejekan, ataupun jeweran yang justru berakibat buruk pada siswa. Hukuman-hukuman yang diberikan tersebut memungkinkan siswa terdorong untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong siswa melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya. 7. Teori ini hanya mengandalkan sisi fenomena jasmaniah saja, dan mengabaikan aspek- aspek mental. 8. Teori ini menyimpulkan Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. 9. Kontrol belajar dipegang oleh sistem di luar diri siswa. Dalam hal ini siswa hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Diharapkan siswa memiliki pandangan yang sama dengan guru, atau sama dengan buku teks. Hal ini tentu mengakibatkan pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak dihargai sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan.