Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Diabetes Melitus


1. Pengertian dibetes melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan gangguan kesehatan dan
kumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula darah akibat
kekurangan ataupun resistensi insulin, serta adanya komplikasi yang
bersifat akut dan kronik (Bustan, 2007 dalam Ernawati & Nasution, 2016).
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010 (dalam
Perkeni, 2011), DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya.
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kumpulan gejala yang timbul
pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar
glukosa darahakibat penurunan sekresi insulin yang progresif ( Soegondo,
2013 dalam I Gusti Ketut Gede Ngurah & Sukmayanti, 2014).
2. Klasifikasi
Menurut LeMone, Burke, Gerene (2017), ada empat tipe utama DM yaitu:
a. DM tipe 1
DM tipe 1 sering terjadi pada masa kanak-kanak dan remaja namun
lebih sering dijumpai pada lanjut usia. DM tipe 1 terjadi karena
kerusakan sel beta islet langerhans di Pankreas.
b. DM tipe 2
DM tipe 2 adalah suatu kondisi hiperglikemia puasa yang terjadi
walaupun sudah tersedia insulin endokrin. DM tipe 2 dapat dijumpai
pada semua usia namun lebih sering dijumpai pada usia paruh baya dan
lansia.
c. DM gestasional
DM gestasional terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak
mengidap diabetes. Sekitar 50% yang mengidap kelainan ini akan
kembali status nondiabetes setelah melahirkan.
d. DM tipe spesifik
DM tipe spesifik dapat terjadi karena dipengaruhi beberapa hal
seperti kelainan genetika pada sel beta, kelainan genetika pada kerja
insulin, penyakit pankreas eksokrin, gangguan endokrin, diinduksi obat
atau bahan kimia dan yang terakhir karena infeksi.
3. Patofisiologi
DM tipe 2 adalah bentuk DM yang paling umum dijumpai pada semua
umur tetapi biasanya lebih sering dijumpai pada paruh baya dan lansia.
Faktor yang mempengaruhi DM tipe 2 ini adalah resistensi selular
terhadap insulin yang diakibatkan oleh kegemukan, tidak beraktivitas,
penyakit, obat-obatan, dan pertambahan usia.
4. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Tujuan penatalaksanaan DM adalah untuk meningkatakan kualitas
hidup penyandang diabetes. Adapun langkah-langkah penatalaksanaan DM
dikenal dengan 4 pilar, yaitu edukasi, diet, latihan jasmani dan intervensi
farmakologis. Pengelolaa DM diawali dengan latihan jasmani dan
pengaturan makan selama 2-4 minggu, jika kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran maka dilakukan intervensi farmakologis dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) atau dengan diberikan suntik insulin (Perkeni,
2015).
a. Edukasi
DM tipe 2 umumnya terjadi karena pola hidup dan perilaku hidup
yang telah mapan. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah
secara mandiri , tanda dan gejala terjadiya hipoglikemi serta cara
mengatasinya perlu diberitahukan kepada pasien untuk meningkatkan
motivasi pasien berobat. Pemberian edukasi dengan tujuan untuk
promosi hidup sehat perlu dilakukan sebagai bagian dari upaya
pencegahan dan merupakan bagian yang penting dari pengelolaan DM
tipe 2 (Perkeni, 2011).
b. Diet
Diet atau Terapi Nutrisis Medis (TNM) merupakan bagian dari
penatalaksanaan DM secara total. Prinsip pengaturan makan pada
penderita DM tipe 2 hampir sama dengan anjuran makan pada
masyarakat umum. Pada penyandang DM tipe 2 perlu ditekankan akan
pentingnya keteraturan makan dalam hal 3J yaitu, jam makan, jumlah
makan, dan jenis makan terutama pada mereka yang menggunakan obat
glukosa darah atau insulin.
c. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani teratus (3-4 kali
dalam seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu
pilar dari pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani berfunsi untuk
menjaga kebugaran dan menurunkan berat badan serta dapat
memperbaiki sensivitas insulin, sehingga memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan adalah latihan yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging dan berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani. Untuk merekan yang relative sehat, intensitas latihan
jasmani dapat ditingkatkan, sementara yang sudah terjadi komplikasi
DM dapat dikurangi. Hindari kebiasaa hidup yang bermalas-malasan dan
kurang bergerak (Perkeni, 2011).
d. Intervensi farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah
belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani berupa :
1) Obat hipoglikemik oral (OHO), berdasarkan cara kerjanya dapat
dibagi menjadi 4 golongan yaitu pemicu sekresi insulin (sulfoniurea
dan glinid), penambah sensifitas insulin (metformin, tiazolidindon),
penghambat glukogenisis (metformin), penghambat absorsi glukosa.
2) Insulin diperlukan dalam keadaan penurunan berat badan yang berat,
hiperglikemia yang berat, ketoasidosis diabetic, stress berat,
kehamilan dengan DM yang tidak terkendali, gangguan fungsi ginjal
dan hati yang berat serta kontra indikasi terhadap OHO.
5. Faktor resiko DM tipe 2
Menurut LeMone, dkk. (2017), faktor resiko utama DM tipe 2 yaitu:
a. Riwatyat DM pada orang tua atau saudara kandung.
b. Kegemukan atau kelebihan berat badan minimal 20% lebih dari berat
badan yang diharapkan.
c. Tidak ada aktivitas fisisk.
d. Ras atau enis.
e. Pada wanita yang memiliki riwayat DM gestasional.
f. (≥130/85 mmHg pada dewasa), kolestrol HDL ≥ 35 mg/dl, dan kadar
trigliserida ≥ 250 mg/dl).
g. Sindrom metabolik.

B. Tinjauan Perilaku
1. Pengertian perilaku
Perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap
stimualus (rangsangan dari luar), oleh karena prilaku itu terjadi melalui
proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudia organisme tersebut
merespons (Skinner, 1938 dalam Lestari, 2015).
Perilaku manusia merupakan hasil dari pengalaman serta interaksi
manusia dengan lingkungannya dengan wujud pengetahuan, sikap, dan
tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan reaksi atau respons seorang
individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dalam dirinya
(Lestari, 2015).
2. Bentuk perilaku
Menurut Lestari (2015), secara garis besar bntuk perilaku ada dua, yaitu :
a. Perilaku pasif (respons internal)
b. Perilaku aktif (respons eksternal)
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
Menurut Lestari (2015), perilaku ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor,
yaitu :
a. Faktor predisposisi (predisposing factors), yang mencakuo
pengetahuan , sikap, dan sebagainya.
b. Faktor pemungkin (enabling factors), yang mencakup lingkungan fisik,
tersedia atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana-sarana keselamatan
kerja, misalnya tersedianya APD, pelatihan, dan sebagainya.
c. Faktor penguat (reinforcement factor), faktor ini meliputi undang-
undang, peraturan-peraturan, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003
dalam Lestari, 2015).
4. Perilaku kesehatan
Perilaku kesehatan adalah tanggapan seseorang terhadap rangsangan
yang berkaitan dengan kondisi sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan dan lingkungan (Lestari, 2015).
5. Perilaku terhadap sakit dan penyakit
Menurut Lestari (2015), perilaku seseorang terhadap sakit dan
penyakit sesuai dengan tingkatan pemberian pelayanan kesehatan dan
sesuai tingkat pencegahan penyakit, yaitu :
a. Perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion
behavior).
b. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior).
c. Perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior).
d. Perilaku pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior).
6. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan
Menurut Lestari (2015), perilaku ini adalah respons seseorang
terhadap pelayanan kesehatan baik modern maupun tradisional, yaitu :
a. Respons terhadap fasilitas pelayanan kesehatan.
b. Respon terhadap cara pelayanan kesehatan.
c. Respons terhadap petugas kesehatan.
d. Respons terhadap pemberian obat-obatan.
C. Tinajuan Beban Kerja
1. Pengertian beban kerja
Beban kerja merupakan sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan
oleh suatu unit organisasi atau pemegang jabatan pada suatu pekerjaannya
dalam jangka waktu tertentu (Menpan, 1977:46 dalam Artadi, 2015).
Sedangkan menurut Pemendagri No. 12/2008 dalam Artadi, 2015, beban
kerja adalah suatu besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh
organisasi atau unit jabatan yang merupakan hasil kali volume kerja dan
norma waktu.
2. Tingkatan beban kerja
Untuk mencapai beban kerja yang normal dalam arti volume
pekerjaan sesuai dengan kemampuan kerja cukup sulit, sehingga sering kali
terjadi ketidakseimbangan (, 2016). Beban kerja dapat dibagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu :
a. Beban kerja diatas normal artinya waktu yang digunakan untuk
menyelesaikan pekerjaan lebih besar dari jam kerja yang tersedia atau
volume kerja melebihi kemampuan pekerjaan.
b. Beban kerja normal artinya waktu yang digunakan untuk
menyelesaikan pekerjaan sama dari jam kerja yang tersedia atau volume
kerja sama dengan kemampuan kerja.
c. Beban kerja dibawah normal artinya waktu yang digunakan untuk
menyelesaikan pekerjaan lebih kecil dari jam kerja yang tersedia atau
volume pekerjaan lebih rendah dari kemampuan pekerjaan.
3. Faktor yang mempengaruhi beban kerja
Rodalh (1989) dalam Artadi (2015) , menyatakan bahwa beban kerja
di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Faktor eksternal yang berasal dari tubuh manusia seperti tugas-tugas,
organisasi kerja, dan lingkungan kerja.
b. Faktor internal yang berasal dari dalam tubuh manusia akibat dari reaksi
beban kerja eksternal seperti faktor somatis (jenis kelamin, umur,
kondisi kesehatan) dan faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan,
keinginan, kepuasan).
4. Dampak beban kerja
Ada beberapa gejala yang merupakan dampak beban kerja yang
berlebih, yaitu sakit kepala, mudah lupa, banyak merokok, minum alkohol,
menarik diri dan menghindar (, 2016).

D. Penelitian Terkait

1. Sakinah, dkk (2012) judul Hubungan Beban Kerja dengan Kelelahan Kerja
pada Tenaga Kerja di Industri Batu Bata mendapatkan hasil seluruh tenaga
kerja berjumlah 45 orang, sebagian besar tenaga kerja masih bekerja dengan
bebean kerja yang sangat berat yaitu 18 orang, yang bekerja dengan beban
kerja berat terdapat 15 orang dan yang bekerja dengan beban kerja sedang
terdapat 12 orang. Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa tenaga kerja yang
mengalami kelelahan kerja yang berat berjumlah 18 orang, yang mengalami
kelelahan kerja menengah berjumlah 14 orang dan yang megalami kelelahan
kerja ringan berjumlah 13 orang. Perolehan dari uji statistik terdapat adanya
hubungan yang bermakna antara beban kerja di Industri Pembuatan Batu Bata
Kelurahan Tangkit dengna Kelelahan Kerja (Value = 0,041). Dilihat dari
waktu kerja maka sebagian tenaga kerja masih bekerja dengan jam kerja yang
tidak sesuai yaitu sebanyak 26 orang tenaga kerja, sedangkan yang bekerja
sesuai dengan jam kerja sebanyak 19 orang tenaga kerja. Hasil perolehan uji
statistik mendapatkan hasil ada hubungan yang bermakna antara jam kerja
pada tenaga kerja di Industri Batu Bata Kelurahan Tangkit dengan kelelahan
kerja (p-value = 0,04).

2. Riza Triana, dkk (2016) judul Hubungan Tingkat Pengetahuan Pasien


Diabetes Mellitus Tenatang Penyakit dan Diet dengan Kepatuhan dalam
Menjalankan Diet Diabetes Mellitus mendapatkan hasil bahwa sebagian
besar responden adalah wiraswasta yaitu sebanyak 19 orang (57,6%). Dari
hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitasnya sebesar 0,009 artinya ada
hubungan signifikan antara beban kerja dengan penyakit DM, orang dengan
beban kerja berat memiliki kecenderungan 1,39 kali untuk mengalami
kejadian diabetes mellitus dibanding orang dengan beban kerja ringan.

3. Menurut ‘Arofah (2015) dengan judul Hubungan Olahraga dengan Kejadian


Diabetes Melitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Surakarta mendapatkan
hasil sebagian besar responden kurang berolahraga yakni 27 orang (67,5%)
pada kelompok kasus dan 1 orang (35%) pada kelompok kontrol dengan
alasan terbanyak adalah sibuk terhadap beban kerja (51,9%), malas (11,15
%), dan lain-lain(37%). Hal ini sesuai dengan teori Gibney (2009), bahwa
kesibukan yang tinggi berakibat pada pola hidup yang tidak teratur sehingga
menyebabkan gangguan kesehatan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan uji
Chi Square dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara olahraga dengan
kejadian DM Tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Purwosari (nilai p = 0,004
<0,05). Nilai OR yang diperoleh yaitu sebesar 3,857 (95% CI = 1,526-9,750).
Hal tersebut dibuktikan bahwa sebanyak 67,5% responden yang menderita
DM tipe 2 kurang berolahraga. Sedangkan responden yang tidak menderita
DM tipe 2 sebanyak 65,7% termasuk katagori sedang dalam melakukan
kegiatan olahraga.

4. Ainni & Mutmainah (2017) ada hubungan signifikan antara kepatuhan


meminum obat terhadap pekerjan. Hasil penelitian ini sama dengan Adisa et
al. (2009), bahwa beban kerja dalam suatu pekerjaan mempunyai pengaruh
signifikan dengan nilai p=0,005 terhadap tingkat kepatuhan minum obat pada
pasien DM tipe 2. Hal ini dikarenakan dengan adanya jadwal kerja yang
terlalu padat terutama pada pasien yang bekerja, membuat pengambilan obat
atau kontrol terapi pengobatan terlupakan sehingga menyebabkan jadwal
minum obat tidak sesuai dengan aturan dokter.

5. Gustiana, Suratu, Heryati (2015) judul Faktor-Faktor yang Berhubungan


dengan Kepatuhan Diet Diabetes Melitus Pada Pasien DM mendapatkan hasil
mayoritas responden berusia 60 tahun (67,1%), berpendidikan rendah
(60,0%), masih bekerja (65,7%), tidak pernah dirawat karena DM (67,1%),
mendapatkan dukungan keluarga yang baik dalam pengobatan DM (82,9%),
memiliki motivasi yang baik (62,9%), dan mematuhi diet DM (65,7%).
Bebarapa variabel independen lain yang tidak berhubungan dengan
kepatuhan diet DM diantaranya adalah umur (nilai p 0,836), pendidikan (nilai
p 0,280), pekerjaan terhadap beban kerja (nilai p 0,359) dan riwayat dirawat
karena DM (nilai p 0,201). Dengan demikian variabel pekerjaan terhadap
beban kerja tidak berhubungan dengan diet DM.

6. Restada (2015) judul Hubungan Lama Menderita dan Komplikasi Diabetes


Melitus dengan Kualitas Hidup pada Penderita Diabetes Melitus dengan
menggunakan sampel penelitian sebnyak 89 orang penderita DM
mendapatkan hasil mayoritas pekerjaan responden adalah wiraswasta
(28,1%). Menurut Chaveepohjkamjorn et al (2008), bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara beban pekerjaan dngan penatalaksanaan
DM. Bgitu juga menurut Mier et al (2008), menyatakan bahwa kualitas hidup
tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan beban kerja terhadap
penderita DM yang masih produktif (p value = 0,220).

7. Waluyo & satus (2016) judul Hubungan Dukungan Keluarga Dengan


Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Diabetes Melitus mendapatkan hasil
sebagian besar responden yang menderita DM adalah yang masih bekerja
(73,3%) dari pada yang tidak bekerja (26,7%). Persebaran pekerjaan
penderita DM pada penelitian ini adalah sebagai buruh, apekerja bengkel,
wiraswasta, karyawan, petani, dagang, dan supir. Kaitan antara pekerjaan
dengan kepatuhan didapatkan bahwa tidak ada perbedaan persentase pada
katagori yang bekerja dan tidak bekerja dengan kepatuhan pengobatan
dikarenakan pekerjaan bukanlah halangan mengingat jadwal melakukan
pengobatan hanya 2 kali seminggu, sehingga tidak mengganggu rutinitas
pekerjan.
8. Astira (2015) judul Hubungan Antara Kecemasan dengan Kualitas Hidup
Penderita DM Tipe 2 di Wilayah Puskesmas Denpasar Utara dengan
menggunakan metode analisis korelasi dan pendekatan cross sectional.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 226 penderita DM tipe
2. Metode sampling yang digunakan adalah stratified random sampling
dengan alat pengumpulan data berupa kuisioner. Hasil penelitian ini
menyatakan bahwa sebagian besar responden masih memiliki pekerjaan
diantaranya Wiraswasta, Swasta, dan PNS. Meskipun sebagian responden
masih dalam status bekerja namun responden tersebut tetap melaksanakan
pengobatan secara rutin dan teratur tanpa khawatir kehilangan pekerjaannya.

Anda mungkin juga menyukai