Anda di halaman 1dari 21

DINAMIKA PENERAPAN TRIAS POLITICA DALAM SISTEM

KETATANEGARAAN INDONESIA

Oleh : Teguh Prasetyo Aji

PURWOKERTO
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pengertian Trias Politica adalah teori yang membagi kekuasaan pemerintahan


negara menjadi tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ajaran
dari Teori Trias Politica ini bertentangan dengan kekuasaan raja pada zaman
Feodalisme dalam abad pertengahan. Pada zaman itu yang memegang kekuasaan
dalam negara ialah seorang raja, yang membuat sendiri UU, menjalankannya dan
menghukum segala pelanggaran atas UU yang dibuat dan dijalankan oleh raja
tersebut.
Setelah pecah revolusi Perancis pada tahun 1789, barulah paham mengenai
kekuasaan yang tertumpuk di tangan raja menjadi lenyap. Pada saat itu timbul
gagasan baru mengenai pemisahan kekuasaan yang dipelopori oleh Montesquieu.
Yang membagi kekuasaan negara menjadi 3 kekuasaan yaitu1 :
1. Kekuasaan Legislatif (kekuasaan untuk membuat UU).
2. Kekuasaan Eksekutif (kekuasaan untuk menjalankan UU).
3. Kekuasaan Yudikatif (kekuasaan untuk mengawasi dan mengadili).

1.1.1 Kekuasaan Legislatif (Legislatif Powers)


Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat UU. Pembuatan UU
harus diberikan pada suatu badan yang berhak khusus untuk itu. JIka penyusunan
UU tidak diletakkan ada suatu badan tertentu, maka mungkinlah tiap golongan atau
tiap orang mengadakan UU untuk kepentingannya sendiri.
Di dalam negara demokrasi yang peraturan perundang-undangan harus
berdasarkan kedaulatan rakyat, maka badan perwakilan rakyat yang harus dianggap
sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun UU yang
dinamakan legislatif. Legislatif ini sangatlah penting di dalam kenegaraan, karena

1
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta :
Penerbit PT Rineka Cipta. hlm. 8
Undang-undang ibarat yang menegakkan hidup perumahan negara dan sebagai alat
yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat dan negara.
Sebagai badan pembentuk Undang-undang maka legislatif itu hanyalah berhak
untuk mengadakan Undang-undang saja, tidak boleh melaksanakannya. Untuk
menjalankan Undang-undang itu haruslah diserahkan kepada suatu badan lain.

1.1.2 Kekuasaan Eksekutif (Executive Powers)


Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan untuk menjalankan UU. Kekuasaan
menjalankan UU ini dipegang oleh kepala negara. Kepala negara tentu tidak dapat
dengan sendirinya menjalankan segala UU ini. Oleh karena itu kekuasaan dari
kepala negara dilimpahkannya (didelegasikannya) kepada pejabat-pejabat
pemerintah atau negara yang bersama-sama merupakan suatu badan pelaksana UU
(badan eksekutif). Badan inilah yang berkewajiban menjalankan kekuasaan
eksekutif.

1.1.3 Kekuasaan Yudikatif atau Kekuasaan Kehakiman (Judicative Powers)


Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan untuk mengawasi dan mengadili.
Kekuasaan yudikatif ini berkewajiban untuk mempertahankan UU dan berhak
untuk memberikan peradilan kepada rakyat. Badan Yudikatif yang memiliki
kekuasaan untuk memutuskan perkara yang dijatuhi dengan hukuman terhadap
setiap pelanggaran UU yang telah diadakan dan dijalankan.
Walaupun para hakim itu biasanya diangkat oleh kepala negara (eksekutif) tetapi
mereka mempunyai kedudukan yang istimewa dan mempunyai hak tersendiri,
karena ia tidak diperintah oleh kepala negara yang mengangkatnya, bahkan
yudikatif adalah badan yang berhak menghukum kepala negara, jika kepala negara
melanggar hukum.

Indonesia merupakan Negara yg menganut paham trias politica yaitu suatu


paham yang menyatakan bahwa cabang pemerintahan dibagi atas 3 kekuasaan yaitu
: (1) Kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat Undang-Undang adalah
kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), seperti yang tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 20 ayat 1 yakni “Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk Undang-undang”. (2) Kekuasaan eksekutif
atau kekuasaan untuk menjalankan Undang-undang yaitu presiden sesuai yang
tercantum dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat 1 menyatakan “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang Undang Dasar”.
(3) Kekuasaan yudikatif yaitu MK & MA.UUD 1945 Pasal 24 ayat 1 sudah jelas
menyatakan institusi tersebut “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan”
Dalam penerapan Trias Politica yang dicetuskan Montesquieu di sistem
ketatanegaraan Indonesia terdapat beberapa kali perubahan, baik yang hanya
sekedar perubah tugas, fungsi, dan kewenangan dari Lembaga pemegang
kekuasaannya maupun perubahan dari sistem itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana dinamika, sejarah dan perkembangan penerapan trias politica dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia?
2. Bagaimana perkembangan peranan dari Lembaga Negara pemegang kekuasaan
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang menganut trias politica?
3. Apa permasalahan yang timbul dari dinamika penerapan trias politica dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui bagaimana dinamika, sejarah dan perkembangan penerapan
paham trias politica dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
2. Untuk mengetahui perkembangan peranan dari Lembaga Negara yang
memegang kekuasaan sebagai akibat dari dianutnya paham trias politica dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia.
3. Untuk mengetahui permasalahan yang timbul sebagaia akibat dari dinamika
penerapan trias politica dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

1. SEJARAH & DINAMIKA KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA2

A. SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA RI BERDASAR UUD 1945 (KURUN


WAKTU I, KONSTITUSI RIS, UUD SEMENTARA, UUD 1945 (KURUN
WAKTU II), DAN UUD 1945 SESUDAH PERUBAHAN

1. Periode Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945


Dalam rangka persiapan kemerdekaan Indonesia maka dibentuk BPUPKI, yang
telah berhasil membuat Rancangan Dasar Negara pada tanggal 25 Mei s.d. 1 Juni
1945 dan Rancangan UU Dasar pada tanggal 10 Juli s.d. 17 Juli 1945. Pada tanggal
11 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan dan dibentuk PPKI yang melanjutkan upaya-
upaya yang telah dilakukan oleh BPUPKI dan berhasil membuat UUD 1945 yang
mulai diberlakukan tanggal 18 Agustus 1945. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI
pada tanggal 17 Agustus 1945, maka hal-hal yang dilakukan adalah :
 1. Menetapkan UUD Negara RI pada tanggal 17 Agustus 1945.
 2. Menetapkan Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
 3. Pembentukan Departemen-Departemen oleh Presiden.
 4. Pengangkatan anggota Komite Nasional Indonesi Pusat (KNIP) oleh
Presiden
Sistem pemerintahan negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah
Sistem Pemerintahan Presidensial (Sistem Kabinet Presidensial), yang bertanggung
jawab terhadap jalannya pemerintahan adalah Presiden. Menteri-menteri sebagai
pembantu Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Presiden adalah
Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dan bertanggung jawab kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dalam kurun waktu berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 telah terjadi
"perubahan praktik ketatanegaraan" Republik Indonesia tanpa mengubah ketentuan

2
Joeniarto, 2001, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, hlm. 5-11
Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan tersebut ialah dengan keluarnya Maklumat
Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 14
November 1945. Dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November
1945 tersebut terjadi perubahan dari sistem pemerintahan Presidensial (Sistem
Kabinet Presidensial) menjadi sistem pemerintahan Parlementer (Sistem Kabinet
Parlementer).
Sehingga dengan Maklumat-maklumat tersebut menimbulkan persoalan dalam
pelaksanaan pemerintahan mengenai system pemerintahan dimana menurut Pasal 4
UUD 45 ditegaskan bahwa “Presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan
Pasal 17 menetapka bahwa “ Menteri Negara diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden, system pemerintahan menurut
UUD 1945 adalah Sistem Presidentil. Sedangkan menurut Maklumat Pemerintah
meletakana pertanggungjawaban Kabinet kepada KNIP yang merupakan ciri dari
system Parlementer.

2. Periode Konstitusi RIS 27 Desember 1945 s.d. 17 Agustus 1950.


Setelah Indonesia merdeka, ternyata Belanda masih merasa/ ingin berkuasa di
RI, sehingga sering terjadi konflik antara RI & Belanda, sehingga dilakukanlah
beberapa kali perudingan, perundingan terakhir adalah Konfrensi Meja Bundar
(KMB) pada tanggal 23 Agustus 1949 yang menghasilkan kesepakatan antara lain
:
 1. Mendirikan Negara Indoneis serikat
 2. Penyerahan kedaulatan kepada RIS
 3. Mendirikan UNI antara RIS dengan kerajaan Belanda.
Atas dasar KMB maka pada tanggal 27 Desember 1949 dibentuklah Negra RIS
dengfan Konstitusi RIS.

3. Periode 17 agustus 1950 s.d. 5 Juli 1959


Pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia resmi kebali menjadi Negara Kesatuan
RI berdasarkan UUDS tahun 1950, yang pada dasarnya merupakan Konstitusi RIS
yang sudah diubah. Walaupun sudah kembali kepada bentuk Negara kesatuan,
namun perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain masih terasa,
adanya ketidakpuasan, adanya menyesal dan ada pula yang setuju yang pada
akhirnya timbul pemberontakan separatisme.
Pada waktu berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara penyelenggaraan
pemerintahan negara menganut sistem pemerintahan Kabinet Parlementer (Sistem
Pertanggungjawaban Menteri)3. Sistem Kabinet Parlementer pada masa berlakunya
Konstitusi Republik Indonesia Serikat belum berjalan sebagaimana mestinya, sebab
belum terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, sedangkan pada
waktu berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara, Sistem Kabinet Parlementer
baru berjalan sebagaimana mestinya, setelah terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat/
Badan Konstituante berdasarkan pemilihan umum tahun 1955. Tugas Badan
Konstituante adalah menyusun UUD untuk menggantikan UUDS 1950. Namun
Badan kostituante gagal merumuskan/ menyusun UUD, sehingga pada 5 Juli 1959
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden, yang menyatakan
membubarkan Badan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945
sebagai UUD Negara RI.

4. Periode 5 Juli 1959 s.d. 11 maret 1966 (Masa Orde Lama/Demokrasi


Terpimpin)
Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem pemerintahan Negara yang dianut
kembali berdasar pada Undang-Undang Dasar 1945, yakni berdasar pada sistem
pemerintahan Presidensial. Sistem pemerintahan berdasar Undang-Undang Dasar
Masa Orde Lama/Demokrasi Terpimpin (5 Juli 1959 - 11 Maret 1966), dalam
praktik sistem pemerintahan Negara Presidensial belum sesuai dengan ketentuan-
ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sistem pemerintahan Presidensial
dijalankan dengan berdasar Demokrasi Terpimpin, semua kebijakan atas kehendak
atau didominasi oleh Pemimpin sehingga terjadi penyimpangan-penyimpangan
atau Penyelewengan-penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 yang dilakukan Pemimpin dalam hal ini oleh Presiden.

3
Ismail Suny, 1985, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta : Aksara Baru, hlm. 21
Sehingga banyak menimbulkan kekacauan social budaya dan tidak stabilnya
politik dan hukum ketata negaraan Indonesia yang kemudian dikeluarkannya Surat
Perintah dari Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto yaitu Surat
Perintah 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR), untuk mengambil segala tindakan dalam
menjamin keamanan dan ketentraman masyarakat serta stabilitas jalannya
pemerintahan (menjalankan tugas presiden).

5. Periode 11 Maret 1966 - 21 Mei 1998 (Masa Orde Baru/ Demokrasi Pancasila)

Atas dasar Surat Perintah 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR), merupakan akar


awal jatuhnya Presiden Soekarno dan tampak kekuasaan Negara dipegang oleh
Jenderal Soeharto. Masa Orde Baru/Demokrasi Pancasila (11 Maret 1966 - 21 Mei
1998), penyelenggaraan pemerintahan negara dengan sistem pemerintahan
Presidensial dengan berdasar pada Demokrasi Pancasila pada awal pemerintahan
Orde Baru mengadakan koreksi total atas penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan pada masa Orde Lama. Dengan demikian, sistem pemerintahan
presidensial sudah dilaksanakan sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar 1945,
tetapi dalam praktiknya Presiden Soeharto selama berkuasa kurang lebih 32 tahun
cenderung melakukan KKN.
Sehingga pada tahun1998 terjadi gejolak yang sangat luar biasa dari masyarakat,
yang menuntut mundurnya Soeharto sering disebut gerakan reformasi, yang
kemudian memaksa Presiden Soeharto turun dari jabatannya, dan akhirnya pada
tanggal 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden, dan
melimpahkan kepada Wakil Presiden, yakni B. J. Habibie sebagai Presiden Baru.

6. Masa Reformasi
Masa Orde Reformasi (21 Mei 1998 sampai sekarang), penyelenggaraan
pemerintahan masih tetap berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, yakni
menganut sistem pemerintahan presidensial. Namun, dalam pelaksanaannya
dilakukan secara kristis (reformis) artinya peraturan perundangan yang tidak
berjiwa reformis diubah/diganti. Sistem Presidensial ini lebih dipertegas di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesudah
Perubahan. Di samping itu, dianut sistem pemisahan cabang-cabang kekuasaan
negara yang utama dengan prinsip checks and balances4.

B. LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA BERDASAR UUD 1945 SEBELUM


PERUBAHAN, KONSTITUSI INDONESIA SERIKAT DAN UUD
SEMENTARA, UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
SESUDAH PERUBAHAN5

Istilah Lembaga-lembaga Negara tidak diketemukan dalam Undang-Undang Dasar


1945 melainkan ditentukan dalam Ketetapan MPR No. III/ MPR/1978. Berbeda
dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar
Sementara, istilah Lembaga-lembaga Negara tersebut disebut Alat-alat
Perlengkapan Negara.

a) Lembaga-lembaga Negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 Jo. Ketetapan


MPR No. III/MPR/1978 tersebut adalah berikut ini.
1. Lembaga Tertinggi Negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2. Lembaga Tinggi Negara, yaitu:
1) Presiden dan Wakil Presiden; 2) Dewan Pertimbangan Agung; 3) Dewan
Perwakilan Rakyat; 4) Badan Pemeriksa Keuangan; 5) Mahkamah Agung.

b) Lembaga-lembaga Negara yang merupakan Alat-alat Perlengkapan federal


Republik Indonesia Serikat ialah berikut ini.
1) Presiden. 2) Menteri-menteri. 3) Senat. 4) Dewan Perwakilan Rakyat. 5)
Mahkamah Agung Indonesia. 6) Dewan Pengawas Keuangan, (Bab 11 pada
Ketentuan Umum Konstitusi Republik Indonesia Serikat).

4
Dahlan Thaib, 1999, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Konstitusi, Yogyakarta : Liberty
Yogyakarta, hlm. 28.
5
Joeniarto, op. cit, hlm. 15-17.
c) Adapun Alat-alat perlengkapan Negara menurut Undang-Undang Dasar
Sementara, sebagai berikut.
1) Presiden. 2) Menteri-menteri. 3) Dewan Perwakilan Rakyat. 4) Mahkamah
Agung. 5) Dewan Pengawas Keuangan, (Bab 11 pada Ketentuan Umum, Pasal 44
Undang-Undang Dasar Sementara).
d) Sistem Pemerintah Negara Republik Indonesia menurut UUD 1945 pasca
perubahan keempat tahun 2002 telah menetapkan tentang pembentukan susunan
dan kekuasaan/ wewenang badan-badan kenegaraan adalah sebagai berikut :
1) Dewan Perwakilan Rakyat; 2) Dewan Perwakilan Daerah; 3) Majelis
Permusyawaratan Rakyat; 4) Badan Pemeriksa Keuangan; 5) Presiden dan Wakil
Presiden; 6) Mahkamah Agung; 7) Mahkamah konstitusi; 8) Komisi Yudisial
Lembaga-lembaga daerah, terdiri: Pemerintah Daerah Provinsi, yakni Gubernur
dan DPRD, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yakni Bupati/Walikota dan
Perwakilan BPK Provinsi, Lingkungan peradilan Umum, Lingkungan Peradilan
Agama, Lingkungan peradilan militer dan lingkungan Peradilan tata Usaha Negara.
Apabila ditelaah atau dibandingkan dari susunan lembaga-lembaga negara atau
alat-alat perlengkapan Negara berdasar keempat UUD tersebut di atas, terdapat
persamaan dan perbedaan yang prinsip di antara lembaga-lembaga negara tersebut.
Persamaan dan perbedaan tersebut baik mengenai penyebutan dalam susunan
lembaga-lembaga negara atau alat-alat perlengkapan negara dari keempat UUD
tersebut maupun mengenai tugas dan kewajiban dari lembaga-lembaga negara atau
alat-alat perlengkapan negara dari keempat UUD tersebut.

2. PERKEMBANGAN PERANAN LEMBAGA PEMEGANG KEKUASAAN


DARI PAHAM TRIAS POLITICA DALAM KETATANEGARAAN
INDONESIA
Menurut Prof. Jimly Assiddiqie6 menyatakan bahwa sebelum amandemen,
UUD 1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal, bukan
pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan rakyat dianggap

6
Jimly Asshiddiqie, 2005, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945, Jakarta : Rajawali Pers, hlm. 9-10
terwujud penuh dalam wadah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dapat
ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi ataupun sebagai forum tertinggi. Dari sini,
fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan kewenangan lembaga-lembaga
tinggi negara yang ada dibawahnya, seperti Presiden, DPR, MA, dan seterusnya.
Dalam perspektif pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal itu, prinsip
kesederajatan dan perimbangan kekuasaan itu tidaklah bersifat primer. Karena itu,
dalam UUD 1945 yang asli (UUD 1945 sebelum amandemen) tidak diatur
pemisahan yang tegas dari fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Sistem yang lama, bisa diketahui bahwa fungsi utama DPR lebih merupakan
lembaga pengawas daripada lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya Hal ini
dapat dilihat dari ketentuan UUD 1945 sebelum amandemen. Presiden disamping
memegang kekuasaan pemerintahan (kepala eksekutif, Pasal 4 ayat (1), juga
memegang kekuasaan membentuk undang- undang dan peraturan pemerintah
(kekuasaan legislatif, Pasal 5), sementara fungsi DPR dalam membentuk undang-
undang bersifat pasif yaitu sebatas memberikan persetujuan (Pasal 20).
Lembaga Eksekutif di Indonesia meliputi presiden dan wakil presiden beserta
menteri-menteri yang membantunya7. Presiden adalah lembaga negara yang
memegang kekuasaan eksekutif yaitu mempunyai kekuasaan untuk menjalankan
pemerintahan Pembentukan peraturan-peraturan negara selain terpusat dengan apa
yang dimiliki oleh presiden, ternyata disisi lain juga dimiliki oleh lembaga negara
lainnya. Seperti kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR), ini merupakan kewenangan sebagai lembaga tertinggi negara yang
kedudukannya berada langsung di bawah UUD 1945. Kekuasaannya sangat besar
dibandingkan dengan lembaga negara lainnya karena MPR adalah penjelmaan
langsung dari kedaulatan rakyat. Posisinya dalam struktur ketatanegaraan Indonesia
pada masa itu adalah sebagai lembaga tertinggi yang membagikan beberapa
kekuasaan dalam negara kepada lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya.
Pertanggungjawaban lembaga negara ditujukan kepada MPR, hal ini bisa dilihat
dari perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia dimana presiden adalah sebagai

7
Ismail Suny, 1986, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta : Aksara Baru, hlm. 42-44
mandataris MPR dan pertanggungjawaban atas kinerjanya disampaikan kepada
MPR.
Keadaan legislatif sekarang bila dibandingkan dengan sebelum adanya
perubahan UUD jelas jauh berbeda. Sekarang bila dilihat dalam struktur
ketatanegaraan, MPR ditempatkan sejajar sebagai sebuah parlemen/legislatif tentu
bakal mempunyai kewenangan atau fungsi-fungsi yang sejajar pula dengan
parlemen lainnya. Karena pada dasarnya fungsi parlemen di sebuah negara meliputi
fungsi legislasi atau fungsi pengaturan (regelende fungtie), fungsi pengawasan
(control fungtie), dan fungsi representasi (representation fungtie). Fungsi
pengaturan berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan
perundang-undangan yang mengikat warga negara dengan norma hukum yang
mengikat dan membatasi. Selain itu, fungsi legislasi menyangkut beberapa kegiatan
sebagai berikut, yaitu : 1. Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative
initiation) 2. Pembahasan rancangan undang-undang (law making process) 3.
Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval)
4. Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atau perjanjian atau persetujuan
internasional dan dokumen hukum yang mengikat lainnya. (Binding decision
making on international agreement and treaties or other legal binding documents).
Negara Indonesia yang menerapkan sistem presidensil sebenarnya harus
melakukan pemisahan tegas terkait fungsi legislasi antara lembaga legislatif dengan
eksekutif, Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang
maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Badan Yudikatif
Indonesia berfungsi menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Di Indonesia, kini
dikenal adanya 3 badang yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan
tersebut. Badan-badan itu adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan
Komisi Yudisial.

Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam masalah hukum


kriminal, hukum sipil (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); hukum
konstitusi (masalah seputar penafsiran kontitusi); hukum administatif (hukum yang
mengatur administrasi negara); hukum internasional (perjanjian internasional).
Mahkamah Agung merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan
kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah
Agung adalah pengadilan tertinggi di negara kita. Perlu diketahui bahwa peradilan
di Indonesia dapat dibedakan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer,
dan peradilan tata usaha negara (PTUN). Mahkamah Agung, sesuai Pasal 24 A
UUD 1945, memiliki kewenangan mengadili kasus hukum pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh undang-
undang.

A. Hukum Tata Negara Darurat


Dalam konstitusi indonesia diatur tentang keadaan darurat pada pasal 12 dan
pasal 22 UUD 45.
Pasal 12 : “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya
keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”
Pasal 22 : “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”

Pengaturan tersebut tidak dilakukan secara tegas sehinga sulit mengetahui


apakah suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai keadaan darurat. UU Prp No.
23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya membagi keadaan darurat menjadi tiga
yakni darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang. Undang-undang tersebut
mengatur tiga kriteria untuk menentukan suatu keadaan darurat:
1. keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian
wilayah indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan,
atau akibat bencana alam sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh
alat kelengkapan negara secara biasa;
2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah
negara republik Indonesia. Keputusan pemberlakuan keadaan darurat
dilakukan oleh presiden melalui peraturan presiden (perpres). Hal ini
berdasarkan UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

Keadaan yang seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai keadan berbahaya
atau darurat? Ada banyak pendapat dan doktrin dari para ahli hukum mengenai hal
ini. Namun saya mencoba mengambil simpulan dari Jimly Asshiddiqie 8. Jimly
menyatakan:
1. keadaan bahaya karena ancaman perang yang datang dari luar
2. keadaan bahaya karena tentara nasional sedang berperang di luar negeri
3. keadaan bahaya karena perang di dalam negeri atu pemberontakan
4. keadaan bahaya karena kerusuhan sosial
5. keadaan bahaya karena bencana alam
6. keadaan bahaya karena tertib hukum dan administrasi yang terganggu
7. keadaan bahaya karena kondisi keuangan negara
8. keadaan lain dimana fungsi konstitusional tidak dapat bekerja

Keadaan darurat menuntut negara untuk mengambil tindakan sesegera


mungkin dan meminimalisir resiko yang terjadi. Dalam hal tindakan yang dapat
diambil menurut Vinkat Iyer tindakan darurat meliputi:
1. kewenangan menangkap (power of arrest);
2. kewenangan menahan (power of detention);
3. pembatasan atas kebebasan fundamental (power imposing restriction of
fundamental freedom);
4. kewenangan terkait perubahan prosedur pengadilan dan
pemidanaan (power concerning modification of trial procedures and
punishment);
5. kewenanan membatasi atasa akses ke pengadilan (power imposing
restriction on access to the judiciary);

8
Jimly Asshiddiqie, 2008, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta : Rajawali Pers, hlm. 57-60
6. kewenangan atas imunitas yang dinikmati polisi, aparat keamanan, dan yang
lainnya (power concerning immunities enjoyed by the police and member of
security forces and so on)

Asas dalam pemberlakuan keadaan darurat:


1. asas proklamasi
Keadaan darurat harus diumumkan atau diproklamirkan kepada seluruh
masyarakat. Bila keadaan darurat tersebut tidak diproklamirkan maka tindakan
yang diambil oleh pemerintah tidak mendapat keabsahan.

2. asas legalitas
Asas legalitas disini berkaitan dengan tindakan yang diambil oleh negara dalam
keadaan darurat. Tindakan yang diambil harus tetap dalam koridor hukum, baik
hukum nasional maupun hukum internasional.

3. asas komunikasi
Negara yang mengalami keadaan darurat harus mengkomunikasikan keadaan
tersebut kepada seluruh warga negara. Selain kepada warganya pemerintah juga
harus memberitahukan kepada negara lain secara resmi. Pemberitahuan dilakukan
melalui perwakilan negara bersangkutan dan kepada pelapor khusus PBB “special
rapporteur on state of emergency”
4. asas kesementaraan
Dalam penetapan keadaan darurat harus ada kepastian hukum yakni jangka
waktu pemberlakuan keadaan darurat. Hal ini dikarenakan negara dalam keadaan
darurat dapat mencederai hak dasar warga negara. Sehingga pemberlakuan keadaan
darurat harus jelas mengenai awal pemberlakuan dan waktu berakhirnya.

5. asas keistimewaan ancaman


Krisis yang menimbulkan keadaaan darurat harus benar-benar terjadi atau
minimal mengandung potensi bahaya yang siap mengancam negara. Ancaman yang
ada haruslah bersifat istimewa. Keistimewaan tersebut karena menimbulkan
ancaman terhadap nyawa, fisik, harta-benda, kedaulatan, keselamatan dan
eksistensi negara, atau peri kehidupan bersama dalam sebuah negara.

6. asas proporsionalitas
Tujuan pemberlakuan keadaan darurat adalah agar negara dapat
mengembalikan dalam keadaan semula dengan waktu yang cepat. Oleh karena itu
tindakan yang diambil haruslah tepat sesuai dengan gejala yang terjadi. Jangan
sampai negara mengambil tindakan yang tidak sesuai dan cenderung berlebihan.

7. asas intangibility
Asas ini terkait dengan hak asasi manusia. Dalam keadaan darurat pemerintah
tidak boleh membubarkan organ pendampingnya yakni legislatif maupun yudikatif.

8. asas pengawasan
Pemberlakuan keadaan darurat juga harus mendapatkan kontrol. Harus
mematuhi prinsip negara hukum dan demokrasi. Parlemen harus mengawasi
jalannya keadaan darurat sebagai bentuk mekanisme “check and balances”.keadaan
darurat tidak mengurangi kewenangan mengawasi kebijakan yang diambil
pemerintah.

Dalam keadaan darurat negara bisa mengurangi sebagian dari hak asasi
manusia. Namun negara tidak boleh mengurangi sedikit pun hak dasar
manusia (non derogable rights). Berikut ini hak dasar manusia:
a. hak untuk hidup
b. hak untuk tidak disiksa
c. hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani
d. hak beragama
e. hak untuk tidak diperbudak
f. hak untuk diakui sebagai pribadi da hadapan hukum
g. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
3. PERMASALAHAN-PERMASALAHAN YANG TIMBUL DALAM
SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA

1. Banyak orang orang pintar dan baik tetapi tidak terserap oleh sistem
ketatanegaraan kita. Tapi banyak orang yang biasa-biasa saja bahkan bermasalah
bisa mendapat posisi menentukan. Salah satu sebabnya karena ada yang kurang
baik dalam sistem kepartaian (kaderisasi, rekruitmen, promosi dll).

2. Sudah belasan tahun kita punya lembaga tinggi negara seperti DPD RI. Bukan
salah anggotanya mereka tidak berfungsi optimal tetapi sistemnya yang tidak
jelas sehingga praktis kita (negara) mengeluarkan biaya untuk tugas simbolik
saja. Seperti ketimun bongkok masuk karung tidak dihitung di luar karung juga
tak dianggap.

3. Pada saat Pemilu legislatif, semua caleg bernyanyi tinggi gunung seribu janji 9.
Karena memang lidah tak bertulang. Mereka dipilih langsung oleh rakyat.
Sampai di Senayan yang dominan diperjuangkan adalah suara partai karena
disetel oleh lembaga Fraksi. Partainya disetel oleh pemilik modal. Sehingga
kami pernah tulis demokrasi kita : Dari Rakyat, Oleh Rakyat Untuk
Konglomerat.
Tak ada yang salah dengan kader partai dan caleg tapi lagi-lagi sistemnya.
Lebih gila lagi wakil rakyat bisa digusur dari Senayan oleh partai. Tentu saja
semua situasi tersebut mempengaruhi output DPR yang berkaitan dengan fungsi
pengawasan, legislasi dan anggaran. Tentu saja sangat merugikan rakyat, bangsa
dan negara secara keseluruhan sebagai sebuah sistem.

9
Padmo Wahjono, 1984, Beberapa Masalah Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta : Cv. Rajawali,
hlm. 19
4. DPR punya kewenangan lain: melakukan fit and proper test terhadap calon
Hakim Agung, calon Gubernur BI, calon Kapolri, calon Panglima TNI, calon
Dubes, calon KPK dan lain-lain. Padahal rekrutmen calon anggota DPR saja oleh
partai masih dipertanyakan kualitasnya. Tiba-tiba mereka menjadi penguji untuk
jabatan-jabatan strategis negara. Sehingga yang terjadi sandiwara dibiayai
negara. Tak ada yang salah dengan anggota DPR, tapi sistem itu aneh. Dan untuk
keanehan itu negara mesti membayar.

5. Secara teoritis Presiden butuh grip yang kuat ke propinsi dan daerah untuk
mensukseskan program yang disampaikan saat kampanye. Oleh sistem otonomi
dan demokrasi liberal Presiden bisa berbeda partai dengan
Gubernur/Bupati/Walikota. Dalam banyak kasus kadang Gubernur atau Bupati
lebih loyal kepada Ketua Partai dari pada ke Presiden. Atau Bupati sering
mengabaikan arahan Gubernur dan lain-lain. Bagaimana bisa menjadi Presiden
efektif atau Gubernur efektif kalau situasinya seperti itu. Lagi-lagi ini masalah
kesisteman10.

6. Setelah amandemen UUD 45 tidak dikenal lagi lembaga tertinggi negara yaitu
MPR RI. Semua menjadi Lembaga Tinggi Negara (LTN). Praktis LTN seperti
Lembaga Kepresidenan, MA, BPK, DPR, DPD, MK, KPK dan lain-lain jadi
"Kerajaan" masing-masing.
Egocentrisme lembaga mengental. MPR sebagai tempat
mempertanggungjawabkan tugas di masa akhir jabatan tidak diperlukan. Rakyat
tidak tahu apa kerja mereka, tahu tahu bubar jalan. Presiden yang memimpin 250
juta rakyat cukup di SK kan oleh KPU. Selesai tugasnya tidak merasa perlu
pamit secara terhormat di depan MPR. Ya aneh saja. Sistem ini hemat kami tidak
membangun rasa bertanggung jawab. Mau berhasil atau gagal. Tidak ada reward
dan punishment tidak ada yang perlu dirisaukan. Malah bisa ikut Pilpres atau
kontes lagi.

10
Padmo Wahjono, 1982, Negara Republik Indonesia, Jakarta : Cv. Rajawali, hlm. 105.
3.1 Perubahan Paradigma Ketatanegaraan
Terhitung sebanyak empat kali perubahan dari masa Habibie, Abdurrachman
Wahid dan berakhir pada Megawati, namun tujuan mengamandemen konstitusi
justru bukan menjadi transparan, melainkan sebaliknya terjadi perhelatan dalam
membahas dan meletakan perubahan serta tambahan substansi UUD 1945. Tidak
sampai disitu saja, bahkan mengadopsi agregasi kepentingan elit politik dan
penguasa11. Karena hal tersebut maka ini juga menjadi masalah dalam peneraan
paham trias politica dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

11
H.F. Abraham Amos, 2005, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (dari orla,orba sampai reformasi),
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, hlm. 286-287
BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN
1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia dari waktu ke waktu terus berdinamika
terutama saat ada kejadian fundamental seperti pendudukan negara lain di
Indonesia yang mengakibatkan adanya UUD sementara maupun dalam
keadaan negara dinyatakan darurat, selain itu pergantian penguasa juga akan
mengubah arah kebijakan negara dalam sistem ketatanegaraannya. Seperti
yang telah dijelaskan dibagian penjelasan, ada dampak-dampak dari
perubahan-perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia ini.
2. Ada 3 kekuasaan dalam trias politica, dan Lembaga Negara Pemegangnya
diberikan kekuasan sesuai dengan Tugas, Fungsi dan Kewenangannya
masing-masing. Tetapi seiring berdinamikanya sistem ketatanegaraan maka
hal tersebut jelas akan mempengaruhi peranan dari Lembaga-lembaga Negara
pemegang kekuasaan trias politica tersebut.
3. Dampak yang langsung dirasakan dari berdinamiknya sistem ketatanegaraan
Indonesia tentu akan menghadirkan permasalah-permasalahan dalam
bernegara, maka dari itu tampaknya kedepan sistem ketatanegaran kita juga
akan terus berdinamika untuk meminimalkan permasalahn yang ada.
REFERENSI

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2000. Hukum Tata Negara Republik
Indonesia, Jakarta : Penerbit PT Rineka Cipta.

Joeniarto, 2001, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta : Bumi


Aksara.

Ismail Suny, 1985, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta : Aksara Baru.

Dahlan Thaib, 1999, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Konstitusi,


Yogyakarta : Liberty Yogyakarta.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran


Kekuasaan Dalam UUD 1945, Jakarta : Rajawali Pers.

Ismail Suny, 1986, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta : Aksara Baru.

Jimly Asshiddiqie, 2008, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta : Rajawali Pers.

Padmo Wahjono, 1984, Beberapa Masalah Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta :


Cv. Rajawali.

Padmo Wahjono, 1982, Negara Republik Indonesia, Jakarta : Cv. Rajawali

H.F. Abraham Amos, 2005, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (dari orla,orba


sampai reformasi), Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai