Anda di halaman 1dari 6

PANDUAN

PELAYANAN BANTUAN HIDUP DASAR


DI RUMAH SAKIT KARYA MEDIKA BANTAR GEBANG

A. Resusitasi
Resusitasi jantung paru adalah tindakan pertolongan pertama pada orang
yang mengalami henti napas atau pun henti jantung oleh karena sebab-sebab
tertentu. Mempunyai tujuan RJP untuk membuka kembali jalan napas yang
menyempit atau tertutup sama sekali.
Resusitasi jantung paru ini mengandung arti harfiah "Menghidupkan
Kembali" tentunya dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk
mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis.
Pertolongan ini dilakukan untuk mengatasi henti nafas dan henti jantung. Sehingga
bisa diambil kesimpulan bahwa RJP merupakan gabungan penyelamatan
pernapasan ( bantuan napas ) dengan kompresi dada eksternal.
Resusitasi digunakan ketika seorang korban mengalami henti jantung dan
juga henti napas. RJP dapat diklasifikasikan menjadi 2 komponen utama yaitu :
1. Bantuan Hidup Dasar
Adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas (airway) tetap terbuka,
menunjang pernafasan dan sirkulasi dan tanpa menggunakan alat-alat bantu.
Usaha ini harus dimulai dengan mengenali secara tepat keadaan henti jantung
atau henti nafas dan segera memberikan bantuan sirkulasi dan ventilasi. Tujuan
dari Usaha bantuan hidup dasar ini adalah dengan cepat mempertahankan
pasokan oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu
pengobatan lanjutan. Pengalaman menunjukkan bahwa resusitasi jantung paru
akan berhasil terutama pada keadaan "henti jantung" yang disaksikan
(witnessed) dimana resusitasi segera dilakukan oleh orang yang berada di sekitar
korban.
Komponen penting dalam Resusitasi Jantung Paru atau dikenal dengan ABC
adalah :
a. Airway (Jalan Nafas)
Sumbatan erior faring adalah jalan nafas oleh lidah yang menutupi dinding
posterior faring adalah merupakan persoalan yang sering timbul pada korban
tidak sadar yang terlentang. Resusitasi tidak akan berhasil bila sumbatan
1
tidak diatasi. Tiga cara telah dianjurkan untuk menjaga agar jalan nafas tetap
terbuka.
b. Breathing (Pernafasan)
Setelah jalan nafas terbuka, penolong hendaknya segera menilai apakah
pasien dapat bernafas spontan. Ini dapat dilakukan dengan mendengarkan
bunyi nafas dari hidung dan mulut korban dan memperhatikan gerak nafas
pada dada korban. Bila pernafasan spontan tidak timbul kembali, diperlukan
ventilasi buatan.
c. Circulasion (Sirkulasi)
Bantuan ketiga BHD adalah menilai dan membantu sirkulasi. Tidak ada nadi
yang teraba pada arteri besar (periksalah arteri karotis sesering mungkin)
merupakan tanda utama henti jantung. Henti jantung adalah gambaran klinis
berhntinyasirkulasi mendadak yang terjasi pada seseorang yang tidak diduga
mati pada waktu itu atau pengehentian tia – tiba kerja pompa jantung pada
organisme yang utuh atau hampir utuh. Diagnosis henti jantung dapat
ditegakkan bila pasien tidak sadar dan tidak teraba denyut arteri besar.
Pemberian ventilasi buatan dan kompresi dada luar diperlukan pada keadaan
sangat gawat ini.

2. Bantuan Hidup Lanjut / BHL


Yang dimaksud dengan bantuan hidup lanjut adalah usaha yang dilakukan
setelah dilakukan usaha bantuan hidup dasar dengan memberikan obat-obatan
yang dapat memperpanjang hidup pasien.

B. Kapan Tindakan Resusitasi Harus Dilakukan/ Tidak


1. Resusitasi harus dilakukan pada :
a. Infark jantung “kecil”, yang mengakibatkan “kematian listrik”
b. Serangan Adams – Stokes
c. Hipoksa akut
d. Keracunan dan kelebihan dosis obat –obatan
e. Sengatan listrik
f. Refleks vagal
g. Tenggelam dan kecelakaan – kecelakaan lain yang masih memberi peluang
untuk hidup
2
2. Resusitasi tidak dilakukan pada :
a. Kematian normal, seperti biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang
berat. Pada keadaan ini denyut jantung dan nadi berhenti pertama kali pada
suatu saat, ketika tidak hanya jantung, tetapi organisme secara keseluruhan
begitu terpengaruh oleh penyakit. Upaya resusitasi di sini tidak bertujuan
dan tidak berarti.
b. Stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan lagi
c. Bila hampir dipastikan bahwa fungsi serebal tidak akan pulih, yatiu sesudah
½ - 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP

C. Penolakan Tindakan Resusitasi


Dari pengertian diatas, dapat diketahui bahwa tindakan resusitasi dapat
dilakukan kepada beberapa kasus dan juga tidak dapat dilakukan pada kondisi
tertentu. Jika rumah sakit mendapati pasien dengan kasus yang harus dilakukan
resusitasi terhadapnya, maka tindakan tersebut harus dilakukan. Kecuali jika
pasien menyatakan menolak untuk dilakukan tindakan resusitasi.
Pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi
sepanjang informasi yang dibutuhkannya untuk membuat keputusan tersebut
dipahaminya. Keputusan menolak pelayanan resusitasi atau tidak melanjutkan
atau menolak pengobatan bantuan hidup dasar merupakan keputusan yang paling
sulit yang dihadapi pasien, keluarga, profesional pelayanan kesehatan dan rumah
sakit. Tidak ada satupun proses yang dapat mengantisipasi semua situasi dimana
keputusan perlu dibuat. Petugas rumah sakit harus menghormati keinginan dan
pilihan pasien atau keluarganya jika menolak pelayanan resusitasi atau menolak
atau memberhentikan pengobatan bantuan hidup dasar.
Ketika penolakan tersebut dinyatakan oleh pasien, maka petugas rumah
sakit wajib memberikan penjelasan kepada pasien dan atau keluarganya mengenai
sebagi berikut :
1. Manfaat tindakan resusitasi
2. Konsekuensi yang akan dihadapi jika penolakan disetujui
3. Tanggung jawab keluarga jika yang meminta penolakan tersebut adalah keluarga
4. Alternative yang mungkin dapat dilakukan
Pada dasarnya kerluarga terdekat tidak boleh membuat keputusan tidak
resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advance directive tertulis, namun
3
demikian dalam keadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak dan
patut, permintaan tertulis seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan
pengadilan untuk pengesahannya. Keputusan penolakan untuk dilakukannya
tindakan resusitasi terhadap pasien dapat diambil oleh keluarganya jika pasien
sudah tidak berkompeten yaitu dimana keadaan kesehatan mental pasien
sdemikian rupa sehingga mampu menerima dan memahami informasi yang
diperlukan dan mampu membuat keputusan secara rasional brdasarkan informasi
tersebut. Berikut pihak keluarga yang dapat mngambil keputusan penolakan
terhadap tindakan resusitasi :
1. Wali yang sah dengan otoritas membuat keputusan medis
2. Individu yang ditunjuk langsung oleh pasien
3. Pasangan hidup pasien
4. Anak pasien yang sudah dewasa
5. Orang tua pasien
6. Saudara kandung pasien yang sudah dewasa
Jika penolakan yang dilakukan pasien dan atau keluarga pasien selain secara
lisan, maka harus dilakukan dengan menggunakan surat pernyataan tertulis.
Pasien dan atau keluarga pasien harus menyatakan dan menandatangani surat
pernyataan penolakan, dimana surat pernyataan penolakan tersebut juga
ditandatangani oleh pihak rumah sakit.

D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup panduan ini adalah di bagian rumah sakit yang berhubungan
langsung dengan pasien terutama Dokter. Rumah sakit menghormati keinginan dan
pilihan pasien menolak pelayanan resusitasi atau menolak atau memberhentikan
pengobatan bantuan hidup dasar.
Keputusan menolak pelayanan resusitasi atau tidak melanjutkan atau
menolak pengobatan bantuan hidup dasar merupakan keputusan yang paling sulit
yang dihadapi pasien, keluarga, profesional pelayanan kesehatan dan rumah sakit.
Tidak ada satupun proses yang dapat mengantisipasi semua situasi dimana
keputusan perlu dibuat.

4
E. Tata Laksana
1. Tata Laksana Penolakan Tindakan Resusitasi Oleh Pasien
a) Rumah sakit telah menetapkan posisinya pada saat pasien menolak
pelayanan resusitasi dan membatalkan atau mundur dari pengobatan
bantuan hidup dasar, pernyataan penolakan tersebut harus dilakukan
secara tertulis.
b) Petugas memberikan penjelasan kepada pasien dan atau keluarga yang
menolak mengenai beberapa hal yaitu :
 Manfaat tindakan resusitasi
 Konsekuensi yang akan dihadapi jika penolakan disetujui
 Tanggung jawab keluarga jika yang meminta penolakan tersebut
adalah keluarga
 Alternative yang mungkin dapat dilakukan
c) Jika keputusan pasien dan atau keluarganya tetap menyatakan menolak
untuk tindakan resusitasi, maka pasien dan atau keluarganya mengisi
surat pernyataan penolakan tindakan.
d) Penandatanganan dilakukan oleh pihak pasien dan atau keluarga, serta
pihak rumah sakit ditambah dengan saksi – saksi. Saksi yang
bertandatangan dari pihak pasien merupakan saksi yang memiliki
hubungan keluarga dekat dengan pasien.
e) Pendatanganan dilakukan diatas materai senilai enam ribu rupiah.
f) Surat pernyataan tersebut disimpan di dalam rekam medis pasien yang
bersangkutan sebagai bukti bahwa pasien menolak untuk dilakukan
tindakan.

Jika pasien dan atau keluarga telah menyatakan menolak untuk dilakukan
resusitasi maka petugas rumah sakit wajib memenuhi permintaan tersebut.
Oleh karena itu pihak rumah sakit harus memiliki system dimana pasien
tersebut mudah diketahui bahwa dirinya merupakan salah satu pasien yang
menyatakan menolak untuk dilakukannya resusitasi yaitu dengan cara :
a) Memasangkan gelang identifikasi berwarna ungu dengan bertuliskan
kode huruf “DNR”
b) Pemberian tanda “DNR” pada berkas rekam medis pasien
c) Pemberian tanda “DNR” pada buku operan jaga perawat sehingga
5
setiap petugas tau bahwa pasien tersbut menolak untuk dilakukan
resusitasi.
Selain itu, petugas rumah sakit secara intensif memantau secara berkala
terhadap pasien dan atau keluarganya mengenai keputusan penolakan
tindakan resusitasi agar petugas dapat merevisi secara segera jika pasien
dan atau keluarganya merubah keputusan penolakan tersebut.

2. Tata Laksana Pembatalan Penolakan Tindakan Resusitasi Oleh Pasien


Penolakan tindakan resusitasi dapat dibatalkan jika pasien dan atau
keluarga pasien memutuskan untuk bersedia dilakukan tindakan resusitasi meski
pernyataan penolakan sudah disampaikan kepada petugas rumah sakit. Hal
tersebut juga harus dihormati oleh petugas rumah sakit, dimana ketika pasien dan
atau keluarga menyatakan bersedia, maka :
1. Petugas meminta pasien dan atau keluarga pasien untuk mengisi Surat
Pernyataan Pembatalan
2. Setelah Surat Pernyataan Pembatalan terisi lengkap dan sudah ditandatangani,
maka Surat Pernyataan Penolakan yang sudah ada di rekam medis pasien
tersebut di coret oleh petugas, namun tetap disimpan dalam rekam medis
3. Petugas mencoret surat pernyataan penolakan tindakan resusitasi yang sudah
diisi oleh pasien dan atau keluarganya
4. Hal paling penting dalam surat pernyataan pembatalan tersebut adalah waktu
pembatalan tersebut terjadi, maka petugas harus meneliti kelengkapan Surat
Pernyataan tersebut
5. Setelah prosedur penulisan dan pencoretan selesai dilakukan, maka petugas
melepas gelang pasien yang merupakan gelang tanda Penolakan Resusitasi,
musnahkan dan buang ke tempat sampah medis
6. Gunakan komunikasi efektif ketika operan jaga shift, sampaikan pada petugas
lain mengenai pembatalan penolakan resusitasi tersebut

Bekasi, Oktober 2015


Direktur RS Karya Medika Bantar Gebang

dr. Wirda Saleh, SH, MHKes, MARS


6

Anda mungkin juga menyukai