Anda di halaman 1dari 24

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Tesis, Agustus 2013

Efektivitas Skin Preparation Terhadap Penurunan Jumlah Koloni Bakteri dan


Kejadian SSI di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta.
xvi + 120 hal + 20 tabel + 15 gambar + 20 lampiran

ABSTRAK
Surgical Site Infection (SSI) adalah kasus infeksi nosokomial tertinggi ketiga di
Rumah Sakit, terutama pada operasi intra abdomen (>20%), akibat masuknya
mikroorganisme (Staphylococcus Aureus) ke jaringan melalui insisi bedah. Mandi
Pencegahan Infeksi (MPI) dilakukan untuk menurunkan jumlah bakteri di
permukaan kulit, sehingga menurunkan risiko SSI. Penelitian ini menggunakan
desain pre experimental dengan One-group Pretest-Posttest design, di RSKB
Cinta Kasih Tzu Chi, selama Mei-Juli 2013, pada 40 pasien laparotomi, yang
diambil secara exhaustive sampling. Tujuan penelitian untuk mengetahui
pengaruh MPI terhadap penurunan koloni bakteri dan pengaruh penurunan koloni
bakteri terhadap SSI. Pemeriksaan apusan debris di Regio Iliaka Kanan, Kiri, dan
Umbilikal dilakukan dengan teknik Total Plate Counter (TPC). SSI diobservasi
pada hari ketiga post operasi. Pada hasil diperoleh penurunan jumlah koloni
bakteri 41,42%, dengan penggunaan sabun anti bakteri (47,5%), usia < 35 tahun
(57,5%), kadar gula darah 100-199 mg/dl (60%), tidak merokok (72,5%),
klasifikasi luka bersih (97,5%), dan kejadian Superficial Incisional Infection
sebesar 32,5%. Hasil Uji Wilcoxon menunjukkan ada perbedaan penurunan
jumlah koloni bakteri sebelum dan setelah MPI (p=0,000). Hasil uji Regresi
Logistik Binary menunjukkan ada pengaruh sabun anti bakteri terhadap
penurunan jumlah koloni bakteri (p = 0,033; Nagelkerke R2= 0,226; OR =6,353),
dan ada pengaruh penurunan jumlah koloni bakteri terhadap pencegahan SSI
(p=0,03; R = 0,689, Nagelkerke R2= 0,689; OR = 5,047). Selain itu, penurunan
koloni bakteri berpeluang 2,16 kali pada penggunaan sabun anti bakteri,
sedangkan SSI berpeluang 34,14 kali pada pasien merokok, dan 28 kali pada
jumlah koloni bakteri yang tidak berkurang.

Kata kunci: Skin preparation, Mandi Pencegahan Infeksi, Koloni Bakteri,


Surgical Site Infection.

Daftar Pustaka: 55 (1995-2013)

1
MASTER OF MEDICAL SURGICAL NURSING SINT CAROLUS SCHOOL
OF HEALTH SCIENCES
Thesis, Augst 2013

An Effect of Skin Preparation to Decrease Bacteria Colonies Genesis and


Incident of Surgical Site Infection in Special Surgery Hospital of Cinta Kasih
Tzu Chi Jakarta
xvi + 120 pages + 20 tables + 15 pictures + 20 attachment

ABSTRACT
Surgical Site Infection (SSI) is the third highest of Nosocomial Infection, in
patients with intra abdominal surgery (>20%), caused by the entry of
microorganisms (Staphylococcus Aureus) into the tissue through a surgical
incision. Preoperative showering was aimed to reduce the bacterial number on
the skin surface, that decrease SSI risk. This study utilized a pre experimental with
One-group pretest-posttest design, in 40’s Laparotomy patients, taken by
exhaustive sampling. The research objective was to determine an effect of
presurgical showering in decreasing the number of bacterial colonies, and to
determine an effect of the decrease number of bacterial colonies to SSI. The
debris swabs at Right Iliac region, Umbilical and Left Iliac were counted by Total
Plate Counter (TPC) technique. The decrease mean of bacterial colony count was
41.42%, used anti-bacterial soap (47.5%), age <35 years (57.5%), blood glucose
100-199 mg/dl (60%), no smoker patients (72.5%), classification of clean wounds
(97.5%), the incidence of Superficial Incisional Infection 32.5%. The Wilcoxon
test proved that there was a difference in decreased number of bacterial colonies
before and after presurgical showering (p=0.000). By using binary logistic
regression test, it was shown the effect of using anti-bacterial soap decreased the
number of bacterial colonies (p=0.033; Nagelkerke R2=0.226; OR=6.353), it was
also proven that there was an effect of decreased number of bacterial colonies on
the incidence of SSI (p=0.03; Nagelkerke R2=0.689; OR=5.047). The decreased
number of bacterial colonies has a chance of 2.16 times in those who used anti
bacterial sapp, while SSI has a chance of 34,14 times in smoker patient, and 28
times in patient with no decrease in bacterial colony.

Keywords: Skin preparation, Preoperative showering, Colony of Bacteria,


Surgical Site Infection.

References: 55 (1995-2013)

2
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Surgical Site Infection (SSI) terjadi sebanyak 15% dari seluruh
kejadian infeksi nosokomial, yang merupakan kasus tertinggi ketiga di rumah
sakit (Centre for Healthcare Related Infection Survailliance and Prevention
& Tuberculosis Control, 2012). Kejadian SSI di Amerika Serikat lebih besar
terjadi pada operasi intra-abdomen (>20%) dibandingkan operasi ekstra-
abdomen; sebesar 2%–5% (Kamel et al, 2012).
Kejadian SSI berdampak pada meningkatnya morbiditas dan
mortalitas akibat panjangnya masa rawat inap di rumah sakit dan tingginya
biaya perawatan. Healthcare-associated infections (HAIs) mencatat sebesar
1,7 juta infeksi dan 99.000 kematian tiap tahun (Garbutt, 2011). Hasil survey
nasional Inggris didapatkan data 1% sampai 10% pasien mengalami SSI
(Health Protection Agency, 2011). Indonesia meneliti sepuluh Rumah Sakit
Umum pendidikan didapatkan infeksi nosokomial terjadi sebesar 6-16%
dengan rata-rata 9,8%, dan kejadian SSI antara 2-18 % (Balaguris. 2009,
dalam Raihana, Nadia. 2011).
Patofisiologis SSI disebabkan oleh masuknya bakteri ke dalam luka
bedah, yang sering terjadi di ruang operasi, yang berasal dari beberapa
sumber termasuk lingkungan, tenaga kesehatan, dan pasien. Sebagian besar
bakteri yang masuk ke dalam luka selama prosedur bedah itu berasal dari
pasien sendiri (Centre for Healthcare Related Infection Survailliance and
Prevention & Tuberculosis Control, 2012). Faktor-faktor risiko terjadinya
SSI antara lain diabetes mellitus, obesitas, malnutrisi, perokok, hipotermia,
usia lanjut, dan kolonisasi dengan mikroorganisme (Pear, 2007).
Mikroorganisme dibersihkan dari permukaan kulit dengan skin
preparation pada persiapan pre operasi; terutama dengan mandi sebelum
operasi; selanjutnya akan digunakan istilah Mandi Pencegahan Infeksi (MPI).
Pelaksanaan MPI pada pasien sebelum masuk ke kamar operasi bertujuan
untuk mengurangi beban bakteri normal pada kulit yang merupakan risiko
utama untuk terjadinya infeksi pasca bedah. Selain paparan mikroorganisme,

3
kejadian SSI meningkat pada pasien dengan faktor-faktor risiko seperti
diabetes mellitus, usia lanjut, kebiasaan merokok, dan kontaminasi luka.
Melalui MPI diharapkan akan menurunkan jumlah koloni bakteri invasif ke
dalam insisi bedah, sehingga mencegah terjadinya SSI.
Penurunan jumlah koloni bakteri akan berdampak terhadap
pencegahan SSI sehingga akan mempercepat proses penyembuhan,
memperpendek lamanya masa perawatan, dan pada akhirnya akan menekan
biaya perawatan yang dibebankan pada pasien. Pembuktian selanjutnya
dilakukan menggunakan alat bantu pemeriksaan laboratorium untuk hitung
jumlah koloni bakteri, sehingga dapat diuji apakah skin preparation dapat
menurunkan jumlah koloni bakteri pada pasien pre operasi laparotomi di
RSKB Cinta Kasih Tzu Chi, dan observasi implikasinya terhadap kejadian
SSI.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah
penelitian, “Apakah skin preparation dengan mandi pencegahan infeksi dapat
menurunkan jumlah koloni bakteri dan kejadian SSI pada pasien laparotomi
di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta?”.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Diketahui pengaruh skin preparation dengan mandi
pencegahanan infeksi (MPI) terhadap penurunan jumlah koloni bakteri
dan implikasinya terhadap kejadian SSI pada pasien laparotomi di
RSKB Cinta Kasih Tzu Chi, periode Mei-Juli 2013.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Diketahui Distribusi Frekuensi Cara MPI, Alat MPI (sabun), Usia,
GDS, Intensitas Merokok, GDS, Kontaminasi Luka, Penurunan
Jumlah Koloni Bakteri dan Kejadian SSI pada pasien laparotomi.

4
2. Diidentifikasi perbedaan jumlah koloni bakteri berdasarkan
permukaan kulit abdomen sebelum dan setelah MPI pada periode
pre operasi laparotomi.
3. Diidentifikasi pengaruh MPI dan faktor-faktor perancu: usia, GDS,
merokok, dan kontaminasi luka secara simultan terhadap
penurunan jumlah koloni bakteri berdasarkan permukaan kulit
abdomen pada pasien pre operasi laparotomi.
4. Diidentifikasi pengaruh penurunan jumlah koloni bakteri setelah
MPI, usia, GDS, merokok, dan kontaminasi luka secara simultan
terhadap kejadian SSI pada periode pasca operasi.

II. METODE PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan desain pre experimental dengan One-group
Pretest-Posttest design, di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi, pada pasien laparotomi.
Sampel penelitian berjumlah 40 pasien, yang diambil secara exhaustive sampling
selama periode Mei-Juli 2013. Sampel penelitian adalah pasien dengan diagnosis
tindakan laparotomi terencana (operasi elektif), berusia ≥ 13 tahun, kadar GDS
dalam batas 80-199 mg/dl, BMI normal: 18 – 25 kg/m2, dan pasien masuk ruang
rawat inap sekurang-kurangnya 1-2 jam sebelum operasi. Intervensi dilakukan
berupa tindakan MPI, kemudian dilakukan pemeriksaan apusan debris di Regio
Iliaka Kanan, Umbilikal, dan Iliaka Kiri; sebelum dan setelah MPI, dengan teknik
Total Plate Counter (TPC) di Laboratorium Mikrobiologi FKUI.
Instrumen yang digunakan berupa lembar pengkajian, lembar observasi
tanda-gejala infeksi, brosur MPI, dan prosedur klinik pelaksanaan MPI. Analisis
data menggunakan Uji Wilcoxon untuk mengetahui perbedaan jumlah koloni
bakteri sebelum dan setelah MPI, dan Uji Regresi Logistik Binary untuk
mengetahui pengaruh MPI dan faktor-faktor perancu terhadap penurunan jumlah
koloni bakteri dan kejadian SSI.

5
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Distribusi Frekuensi Cara MPI, Alat MPI (sabun), Usia, Intensitas
Merokok, GDS, Kontaminasi Luka, dan Kejadian SSI
Seluruh responden penelitian mendapatkan intervensi MPI, yang
dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu dengan cara mandi sendiri dan
cara dimandikan. Alat MPI yang dimaksud adalah penggunaan sabun, dengan
kategori sabun anti bakteri dan non anti bakteri. Sedangkan variabel lain-lain
seperti usia, GDS, merokok, dan kontaminasi luka ditentukan sesuai kriteria
inklusi penelitian.

2,5
27,5 32,5
45 42,5 40
47,5

97,5
72,5 67,5
55 57,5 60
52,5

Mandi Sabun Anti Tidak Usia < 35 GDS 100- Luka Tidak SSI
Sendiri bakteri Merokok tahun 199 mg/dl Bersih

(Sumber: Data Primer Diolah)

Gambar 3.1. Distribusi Frekuensi Cara MPI, Alat MPI, Intensitas Merokok,
Usia, GDS, Klasifikasi Luka dan Kejadian SSI pada Pasien Laparotomi
di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta

Distribusi frekuensi tertinggi responden ditunjukkan pada Gambar 1


yaitu cara MPI mandi sendiri (55%), alat MPI sabun non anti bakteri (52,5%),
usia responden <35 tahun (57,5%), tidak merokok (72,5%), GDS 100-199
mg/dl (60%), klasifikasi luka bersih (97,5%), dan tidak terjadi SSI (67,5%).
Tanda-gejala SSI diobservasi setelah hari ke-3 pasca operasi. Jenis
SSI diklasifikasikan menjadi tiga kategori; yaitu Superficial, Deep, dan

6
Organ. Berdasarkan hasil observasi pada area insisi bedah, maka didiagnosis
seluruh responden yang menunjukkan tanda-gejala SSI adalah klasifikasi
Superficial Incisional Infection (32,5%); yaitu tanda kemerahan (17,5%),
panas (2,5%), nyeri (7,5%), dan 50% bengkak.

3.2 Distribusi Frekuensi Penurunan Jumlah Koloni Bakteri


Tiap responden diambil apusan debris sebanyak dua kali, yaitu
sebelum dan setelah MPI, di tiga area; Regio Iliaka Kanan, Regio Umbilikal,
dan Regio Iliaka Kiri. Sampel selanjutnya disimpan dalam tabung berisi NaCl
0,9% agar bakteri mendapatkan lingkungan tumbuh yang fisiologis sehingga
dapat bertahan hidup sampai di laboratorium mikrobiologi. Selanjutnya
ditanam dalam media Nutrient Agar (NA) dan dan jumlah koloni bakteri
dihitung dari pertumbuhan bakteri setelah pembiakan selama 48 jam.

Sebelum MPI Setelah MPI % Selisih

41,42

77,63
30,13
26,48 15,54
77,7 68,8
65,03 22,78
132,43 9,95 53,7
54,85
91,98 98,93
88,48
76,48
64,8

Iliaka kanan- Iliaka kanan- Umbilikal-1 Umbilikal-2 Iliaka kiri-1 Iliaka kiri-2
1 2

(Sumber: Data Primer Diolah)


Gambar 3.2. Distribusi Frekuensi Rata-rata Penurunan Jumlah Koloni Bakteri
pada Pasien Laparotomi di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta

Rata-rata penurunan jumlah koloni bakteri tergambarkan dalam


Gambar 2. Jumlah koloni bakteri tertinggi sebelum MPI ditemukan di regio
iliaka kanan 132,43 CFU/cm3 dan di regio ini yang mengalami penurunan
terbanyak (41,42%), sedangkan nilai penurunan terendah terjadi di regio
umbilikal (15,54%).

7
Jenis koloni bakteri yang diamati adalah Staphylococcus Aureus dan
Bassilus. Sifat Staphylococcus Aureus adalah kompetitor lemah dalam
ekosistem mikrobial yang kompleks sehingga adanya bakteri patogen dan
pembusuk lain dapat menghambat pertumbuhannya (Ash, 2000). Selain itu,
menurut Le Loir et al (2003), pertumbuhan bakteri juga dipengaruhi oleh
suhu, pH, aktivitas air (aw), atmosfer, natrium clorida, kelembaban, cahaya,
dan oksigen.
Staphylococcus Aureus tumbuh pada suhu optimum pertumbuhan 30-
37oC. Kisaran pH pertumbuhan antara 4,5 hingga 9,3, dengan pH optimum 7.0-
7.5 (Bennet dan Monday, 2003). Berdasarkan aktivitas air (a w), Staphylococcus
Aureus mampu tumbuh pada kadar aw yang lebih rendah dibandingkan dengan
bakteri nonhalofilik lainnya. Pertumbuhan Staphylococcus Aureus tetap terjadi
pada aw 0,83 yang merupakan kondisi di bawah ideal untuk pertumbuhan
kebanyakan bakteri. Kebanyakan galur-galur Staphylococcus Aureus
mempunyai toleransi tinggi terhadap konsentrasi garam dan gula. Bakteri ini
masih dapat bertahan hidup pada konsentrasi natrium klorida lebih dari 15% dan
memiliki toleransi tinggi terhadap komponen-komponen seperti telurit, merkuri
klorida, neomycin, polymixin dan sodium azida, yang semuanya dapat
digunakan sebagai media selektif Staphylococcus Aureus (Le Loir et al., 2003).

3.3 Perbedaan Penurunan Jumlah Koloni Bakteri Sebelum dan Setelah MPI
Tabel 3.1. Perbedaan Penurunan Jumlah Koloni Bakteri Sebelum
dan Setelah MPI pada Pasien Laparotomi di RSKB Cinta Kasih
Tzu Chi Jakarta
Regio Iliaka Kanan F % p value
Tidak turun 5 12,5
Turun 35 87,5 0,000
Total 40 100,0
Regio Umbilikal F % p value
Tidak turun 16 40,0
Turun 24 60,0 0,178
Total 40 100,0
Regio Iliaka Kiri F % p value
Tidak turun 16 40,0
Turun 24 60,0 0,045
Total 40 100,0
(Sumber: Data Primer Diolah)

8
Pada Uji Wilcoxon didapatkan perbedaan penurunan jumlah koloni
bakteri yang bermakna terjadi di regio iliaka kanan (p. = 0,000) dan regio
iliaka kiri (p. = 0,045).
Pengamatan di area permukaan kulit abdomen menunjukkan bahwa
mikrobakteri jenis Staphylococcus Aureus dan Bassilus mampu bertahan
hidup dan berkembangbiak di permukaan kulit manusia. Media kulit yang
efektif untuk tumbuh kembangnya mikrobakteri ini dipengaruhi oleh
lingkungan yang mendukung seperti kelembaban kulit, rambut, dan lipatan-
lipatan kulit yang mendukung mikrobakteri mudah tinggal/menempel di
atasnya. Mikrobakteri berkurang setelah dibersihkan dengan tindakan MPI.
Dari nilai signifikan di atas menunjukkan bahwa penggunaan bahan air
bersih dan sabun mandi dalam MPI terbukti efektif dalam membasmi
bakteri yang menempel di permukaan kulit abdomen.
Adanya perbedaan penurunan jumlah koloni bakteri di Regio Iliaka
kanan dan kiri ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
peneliti sebelumnya, Veiga et al (2008). Veiga melakukan penelitian
terhadap 114 pasien dalam perawatan rumah sakit di Brazil, pada pasien
bedah plastik abdomen dan thorax dengan klasifikasi luka bersih. Pada
kelompok intervensi mendapat perlakuan mandi menggunakan PI,
sedangkan pada kelompok kontrol mandi dengan sabun mandi biasa.
Hasilnya diperoleh p. = 0,0019 < 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan
antara kelompok yang mendapatkan PI dengan kelompok yang mandi
dengan sabun biasa. Atau dengan kata lain, penggunaan sabun mandi dapat
menurunkan jumlah koloni bakteri.

3.4 Pengaruh Cara MPI, Alat MPI (Sabun), dan Intensitas Merokok
Terhadap Penurunan Jumlah Koloni Bakteri
Pengamatan terhadap variabel yang mempengaruhi penurunan
jumlah koloni bakteri seperti cara MPI, alat MPI, dan intensitas merokok
ditunjukkan dalam Gambar 3.3.

9
1
0,937
0,9
0,8
0,7
0,6
Cara MPI
0,5
Sabun
0,4 0,383 Rokok
0,33
0,3
0,2
0,1
0
Cara MPI Sabun Rokok

(Sumber: Data Primer Diolah)

Gambar 3.3. Pengaruh Cara MPI, Alat MPI (sabun), dan Intensitas Merokok
Terhadap Penurunan Jumlah Koloni Bakteri pada Pasien Laparotomi di RSKB
Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta

Nightingale menekankann bahwa pemeliharaan kulit merupakan


bagian penting dalam pemeliharaan kesehatan (George, 1995 dan Tomey,
2004). Menurutnya, banyak penyakit yang dapat ditimbulkan akibat
kerusakan kulit, oleh sebab itu ekskresi pada kulit harus dibersihkan dengan
cara mandi atau menggunakan pakaian bersih. Dalam keadaan sakit, kulit
harus tetap dijaga kebersihannya, bersihkan dan keringkan kulit agar pasien
merasa nyaman. Bahkan saat pasien terbaring di tempat tidur, perawat harus
dapat membantu memandikan pasien. Nightingale juga menyarankan
penggunaan sabun mandi dan air hangat untuk mandi atau membersihkan
kulit. Mandi memiliki efek tidak sekedar kebersihan semata. Kulit menyerap
air dan menjadi lebih lembut dan menghapus ekskresi yang dikeluarkan
keringat. Oleh sebab itu, dalam aplikasi keperawatan perioperatif, mandi
dinilai sangat penting untuk membersihkan debu-debu dan kotoran yang
menempel di kulit, sehingga akan menurunkan risiko terjadinya infeksi.

10
Gambar 3.4. Model Efektivitas Skin Preparation Terhadap Penurunan Jumlah
Koloni Bakteri dan Implikasinya Terhadap Kejadian Surgical Site Infection
Dengan Pendekatan Model Keperawatan Lingkungan Menurut Florence
Nightingale (Model dikembangkan oleh Peneliti)

Menurut Nightingale, ventilasi dan kebersihan kulit adalah sama


pentingnya. Faktor adanya transmisi mikroorganisme dari udara dalam
ruangan merupakan pencetus terpaparnya pasien dengan mikroorganisme
saat dalam masa perawatan. Wikansari et al (2012), melakukan penelitian
observasional di Rumah Sakit X Semarang yang bertujuan mengetahui
perbedaan kuman total udara dalam ruangan perawatan kelas II dan kelas III
serta mengidentifikasi Staphylococcus aureus dalam ruang rawat inap,
dengan sampel 16 kamar rawat inap. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa rata-rata kuman pada kamar rawat inap pasca bedah kelas II dan III
sebesar 281 CFU/m3 dan 717 CFU/m3 dan rata-rata kuman pada kamar
rawat inap penyakit dalam kelas II dan III sebesar 1.095 CFU/m3 dan 1.522
CFU/m3. Sejumlah 10 kamar memilki angka kuman udara melebihi ambang
batas total kuman di ruang rawat inap. Berdasarkan uji t, menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan total kuman udara di ruang rawat

11
inap pasca bedah dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan total kuman
udara di ruang rawat inap penyakit dalam. Pada ruang rawat inap penyakit
dalam di kamar 1 dan 4 ruang ditemukan Staphylococcus aureus.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa di dalam ruangan rawat
inap ditemukan adanya Staphylococcus aureus. Secara alamiah,
Staphylococcus aureus yang melayang-layang di udara ruangan bisa
berpindah ke area kulit atau ke alat dan bahan-bahan yang digunakan untuk
pemeriksaan apusan debris.
Alat MPI diobservasi berdasarkan jenis sabun mandi yang digunakan
responden, dibedakan menjadi dua; mengandung anti bakteri dan non-anti
bakteri. Sebanyak 19 responden (47,5%) menggunakan sabun mandi yang
mengandung antibakteri. Anti bakteri yang digunakan adalah
Methylchloroisothiazolinone dan Methylosthiazolinone. Bahan anti bakteri
yang terkandung di dalam sabun memberikan efek anti alergi dan
mendesinfeksi mikroorganisme di permukaan kulit. Dengan demikian
disimpulkan bahwa mandi dengan sabun sudah cukup efektif untuk
menurunkan jumlah koloni bakteri, dan efektivitasnya semakin meningkat
pada penggunan anti bakteri.
Menurut Reichman efektivitas penggunaan antiseptik sangat
bervariasi, tergantung konsentrasi, suhu, tingkat keasaman, jenis kuman atau
virus tertentu, dan waktu kontak (Reichman, 2009). Faktor-faktor seperti
suhu, pH, aktivitas air, cahaya dan oksigen menjadi bagian yang belum
dikontrol, sehingga masih banyak faktor perancu yang mendukung
pertumbuhan koloni bakteri. Faktor-faktor tersebut menjadi bagian yang
belum dikontrol, sehingga sulit untuk mendapatkan gambaran lebih detail.
Uji statistik untuk pengaruh intensitas merokok terhadap penurunan
jumlah koloni bakteri menghasilkan kesimpulan bahwa tidak ada pengaruh
intensitas merokok terhadap penurunan jumlah koloni bakteri. Hasil ini
mendukung Sriandayani (2002) yang telah melakukan penelitian untuk
mengetahui sampai sejauh mana asap rokok mempengaruhi pertumbuhan
bakteri in vitro. Hasil penelitian menunjukkan asap rokok menghambat
pertumbuhan Staphylococcus aureus in vitro, tetapi penghambatan ini

12
bersifat sementara karena setelah dipindahtanamkan ke Manitol Salt Agar
(MSA) hasil uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna.
Namun demikian, menurut Hussey (2007), rokok mempengaruhi penurunan
sistem kekebalan tubuh (Hussey LC et al, dalam Pear, 2007, 61). Dengan
demikian dapat dijelaskan bahwa intensitas merokok tidak secara langsung
mampu menurunkan jumlah koloni bakteri, tetapi pengaruh rokok itu sendiri
akan memberikan risiko tinggi terhadap penurunan sistem kekebalan tubuh.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Supardi dan Sukamto (1999), bahwa
persentase Staphylococcus aureus yang hidup dan berkembang di dalam
tubuh sangat besar pada perokok aktif, jika dibandingkan dengan yang tidak
merokok.

3.5 Probabilitas Individu


Rancangan cohort prospektif regresi logistik dapat digunakan untuk
memprediksi probabilitas individu berdasarkan nilai-nilai sejumlah variabel
yang diukur padanya (Munor, 2000, 296).
1. Peluang Penurunan Jumlah Koloni Bakteri pada Responden yang
Menggunakan Alat MPI Sabun Anti Bakteri
Berikut ini dihitung nilai probabilitas personal untuk
memprediksi besarnya peluang penurunan jumlah koloni bakteri pada
pasien yang menggunakan sabun anti-bakteri (Tabel 5.8).

Tabel 3.2 Pengaruh Alat MPI: Sabun Anti Bakteri Terhadap Penurunan
Jumlah Koloni Bakteri
Nama Responden
Kar Yoh B
Sabun 0 1 0,068
Merokok 0 0 1,850
MPI 1 1 0,069
Constant -0,778
(Sumber: Data Primer Diolah)

Kedua responden di atas (Kar dan Yoh) memiliki kebiasaan tidak


merokok dan pelaksanaan MPI dimandikan. Tetapi, Kar menggunakan
sabun non-anti bakteri, sedangkan Yoh menggunakan sabun anti

13
bakteri. Untuk mengetahui probabilitas penurunan jumlah koloni
bakteri pada Kar dan Yoh digunakan model logistis sebagai berikut:
Model Logistik p = 1 / 1+e-z
e = bilangan natural 2,718
z = constant + b1x1 + b2x2+b3

Yoh (Sabun anti bakteri)


z = -0,778 + 0,068(1) + 1,850 (1) + 0,069(0)
z = 1,072
Kar (Sabun non-anti bakteri)
z = – 0,778 + 0,068(1) + 1,850 (0) + 0 ,069(0)
z = – 0,641
Rumus menentukan estimasi probabilitas individu yang menggunakan
sabun anti bakteri untuk mengalami penurunan jumlah koloni bakteri
adalah sebagai berikut:
Yoh (sabun anti bakteri)
p = 1 / 1+e-z
p = 1 / 1+2,718-(1,072)
p = 1 / 1+
p = 1 / 0,342
p = 0,745
Kar (sabun non-antibakteri)
p = 1 / 1+e-z
p = 1 / 1+2,718-(-0,641)
p = 1 / 1+1,898
p = 1 / 2,898
p = 0,345
OR= 0,745 = 2,16
0,345

Hasil penghitungan menunjukkan bahwa Yoh (menggunakan sabun anti


bakteri) berpeluang sebesar 2,16 kali lebih tinggi mengalami penurunan

14
jumlah koloni bakteri dibandingkan Kar (menggunakan sabun non-anti
bakteri).
2. Peluang Penurunan Jumlah Koloni Bakteri Pada Responden yang
Tidak Merokok
Berikut ini dihitung nilai probabilitas personal untuk memprediksi
besarnya peluang penurunan jumlah koloni bakteri pada pasien yang
tidak merokok (Tabel 2.3).

Tabel 3.3 Pengaruh Merokok Terhadap Penurunan


Jumlah Koloni Bakteri
Nama Responden
Mrgn Wil B
Merokok 1 0 1,850
Sabun 1 1 0,068
MPI 1 1 0,069
Constant -
0,778
(Sumber: Data Primer Diolah)

Kedua responden di atas (Mrgn dan Wil) menggunakan sabun anti


bakteri, dan pelaksanaan MPI dimandikan, perbedaannya adalah Mrgn
tidak merokok sedangkan Wil merokok. Untuk mengetahui probabilitas
dari tiap individu digunakan model logistis sebagai berikut:
Model Logistik p = 1 / 1+e-z
e = bilangan natural 2,718
z = constant + b1x1 + b2x2+b3
Mrgn (tidak merokok)
z = – 0,778 + 1,850 (1) + 0,068(1) + 0,069(1)
z = 1,209
Wil (merokok)
z = – 0,778 + 1,850 (0) + 0,068(1) + 0,069(1)
z = – 0,641
Rumus untuk menentukan estimasi probabilitas individu yang tidak
merokok untuk mengalami penurunan jumlah koloni bakteri adalah
sebagai berikut:

15
Mrgn (tidak merokok)
p = 1 / 1+e-z
p = 1 / 1+ 2,718-(1,209)
p = 1 / 1 + 3,35
p = 1 / 4,35
p = 0,23
Wil (merokok)
p = 1 / 1+e-z
p = 1 / 1+2,718-(-0,641)
p = 1 / 1+ 1,89
p = 1 / 2,89
p = 0,34
OR= Wil = 0,34 / 0,23 = 1,5
Mrgn

Hasil penghitungan menunjukkan bahwa Wil (merokok) berpeluang


sebesar 1,5 kali lebih tinggi untuk tidak mengalami penurunan jumlah
koloni bakteri dibandingkan Mrgn (tidak merokok).
3. Peluang Penurunan Jumlah Koloni Bakteri Pada Responden
dengan yang Dimandikan
Berikut ini dihitung nilai probabilitas personal untuk
memprediksi besarnya peluang penurunan jumlah koloni bakteri pada
pasien yang mandi sendiri (Tabel 3.4).

Tabel 3.4 Pengaruh MPI Terhadap Penurunan


Jumlah Koloni Bakteri
Nama Responden
Fit Nur B
MPI 1 0 0,069
Merokok 0 0 1,850
Sabun 0 0 0,068
Constant -
0,778
(Sumber: Data Primer Diolah)

16
Kedua responden di atas (Fit dan Nur) tidak merokok, dan
menggunakan alat MPI sabun non-anti bakteri, perbedaannya adalah Fit
dimandikan sedangkan Nur mandi sendiri di kamar mandi. Untuk
mengetahui probabilitas dari tiap individu digunakan model logistis
sebagai berikut:
Model Logistik p = 1 / 1+e-z
e = bilangan natural 2,718
z = constant + b1x1 + b2x2+b3
Fit (dimandikan)
z = – 0,778 + 0,069(1) + 1,850 (1) + 0,068(0)
z = 1,141
Nur (mandi sendiri)
z = – 0,778 + 0,069(0) + 1,850 (0) + 0,068(0)
z = – 0,778
Rumus untuk menentukan estimasi probabilitas individu yang mandi
sendiri untuk mengalami penurunan jumlah koloni bakteri adalah
sebagai berikut:
Fit (dimandikan)
p = 1 / 1+e-z
p = 1 / 1+2,718-(1,141)
p = 1 / 1+ 3,13
p = 1 / 4,13
p = 0,24
Nur (mandi sendiri)
p = 1 / 1+e-z
p = 1 / 1+2,718-(-0,778)
p = 1 / 1+2,18
p = 1 / 3,18
p = 0,31
OR= Nur = 0,31 / 0,24 = 1,29
Fit

17
Hasil penghitungan menunjukkan bahwa Nur (mandi sendiri)
berpeluang sebesar 1,29 kali lebih tinggi mengalami penurunan jumlah
koloni bakteri dibandingkan Fit (dimandikan).

3.6 Pengaruh Penurunan Jumlah Koloni Bakteri Setelah MPI, Usia, GDS,
Merokok, dan Kontaminasi Luka Terhadap Kejadian SSI

Tabel 3.5 Uji Koefisien Regresi Pengaruh Penurunan Jumlah Koloni Bakteri
Setelah MPI, Usisa, GDS, Merokok, dan Kontaminasi Luka Terhadap Kejadian
SSI pada Pasien Laparotomi di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta

Hosmer
Nagelkerke
Sig. B and -2 Log
X Variabel Lemshow’s Likelihood R2

Goodness Block- Block


of Fit Test 0 -1
1. Koloni Bakteri 0,030 1,619 50,446 23,19 0,689
0,703
Iliaka Kanan 6
2. Koloni Bakteri 0,020 -1,265
Umbilikal
3. Koloni Bakteri 0,182 ,968
Iliaka Kiri
4. Usia 0,995 ,004
5. GDS 0,246 -1,004
6. Merokok 0,067 4,270
7. KlasLuka 1,000 -21,132
Constant 1,000 29,293
(Sumber: Data Primer Diolah)

Pada Uji Regresi Logistik Binary diperoleh nilai Hosmer and Lemeshow
Test SSI 0,703 > 0,05 ini berarti bahwa model regresi binary layak dipakai untuk
analisis selanjutnya karena tidak ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang
diprediksi dengan klasifikasi yang diamati. Pada Angka -2 Log likehood (-2 LL)
(Blok-0) mengalami penurunan pada angka -2 LL Blok-1. Penurunan ini
menunjukkan model regresi yang baik. Nilai Beta seluruh variabel yang diteliti
dapat dirumuskan persamaan matematis Regresi Logistik Binary sebagai berikut:

Z = 29,293 + 1,619 X1 - 1,256 X2+ 0,968 X3 + 0,004 X4 - 1,004 X5 +


4,270 X6 - 21,132 X7

18
Nilai probabilitas jumlah koloni bakteri setelah MPI signifikan terhadap
kejadian SSI di Regio Iliaka kanan (0,030<0,05) dan Regio Umbilikal
(0,020<0,05). Maka disimpulkan, ada pengaruh penurunan jumlah koloni bakteri
di regio kanan dan pusat terhadap kejadian SSI. Sedangkan pada faktor usia,
GDS, merokok, dan kontaminasi luka tidak berpengaruh terhadap kejadian SSI.
Nagelkerke R2= 0,689 = 68,9%, dengan demikian dapat dijelaskan
meskipun pada analisis masing-masing variabel tidak memberikan nilai signifikan
(untuk variabel penurunan jumlah koloni bakteri di iliaka kiri, usia, GDS,
merokok, dan kontaminasi luka, namun secara simultan keseluruhan variabel
memberikan kontribusi terhadap kejadian SSI.
Menurut Munor (2000, 296), rancangan cohort prospektif regresi logistik
dapat digunakan untuk memprediksi probabilitas individu berdasarkan nilai-nilai
sejumlah variabel yang diukur padanya.
Dengan menggunakan Model Logistik p = 1 / 1 + e-z, maka diperoleh hasil
pada pasien yang tidak mengalami penurunan jumlah koloni bakteri berpeluang
sebesar 28 kali lebih tinggi untuk mengalami kejadian SSI dibandingkan pasien
yang mengalami penurunan jumlah koloni bakteri, dan pasien yang merokok
berpeluang sebesar 34,14 kali lebih tinggi untuk mengalami kejadian SSI
diabndingkan pasien yang tidak merokok.
Tanda dan gejala SSI diperoleh dari hasil anamnesis dan observasi pada
area insisi bedah, ditemukan adanya nyeri, kemerahan, panas, dan bengkak
(klasifikasi Superficial Incitional Infection). Ketika kulit diinsisi, jaringan terpapar
dengan flora di atasnya (Reichman et al, 2009, 212-221), dengan tingginya jumlah
mikroorganisme yang menempel di permukaan kulit maka akan meningkatkan
risiko masuknya mikroorganisme tersebut ke dalam jaringan melalui insisi bedah,
dan pada akhirnya akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi setelah
pembedahan. Risiko infeksi bervariasi menurut jenis insisi bedah. Misalnya,
prosedur invasif yang menyebabkan masuknya bakteri ke dalam tubuh terutama
usus, lebih rentan terhadap infeksi. Mikroorganisme penyebab SSI adalah
Staphylococcus aureus, koagulase-negatif Staphylococci, Enterococcus spp, dan
Escherichia coli. Patogen sebagian besar adalah aerob khususnya gram positif
seperti Staphylococcus aureus dan Streptococcus (Owens, 2008, 5).

19
Pengamatan terhadap 40 responden, dipilih 10 sampel apusan debris secara
acak, kemudian dilakukan pengamatan dalam laboratorium untuk mengetahui
jenis mikroorganisme yang tumbuh di permukaan kulit abdomen yang diperiksa.
Ditemukan bahwa mikroorganisme yang hidup adalah jenis Staphylococcus
aureus dan Basilus (flora normal). Kedua jenis mikroorganisme tersebut
merupakan flora normal yang hidup di permukaan kulit, akan tetapi
Staphylococcus aureus dan Basilus akan menjadi patologis jika masuk ke dalam
jaringan.
Hasil akhir pada penelitian ini mendukung standar perawatan perioperatif
yang dibuat oleh National Institute for Health and Clinical Excellence (2008),
bahwa untuk mencegah terjadinya SSI, harus dimulai sejak awal perawatan pre
operasi, intra operasi, sampai dengan post operasi. Sesuai dengan rekomendasi
Association of Surgical Technologists, bahwa tindakan terbaik untuk mencegah
infeksi pembedahan adalah dengan (1) preoperative skin preparation, (2)
pemberian antibiotic prophylaxis (3) kontrol gula darah, (4) perawatan luka (5)
dan hand washing (Haycock et al, 2005). Jika semua tindakan itu dapat dilakukan
idealnya pasien yang tidak mengalami infeksi tidak memerlukan antibiotik pasca
bedah.

IV. SIMPULAN

1. Variasi distribusi frekuensi tertinggi dari 40 responden yang diteliti


pelaksanaan MPI (55%) mandi sendiri, Sabun yang digunakan 52,5% jenis
non antibakteri, Usia 57,5% < 35 tahun, GDS, 60% kadar > 100- 199 mg/dl,
kebiasaan Merokok, 72,5% tidak merokok, klasifikasi luka 97,5% jenis luka
bersih, dan kejadian SSI (67,5%). Penurunan jumlah koloni bakteri, di Regio
Iliaka Kanan (87,5%), Regio umbilikal (60%), Regio Iliaka Kiri (72,5%).
2. Ada perbedaan penurunan jumlah koloni bakteri sebelum dan setelah MPI di
area permukaan kulit abdomen Regio Iliaka Kanan (p value 0,000 < 0,05) dan
Kiri (p value 0,045 < 0,05) secara bermakna.

20
3. Ada pengaruh jenis sabun terhadap penurunan jumlah koloni bakteri di regio
Umbilikal (p value 0,03), dengan nilai OR 6,358, dan tingkat determinasi
sebesar 22,6%.
4. Ada pengaruh penurunan jumlah koloni bakteri setelah MPI di Area abdomen
Regio Iliaka Kanan dan Regio Umbilikal terhadap kejadian SSI, dengan p
value 0,030 (OR. 5,47) dan 0,020, dengan tingkat determinasi sebesar 68,9%.

V. SARAN

1. Bagi Rumah Sakit


1.1 Menjadikan tindakan MPI sebagai standar prosedur persiapan operasi di
unit Keperawatan dan Kebidanan.
1.2 Perawat menganjurkan pasien untuk mandi sebelum operasi, jika keadaan
umum pasien lemah maka perawat berinisiatif untuk memandikan pasien.
1.3 Menyediakan sabun mandi anti-bakteri sebagai alat mandi bagi pasien
pra-operasi.
1.4 Memisahkan ruang perawatan bedah dan perawatan penyakit dalam
untuk mencegah transmisi mikroorganisme.
1.5 Melengkapi ruangan dengan exhouse untuk memfasilitasi sirkulasi udara
sehingga udara dalam ruangan rumah sakit dapat berganti dengan udara
yang baru dari luar.
1.6 Melakukan tindakan pencegahan penyebaran mikroorganisme di dalam
ruang rawat inap dengan cara melakukan sterilisasi ruangan rawat inap
secara berkala untuk membersihkan kembali ruangan dari kontaminasi
mikroorganisme yang dibawa baik oleh pasien, perawat, maupun
pengunjung.
1.7 Untuk mengetahui adanya pencemaran udara di dalam ruang Rumah
sakit yang dapat mebahayakan pasien, diperlukan alat pengujian kualitas
udara.
2. Bagi STIK Sint Carolus
2.1 Mengembangkan Daftar Tilik MPI sebagai salah satu materi yang
diajarkan dalam praktikum mata kuliah keperawatan medikal bedah.

21
2.2 Melatih mahasiswa untuk mengenal sedini mungkin tanda-gejala infeksi
pasca pembedahan, dan perawatannya.
3. Bagi Pasien Pre operasi Laparotomi
3.1 Persiapan operasi dilakukan sejak dua hari sebelum jadwal operasi yang
direncanakan. Pasien dianjurkan untuk mandi 2x sehari selama dua hari
berturut-turut, dan mandi pagi di hari pelaksanaan operasi yang telah
direncanakan.
3.2 Memperhatikan area lipatan lubang pusat, membersihkannya lebih hati-
hati untuk mengangkat debu-debu yang menempel di sudut-sudut lubang
pusat.
4. Bagi Penelitian Selanjutnya
4.1 Melakukan penelitian menggunakan variabel-variabel suhu, pH, aktivitas
air, atmosfir, natrium clorida, kelembaban udara, cahaya, dan oksigen
sehingga diketahui pengaruhnya terahadap penurunan jumlah koloni
bakteri serta implikasinya terhadap kejadian SSI.
4.2 Menguji kembali variabel yang bermakna pada hasil penelitian ini seperti
pengaruh rokok dan penurunan jumlah koloni bakteri, menggunakan
desain penelitian true experiment dengan membagi responden atas dua
kelompok (kelompok intervensi dan kontrol), serta menambahkan jumlah
sampel penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Akbari CM,et.al. dalam Pear, Suzanne M. (2007). Patient Risk Factors and Best
Practices for Surgical Site Infection Prevention. Education & Training.
Copyright 2007/ Workhorse Publishing L.L.C/ All Rights Reseved. p.60.
Badan Standarisasi Nasional. (2011). Cara Uji Mikrobiologi-Bagian 9 Penentuan
Staphylococcus Aureus pada Produk Perikanan. Standar Nasional
Indonesia, Badan Standarisasi Nasional. p.1-19.
http://www.bkipm.kkp.go.id/bkipm/public/files/sni/SNI%202332.9-
2011%20UJI%20S%20AUREUS.pdf. Akses 12/02/2013, pk.00.53.
Fry DE dalam Pear, Suzanne M. (2007). Patient Risk Factors and Best Practices
for Surgical Site Infection Prevention. Education & Training. Copyright
2007/ Workhorse Publishing L.L.C/ All Rights Reseved. p.62.
Garbutt, Maj. Susan J. (2011). Preparing the Skin Before Surgery. OR Nurse
Journal.

22
George, Julia B. (1995). Nursing Theories: The Base for Professional Nursing
Practice. Fourth edition. United States of America: Appleton & Lange.
p.35-45.
Gulanick, Myers. (2006). Nursing Care Plans Nursing Diagnosis and
Intervention. 6th edition. United States: Mosby. p.106, 1050.
Guy’s and St Thomas’ NHS Foundation. (2012). Preparing Your Skin Before
Cardiac or Vascular Surgery Using Chlorhexidine Gluconate Skin
Preparations. http://www.guysandstthomas.nhs.uk/resources/patient-
information/infection/3472-preparing-your-skin-before-cardiac-or-
vascular-surgery-using-chlorhexidine-gluconate-skin-preparations.pdf.
Akses: 07/ 02/ 2013. pk.01.00.
Haycock, Camille. et.al. (2005). Implementing Evidencebased Practice Findings
to Decrease Postoperative Sternal Wound Infections Following Open
Heart Surgery. Journal of Cardiovascular Nursing. Vol. 20, No. 5, pp 299–
305 ❘ © 2005 Lippincott Williams & Wilkins, Inc.
Heisler, Jennifer. (2011). What Is an Exploratory Laparotomy Surgery. About.com
Health's Disease and Condition content is reviewed by the Medical
Review Board.
http://surgery.about.com/od/proceduresaz/ss/LaparotomySurge_3.htm.
Akses 17/02/2013, pk.08.50.
Horan TC, et.al. CDC Definitions of Nosocomial Surgical Site Infections, 1992:
aAModification of CDC Definitions of Surgical Wound Infections. Infect
Control Hosp Epidemiol 1992; 13:606 608. Dalam Owens, C.D. and K.
Stoessel. (2008). Surgical Site Infections: Epidemiology, Microbiology and
Prevention. Journal of Hospital Infection (2008) 70(S2) 3–10. Published
by Elsevier Ltd. All rights reserved.
http://www.ccih.med.br/m/aluno/mod/biblioteca_virtual/revistas_2008/jor
nal_of_hospital_infection/novembro_suplemento/03.pdf.
Akses 07/02/2013, pk.10.44.
Hussey LC. et.al. dalam Pear, Suzanne M. (2007). Patient Risk Factors and Best
Practices for Surgical Site Infection Prevention. Education & Training.
Copyright 2007/ Workhorse Publishing L.L.C/ All Rights Reseved. p.61.
Jakobsson J.et.al. 2011. dalam Kamel, Chris. et.al. (2012). Preoperative Skin
Antiseptic Preparations for Preventing Surgical Site Infections: A
Systematic Review. p. 615.
Kamel, Chris. et.al. (2012). Preoperative Skin Antiseptic Preparations for
Preventing Surgical Site Infections: A Systematic Review. p. 608-617.
http://www.ccih.med.br/m/aluno/mod/biblioteca_virtual/revistas_2012/IC
HE/Junho/0608.pdf. Akses: 06/02/2013, pk.00.24.
Kozier, Barbara. et al. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik. Edisi 7. Alih bahasa, Pamilih Eko Karyuni et al.
Editor edisi bahasa Indonesia, Dwi Widiarti et al. Jakarta: EGC.
Lewis, et al. (2011). Medical-Surgical Nursing Assessment and Management of
Clinical Problems. Eighth edition. United States of America: Elsevier
Mosby. p.334 – 335.
Murti, Bhisma. (2010). Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif
dan Kuaitatif di Bidan Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

23
Nurkusuma, Dudy Disyadi. (2009). Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) pada Kasus Infeksi
Luka Pasca Operasi di Ruang Perawatan Bedah Rumah Sakit Dokter
Kariadi Semarang. Tesis Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Biomedik
dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah. Universitas
Diponegoro Semarang.
http://eprints.undip.ac.id/28863/1/Dudy_Disyadi_Nurkusuma_Tesis.pdf.
Akses: 17/02/2013, pk.18.04.
Owens, C.D. and K. Stoessel. (2008). Surgical Site Infections: Epidemiology,
Microbiology and Prevention. Journal of Hospital Infection (2008) 70(S2)
3–10. Published by Elsevier Ltd. All rights reserved.
http://www.ccih.med.br/m/aluno/mod/biblioteca_virtual/revistas_2008/jor
nal_of_hospital_infection/novembro_suplemento/03.pdf. Akses
07/02/2013, pk.10.28.
Pear, Suzanne M. (2007). Patient Risk Factors and Best Practices for Surgical
Site Infection Prevention. Education & Training. p.56-54. Copyright 2007/
Workhorse Publishing L.L.C/ All Rights Reseved.
Raihana, Nadia. (2011). Profil Kultur dan Uji Sensitivitas Bakteri Aerob dari
Infeksi Luka Operasi Laparotomi di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang.
http://pasca.unand.ac.id/id/wp-content/uploads/2011/09/artikel5.pdf. akses:
12/ 02/ 2013, pk.23.13.
Ramadhan. et.al. (2009). Effective foot disinfection: an Evaluation of Scrubbing
Technique using Chlorhexidine Glukonate and Centrimide Combined With
Povidine Iodine Solutions. Makassar: Universitas Hassanudin.
Reichman, David E and James A Greenberg. (2009). Reducing Surgical Site
Infections: A Review. Revewes in Obstetrics and Gynecology. p.212-221.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2812878/. Akses: 06/ 02/
2013,pk. 000.32.
Sayed, Imam A.El. et.al. (2008). Patient Skin Preparation for Surgery. J Egypt
Public Health Assoc Vol. 83 No. 3 & 4, 2008.
Susilo, Wilhelmus Hary dan M. Havidz Aima. (2013). Penelitian dalam Ilmu
Keperawatan Pemahaman dan Penggunaan Metode Kuantitatif Serta
Aplikasi dengan Program SPSS dan Lisrel. Jakarta: Penerbit In Media.
Sriandayani, Fanny Rahardja, Widura. (2002). Pengaruh Asap Rokok Terhadap
Pertumbuhan Bakteri In Vitro. Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Maranatha, Bandung.
Tomey, Ann Marriner adn Martha Raile Alligood. (2004). Nursing Theorists and
Theri Work. Fifth Edition. Philippines: Mosby an imprint of Elseivier.
Walker, Jan. and Palo Almond. (2010). Interpreting Statistical Findings A Guide
for Health Professionals and Students. London: The McGraaw Hill
Companies.
Wikansari, Nurvita. et.al. (2012). Pemeriksaan Total Kuman Udara dan
Staphylococcus Aureus di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit X Kota
Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Volume 1, Nomor 2, Tahun
2012, Halaman 384 - 392 Online di
http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm. Akses: 12/02/2013, pk.23.25.

24

Anda mungkin juga menyukai