Anda di halaman 1dari 7

Konsep Umum dari Kepemimpinan Etis (Ethical Leadership)

Kepemimpinan etis (ethical leadership) berasal dari dua suku kata, yaitu “kepemimpinan”
dan “etis”. Etis merupakan bentuk kata sifat dari “etika” .Secara umum etika diartikan sebagai
seperangkat nilai yang dijadikan acuan dalam menilai kualitas moral. Menurut Catalano
(Rukmana:2007) menyebutkan bahwa etika sebagai berikut
sistem penilaian perilaku serta keyakinan untuk menentukan perbuatan yang pantas guna
menjamin adanya perlindungan hak-hak individu, mencakup cara-cara dalam pengambilan
keputusan untuk membantu membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk serta
mengarahkan apa yang sebenarnya dilakukan sesuai nilai-nilai yang dianut.

Berdasarkan pengertian tersebut maka kepemimpinan etis dapat berarti kemampuan dan kesiapan
seseorang untuk mempengaruhi dan menuntun seorang atau sekelompok orang untuk mencapai
tujuan bersama dengan menekankan pentingnya nilai-nilai moral. Kepemimpinan etis merupakan
jenis perilaku kepemimpinan. Sementara pemimpin yang etis menunjuk pada kualitas pribadi
pemimpin itu sendiri. Keduanya saling terintegrasi. Kepemimpinan yang etis dipengaruhi nilai-
nilai (values), sehingga diperlukan penguasaan kemampuan personal atau (personal quality,
personality ethics), dan memiliki karakter yang baik (character ethics) dan memiliki
kemampuan sosial. Standar pengukuran atau evaluasi kepemimpinan etis terdapat dalam diri
pemimpin itu sendiri

Pentingnya Kepemimpinan Etis


Kepemimpinan yang berlandaskan etika sangat dibutuhkan dalam pemimpin suatu
kelompok atau organisasi. Kepemimpinan etis mampu menciptakan perwujudan tujuan yang
dirancang bersama tanpa mendahulukan kepentingan individu. Dengan kepemimpinan etis
seorang pemimpin mampu menentukan keputusan yang benar dan salah bagi kelompoknya sesuai
dengan tatanan norma dan nilai yang dianut. Kepemimpinan yang etis dapat menjadikan landasan
bagi pemimpin untuk memainkan peranannya dalam melaksanakan amanah yang diembannya,
menjadikannya lebih bertanggung jawab, adil dan tidak memanfaatkan wewenang untuk
kepentingan sendiri. Kepemimpinan etis dapat menciptakan kepercayaan yang tinggi pada diri
anggota kepada pimpinannya. Kepemimpinan etis tidaklah datang dengan sendirinya, namun perlu
diupayakan oleh pemimpin dalam setiap peranan yang dijalaninya. Berikut merupakan cara yang
dapat dilakukan oleh seorang pemimpin untuk menciptakan kepemimpinan etis (Hughes,2012)
1. Kebijakan dan prosedur formal yang beretika. Usaha ini termasuk membuat pernyataan formal
mengenai standard dan kebijakan etis, bagaimana menyusun mekanisme pelaporan, prosedur
serta hukuman bagi setiap pelanggaran etika.
2. Ideology inti. Ideologi inti merupakan jantung bagi setiap organisasi atau kelompok. Ideologi
inti yang dapat dikembangkan agar terciptanya kepemimpinan etis mencakup rasa saling
menghormati dan menghargao rekan kerja, merangkul perbedaan, mengembangkan kepuasan
bersama, berkontribusi positif terhadap komunikasi di lingkungannya, serta menjaga
keharmonisan bersama.
3. Integritas. Pemimpin harus mampu menunjukkan integritas pribadi yang mampu
menggambarkan individu berperilaku dan bermoral.
4. Penguatan struktural. Membentuk struktur dan system yang dapat mendorong kinerja etis.
Mendorong terbentuknya perilaku jujur, adil, santun dan berperilaku positif.
Selain upaya yang harus terus dilakukan oleh seorang pemimpin, ada beberapa elemen
penting yang perlu dikembangkan agar terwujudnya kepemimpinan etis. Elemen tersebut sebagai
berikut:
1. Pengetahuan tentang kepemimpinan dan etika untuk menyediakan kerangkan konseptual demi
memahami praktek kepemimpinan etis.
2. Kesempatan mempraktekan peran kepemimpinan yang membutuhkan tindakan bersama.
3. Kesempatan mempelajari, mengamati, berinteraksi dengan para pemimpin di organisasi lain,
terutama yang telah menunjukkan keberanian moral.
4. Penilaian atas kinerja kepemimpinan.
5. Umpan balik dari bawahan sehingga pemimpin dapat merenungi umpan balik tersebut.
6. Penguatan etika pribadi dan nilai-nilai inti pada diri pemimpin.

Prinsip Kepemimpinan Etis


Setiap pemimpin harus memiliki etika yang baik, yang tercermin dalam tutur kata, sikap,
perilaku, dan tindakannya yang mana selalu konsisten dengan aturan-aturan yang berlaku serta
sesuai dengan norma dan agama. Selain hal tersebut pemimpin juga hendaknya memiliki prinsip
yang diyakini dalam mewujudkan kepemimpinan etis. Prinsip dalam mewujudkan kepemimpinan
etis sebagai berikut:

1. Pemimpin sebagai pelayan


Esensi pemimpin sebagai pelayan adalah tugas pemimpin untuk dapat melayani orang
lain yakni pelayanan kepada masyarakat, pelanggan, dan karyawannya sendiri. Hal ini sejalan
dengan statemen alam alinea keempat penjelasan pembukaan UUD 1945 yang menyatakan
bahwa pemerintah dibentuk untuk melayani rakyat di bidang keamanan (melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia), dibidang sosial-ekonomi (memajukan
kesejahteraan umum), sosial-budaya ( mencerdaskan kehidupan bangsa), hubungan dengan
Negara lain ( ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial). Pemimpin harus lebih berpihak pada pelayanan public bukan pada
pelayanan perseorangan. Pemimpin harus mampu membaca aspirasi masyarakat dan harus rela
dikontrol oleh masyarakat.

Pemimpin harus professional

Profesionalitas merupakan persyaratan yang tidak bisa ditawar-tawar. David H Maister


(Rukmana,2007:65) menegaskan bahwa “profesionalisme bukan hanya sekedar pengetahuan
teknologi dan manajemen, tetapi profesionalisme lebih merupakan suatu sikap”. Lebih jauh
Tilaar (Rukmana, 2007:65) mengungkapkan karakteristis dari seorang professional yaitu
Dia merasa bangga dengan pekerjaannya, dan menunjukkan komitmen personal
terhadap kualitas. Dia mempunyai tanggung jawab yang besar, dapat mengantisipasi
sehingga dia sangat berinisiatif. Dia ingin menyelesaikan pekerjaannya dengan tuntas dan
ikut terlibat dalam berbagai tugas di peranan yang ditugaskan kepadanya. Dia ingin terus
belajar untuk meningkatkan kemampuannya dan memingkatkan kemampuan untuk
melayani. Dia itu mendengar kepada kebutuhan para pelanggannya serta dia adalah pemain
dalam suatu tim. Dia dapat dipercaya, jujur, terus terang, dan loyal. Selanjutnya dia terbuka
terhadap kritik yang konstruktif dan mau meningkatkan dan menyempurnakan dirinya.

Uraian tersebut menggambarkan bahwa profesionalisme mutlak dimiliki oleh seorang


pemimpin. Tanpa profesionalisme tidak akan tercipta sebuah kepemimpinan yang etis.

2. Menegakkan keadilan dalam kepemimpinan


Menegakkan keadilan berarti upaya menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya
secara proporsional, memberikan sesuatu tepat kepada orang yang berhak menerimanya.
Seorang pemimpin harus dapat memberikan “reward” dan “punishment” secara proporsional
sehingga mampu memotivasi orang untuk bekerja dengan baik. Keadilan merupakan syarat
yang harus dimiliki seorang pemimpin. Seorang pemimpin juga tidak boleh mudah
terproporkasi atau terpengaruh sehingga mengambil tindakan yang tidak benar.

3. Pemimpin harus pemaaf


Seorang pemimpin harus dapat menciptakan suasana di bawah kepemimpinannya yang
akrab, bisa saling memaafkan antara satu staf dengan staf yang lainnya, maupun staf dengan
pemimpinnya.

4. Siap mundur dan siap menerima koreksi


Seorang pemimpin harus memiliki kesiapan untuk mundur dari jabatannya jika merasa
tidak mampu memegang jabatan yang diamanahkan kepadanya. Seorang pemimpin harus
dapat menerima setiap saran dan koreksi yang diberikan oleh bawahannya dengan hati lapang.

5. Pemimpin mampu memotivasi dan membimbing


Seorang pemimpin harus mampu membimbing dan mengingatkan anggota yang
dipimpinnya agar bersatu untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita yang telah dirumuskan
bersama.

6. Memiliki disiplin dan loyalitas yang tinggi


Kedisiplinan merupakan kunci sukses dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
Pemimpin harus memiliki kedisiplinan tinggi dalam menjalankan peranan dan amanah yang
diembannya. Selain itu pemimpin harus memiliki loyalitas tinggi terhadap segala kepentingan
kelompok atau organisasi yang dipimpinnya.

Fenomena Kepemimpinan dan Upaya Penanggulangannya


Kepemimpinan etis pernah dicontohkan oleh nabi besar Rosulullah SAW. Beliau
merupakan seorang pemimpin yang memiliki kemampuan tinggi dalam menarik simpati dan
mempengaruhi orang lain jauh melampaui kewenangannya. Keberhasilannya itu tidak lepas dari
sifat-sifat dasar etika kepemimpinan yang melekat pada diri Rosulullah yakni siddiq (jujur),
amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathonah (cerdas).

Dalam praktek kepemimpinannya. Rosulullah SAW tidak terjebak dan tenggelam dalam
kecintaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa semata, beliau tetap mampu menjaga keseimbangan
antara posisinya sebagai “kekasih” Tuhan dan sebagai hamba dan rasul-Nya yang mengharuskan
beliau senantiasa berbaur dengan masyarakat. Rasulullah adalah figur pemimpin yang tidak pernah
mendahulukan kepentingan pribadi sebelum kepentingan umatnya terpenuhi. Seluruh hidupnya
dihabiskan sebagai pelayan bagi seluruh umatnya. Kepemimpinan Rasulullahpun dikenal sebagai
pemimpin yang memiliki pendirian kuat untuk tetap mempertahankan kebenaran yang
diyakininya, apapun rintangan dan tantangan yang dihadapinya.

Berbeda dengan masa kepemimpinan Rasullullah. Kepemimpinan yang terjadi di masa


sekarang jauh menyimpang dari ajaran yang telah Beliau contohkan. Masih ingat dibenak kita pada
Era Reformasi tahun 1998 telah melahirkan pergantian beberapa kali kepemimpinan nasional di
Indonesia. Mulai dari presiden Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati hingga kini dibawah
tampuk Susilo Bambang Yudhoyono. Namun kemunculan pemimpin nasional di era reformasi ini
masih jauh dari harapan masyarakat. Hal ini dikarenakan permasalahan kepemimpinan nasional
yang terjadi di negeri ini belum menemukan jawaban. Beberapa permasalahan kepemimpinan
tersebut antara lain;

1. Kurangnya integritas sebagai pemimpin nasional. Pemimpin yang mempunyai integritas


memiliki kepribadian yang mantap, tidak tercela, jujur dan dihormati orang lain. Pemimpin
nasional ke depan dibutuhkan orang yang mempunyai integritas tinggi, artinya tingkat
hubungannya dengan yang dipimpin menyatu berdasarkan pertimbangan “rasional
transformatif” bukan “emosional transaksional”. Keadaan ini akan melahirkan pemimpin yang
mempunyai sifat perpaduan karakter manajer, pemimpin dan negarawan (Manager, Leader,
Statesman). Reformasi yang belum mantap dan kondisi dalam negeri baik politik, ekonomi,
sosbud dan hankam yang masih lemah apabila tidak cepat membangun kepemimpinan yang
kokoh maka negara kita akan semakin larut dan terpuruk dalam persaingan global yang
semakin ketat.
2. Kurang dapat melepaskan diri dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal ini dilakukan
untuk mengakomodasi kepentingan sesaat bagi dirinya dan orang dekatnya, terutama yang
dianggap berjasa seperti tim suksesnya. Reformasi yang bergulir sampai saat ini melahirkan
UU No 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih yang bebas Korupsi, kolusi
dan nepotisme. Tetapi pada tataran empirik menunjukkan kasus korupsi juga terus semakin
meningkat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan pejabat negara seperti para menteri, mantan
menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati dan sebagainya menunjukkan bahwa pejabat
negara yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat dalam tertib hukum dan tertib sosial
justru malah menjadi terdakwa dengan tuntutan tindak pidana korupsi.

3. Kurang memahami moral dan etika kepemimpinan. Implementasi etika dan moral pemimpin
akan memberikan panduan bagi seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Krisis yang melanda bangsa Indonesia tidak lepas dari kemerosotan moral dan etika pemimpin.
Kasus Bupati Garut, misalnya, yang menikah kilat dengan cara kawin siri selama 4 hari dan
melakukan perceraian dengan istrinya melalui sms telah menuai kontroversi di masyarakat
yang berujung pelengseran sang Bupati. Kasus lain yaitu Gubernur Riau Annas Maamun yang
tersandung kasus atas tindakan asusilanya dan tindakan suap yang telah dilakukannya. Kedua
kasus ini menunjukkan masih rendahnya moral dan etika yang dimiliki pemimpin.

4. Kurang dapat memahami secara tepat esensi plural. Sebagai bangsa yang ultra plural dengan
postur negara kepulauan merupakan kewajiban dari pemimpin agar yang dipimpin mendapat
perlakuan yang sama. Tidak ada dominasi mayoritas terhadap minoritas dan juga tidak
mengenal adanya tirani minoritas. Pluralisme adalah sikap keterbukaan sebagai suatu kerangka
interaksi dimana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain ,
berinteraksi tanpa konflik.

5. Lebih mengedepankan kepentingan partainya daripada aspirasi rakyat. Kenyataan di lapangan


menunjukkan partai politik tidak bisa bebas bergerak , karena banyak kepentingan yang
membatasi. Partai politik pendukung pemerintah sulit untuk obyektif mengkritik kebijakan
yang diambil oleh pemerintah. Demikian juga parpol di luar pemerintah terhambat dan
terkooptasi oleh kepentingan politiknya. Kasus Bank Century dapat dijadikan contoh sulitnya
mengedepankan kepentingan rakyat daripada kepentingan partai.

Anda mungkin juga menyukai