Anda di halaman 1dari 25

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Esofagus

Esofagus merupakan lapisan otot yang berbentuk seperti tabung yang memanjang,

mulai dari vertebra servikal 6 sampai torakal 11, atau dari hipofaring sampai ke

lambung, dengan panjang lebih kurang 23 sampai 25 cm. Dalam keadaan normal,

lumen esofagus kolaps, dan berbentuk pipih. Secara umum esofagus dapat dibagi

dalam 3 lokasi anatomi yaitu (Sudoyono, 2009):

1. Pada daerah leher esofagus berada pada garis tengah leher, di belakang

laring dan trakea, pembuluh darah di daerah ini adalah percabangan arteri tiroid

inferior dan vena tiroid inferior, aliran limfe pada daerah ini adalah kelenjar limfe

paraesofagus servikal dan jugularis inferior.

2. Daerah torakal bagian atas esofagus lewat di belakang percabangan trakea,

bronkus kiri, lalu ke belakang atrium kiri selanjutnya masuk ke daerah abdomen

melalui hiatus esofagus pada diafragma, pembuluh darah di daerah ini adalah

percabangan aorta torakalis, vena azygos dan vena hemiazygos, aliran limfenya

terdiri dari kelenjar limfe mediastinum superior, parabronkial, hilus, dan

paraesofagus.

3. Bagian esofagus abdominal yang panjangnya hanya 1,25 cm, berada pada

permukaan posterior lobus kiri hati, permukaan kiri dan depan esofagus

abdominal diliputi oleh peritonium, pembuluh darah pada daerah ini adalah

cabang arteri gastrikus kiri, arteri frenikus inferior, dan vena gastrikus kiri, aliran

limfenya terdiri dari kelenjar limfe gaster kiri, retrokardia, dan celiaca.

12
13

Persarafan esofagus berasal dari nervus vagus (parasimpatis) dan ganglion

simpatis, esofagus bagian servikal disarafi oleh nervus laringeus rekuren, dibagian

torakal nervus vagus membentuk fleksus esofagial kemudian bercabang dua

membentuk bagian kiri depan dan kanan belakang.

Gambar histologi esofagus (Siegel,1997)

Secara histologi esofagus tidak memiliki lapisan serosa, 3 lapisan esofagus

dari luar ke dalam yaitu (Siegel, 1997):

1. Lapisan paling luar terdiri dari 2 lapisan otot; yang terluar lapisan otot

longitudinal, dan pada bagian dalam lapisan otot sirkuler.

2. Lapisan submukosa yang terdiri dari serat elastis dan fibrous, lapisan ini

merupakan lapisan yang terkuat dari esofagus.


14

3. Lapisan paling dalam (lapisan mukosa) yang merupakan sel-sel epitel

squamosa, terbagi atas lamina propia dan muskularis mukosa. Lapisan otot pada

bagian sepertiga atas dari esofagus merupakan lapisan otot lurik, sedangkan dua

pertiga bawah adalah lapisan otot polos.

3.2 Fisiologi Esofagus

Aktivitas yang terkoordinasi dari sfingter esofagus atas (upper esophageal

sphingter), badan esofagus, dan sfingter esofagus bawah (lower esophageal

sphingter) penting untuk fungsi motorik esofagus dalam mengantarkan makanan

masuk ke lambung (Sudoyono, 2009).

1. Sfingter esofagus atas: Bagian ini dipersarafi langsung oleh saraf motorik dari

otak. Dalam keadaan istirahat, sfingter esofagus atas tetap dalam keadaan

berkontraksi dengan tekanan 60-100 mmHg, hal ini mencegah masuknya udara

dari faring ke esofagus dan mencegah terjadinya refluks dari esofagus ke faring.

Pada saat menelan, bolus makanan didorong oleh lidah masuk ke faring, terjadi

relaksasi otot sfingter atas, setelah makanan lewat otot ini kembali pada keadaan

normal.

2. Badan esophagus: Setelah makanan melewati otot sfingter atas, badan esofagus

berkontraksi mulai dari bagian paling atas dengan kecepatan 3-4 cm/detik dan

tekanan kontraksi 60-140 mmHg.

3. Sfingter esofagus bawah: Panjang sfingter esofagus bawah sekitar 3-4 cm

dengan tekanan kontraksi pada saat istirahat adalah 15-24 mmHg. Pada saat
15

menelan, otot sfingter ini relaksasi sekitar 5-10 detik agar makanan bisa masuk ke

dalam lambung.

3.3 Definisi Esofagitis

Esofagitis adalah suatu keadaan dimana mukosa esofagus mengalami

peradangan, dapat terjadi secara akut maupun kronik. Esofagitis kronis adalah

peradangan di esophagus yang disebabkan oleh luka bakar karena zat kimia yang

bersifat korosif, misalnya berupa asam kuat, basa kuat dan zat organic (Jessica,

2008).

Esofagitis Terbagi menjadi:

a. Esofagitis Peptik (Refluks)

Esofagiotis peptik (Refluks) adalah Inflamasi mukosa esofagus yang disebabkan

oleh refluks cairan lambung atau duodenum esofagus. Cairan ini mengandung

asam pepsin atau cairan empedu.

b. Esofagitis Refluks basa

Esofagitis Refluks basa yaitu terjadinya refluks cairan dari duodenum langsung ke

esofagus, misalnya pada pos gastrekstomi total dengan esofagoduodenostomi atau

esofagojejenostomi.

c. Esofagitis infeksi

Esofagitis infeksi di bagi menjadi:

• Esofagitis Candida (monialisis)

terjadi karena gangguan sistem kekebalan motilitas esofagus, metabolisme hidrat

arang terutama proses menua.


16

• Esofagitis Herpes

disebabkan oleh infeksi virus herpes zoster / herpes simpleks.

d. Esofagitis yang disebabkan oleh bahan kimia

di sebabkan oleh bahan kimia terbagi menjadi:

• Esofagitis korosif

Esofagitis korosif terjadi karena masuknya bahan kimia yang korosif ke dalam

esofagus. Hal ini biasanya terjadi karena kecelakaan atau dalam usaha bunuh diri.

• Esofagitis karena obat (pil esofagitis)

Disebabkan oleh pil atau kapsul yang ditelan dan tertahan di esofagus yang

kemudian mengakibatkan timbulnya iritasi dan inflamasi.

3.4 Etiologi

Penyebab tersering esophagitis ialah GERD. Adapun penyebab lainnya

(Jessica, 2008):

a. Hiatal hernia

b. Medikamentosa yang dapat mengiritasi esofagus, termasuk di dalamnya:

- NSAID, misalnya aspirin, ibuprofen, atau naproxen

- Obat untuk osteoporosis (bifosfonat), seperti alendronate, ibandronate,

atau risedronate

- Antibiotic, seperti tetrasiklin atau klindamisin

- Obat lainnya, seperti mycophenolate atau quinidine

c. Vitamin dan mineral supplements, seperti vitamin C, Fe, dan potassium

pills.
17

d. Infeksi. Orang yang memiliki system imun rendah berisiko mengalami

esophagitis, seperti orang yang mengidap HIV, diabetes, gangguan ginjal, lanjut

usia, dan orang yang mengonsumsi steroid.

e. Terapi radiasi

f. Scleroderma

g. Alergi makanan, khususnya seafood, susu, kacang, kedelai, atau telur

3.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi secara umum (Sandeep, 2011):

• Heartburn

• Nyeri ketika menelan

• Sulit saat menelan makanan atau minuman

• Nyeri dada (mirip dengan nyeri dada pada serangan jantung)

• Batuk

Terkadang dapat ditemukan keluhan berikut:

• Mual atau muntah

• Demam

• Belly pain

a. Esofagus peptic (refluks)

Gejala klinik yang nyata misalnya rasa terbakar di dada (heartburn) nyeri

di daerah ulu hati, rasa mual, dan lain-lain.


18

b. Esophagitis refluks basa

Gejala klinik berupa pirosis, rasa sakit di retrosternal. Regurgitasi yang

terasa sangat pahit, disfagia, adinofagia dan anemia defisiensi besi kadang-kadang

terjadi hematemesis berat.

c. Esophagitis candida

Gejala klinis yang sering adalah disfagia, adinofagia. Pada beberapa

penderita mengeluh dapat merasakan jalannya makanan yang ditelan dari

kerongkongan ke lambung, rasa nyeri retrosternal yang menyebar sampai ke

daerah scapula atau terasa di sepanjang vertebra torakalis, sinistra.

d. Esophagitis herpes

Gejala klinik berupa disfagia, odinofagia, dan rasa sakit retrosternal yang

tidak membaik setelah pengobatan dengan nyastin atau anti fungal lain.

e. Esophagitis korosif

Gejala yang sering timbul adalah disfagia/kesulitan menelan, odinofagia

dan adanya rasa sakit retrosternal

f. Esophagitis karena obat

Gejala yang timbul berupa odinofagia, rasa sakit retrosternal yang terus-

menerus, disfagia atau kombinasi dari ketiga gejala ini.

Gejala dan keluhan yang timbul tergantung dari jenis, konsentrasi, jumlah

zat korosif, lama kontak dengan zat korosif, dan apakah zat kembali dimuntahkan

atau tidak. Jika dibagi berdasarkan beratnya luka yang dialami oleh permukaan

saluran maka dibagi atas (Gumurdulu, 2010):


19

1. Esophagitis korosif tanpa ulserasi, gejala gangguan menelan ringan dan

pada pemeriksaan esofagoskopi tampak permukaan kemerahan tanpa disertai luka.

2. Esophagitis korosif dengan ulserasi ringan, keluhan gangguan menelan

yang ringan dan pada pemeriksaan esofagoskopi dapat dilihat luka yang tidak

dalam, hanya sebatas permukaan.

3. Esophagitis korosif dengan ulserasi sedang, luka sudah mengenai lapisan

otot biasanya ditemukan lebih dari satu.

4. Esophagitis korosif dengan ulserasi berat tanpa komplikasi, terdapat

pengelupasan permukaan dan kematian sel yang dalam, mengenai hamper seluruh

bagian esophagus.

5. Esophagitis korosif dengan ulserasi berat dengan komplikasi, komplikasi

berupa peradangan pada jaringan perut.

3.6 Pemeriksaan

Pemeriksaan fisik: terkadang tidak dapat tergambarkan dengan baik, hanya

terdapat nyeri.

Pemeriksaan mencakup (Soepardi, 2012):

- Pemeriksaan rongga mulut: untuk melihat ada tidaknya thrush atau ulcers

- Pemeriksaan rektal: identifikasi ada perdarahan atau tidak

- Ketahui apakah pasien mengalami Immunosupresi ? Kelainan sistemik?

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan foto dada untuk

melihat apakah ada peradangan di tempat lain dan peradangan pada paru,

pemeriksaan esofagoskopi untuk melihat seberapa parah kerusakan pada esofagus.


20

a. Esophagitis peptic (refluks)

Pemeriksaan esofagoskopi: tidak didapatkan kelainan yang jelas

(blackstone), ciri khas dari esophagitis peptic yaitu peradangan mulai dari daerah

perbatasan esofagus gaster (garis z) ke proksimal daerah esofagus.

b. Esophagitis refluks basa

- Pemeriksaan radiologic: dengan kontras barium dapat menunjukkan

kelainan yang terjadi pada keadaan pasca operasi.

- Pemeriksaan endoskopi: terlihat lesi di mukosa esofagus, mukosa

hiperemis, rapuh, erosive, eksudat dan pada kasus yang berat terdapat striktur dan

stenosis.

c. Esophagitis candida

- Pemeriksaan endoskopi: tampak mukosa rapuh, eritematus, mukosa

sembab, berlapiskan selaput tebal dan berwarna putih seperti susu kental tersebar

di seluruh esofagus, terutama pada 2/3 distal.

- Pemeriksaan titer agglutinin serum: hasil > 1:160

d. Esophagitis herpes

- Pemeriksaan klinik: terdapat lesi herpes zoster di mukosa mulut atau di

kulit.

- Pemeriksaan endoskopi: terlihat lesi berupa papula, mukosa hipermesis,

tukak berisi eksudat.

- Pemeriksaan radiologic: menunjukkan kelainan yang tidak spesifik

e. Esophagitis korosif

- Pemeriksaan esofagogram: adanya perforasi dan mediastinitis


21

- Pemeriksaan endoskopi

f. Esophagitis karena obat

- Pemeriksaan esofagoskopi: terdapat edema local dengan eritem, lesi

erosive dengan pseudomembran atau eksudat.

g. Esophagitis radiasi

- Pemeriksaan radiologis

- Pemeriksaan endoskopi

Pemeriksaan Laboratorium:

Tes lab biasanya tidak membantu untuk menunjukkan diagnosis kecuali

bila adanya komplikasi yang terjadi (missal: upper GI hemoragik). Berikut

pemeriksaan yang dianggap bermakna:

- Complete blood count (CBC) untuk pasien dengan neutropenia atau

immunosupressan.

- Hitung CD4 dan tes HIV untuk pasien dengan factor risiko HIV.

- Pemeriksaan kolagen, sesuai indikasi penyakit yang mendasarinya.

Radiologi tidak diindikasikan kecuali bila diduga adanya komplikasi yang terjadi.

3.7 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah (Jessica, 2008):

- Syok

- Koma

- Edema laring
22

- Peradangan paru dengan aspirasi

- Luka tembus pada esofagus

- Kematian

- Bleeding and stricture formation

- Barrett esophagus

- Perforation with mediastinitis (rare)

- Volume depletion and weight loss

- Laryngitis, aspiration pneumonitis, and bronchospasm

- In infants, failure to thrive and apnea

3.8 Definisi Esofagitis Korosif

Esofagitis korosif adalah peradangan esofagus yang disebabkan oleh luka

bakar karena zat kimia yang bersifat korosif, misalnya asam kuat, basa kuat dan

zat organik. Zat kimia yang tertelan dapat bersifat toksik atau korosif. Zat kimia

yang bersifat korosif akan menimbulkan kerusakan pada saluran yang dilaluinya

sedangkan zat kimia yang bersifat toksik hanya menimbulkan gejala keracunan

bila telah diserap oleh darah. Esofagitis ini disebut juga esofagitis kaustik karena

disebabkan oleh zat kimia kaustik (Hadjat, 2007).

3.9 Epidemiologi Esofagitis Korosif

Angka kejadian esofagitis korosif tertelan asam kuat, basa kuat, cairan

pemutih diperkirakan sekitar 3-5 % dari kasus kecelakaan dan bunuh diri atau

sekitar 5.000-10.000 kasus pertahun di Amerika Serikat. Anak di bawah 5 tahun


23

dilaporkan sering tertelan zat yang bersifat korosif akibat ketidaksengajaan dan

kelalaian. Sedangkan pada remaja dan dewasa dilaporkan kasus cukup sering pada

remaja sebagai percobaan bunuh diri. Tidak ada perbedaan jenis kelamin dan ras

yang mempengaruhi terjadinya esofagitis korosif (Lionte, 2007).

3.10 Etiologi Esofagitis Korosif

Esofagitis korosif paling sering ditimbulkan oleh tertelannya zat

pembersih rumah tangga, biasanya oleh anak-anak. Zat yang paling merusak

adalah natrium hidroksida, atau yang menyebabkan lisisnya jaringan serta

seringkali menembus dinding esofagus. Cairan pembersih saluran dapat merusak

esofagus atau menimbulkan lesi. Zat kimia khususnya yang menyebabkan

esofagitis korosif berat adalah larutan pembersih atau disinfektan (Siegel, 1997).

Faktor yang berkontribusi pada perkembangan refluks esofagitis adalah

refluksat kaustik, ketidakmampuan membersihkan refluksat dari esofagus, volume

isi gaster, dan fungsi protektif mukosa lokal. Jenis dan jumlah zat kimia yang

tertelan menentukan derajat keparahan dan lokasi kerusakan. Zat kimia tersebut

dapat merusak sebatas mukosa, submukosa, bahkan seluruh lapisan esofagus.

Gejala diperburuk oleh penggunaan alcohol, merokok, gaya hidup yang kurang

baik dan obesitas (Siegel, 1997).


24

3.11 Patofisiologi Esofagitis Korosif

Zat-zat kaustik seperti asam kuat dan basa kuat merusak jaringan tubuh

dengan merubah struktur ion dan struktur molekul serta mengganggu ikatan

kovalen pada sel (Kardon, 2007).

1. Basa kuat.

Tertelan basa kuat menyebabkan jaringan nekrosis mencair

(liquefactumnecrosis), sebuah proses yang melibatkan saponifikasi lemak dan

melarutkan protein. Kematian sel disebabkan oleh emulsifikasi dan perusakan

struktur membran sel. Ion hidroksi (OH-) yang berasal dari zat basa bereaksi

dengan jaringan kolagen sehingga menyebabkan terjadinya bengkak dan

pemendekan jaringan (kontraktur), trombosis pada pembuluh darah kapiler, dan

produksi panas oleh jaringan (Siegel, 1997).

Jaringan yang paling sering terkena pada kontak pertama oleh basa kuat

adalah lapisan epitel squamosa orofaring, hipofaring, dan esofagus. Esofagus

merupakan organ yang paling sering terkena dan paling parah tingkat

kerusakannya saat tertelan basa kuat dibandingkan dengan lambung. Dalam 48

jam terjadi udem jaringan yang bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas,

selanjutnya dalam 2-4 minggu dapat terbentuk striktur (Kardon, 2007).

2. Asam kuat.

Kerusakan jaringan akibat tertelan asam kuat bersifat nekrosis

menggumpal (coagulation necrosis), terjadi proses denaturasi protein superfisial

yang akan menimbulkan bekuan, krusta atau keropeng yang dapat melindungi

jaringan di bawahnya dari kerusakan. Lambung merupakan organ yang paling


25

sering terkena pada kasus tertelan asam kuat, pada 20% kasus usus kecil juga

dapat terkena. Keropeng dan bekuan protein yang terbentuk mengelupas dalam 3-

4 hari digantikan oleh jaringan granulasi, perforasi jaringan dapat terjadi pada

proses ini. Komplikasi akut yang terjadi adalah, muntah akibat dari spasme

pylorik, perforasi dan perdarahan saluran cerna. Jika zat asam terserap oleh darah

menyebabkan asidosis metabolik, hemolisis, gagal ginjal akut, dan kematian

(Hadjat, 2007).

3.12 Gambaran Klinis Esofagitis Korosif

Esofagitis korosif menurut derajat luka bakar yang ditimbulkan dapat

dibagi menjadi bentuk klinis yaitu (Hadjat, 2007) :

1. Esofagitis korosif tanpa ulserasi.

Pasien mengalami gangguan menelan ringan. Pada esofagoskopi tampak

mukosa hiperemis tanpa ulserasi.

2. Esofagitis korosif dengan ulserasi ringan.

Pasien mengeluh disfagia ringan, pada esofagoskopi tampak ulkus yang

tidak dalam, terbatas pada lapisan mukosa saja.

3. Esofagitis korosif ulseratif sedang.

Ulkus sudah mengenai lapisan otot, biasanya ditemukan satu ulkus atau

multipel.
26

4. Esofagitis korosif ulserasi berat tanpa komplikasi.

Terdapat pengelupasan mukosa serta nekrosis yang letaknya dalam, dan

telah mengenai seluruh lapisan esofagus. Keadaan ini jika dibiarkan akan

menimbulkan striktur esofagus.

5. Esofagitis korosif ulseratif berat dengan komplikasi.

Terdapat perforasi esofagus yang dapat menimbulkan mediastinitis dan

peritonitis. Kadang-kadang ditemui tanda-tanda obstruksi saluran pernafasan atas

dan gangguan keseimbangan asam basa.

Ada juga yang membaginya menjadi 3 derajat yaitu (Lionte, 2007):

1. Derajat pertama mengenai lapisan mukosa saja sehingga terbentuk udem dan

eritem. Lapisan mukosa ini selanjutnya akan mengelupas dan sembuh tanpa

striktur dan jaringan parut.

2. Derajat kedua kerusakan menembus lapisan mukosa, submukosa dan

muskularis yang dalam 1-2 minggu akan membentuk jaringan granulasi dan

ulserasi. Reaksi fibroblas dimulai pada minggu ke-3 dan dalam beberapa minggu

sampai beberapa bulan akan terjadi penciutan kolagen dan pembentukan striktur.

3. Derajat tiga terjadi perforasi seluruh dinding esofagus.

Berdasarkan perjalanan penyakitnya esofagitis korosif dibagi dalam 3 fase

(Alijenad, 2003):

1. Fase akut.

Keadaan ini berlangsung selama 1-3 hari, pada anamnesa ditemukan

dispnea, disfagia, rasa nyeri dan terbakar pada rongga mulut, odinofagia, nyeri

dada dan perut, mual dan muntah, dan hematemesis. Pada pemeriksaan fisik
27

dapatditemukan : 1) Luka bakar pada daerah mulut, bibir, dan faring yang kadang-

kadang disertai perdarahan. 2) Tanda-tanda akan terjadinya obstruksi jalan nafas

seperti: stidor, suara serak, disfoni atau afonia, takipnu, hiperpnu, batuk. 3) Tanda-

tanda lain seperti demam, drooling, adanya membran putih pada palatum, udem

laring, spasme laring, tanda-tanda peritonitis.

2. Fase laten.

Berlangsung selama 2-6 minggu, pada fase ini keluhan pasien berkurang,

suhu badan menurun, pasien merasa telah sembuh, sudah dapat menelan dengan

baik, akan tetapi sebenarnya proses masih berjalan dengan membentuk jaringan

parut (sikatriks).

3. Fase kronis.

Setelah 1-3 tahun akan terjadi disfagia lagi oleh karena telah terbentuk

jaringan parut, sehingga terjadi striktur esofagus. Gejala lain yang bisa timbul

adalah fistula, hipomotilitas saluran cerna, dan peningkatan resiko kanker saluran

cerna.

Hal-hal lain yang menjadi masalah penting dan perlu diperhatikan pada

kasus esofagitis korosif antara lain (Hadjat,2007) :

1. Akibat dari udem, perdarahan, dan pembentukan jaringan nekrosis dapat

menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas atas, oleh karena itu perlu dijaga

agar jalan nafas tetap baik.

2. Perforasi tidak hanya mengenai esofagus, tetapi dapat juga mengenai lambung,

usus, saluran pernafasan, dan pembuluh darah.


28

3. Kehilangan cairan dari muntah, adanya rongga ketiga (third space), dan

perdarahan saluran cerna dapat menyebabkan terjadinya syok dan hipovolemia.

4. Pada kasus tertelan asam kuat yang cukup banyak dapat menyebabkan

terjadinya asidosis metabolik, hemolisis, gagal ginjal akut dan kegagalan fungsi

multiorgan.

5. Walaupun pasien dapat selamat dari fase akut, namun pada fase kronis dapat

terjadi fistula, hipomotilitas saluran cerna, dan kanker saluran cerna.

3.13 Penegakan Diagnosis Esofagitis Korosif

1. Anamnesis

Berdasarkan anamnesis ditegakkan dengan adanya riwayat tertelan zat

korosif atau zat organik, serta ditunjukkan dengan keluhan utama pasien rasa

terbakar pada daerah kerongkongan, rasa nyeri yang hebat, serta bisa juga

mengeluhkan susah menelan (Hadjat,2007).

2. Pemeriksaan Fisik

Selain penegakan diagnosis dari autoanamnesis atau alloanamnesis yang

cermat serta diperlukan bukti-bukti yang diperoleh ditempat kejadian. Masuknya

zat korosif melalui mulut dapat diketahui dengan bau mulut ataupun muntahan.

Adanya luka bakar keputihan pada mukosa mulut atau keabuan pada bibir dan

dagu menunjukkan akibat bahan kaustik atau korosif baik yang bersifat asam kuat

maupun basa kuat. Perbedaaan pada dampak luka bakarnya yaitu nekrosis

koagulatif akibat paparan asam kuat sedangkan basa kuat mengakibatkan nekrosis

likuifaktif. Kerusakan korosif hebat akibat alkali (basa) kuat pada esofagus lebih
29

berat dibandingkan akibat asam kuat, kerusakan terbesar bila PH > 12, akan tetapi

tergantung juga konsentrasi bahan tersebut (Hadjat, 2007).

3.14 Pemeriksaan penunjang

Untuk menegakkan diagnosis, selain berdasarkan hasil anamnesis serta

gambaran keluhan dan gejala seperti yang diuraikan di atas juga diperlukan

pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium, radiologik,

esofagoskopi (Hadjat, 2007).

1. Pemeriksaan radiologi

a. Foto torak dan abdomen.

Pada fase akut, foto polos dengan posisi leteral dan postero-anterior dapat

memperlihatkan adanya perforasi seperti udara pada mediastinum, pneumotorak,

cairan pada pleura, atau gambaran udara bebas di bawah diafragma. Pemeriksaan

esofagogram dapat membantu untuk melihat adanya striktur maupun perforasi.

Gambaran adanya striktur esofagus biasanya lumen yang menyempit, pinggir

yang tidak rata, tapi bisa juga rata, tampak kaku, dan pada umumnya terjadi pada

bagian dekat arkus aorta.

b. CT-Scan.

Pemeriksaan dengan CT-Scan lebih sensitif dan lebih dini dalam

mendeteksi adanya perforasi, striktur serta kemungkinan adanya kelainan pada

organ lain sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan lebih dini.


30

2. Pemeriksaan laboratorium.

Peranan pemeriksaan laboratorium sangat sedikit, kecuali bila terdapat

tanda-tanda gangguan elektrolit. Beberapa pemeriksaaan yang dapat dilakukan

adalah :

a. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, fungsi hati, ureum dan kreatinin untuk

melihat tanda-tanda keracunan sistemik.

b. Pemeriksaan jumlah urin dan urinalisis untuk membantu menjaga

keseimbangan cairan.

3. Pemeriksaan endoskopi dengan esofagoskopi.

Pemeriksaan esofagoskopi dilakukan pada hari ketiga setelah kejadian atau

jika luka pada bibir, mulut, dan faring sudah tenang. Jika pada waktu melakukan

esofagoskopi ditemukan ulkus, maka esofagoskop tidak boleh dipaksa melalui

ulkus tersebut karena ditakutkan terjadi perforasi. Esofagoskopi juga tidak boleh

dilakukan pada pasien dengan tanda-tanda perforasi saluran cerna yang jelas,

udem atau nekrosis saluran nafas yang hebat, dan pasien dengan hemodinamik

tidak stabil, dengan alasan meningkatkan resiko terjadinya cedera yang lebih

parah (Soepardi, 2012).

Derajat luka bakar pada esofagus yang ditemukan pada esofagoskopi dapat

dibagi menjadi:

• Derajat I : eritema dan udem mukosa.

• Derajat IIA : perdarahan, erosi, lepuhan, ulkus, eksudat.

• Derajat IIB : lesi yang mengelilingi lumen esofagus (circumferential

lesions).
31

• Derajat III : ulkus yang dalam, multipel, dan bewarna hitam kecoklatan

atau abu-abu.

• Derajat IV : perforasi.

4. Pemeriksaan endoscopic ultrasonography.

Pemeriksaan ini lebih akurat dalam menilai tingkat kedalaman dari luka

bakar dibandingkan esofagoskopi.

3.15 Tatalaksana Esofagitis Korosif

Tujuan terapi dari penatalaksanaan esofagitis korosif adalah mencegah

perforasi dan mencegah timbulnya striktur pada esofagus dan lambung.

Menurut Kardon (2008), terapi pada esofagitis korosif dibagi :

1. Perawatan prehospital, terdiri dari :

a. Mengidentifikasi produk, konsentrasi dari komposisi aktif, dan berapa jumlah

zat yang tertelan.

b. Jangan menetralisir dengan cara meminumkan asam atau basa lemah karena

akan menghasilkan reaksi eksotermik yang akan memperparah luka bakar dan

menginduksi muntah.

c. Pada kasus tertelah basa kuat tipe bubuk atau padat, pemberian susu atau air

dalam jumlah yang sedikit sebelum waktu 30 menit akan membantu untuk

menghilangkan zat-zat yang masih menempel pada mukosa mulut atau esofagus.

Sedangkan pada kasus asam kuat atau basa kuat cair pemberian susu atau air

ditakutkan akan merangsang muntah sehingga dapat menyebabkan perforasi

dinding esofagus.
32

2. Perawatan instalasi gawat darurat.

a. Monitoring tanda-tanda vital, jalan nafas, jantung, dan pemasangan IVFD,

pemberian CaCl2 pada pasien yang tertelan zat hidrogen florida dapat mencegah

cardiac arrest oleh karena hipokalsemia

b. Pengendalian jalan nafas, karena dapat terjadi udem pada jalan nafas, maka

monitoring harus sesegera mungkin, peralatan untuk intubasi maupun trakeostomi

harus siap.

c. Pengosongan lambung dan dekontaminasi. Jangan merangsang timbulnya

muntah karena akan menyebabkan terjadinya paparan ulang zat kaustik ke

mukosa esofagus yang bisa memperparah derajat luka bakar. Metode bilas

lambung dengan cara-cara tradisional yang menggunakan pipa orogastrik dengan

kaliber yang besar seperti menggunakan Edwal’s orogastric tube

dikontraindikasikan untuk kasus tertelan asam kuat maupun basa kuat karena

resiko perforasi dan aspirasi trakea yang tinggi. Penggunaan naso-gastric tube

(NGT) sangat baik pada kasus tertelan asam kuat karena dapat mencegah

masuknya zat kaustik ke usus kecil.

d. Pembedahan segera dilakukan jika terdapat perforasi, mediastinitis atau

peritonitis.

3. Terapi medikamentosaa.

a. Antibiotik golongan sefalosporin seperti ceftriakson mempunyai spektrum

antibakteri yang luas terhadap gram positif dan gram negatif


33

b. Preparat penghambat pompa proton seperti omeprazol dan pantoprazol dapat

mengurangi paparan zat asam lambung ke esofagus yang dapat mengurangi resiko

terjadinya striktur.

c. Penggunaan kortikosteroid sebaiknya dipertimbangkan karena penelitian

menunjukkan bahwa pembentukan striktur terjadi berdasarkan derajat kerusakan

jaringan.

Menurut literatur lainnya, penatalaksanaan esofogitis korosif dilakukan

dalam 24 jam pertama setelah tertelan zat kaustik, pasien harus diberi cairan

parenteral dan diobservasi akan kemungkinan mediastinitis, fistel trakea-esofagus,

perforasi lambung, peritonitis, pneumonia, dan udem laring. Kurang lebih 24 jam

setelah kejadian dilakukan esofagoskopi dengan anastesia umum endotrakea

untuk menentukan apakah ada luka bakar di esofagus. Jika terdapat luka bakar

esofagoskopi dihentikan, esofagoskop tidak boleh dilanjutkan melalui daerah luka

bakar untuk menghindari terjadinya perforasi esofagus.

Jika pada esofagoskopi tidak ditemukan luka bakar, pasien dapat

dipulangkan dari rumah sakit dalam 2-3 hari setelah luka bakar pada daerah mulut

dan orofaring cukup membaik dan dapat minum peroral secukupnya. Bila pada

esofagoskopi terdapat luka bakar harus dipasang pipa nasogaster polietilen yang

kecil untuk pemberian makanan dan mempertahankan lumen esofagus. Terapi

kortikosteroid harus dimulai dan diteruskan sampai 6 minggu, biasanya hari

pertama 200-300 mg sampai hari ke-3, setelah itu diturunkan bertahap setiap 2

hari dengan dosis maintenance 2x50 mg perhari. Antibiotik spektrum luas

diberikan sampai pemeriksaan radiologi esofagus dengan kontras menunjukkan


34

penyembuhan mukosa, biasanya selama 2-3 minggu atau 5 hari bebas demam.

Analgetik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri. Segera setelah pasien dapat

menelan cairan, biasanya 3-4 hari setelah kejadian, diberikan antibiotik peroral

untuk mendapatkan efek topikal pada jaringan granulasi.

Pemberian makanan yang mengandung partikel yang dapat berkumpul di

jaringan granulasi jangan diberikan dulu sampai ada bukti penyembuhan mukosa

secara radiografi dengan kontras.1,6 Esofagogram dibuat pada minggu ke 3 dan

pada minggu ke 6, jika terbukti ada pembentukan striktur setelah terapi

kortikosteroid dihentikan, businasi dimulai. Pada luka bakar berat, pipa untuk

pemberian makanan tidak dikeluarkan sampai resiko pembentukan striktur

terlampaui. Pipa makanan atau tali harus tetap terpasang pada pasien dengan

pembentukan striktur untuk mencegah hilangnya lumen secara total.

Indikasi pembedahan antara lain (Hadjat, 2007):

1. Stenosis komplit lumen esofagus yang gagal dilakukan usaha dilatasi.

2. Terdapat gambaran ireguler dan seperti membentuk kantong pada dinding

esofagus dengan pemeriksaan kontras barium.

3. Pembentukan fistula

4. Tidak bisa mempertahankan lumen setelan dilakukan businasi sebanyak 40

French.

5. Pasien yang menolak atau tidak bisa dilakukan businasi dalam jangka

waktulama.

6. Timbulnya komplikasi seperti perforasi, mediastinitis atau peritonitis.


35

3.16 Komplikasi Esofagitis Korosif

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi antara lain (Kardon,2007) :

1. Udem dan obstruksi jalan nafas.

2. Perforasi gastroesofageal.

3. Mediastinitis, perikarditis, pleuritis, fistel trakeoesofageal, fistel esofagealaorta,

dan peritonitis.

4. Pembentukan striktur dalam 2-4 minggu.

5. Obstruksi saluran lambung ke duodenum.

6. Pardarahan saluran cerna.

7. Gejala keracunan sistemik akibat terserapnya zat ke dalam darah.

8.Cardiac arrest oleh karena hipokalsimia akibat hidrogen florida.

9. Karsinoma sel skuamosa, dapat terjadi dalam 40 tahun setelah paparan.

3.17 Prognosis Esofagitis Korosif

Prognosa tergantung dari derajat luka bakar yang dialami pasien, serta

jenis zat yang tertelan, lama paparan, Ph, volume, konsentrasi, kemampuannya

menembus jaringan, serta jumlah kerusakan jaringan yang diperlukan untuk

menetralisir zat yang masuk.

Angka kematian berkisar 1-4% karena teknik pembedahan, anastesi,

antibiotik, dan nutrisi yang efektif, kematian pada umunya disebabkan oleh

mediastinitis, peritonitis, sepsis, malnutrisi, aspirasi, dan kegagalan fungsi

multiorgan.
36

Anda mungkin juga menyukai