Kepemimpinan etis (ethical leadership) berasal dari dua suku kata, yaitu “kepemimpinan”
dan “etis”. Etis merupakan bentuk kata sifat dari “etika” .Secara umum etika diartikan sebagai
seperangkat nilai yang dijadikan acuan dalam menilai kualitas moral. Menurut Catalano
(Rukmana:2007) menyebutkan bahwa etika sebagai berikut
sistem penilaian perilaku serta keyakinan untuk menentukan perbuatan yang pantas guna
menjamin adanya perlindungan hak-hak individu, mencakup cara-cara dalam pengambilan
keputusan untuk membantu membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk serta
mengarahkan apa yang sebenarnya dilakukan sesuai nilai-nilai yang dianut.
Berdasarkan pengertian tersebut maka kepemimpinan etis dapat berarti kemampuan dan kesiapan
seseorang untuk mempengaruhi dan menuntun seorang atau sekelompok orang untuk mencapai
tujuan bersama dengan menekankan pentingnya nilai-nilai moral. Kepemimpinan etis merupakan
jenis perilaku kepemimpinan. Sementara pemimpin yang etis menunjuk pada kualitas pribadi
pemimpin itu sendiri. Keduanya saling terintegrasi. Kepemimpinan yang etis dipengaruhi nilai-
nilai (values), sehingga diperlukan penguasaan kemampuan personal atau (personal quality,
personality ethics), dan memiliki karakter yang baik (character ethics) dan memiliki
kemampuan sosial. Standar pengukuran atau evaluasi kepemimpinan etis terdapat dalam diri
pemimpin itu sendiri
Dalam praktek kepemimpinannya. Rosulullah SAW tidak terjebak dan tenggelam dalam
kecintaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa semata, beliau tetap mampu menjaga keseimbangan
antara posisinya sebagai “kekasih” Tuhan dan sebagai hamba dan rasul-Nya yang mengharuskan
beliau senantiasa berbaur dengan masyarakat. Rasulullah adalah figur pemimpin yang tidak pernah
mendahulukan kepentingan pribadi sebelum kepentingan umatnya terpenuhi. Seluruh hidupnya
dihabiskan sebagai pelayan bagi seluruh umatnya. Kepemimpinan Rasulullahpun dikenal sebagai
pemimpin yang memiliki pendirian kuat untuk tetap mempertahankan kebenaran yang
diyakininya, apapun rintangan dan tantangan yang dihadapinya.
3. Kurang memahami moral dan etika kepemimpinan. Implementasi etika dan moral pemimpin
akan memberikan panduan bagi seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Krisis yang melanda bangsa Indonesia tidak lepas dari kemerosotan moral dan etika pemimpin.
Kasus Bupati Garut, misalnya, yang menikah kilat dengan cara kawin siri selama 4 hari dan
melakukan perceraian dengan istrinya melalui sms telah menuai kontroversi di masyarakat
yang berujung pelengseran sang Bupati. Kasus lain yaitu Gubernur Riau Annas Maamun yang
tersandung kasus atas tindakan asusilanya dan tindakan suap yang telah dilakukannya. Kedua
kasus ini menunjukkan masih rendahnya moral dan etika yang dimiliki pemimpin.
4. Kurang dapat memahami secara tepat esensi plural. Sebagai bangsa yang ultra plural dengan
postur negara kepulauan merupakan kewajiban dari pemimpin agar yang dipimpin mendapat
perlakuan yang sama. Tidak ada dominasi mayoritas terhadap minoritas dan juga tidak
mengenal adanya tirani minoritas. Pluralisme adalah sikap keterbukaan sebagai suatu kerangka
interaksi dimana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain ,
berinteraksi tanpa konflik.