Anda di halaman 1dari 19

4

BAB II KAJIAN PUSTAKA


A. Kerangka Teori
1. Empati
a. Definisi empati
Empati dapat diartikan sebagai kemampuan dan kecenderungan seseorang
(“observer”) untuk memahami apa yang orang lain (“target”) pikirkan dan rasakan
pada situasi tertentu1. Empati pertama kali diperkenalkan oleh Titchener 1909 sebagai
terjemahan bahasa Inggris dari kata bahasa German “Einfühlung” 2 dimana aslinya
digunakan dalam pelajaran estetika untuk menggambarkan hubungan antara
seseorang dengan sebuah benda seni 3 . Empati lebih sering dideskripsikan dengan
kapasitas penting seorang manusia dalam mengurangi kebiasaan buruk yang berujung
kepada tindakan merugikan orang lain. Menurut F. Ioannidou dan V Konstantikaki
dalam journalnya mendefinisikan empati sebagai kapasitas untuk berbagi dan
memahami kondisi dan keadaan emosi orang lain4. Hal ini sering dibahasakan dengan
menempatkan diri di posisi orang lain atau dengan kata lain membuat diri sendiri
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
Empati merupakan salah satu bentuk emosi kesadaran diri, selain rasa malu, rasa
cemburu, rasa bangga dan rasa bersalah. Menurut Darwin, emosi-emosi tersebut berawal dari
perkembangan kesadaran diri dan melibatkan penguasaan peraturan dan standar5. Sementara
itu, Mead dalam Eisenberg menyatakan bahwa empati merupakan kapasitas mengambil peran

1
Zoll dan Enz. (2012). “Efektivitas Cognitive Behavior Therapy Dan Rational Emotive
Behavior Therapy terhadap Gejala Dan Kemampuan Mengontrol Emosi Pada Klien Perilaku
Kekerasan”. Jurnal Penelitian. Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia, Kampus UI Depok, Jakarta 10430, Indonesia.
2
Vischer, R. (1873). On the Optical Sense of Form: A Contribution to Aesthetics. In H.F.
Mallgrave & E. Ikonomou (Eds.). (1994), Empathy, Form and Space (pp. 89-123). Santa Monica, CA:
The Getty Center for the History of Art and Humanities.
3
Lipps, T. (1903). The knowledge of foreign Ichen. In T. Lipps (Eds.). Psychological
Investigations (Volume 1, pp. 694-722). Leipzig: Engelmann.
4
F Ioannidou and V Konstantikaki, Empathy and emotional intelligence: What is it really
about? (2008) International Journal of Caring Sciences, h. 119.
5
Lafreniere, P. J. (2000). Emotional Development. America, Wadsworth: a Division of
Thomson Learning.
5

orang lain dan mengadopsi perspektif orang lain dihubungkan dengan diri sendiri 6 . Para
peneliti lain menyebut empati dengan mengacu kepada kemampuan kognitif untuk
memahami kondisi mental dan emosional orang lain7 atau insight sosial8. Dengan kata lain
empati melibatkan kognisi.
Penelitian lebih lanjut di social cognitive neuroscience menjabarkan bahwa
tubuh yang berkembang bekerja dalam memahami dan berbagi pengalaman orang
lain secara umum dengan mengumpulkan struktur neural yang sama pada saat dan
selama mengobservasi pengalaman yang sama9.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan empati adalah kemampuan kognitif
untuk memahami kondisi mental dan emosional orang lain.

b. Pembagian empati
Dalam beberapa dekade, empati di definisikan dalam berbagai bentuk.
Beberapa diantaranya mengaitkan empati dengan istilah kognitif, sementara yang
lainnya lebih cenderung mengaitkannya dengan hal-hal afektif atau istilah
emotional10. Empati adalah skill komunikasi kuat dan unik yang sering disalahartikan
dan disalahgunakan. Kurangnya empati yang dimiliki oleh seseorang berakibat
munculnya kebiasaan antisosial dan kejahatan lainnya karena setiap individu tidak
dibenarkan berbuat sesuatu yang dapat mengakibatkan orang lain celaka.
Studi terbaru mengenai empati telah membawa perspektif baru yang membagi
empati ke dalam tiga komponen yaitu emotional contagion, emotional disconnection

6
Eisenberg, N., Fabes, R. A., & Spinrad, T. (2006). Prosocial development. In Eisenberg, N
(Ed.). Handbook of child psychology: Social emotional, and personality development (6th ed., Vol. 3,
pp. 646–718). Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.
7
Borke, H. (1973). The development of empathy in Chinese and American children between
three and six years of age: A cross-cultural study. Developmental Psychology, 9(1), 102.
8
Dymond, R. F. (1950). Personality and empathy. Journal of Consulting Psychology, 14(5),
343.
9
Rameson and Lieberman, Empathy: A Social Cognitive Neuroscience Approach (2009)
Social and Personality Psychology University of California, Los Angeles, h. 94.
10
Van Langen, M.A.M., Wissink, I.B., van Vugt, E.S., Van der Stouwe, T. & Stams,
G.J.J.M., The Relation between Empathy and Offending: A Meta-Analysis, Aggression and Violent
Behavior (2014), doi: 10.1016/j.avb.2014.02.003
6

dan cognitive empathy11.Emotional Contagion adalah pemikiran otomatis responden


dalam meniru atau memahami emosi orang lain. Kedua, Emotional Disconnection
dilihat sebagai faktor yang berkaitan dengan aturan yang melibatkan proteksi diri
dalam melawan kesulitan, rasa sakit dan dampak buruk lainnya. Yang terakhir adalah
Cognitive Empathy didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengerti dan
memikirkan pengaruh orang lain. Mekanisme Cognitive Empathy ini agak sulit
dibedakan dari Emotional Contagion dan identifikasiotomatis.

c. Tahap perkembangan skala dasar empati


Dalam perkembangannya, beberapa penelitian telah dilakukan dalam
menginvestigasi perkembangan empati 12 . Jolliffe dan Farrington mengembangkan
Basic Empathy Scale atau Skala Dasar Empati untuk mengatasi beberapa kekurangan
pengukuran psikometrik. Perkembangan English BES, terdapat 40 item untuk
mengukur empati yang diberikan kepada 363 siswa remaja. Faktor solusi analisis
eksplorasi digunakan dengan membagi 20 item untuk empati kognitif dan 20 item
untuk empati afektif yang mana diadaptasi dari faktor analisis Joliffe dan
Farrington13.
Validitas keaslian BES didukung oleh hubungan signifikan antara empati dan
kebiasaan prososial, intelegensi (hanya untuk wanita), extraversion (empati kognitif
saja), neuroticism (empati affectif saja), agreeableness, kesadaran (untuk pria saja),
pengawasan orang tua, status ekonomi, usia. Lebih lanjut BES memperlihatkan

11
Decety, J. (2011a). Dissecting the neural mechanisms mediating empathy. Emotion Review,
3, 92–108. doi:10.1177/1754073910374662
12
Heynen, E. J. E., Van der Helm, G. H. P., Stams, G. J. J. M., & Korebrits, A. M. (2016).
Measuring Empathy in a German Youth Prison: A Validation of the German Version of the Basic
Empathy Scale (BES) in a Sample of Incarcerated Juvenile Offenders. Journal of Forensic Psychology
Practice, 16(5), 336-346. DOI: 10.1080/15228932.2016.1219217
13
Jolliffe, D., & Farrington, D. P. (2006). Development and validation of the Basic Empathy
Scale. Journal of Adolescence, 29, 589–611. doi:10.1016
7

instrumen valid dan dapat dipercaya di negara berbeda (Spanyol, Belanda, Cina,
Italia, dan Perancis)14.

d. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Empati


Faktor Yang Mempengaruhi Empati seseorang dalam menerima dan memberi
empati adalah sebagai berikut.15
1) Sosialisasi, Untuk membentuk suatu perilaku dapat dilakukan dengan cara
memberikan informasi tentang pengertian atau pentingnya dari perilaku tersebut.
Sosialisasi untuk anak-anak sebaiknya dilakukan melalui permainan-permainan
yang akan membentuk sejumlah emosi, membantu untuk lebih berpikir dan
memberikan perhatian kepada orang lain, serta lebih terbuka terhadap kebutuhan
orang lain sehingga akan meningkatkan kemampuan berempati anak.
2) Mood dan feeling, Seseorang dapat berinteraksi dengan baik apabila mempunyai
perasaan yang baik.
3) Perilaku dapat terbentuk melalui proses belajar salah satunya meniru perilaku
orang tua.
4) Situasi dan tempat, Ketika seseorang dalam situasi yang sibuk atau tergesa-gesa
maka kemungkinan orang tersebut tidak mempunyai waktu untuk berempati,dan
apabila seseorang sedang berada di tempat yang ramai maka akan mempengaruhi
perilaku empati seseorang.
5) Komunikasi dan bahasa, seseorang dapat mengungkapkan atau menerima empati
melalui komunikasi atau bahasa.
6) Pengasuhan, Pola asuh orang tua akan mempengaruhi perilaku anak. Apabila
orang tua mengajarkan atau menanamkan empati sejak kecil maka akan
membentuk empati anak ketika dewasa.

14
Heynen, E. J. E., Van der Helm, G. H. P., Stams, G. J. J. M., & Korebrits, A. M. (2016).
Measuring Empathy in a German Youth Prison: A Validation of the German Version of the Basic
Empathy Scale (BES) in a Sample of Incarcerated Juvenile Offenders. Journal of Forensic Psychology
Practice, 16(5), 336-346. DOI: 10.1080/15228932.2016.1219217
15
Taufik. (2012). Empati Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: Rajagrafindo.
8

Selain itu ada pendapat lain tentang beberapa faktor yang mempengaruhi
empati yaitu:16
1) Pola asuh, Orang tua yang menanamkan nilai empati sejak kecil, memberikan
contoh kepada anak tentang sikap empati akan mempengaruhi perilaku empati
ketika dewasa.
2) Kepribadian, orang yang mempunyai sikap yang tenang dan sering berintrospeksi
diri dipastikan akan memiliki kepekaan yang tinggi ketika berbagai dengan orang
lain.
3) Usia, Semakin bertambahnya usia maka semakin meningkatkan empati seseorang
karena seseorang yang tua mempunyai perspektif yang lebih matang.
4) Derajat kematangan, Kemampuan seseorang dapat menilai suatu hal secara
propsosional akan mempengaruhi sikap empati.
5) Sosialisasi, Sosialasi merupakan upaya untuk menanamkan berbagai nilai kepada
orang lain sehingga orang lain mempunyai perilaku yangdiharapkan.
6) Jenis kelamin, Empati perempuan lebih besar dari pada empati laki-laki.

e. Faktor yang mempengaruhi hubungan antara empati dan tindakan agresi


Agresi adalah suatu sifat yang cenderung memiliki keinginan untuk selalu
menyerang kepada suatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengacau,
menghalangi atau menghambat. Beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya
agresi ialah frustrasi, marah, suhu, gen, lingkungan sosial, pengaruh alkohol17. Lebih
lanjut, faktor yang mempengaruhi hubungan antara empati dan tindakan agresi seperti
yang dikemukakan Davis terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hubungan
antara empati dan tindakan agresi antara lain:18

16
D, Goleman. 2007. Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
17
Tedeschi, J. T., & Quigley, B. M. (2000). A further comment on the construct validity of
laboratory aggression paradigms: A response to Giancola and Chermack. Aggression and Violent
Behaviorand Violent Behavior. http://doi.org/10.1016/S1359-1789(98)00028-7
18
Besel, L. D. S., & Yuille, J. C. (2010). Individual differences in empathy: The role of facial
expression recognition. Personality and Individual Differences, 49(2), 107–112.
http://doi.org/10.1016/j.paid.2010.03.013
9

a) Perspective taking yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut


pandang orang lain secara spontan. Jika dikaitkan dengan theory of mind, dimana
seseorang dapat menyimpulkan kondisi mental orang lain, memahami dari
perspektif mereka, dan dapat pula menginterpretasikan serta memprediksi
perilaku selanjutnya dari orang lain. Kunci pokoknya adalah dimana seseorang
dapat mengoptimalkan kemampuan berpikirnya untuk memahami kondisi orang
lain, melalui pemaknaan sikap dan perilaku yang terlihat. Karena berkaitan erat
dengan daya kognisi, kemampuan setiap orang dalam melakukan perspective
taking akan berbeda-beda tergantung dengan kecermatan analisisnya.
b) Fantasy yaitu kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara
imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter imajinasi dalam
film, buku, atau novel yang dibaca maupun yang ditontonnya.
c) Emphatic Concern adalah perasaan simpati yang berorientasi kepada orang lain
dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami orang lain.
d) Personal distress yaitu kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri
serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal yang tidak
menyenangkan. Personal distress bisa disebut sebagai empati negatif.

f. Hubungan Empati dan Pola asuh


Kemampuan untuk berempati sudah mulai muncul pada masa kanak-kanak
awal sehingga pada masa remaja seharusnya empati sudah berkembang, dengan
demikian tugas perkembangan remaja tidak akan terhambat. Menurut Hurlock tugas
perkembangan remaja tersebut antara lain remaja diharapkan dapat mengembangkan
perilaku sosial yang bertanggung jawab, dapat mencapai sikap dan pola perilaku pada
masa remaja, belajar menerima peran seksdewasa yang diakui oleh masyarakat, serta
mempelajari dan mencapai hubungan baru dengan teman sebaya atau lawan jenis19.
Keluarga merupakan tempat pertama dimana anak mendapatkan pengajaran
salah satunya untuk mengembangkan empati yang didapatkan melalui pola asuh yang

19
Hurlock, E. B. (2006). Psikologi Perkembangan (5th Ed.). Jakarta: Erlangga.
10

diberikan oleh orang tua. Banyak studi mengidentifikasi bahwa keluarga sebagai
sumber utama dari sosialisasi untuk perkembangan sosioemosional remaja, termasuk
empati. Menurut Dunn, pengalaman termasuk didalamnya dukungan dan kepekaan
orang tua dapat meningkatkan empati anak dengan orang lain20.
Sementara itu, empati dapat tumbuh melalui cara membesarkan anak dengan
kepedulian dan kasih sayang21. Penelitian yang dilakukan Eisenberg & Fabes terkait
perbedaan jenis kelamin dalam empati, kapasitas untuk pengalaman emosi yang
dirasakan orang lain22. Penelitian empiris menemukan bahwa perempuan memiliki
empati yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki23.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti menyimpulkan bahwa
individu yang memiliki empati tinggi diberikan pola asuh yang tinggi pula. Hal ini
sejalan dengan pendapat Davis mendefinisikan empati dalam artian luas mengacu
kepada reaksi individu untuk mengamati pengalaman orang lain 24 . Selanjutnya,
faktor-faktor yang mempengaruhi empati menurut Davis ialah salah satunya adalah
pola asuh25. Beberapa aspek-aspek pola asuh menurut Baumrind, antara lain26:
a) Kasih sayang, aspek kasih sayang meliputi kehangatan, cinta, perasaan kasih
sayang dan keterlibatan termasuk didalamnya penghargaan dan pujian yang
diberikan terhadap prestasi anak, sehingga anak merasakan kenyamanan karena
mendapatkan dukungan dari orang tua.

20
Lam, C. B., Solmeyer, A. R., & McHale, S. M. (2012). Sibling Relationships and Empathy
Across the Transition to Adolescence. J Youth Adolescence, 1657-1670.
21
Shapiro, L. E. (1997). Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. Jakarta: PT
Gramedia Pusaka Utama.
22
Hetherington, E. M., Parke, R. D., & Locke, V. O. (1999). Child Psychology: A
contemporary Viewpoint Fifth Edition. United States of America: McGraw-Hill, Inc.
23
Toussaint, L., & Webb, J. R. (2005). Gender Differences in the Relationship Between
Empathy and Forgiveness. J Soc Psychol, 2.
24
Davis, M. H. (1983). Measuring Individual Differences in Empathy: Evidence for a
Multidimensional Approach. Journal of Personality and Social
Psychology, 113-114.
25
Ibid.114
26
Baumrind, D. (1991). The Influence of Parenting Style on Adolescent Competence and
Substance Use. Journal of Early Adolescence.
11

b) Komunikasi, merupakan interaksi antara orang tua dengan anak untuk saling
bertukar infomasi.
c) Kontrol, merupakan sebuah usaha untuk mengawasi aktivitas anak secara
seimbang untuk dapat mencapai harapan yang diinginkan oleh orang tua sehingga
tidak menimbulkan ketergantungan pada anak, serta mampu menjadikan anak
belajar tanggung jawab serta menaati aturan orang tua dengan penuh kesadaran.
d) Tuntutan, dimana orang tua menuntut kedewasaan anak untuk mencapai suatu
tingkat kemampuan baik secara intelektual, sosial, dan emosional, dalam hal ini
orang tua dapat mengajak anak untuk ikut serta berdiskusi mengenai
perilakuperilaku yang harus dimunculkan untuk dapat mencapai tingkat yang
lebih dewasa.
Shochib menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua
terhadap anak antara lain27.
a) Pengalaman masa lalu, perlakuan orang tua terhadap anaknya merupakan
cerminan perlakuan yang didapatkan ketika mereka masih kecil. Apabila
perlakuan yang terima oleh orang tua keras dan kejam, maka perlakuan terhadap
anak juga akan sama.
b) Kepribadian orang tua, kepribadian orang tua dapat mempengaruhi bagaimana
cara polah asuh yang akan diberikan kepada anak. Orang tua dengan kepribadian
tertutup dan konservatif cenderung akan memperlakukan anak dengan ketat dan
otoriter.
c) Nilai-nilai yang dianut oleh orang tua, sebagian orang tua menganut paham
aqualitarian atau kedudukan anak sama dengan kedudukan orang tua, dan orang
tua yang masih menghargai keputusan anak.

27
Shochib, M. (1998). Pola Asuh Orang Tua: Untuk Membantu Anak Mengembangkan
Displin Diri. Jakarta: Rineka Cipta.
12

2. Perilaku

a. Pengertian Perilaku
Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta
interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan,
sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang
individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon
ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan : berpikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif
(melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat
dirumuskan sebagai bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan
lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang
kesehatan. Perilaku aktif dapat dilihat, sedangkan perilaku pasif tidak tampak, seperti
pengetahuan, persepsi, atau motivasi. Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk
perilaku ke dalam tiga domain yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan atau sering kita
dengar dengan istilah knowledge, attitude, practice28.
Dari sudut biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
yang bersangkutan, yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung.
Perilaku manusia adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri29. Selanjutnya, Perilaku
adalah tindakan atau perilaku suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat
dipelajari30. Secara umum, perilaku manusia pada hakekatnya adalah proses interaksi
individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi hayati bahwa dia adalah mahluk
hidup31.
Menurut penulis yang disebut perilaku manusia adalah aktivitas yang timbul
karena adanya stimulus dan respons serta dapat diamati secara langsung maupun
tidak langsung. Di Indonesia istilah perilaku kesehatan sudah lama dikenal dalam 15

28
Sarwono, J. (2011). Mixed Methods: Cara Menggabung Riset Kuantitatif dan
Riset Kualitatif Secara Benar. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
29
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
30
Kwick, Robert (1974) dalam Notoatmodjo, Soekidjo. 2003, Pendidikan Dan Perilaku
Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta
31
Kusmiati dan Desminiarti. 1990. Dasar-Dasar Perilaku. Edisi I. Jakarta : Pusdiknakes.
13

tahun akhir-akhir ini konsep-konsep dibidang perilaku yang berkaitan dengan


kesehatan ini sedang berkembang dengan pesatnya, khususnya dibidang antropologi
medis dan kesehatan masyarakat. Istilah ini dapat memberikan pengertian bahwa kita
hanya berbicara mengenai prilaku yang secara sengaja dilakukan dalam kaitanya
dengan kesehatan. Kenyataanya banyak sekali prilaku yang dapat mempengaruhi
kesehatan, bahkan seandainya seseorang tidak mengetahuinya, atau melakukanya
dengan alasan yang sama sekali berbeda32.
Menurut Skinner sebagaimana dikutip oleh Soekidjo Notoatmojo (2010: 21)
perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap rangsangan dari luar
(stimulus). Perilaku dapat dikelompokkan menjadi dua:
a) Perilaku tertutup (covert behaviour), perilaku tertutup terjadi bila respons
terhadap stimulus tersebut masih belum bisa diamati orang lain (dari luar) secara
jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan,
persepsi, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobservabel
behavior´atau “covert behavior” apabila respons tersebut terjadi dalam diri
sendiri, dan sulit diamati dari luar (orang lain) yang disebut dengan pengetahuan
(knowledge) dan sikap (attitude).
b) Perilaku Terbuka (Overt behaviour), apabila respons tersebut dalam bentuk
tindakan yang dapat diamati dari luar (orang lain) yang disebut praktek (practice)
yang diamati orang lain dati luar atau “observabel behavior”.
Perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan
kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skinner ini disebut teori ‘S-O-R”
(Stimulus-Organisme-Respons) 33 . Berdasarkan batasan dari Skinner tersebut, maka
dapat didefinisikan bahwa perilaku adalah kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh

32
Grossman, K. (2002). Grossmann, K. E., Fremmer-Bombik, E., Kindler, H., Scheuerer-
Englisch, H., Zimmermann, P. (2002). The Uniqueness of the child father attachment relationship:
Father‘s sensitive and challenging playas a pivotal variable in 16-year longitudinal study. Journal of
Social Development, 11(3), 301-337.
33
Notoatmodjo, S, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan Pertama, Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta
14

seseorang dalam rangka pemenuhan keinginan, kehendak, kebutuhan, nafsu, dan


sebagainya. Kegiatan ini mencakup34 :
a) Kegiatan kognitif: pengamatan, perhatian, berfikir yang disebut Pengetahuan
b) Kegiatan emosi: merasakan, menilai yang disebut sikap (afeksi)
c) Kegiatan konasi: keinginan, kehendak yang disebut tindakan (practice)
Sedangkan menurut Soekidjo Notoatmojo, perilaku adalah suatu aktivitas dari
manusia itu sendiri 35 . Dan pendapat diatas disimpulkan bahwa perilaku (aktivitas)
yang ada pada individu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi akibat dari adanya
rangsang yang mengenai individu tersebut.

b. Proses Pembentukan Perilaku


Perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut Abraham
Harold Maslow, manusia memiliki lima kebutuhan dasar, yakni36:
a. Kebutuhan fisiologis/biologis, yang merupakan kebutuhan pokok utama, yaitu
H2, H2O, cairan elektrolit, makanan dan seks. Apabila kebutuhan ini tidak
terpenuhi akan terjadi ketidakseimbangan fisiologis. Misalnya, kekurangan O2
yang menimbulkan sesak nafas dan kekurangan H2O dan elektrolit yang
menyebabkan dehidrasi.
b. Kebutuhan rasa aman, misalnya :
a) Rasa aman terhindar dari pencurian, penodongan, perampokan dan kejahatan
lain.
b) Rasa aman terhindar dari konflik, tawuran, kerusuhan, peperangan dan lain-
lain.
c) Rasa aman terhindar dari sakit dan penyakit
d) Rasa aman memperoleh perlindu ngan huku m.
c. Kebutuhan mencintai dan dicintai, misalnya :

34
Paul B. Horton dan Cherster L, Hunt (1999). Sosiologi. Jakarta: Erlangga
35
Notoatmodjo, S, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan Pertama, Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta
36
Abraham H. Maslow, 2010, Motivation and Personality. Rajawali, Jakarta.
15

a) Mendambakan kasih sayang/cinta kasih orang lain baik dari orang tua,
saudara, teman, kekasih, dan lain-lain.
b) Ingin dicintai/mencintai orang lain.
c) Ingin diterima oleh kelompok tempat ia berada.
d. Kebutuhan harga diri, misalnya :
a) Ingin dihargai dan menghargai orang lain
b) Adanya respek atau perhatian dari orang lain
c) Toleransi atau saling menghargai dalam hidup berdampingan
e. Kebutuhan aktualisasi diri, misalnya :
a) Ingin dipuja atau disanjung oleh orang lain
b) Ingin sukses atau berhasil dalam mencapai cita-cita
c) Ingin menonjol dan lebih dari orang lain, baik dalam karier, usaha, kekayaan,
dan lain-lain.
Selanjutnya, prosedur pembentukan perilaku menurut Notoatmodjo adalah sbagai
berikut37:
a) Perilaku manusia merupakan operant respon, untuk membentuk jenis respon atau
perilaku ini perlu diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant
conditioning. Prosedur pembentukan perilaku menurut Skinner adalah sebagai
berikut:
a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau
reinforcer berupa hadiah – hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan
dibentuk.
b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen – komponen kecil yang
membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen tersebut disusun
dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang
dimaksud.

37
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
16

c. Menggunakan secara urut komponen – komponen itu sebagai tujuan


sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing – masing
komponen tersebut.
d. Melakukan pembentukan perilaku, dengan menggunakan urutan komponen
yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka
hadiahnya diberikan hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku
tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau perilaku tersebut sudah
terbentuk kemudian dilakukan komponen (perilaku) yang kedua yang diberi
hadiah (komponen pertama tidak memerlukan hadiah lagi). Demikian
berulang – ulang sampai komponen kedua terbentuk.
Komponen prilaku menurut Gerace & Vorp, 1985 ada 2 aspek perkembangan
penyakit, yaitu38:
a. Perilaku mempengaruhi faktor resiko penyakit tertentu. Faktor resiko adalah ciri
kelompok individu yang menunjuk mereka sebagai at-high-risk terhadap penyakit
tertentu.
b. Perilaku itu sendiri dapat berupa faktor resiko. contoh: merokok dianggab sebagai
faktor resiko utamabaik bagi penyakit jantung koroner maupun kanker Paru
karena kemungkinan mendapatkan penyakit ini lebih besar pada perokok daripada
orang yang tidak merokok.

c. Bentuk Perilaku
Perilaku dapat diberi batasan sebagai suatu tanggapan individu terhadap
rangsangan yang berasal dari dalam maupun luar diri individu tersebut. Secara garis
besar bentuk perilaku ada dua macam, yaitu :
a. Perilaku Pasif (respons internal)

38
Grace, M.R. 1977. Cassava Processing. Food and Agriculture Organization of
United Nations. Roma.
17

Perilaku yang sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu dan tidak
dapat diamati secara langsung. Perilaku ini sebatas sikap belum ada tindakan yang
nyata.
b. Perilaku Aktif (respons eksternal)
Perilaku yang sifatnya terbuka, perilaku aktif adalah perilaku yang dapat
diamati langsung, berupa tindakan yang nyata.
Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebut
dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat
dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan ini merupakan penentu dari perilaku
makhluk hidup termasuk perilaku manusia. Hereditas atau faktor keturunan adalah
merupakan konsepsi dasar atau modal untuk pengembangan perilaku makhluk hidup.
Sedangkan lingkungan adalah merupakan kondisi atau merupakan lahan untuk
pengembangan perilakutersebut. Suatu pertemuan antara dua faktor tersebut dalam
rangka terbentuknya perilaku disebut proses belajar (learning process)
(Notoatmodjo,2003).
Menurut Skinner, (1938) seseorang ahli perilaku mengemukakan bahwa
perilaku adalah merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan
tanggapan (respon). Respon tersebut dapat dibedakan menjadi dua yakni
(Notoatmodjo,2003):
a. Responden respon atau reflexive respons Responden respon merupakan respon
yang ditimbulkan oleh rangsangan – rangsangan tertentu. Perangsang semacam
ini disebut eliciting stimuli, karena menimbulkan respon yang relatif tetap.
Contoh dalam responden respon ini berupa cahaya yang kuat akan menyebabkan
mata tertutup. Responden respon ini juga mencangkup emosi atau
emitional behavior. Respon emosi ini timbul karena hal yang kurang mengenakan
organisme yang bersangkutan. Contoh dalam respon emosi berupa menangis
karena sedih atau sakit, dan muka merah karena marah.
b. Operan respon atau instrumental respons Instrumental respons merupakan respon
yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang
18

semacam ini disebut dengan reinforcing stimuli atau reinforcer, karena respon-
respon tersebut memperkuat respon yang telah dilakukan oleh organisme,
sehingga perangsang yang demikian mengikuti atau memperkuat sesuatu perilaku
tertentu yang telah dilakukan.
2. Faktor – faktor dibalik Perilaku Manusia
Perilaku manusia cenderung bersifat holistik (menyeluruh), sebagai arah
analisa kita terdapat tiga aspek yaitu aspek fisiologi, psikologi dan sosial. Perilaku
manusia adalah merupakan refleksi dari pada berbagai gejala kejiwaan seperti
keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, berpikir sikap, motivasi, dan reaksi.
Faktor lain yang berhubungan dengan perilaku adalah pengalaman, keyakinan, sarana
fisik dan sosial. Hal ini dapat di ilustrasikan sebagai berikut (Notoatmodjo,2003):

Faktor dibalik perilaku manusia:

Pengetahuan
Pengalaman Sikap
Keyakinan Keinginan Perilaku
Sarana Fisik Kehendak
Sosial Motivasi
Reaksi

3. Sintesa Teori
Saat Davis memulai untuk mengembangkan skala IRI, penulis juga sadar
bahwa terdapat beberapa skala maupun kuesioner yang dapat mengukur perkiraan
kemampuan seseorang dalam berempati terhadap orang lain, namun tidak ada satupun
yang membedakan keunikan antara komponen kognitif dan afektif. IRI
19

39
menggabungkan antara dua domain tersebut. IRI digunakan untuk menilai
kecenderungan empati pada seseorang (dalam hal ini para pelaku tindak kekerasan).
Nilai-nilai dan norma sosial telah berubah seiring berjalannya waktu dan
berbeda setiap negara. Untuk mendefinisikan kriminal para pemegang kebijakan
menggunakan nilai-nilai dan norma sebagai dasarnya dan menentukan rekomendasi
hukuman yang cocok pada pelaku kriminal. Kamus Oxford of sociology
mendefinisikan kriminal sebagai “an offence which goes beyond the personal and
into the public sphere, breaking prohibitory rules or laws, to which legitimate
punishments or sanctions are attached, and which requires the intervention of a
public authority”. Dalam kata lain sebuah pelanggaran yang melampaui pribadi dan
menuju ranah publik, yang melanggar larangan atau undang-undang, yang mana
hukuman atau sanksi yang sah terlampir, dan yang membutuhkan intervensi dari
otoritas publik.40
Hal yang masih menjadi perdebatan bahwa empati memainkan peran penting
dalam kemungkinannya untuk merasakan perasaan malu maupun rasa bersalah pada
situasi tertentu, kemudian malu dan perasaan bersalah merupakan kontribusi yang
sangat penting pada keseluruhan moral seseorang.
Teori Aksi Situasional (SAT) merupakan teori aksi moral yang bertanggung
jawab pada seluruh tindakan kriminal sebagai moral tindakan melanggar aturan.
Lemahnya perasaan malu dan bersalah, yang digabungkan dengan lemahnya aturan
moral, membentuk lemahnya moralitas keseluruhan pada seseorang; dan hal ini
merupakan komponen inti pada penjelasan dari suatu kriminal. Dalam teori ini
didapatkan bahwa hal yang sama dari seluruh tindakan kriminal yaitu pelaku

39
Fernández, A. M., Dufey, M., & Kramp, U. (2011). Testing the psychometric properties of
the Interpersonal Reactivity Index (IRI) in Chile. European Journal of Psychological Assessment
40
http://www.sccjr.ac.uk/wp-content/uploads/2015/10/SCCJR-What-is-crime.pdf. Disadur 28
september 2017.
20

melanggar aturan moral (aturan terhadap yang benar ataupun salah untuk
dilakukan).41

Gambar 1. Hubungan antara empati, rasa bersalah, rasa malu dan moralitas
Sebelum adanya tindakan aggresor, terdapat hipotesis bahwa miskinnya
kemampuan umum untuk melatih empati juga akan menurunkan perasaan bersalah
dan rasa malu. Hal ini juga penting untuk dicatat bahwa untuk merasakan (afektif
empati) emosional dari sudut pandang orang lain, seseorang harus memiliki
kemampuan untuk mengidentifikasi (kognitif empati) perspektif tersebut, sehingga
tidak mungkin untuk merasakan (empati afektif) namun tidak mengidentifikasi sudut
pandang orang lain.42
Saat melakukan tindakan kriminal, buruknya pelaksanaan empati secara
situasional, dapat berfungsi untuk menghasilkan penanda somatik (positif atau
perasaan intuitif negatif yang teragresiasi) yang akan diingat pada saat mereka dalam
situasi yang sama, dan karena itu moralitas berulang kali melemah dan kejahatan
berulang kali dilihat sebagai alternatif tindakan. Hasilnya, paparan berulang terhadap
situasi serupa cenderung membantu perkembangan kebiasaan dan membuat
keputusan kejahatan secara terus-menerus.43
Dengan demikian seseorang karena empati, malu, dan rasa bersalah yang
lemah lebih cenderung melakukan tindakan kekerasan atau kriminal.

41
Trivedi-Bateman, N. (2015). The roles of empathy, shame, and guilt in violence decision-
making (Doctoral dissertation, University of Cambridge
42
. Ibid
43
. Ibid
21

B. Kajian Relevan
Sebuah penelitian yang diambil dari 88 orang pelaku tindak kekerasan (non-
seksual) yang berkisar antara umur 21-64 tahun dengan ummur rata-rata 34 tahun.
Penelitian ini menggunakan Criminal Sentiments Scale, Karolinska scale, dan IRI
scale untuk menilai empati pada narapidana tersebut yang terdiri dari 28 pertanyaan
terbagi atas 7 subskala dan di jawab menggunakan lima poin skala Likert 0 (sangat
tidak menggambarkan diri saya) hingga 4 (sangat menggambarkan diri saya).
Hasilnya, secara spesifik tendensi seseorang untuk menerima pandangan orang lain
berhubungan dengan tingkah laku yang positif, sebaliknya rendahnya tendensi
tersebut berhubungan dengan meningkatnya impulsivitas pada aggressor. Dinyatakan
dalam penelitian ini juga 70% dari residivis tersebut memiliki kemampuan verbal
yang rendah dan diperikirakan sekitar 20% dari populasi aggresor memiliki defisit
kemampuan literasi44.
Latifah dan Dewi Astuti melakukan penelitian terkait empati yang berjudul “
Pengaruh Cognitif Behavior Therapi dalam memperkuat empati pada remaja dengan
perilaku agresif “ hasilnya terdapat perbedaan signifikan antara sebelum diberi model
CBT dengan setelah yang menunjukakan 99 % empati menguat setelah digunakan
model CBT45.
“Pengaruh empati dan self control terhadap agresivitas remaja SMA Negeri 3
Kota Tengerang Selatan” oleh Badriyah tahun 2013 46 . Karya ini menghasilkan
kesimpulan bahwa empati dan self control memiliki pengaruh yang sangat signifikan
terhadap agresifitas remaja.
Relevansi dari usulan ini adalah sama–sama menggunakan scale IRI
(Interpersonal Reactivity IndexScale) sedang perbedaannya adalah bahwa kedua

44
Beven, J.P., O'Brien-Malone, A and Hall, G. (2004) Using the interpersonal reactivity index
to assess empathy in violent offenders. International Journal of Forensic Psychology, 1 (2). pp. 33-41.
45
file:///D:/pdf%20empati/Artikel.pdf. Diakses tanggal 28 September 2017
46
https://psikoche2009.files.wordpress.com/2014/06/lailatul-badriah-109070000137.pdf.
Diakses tanggal 28 September 2017
22

penelitian terakhir diatas menggunakan traitment atau perlakuan dan alat control yang
lain, sedangkan pada penelitian ini mencari data yang berkaitan dengan empati yang
dimiliki oleh responden dengan menyebarkan angket yang mengacu pada scale IRI.
Penelitian yang dilakukan oleh Intaglia Harsanti Dwi dan Gita Verasari
dengan judul kenakalan pada remaja yang mengalami perceraian orang tua. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa subjek telah melakukan berbagai hal yang negatif
seperti menggunakan narkoba, minum-minuman keras, melakukan seks bebas,
melakukan perusakan tempat umum dan suka berkelahi dengan orang lain. Hal ini
disebabkan beberapa faktor seperti proses keluarga, kelas sosial ekonomi, harapan
pendidikan nilai-nilai disekolah dan kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh sri sayekti heni sunaryanti.
Dengan judul penelitian hubungan pola asuh orang tua dengan kenakalan remaja di
sma negeri 8 surakarta. Hasil penelitian menunjukan pola asuh orang tua di sma
negeri 8 surakarta termasuk kategori demokratis (50,5%), tingkat kenakalan remaja
mempunyai tingkat kenakalan remaja yang termasuk kategori biasa (45,1%).
Terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan kenakalan remaja di sma
negeri 8 surakarta (𝜏 = -0,520; Zhitung = -7,300 < -2,58; p = 0,000 < 0,05). Dari hasil
penelitian menyimpulkan pola asuh orang tua mempunyai hubungan dengan
kenalakan remaja di SMA Negeri 8 Surakarta.

C. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori dan hasil penelitian yang relevan yang telah dikemukakan di
atas, maka hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan antara empati dan perilaku kriminal di LAPAS Klas II
Kendari.
2. Semakin rendah empati seseorang, maka semakin tinggi kecenderungan perilaku
agressif.
3. Jika terdapat stimulus empati, maka aggressor cenderung melakukan penolakan
atas stimulus tersebut.

Anda mungkin juga menyukai