Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD),
merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang
lahir dengan masa gestasi kurang 1,2. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis
alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke
dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan2.

Penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi premature adalah
Respiratory Distress Syndrome ( RDS ). Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50%
pada bayi dengan berat 501-1500 gram3. Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan
berat badan dan menurun sejak digunakan surfaktan eksogen . Saat ini RDS didapatkan kurang
dari 6% dari seluruh neonatus. Defisiensi surfaktan merupakan faktor penyebab terjadinya RDS.
Penemuan surfaktan untuk RDS termasuk salah satu kemajuan di bidang kedokteran, karena
pengobatan ini dapat mengurangi kebutuhan tekanan ventilator dan mengurangi konsentrasi
oksigen yang tinggi3. Surfaktan dapat diberikan sebagai pencegahan RDS maupun sebagai terapi
penyakit pernapasan pada bayi yang disebabkan adanya defisiensi atau kerusakan surfaktan4.
Tidakperlu membedakan antara pneumonia, sindrom distress respirasi (penyakit membrane
hialin) atau aspirasi mekonium karena semuanya dapat menyebabkan gangguan nafas dan
mendapat terapi yang serupa4.

DEFINISI

Definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak napas berat (dyspnea ), frekuensi napas
meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya
pengembangan paru, adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan
adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran
pada saat otopsi 1. Sedangkan pendapat lain disebut RDS bila ditemukan adanya kerusakan paru
secara langsung dan tidak langsung, kerusakan paru ringan sampai sedang atau kerusakan yang
berat dan adanya disfungsi organ non pulmonar2. Definisi bila onset akut, ada infiltrat bilateral
pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal = 18 mmHg dan tidak ada bukti secara klinik adanya
hipertensi atrium kiri, adanya kerusakan paru akut dengan PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan
300, adanya sindrom gawat napas akut yang ditandai PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 200,
menyokong suatu RDS3.
EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, RDS diperkirakan terjadi pada 20.000-30.000 bayi baru lahir tiap
tahunnya dan merupakan komplikasi dari 1% kehamilan. Kira-kira 50% kelahiran neonates yang
lahir pada usia kehamilan 26-28 minggu mengalami RDS, dan kurang dari 30 %neonatus
premature usia kehamilan 30-31 minggu mengalami keadaan ini 5.

Pada satu laporan, angka kejadian RDS sekitar 42% pada infant 501-1500g, dengan 71%
dilaporkan pada berat badan 501-750 gram, 54% yang berat badan 751-1000g, 36% yang berat
badannya 1001-1250g, dan 22% pada 1251-1500g. RDS lebih jarang ditemukan di Negara
berkembang dibanding lainnya, terutama karena kebanyakan infant premature yang kecil untuk
masa kehamilan mengalami stress di dalam rahim karena diinduksi oleh hipertensi. Tambahan,
juga dikarenakan pada wilayah ini kebanyakan persalinan dilakukan didalam rumah, sehingga
pencatatatannya buruk5.

FAKTOR RESIKO

Factor risiko terjadinya Respiratory Distress Syndrome6:

1. Bayi kurang bulan (BKB). Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara biokimiawi masih
imatur dengan kekurangan surfaktan yang melapisi rongga paru.

2. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam periode perinatal, aspirasi


mekonium, pneumotoraks akibat tindakan resusitasi, dan hipertensi pulmonal dengan pirau
kanan ke kiri yang membawa darah keluar dari paru.

3. Bayi dari ibu diabetes mellitus. Pada bayi dari ibu dengan diabetes terjadi eterlambatn
pematangan paru sehingga terjadi distress respirasi

4. Bayi lahir dengan operasi sesar. Bayi yang lahir dengan operasi sesar,berapa pun usia
gestasinya dapat mengakibatkan terlambatnya absorpsi cairan paru (Transient Tachypnea of
Newborn).
5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini dapat terjadi
pneumonia bakterialis atau sepsis.

6. Bayi dengan kulit berwarna seperti mekonium, mungkin mengalami aspirasi


mekonium.

ETIOLOGI

Pada bayi premature, respiratory distress syndrome terjadi karena gangguan sintesis dan
sekresi surfaktan yang menyebabkan terjadinya atelektasis, ketidakseimbangannya ventilasi-
perfusi, dan hipoventilasi yang mengakibatkan hipoksemia dan hiperkarbi. Analisis gas darah
menunjukkan asidosis metabolic dan respiratorik yang mengakibatkan vasokonstriksi
pulmonum, kerusakan endotel dan integritas epithelial dan terbentuknya eksudat protein dan
terbentuknya formasi membrane hialin.3

Defisiensi relative dari surfaktan menurunkan daya kompliens paru dan kapasitas residu
fungsional, dengan meningkatkan deadspace. Hipoksia, asidosis, hipotermia dan hipotensi akan
merusak produksi dan sekresi surfaktan. Evaluasi makroskopik, menunjukkan bahwa paru
terlihat merah seperti hati dan tidak berudara (seperti gambaran hati). Sedangkan atelektasis dan
distensi difus di bagian distal saluran napas diobservasi secara mikroskopik. Atelektasis
progresif, barotruma atau volutrauma dan toksisitas oksigenasi merusak sel endotel dan sel epitel
mengakibatkan eksudasi matriks fibrin dari darah.2,3

Membrane hialin di alveoli terbentuk dalam waktu setengah jam setelah kelahiran. Pada
bayi premature, epitel mulai menyembuh saat 36-72 jam setelah kelahiran, dan sintesis surfaktan
dimulai. Fase penyembuhan ditandai dengan regenerasi sel alveolar, termasuk sel tipe II,
menghasilkan peningkatan aktivitas surfaktan.3

Defisiensi Apoprotein3

Idrofobik SP-B dan SP-C esensial untuk fungsi paru dan homeostasis pulmo setelah lahir.
Protein ini memperkuat penyebaran, adsorpsi dan stabilitas surfaktan lipid diperlukan untuk
mengurangi tegangan permukaan di alveolus. SP-B dan SP-C berperan dalam regulasi proses
intraselular dan ekstraselular dalam menjaga struktur dan fungsi paru.

Defisiensi SP-B merupakan defisiensi bawaan yang disebabkan olehmekanisme


pretranslasi yang mengakibatkan ketidakhadiran messenger ribonucleic acid (mRNA). Defisiensi
SP-B menyebabkan kematian pada bayi aterm atau dekat aterm dan secara klinis bermanifestasi
sebagai respiratory distress syndrome dengan hipertensi pulmo, atau proteinosis alveoli
Kongenital. Penyebab defisiensi SP-B paling sering disebabkan oleh insersi sepasang 2-basa
(121 ins 2) yang memproduksi sinyal premature akhir yang akhirnya menyebabkan absennya SP-
B.

Kira-kira 15% bayi lahir cukup bulan yang meninggal karena sindrom yang mirip RDS
mengalami defisiensi SP-B. kekurangan SP-B menyebabkan kekurangan badan lamellar sel tipe
II dan kekurangan SP-C. mutasi SP-B dan SP-C menyebabkan acute respiratory distress
syndrome dan penyakit paru kronis yang berkaitan dengan akumulasi cedera protein intraseluler,
defisiensi ekstraseluler surfaktan bioaktif peptide atau keduanya. Mutasi gen SP-C juga
merupakan penyebab familial dan sporadic penyakit paru interstisial dan emfisema saat pasien
bertambah usia.

Mutasi ABCA33

Mutasi adenosine triphosphate (ATP)–binding gene (ABCA3) pada bayi menghasilkan


defisiensi surfaktan. ABCA3 sangat penting dalam formasi badan lamellar dan fungsi surfaktan.
Karena sangat berkaitan dengan ABCA1 dan ABCA4 yang mengkode protein yang
mentransportasi fosfolipid di makrofag dan sel fotoreseptor, yang berperan dalam metabolism
fosfolipid surfaktan.

PATOFISIOLOGI

Faktor2 yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli
masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax
masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps
pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi
paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal, pernafasan
menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi
yang menyebabkan asidosis respiratorik3.

Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap
mengembang. Secara makroskopik, paru-paru tampak tidak berisi udara dan berwarna
kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi
untuk mengembang5. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bagian
distal menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan
desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik
karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan
barotrauma atau volutrauma dan toksisitas oksigen, menyebabkan kerusakan pada endothelial
dan epithelial sel jalan napas bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang
berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam
setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36-72 jam setelah
lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit
yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi
Bronchopulmonal Displasia (BPD).

GEJALA KLINIS

Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel
dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat
fungsi surfaktan.Gejala klinis yang timbul yaitu : adanya sesak napas pada bayi prematur segera
setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/menit), pernapasan cuping hidung, grunting,
retraksi dinding dada,dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir.
BerdasarkanBerdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :

Stadium 1. Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara,

Stadium 2. Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan
jantung dengan penurunan aerasi paru.
Stadium 3. Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru
terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas.

Stadium 4. Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat
dilihat.6

Gejala klinis yang progresif dari RDS adalah 1,2,3,5:

a. Takipnea diatas 60x/menit

b. Grunting ekspiratoar

c. Subcostal dan interkostal retraksi

d. Cyanosis

e. Nasal flaring

Pada bayi extremely premature ( berat badan lahir sangat rendah) mungkin dapat
berlanjut apnea, dan atau hipotermi. Pada RDS yang tanpa komplikasi maka surfaktan akan
tampak kembali dalam paru pada umur 36-48 jam. Gejala dapat memburuk secara bertahap pada
24-36 jam pertama. Selanjutnya bila kondisi stabil dalam 24 jam maka akan membaik dalam 60-
72 jam. Dan sembuh pada akhir minggu pertama.5

Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor Silverman-
Anderson dan skor Downes. Skor Silverman-Anderson lebih sesuai digunakan untuk bayi
prematur yang menderita hyaline membrane disease (HMD), sedangkan skor Downes
merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif dan dapat digunakan pada semua usia
kehamilan. Penilaian dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap setengah jam untuk
menilai progresivitasnya.

Tabel 1. Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes

Pemeriksaan

Skor

012

Frekuensi napas < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menit


Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat

Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang

dengan 02

Sianosis menetap

walaupun diberi O2

Air entry Udara masuk Penurunan ringan

udara masuk

Tidak ada udara

masuk

Merintih Tidak merintih Dapat didengar

dengan stetoskop

Dapat didengar tanpa

alat bantu

Skor > 6 : Ancaman gagal nafas

Sumber: Mathai 8

DIAGNOSIS

Tes Kematangan Paru

Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin adalah Tes Kematangan
Paru yang biasanya dilakukan pada bayi prematur yang mengancam jiwa untuk mencegah
terjadinya Neonatal Respiratory Distress Syndrome (RDS). Tes tersebut diklasifikasikan sebagai
tes biokimia dan biofisika8,9

Tes Biokimia (Lesithin - Sfingomyelin rasio)


Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan
amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan
cara menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan amnion.

TesTes ini pertamakali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971, merupakan salah satu
test yang sering digunakan dan sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain. Rasio
Lesithin dibandingkan Sfingomyelin ditentukan dengan thinlayer chromatography (TLC). Cairan
amnion disentrifus dan dipisahkan dengan pelarut organik, ditentukan dengan chromatography
dua dimensi; titik lipid dapat (cairan amnion : ethanol) merupakan indikasi maturitas paru janin.
Pada kehamilan normal, mempunyai nilai prediksi positip yang tepat dengan resiko yang kecil
untuk terjadinya neonatal RDS 1,8,9.

Analisis Gas Darah

Gas darah menunjukkan asidosis metabolic dan respiratorik bersamaan dengan hipoksia,
Asidosis muncul karena atelektasis alveolus dan/atau overdistensi jalan napas terminal. Asidosis
metabolik merupakan asidosis laktat primer, yang merupakan akibat dari perfusi jaringan yang
jelek dan metabolism anaerob12

Radiografi Thoraks

Radiografi thorak pada bayi dengan RDS menunjukkan retikular granular atau gambaran
ground-glass bilateral, difus, air bronchograms, dan ekspansi paru yang jelek. Gambaran air
bronchograms yang mencolok menunjukkan bronkioli yang terisi udara didepan alveoli yang
kolap.Bayangan jantung bisa normal atau membesar. Kardiomegali mungkin dihasilkan oleh
asfiksi prenatal, diabetes maternal, patent ductus arteriosus (PDA), kemungkinan kelainan
jantung bawaan. Temuan ini mungkin berubah dengan terapi surfaktan dini dan ventilasi
mekanik yang adekuat12.

Anda mungkin juga menyukai