Anda di halaman 1dari 15

PERAWATAN PASCA ANESTESI

KONSEP UTAMA

1. Pasien tidak boleh dipindahkan dari kamar operasi sebelum jalan nafasnya stabil dan
terjaga /paten, serta ventilasi dan oksigenasi yang adekuat dan juga hemodinamik baik.
2. Sebelum pasien sadar penuh, nyeri sering muncul sebagai bentuk kegelisahan pasca
operasi Gangguan sistemik yang serius (hipoksernia,asidosis,atau hipotensi), kandung
kemih yang penuh atau komplikasi dari pembedahan (perdarahan intra abdomen yang
tersembu nyi) harus benar-benar dihitungkan.
3. Menggigil yang hebat meningkatkan konsumsi oksigen, produksi C02 dan isi sekuncup
jantung. Efek-efek fisiologis ini sungguh tidak bisa ditoleransi oleh pasien dengan
kelemahan jantung atau paru sebelumnya.
4. Hipoventilasi di dalam Unit Perawatan Pasca Anestesi (UPPA/PACU) kebanyakan akibat
efek depresi dari sisa -sisa agent anestesi pada pusat nafas
5. Obtundasi, depresi sirkulasi, atau asidosis berat (pH darah arteri < 7,15) adalah indikasi
untuk segera dilakukan intubasi trakea pada pasien -pasien hipoventilasi.
6. Setelah pemberian naloxone untuk meningkatkan respirasi. Pasien harus dilihat dengan
cermat akan terulangnya depresi respirasi oleh opioid (renarkotisasi), karena nalokson
mempunyai durasi lebih pendek daripada kebanyakan opioid.
7. Peningkatan pintasan intra pulmoner akibat penurunan kapasitas residu fungsional (FRO
relatif terhadap kapasitas penutupan (CC) adalah penyebab umum tersering dari
hipoksemia setelah anestelsi umum.
8. Kemungkinan pneumothorak pasca operasi harus dipertimbangkan setelah tindakan blok
intercostals, patah tulang-tulang iga, irisan pada leher, trakheostomi, nephrostomi,
prosedur retroperitoneal atau intra abdominal (termasuk laparoskopi), khususnya bila
diafragma tertusuk.
9. Hipovolemia adalah akibat lanjut dari hipotensi di dalam PACU.
10. Rangsangan nyeri sayatan, intubasi endotrakea, atau kandung kemih yang penuh biasanya
berakibat terjadinya hipertensi post operasi.

PERAWATAN PASCA ANESTESI


Ruang pemulihan telah ada setidaknya 40 tahun pada pusat-pusat medis. Sebelumnya banyak
kematian post operasi segera setelah anestesi dan pembedahan. Sebenarnya kematian tersebut
dapat dicegah dengan perawatan khusus segera setelah pembedahan. Perawatan singkat di AS
pada waktu perang dunia II punya andil dalam pemusatan perawatan ini dalam bentuk ruang
pemulihan di mana satu atau lebih perawat dapat memantau beberapa pasien pada satu saat.
Sebagaimana prosedur pembedahan yang berkembang begitu komplek, begitu juga masalah
penanganan pasien, ruang pemulihan sering digunakan sampai beberapa jam pertama setelah
pembedahan dan beberapa pasien yang sakitnya kritis diinapkan di ruang pemulihan. Kesuksesan
dari ruang pemulihan awal ini merupakan faktor utama dalam evolusi unit perwatan intensif
bedah modern. Ironisnya, ruang pemulihan (RR), hanya baru-baru ini diterima sebagai perawatan
intensif di kebanyakan rumah sakit, di mana kini dikenal sebagai PACU. Radiology,
laboratorium, dan fasilitas perawatan intensif lain pada satu lantai juga amat diperlukan.
Memindahkan pasien yang sakit kritis dalam elevator atau melewati koridor yang panjang dapat
membahayakan pasien, karena kegawatdaruratan dapat terjadi sepanjang jalan.
Desain bangsal yang terbuka memungkinkan observasi semua pasien secara simultan. Kamar
pasien yang tertutup diperlukan untuk isolasi mengontrol infeksi. Rasio 1,5 bed PACU per kamar
operasi adalah biasa Setiap ruang pasien harus baik pencahayaannva dan cukup besar untuk
mengakses pasien yang terpasang infus, ventilator, atau peralatan radiology. Sebagai pedoman
jarak antar bed adalah 7 kaki dan 120 kaki persegi /pasien. Jalan keluar listrik yang banyak, jalan
keluar oksigen paling tidak satu, udara luar, dan suction harus ada pada setiap ruangan.

Peralatan
Pulse Oksimetri, EKG, monitor tensi otomatis untuk setiap ruangan adalah diperlukan sekali
tetapi tidak diharuskan ada. Akan tetapi ketiga monitor harus digunakan pada setiap pasien pada
fase awal pemulihan dari anestesi (perawatan fase 1). Kekurangan monitor mungkin dicukupi
kemudian. Sebagai pedoman setiap satu set monitor untuk dua bed tidak selamanya dapat
diterima, khususnva setelah banyak kejadian di PACU yang mengarah pada morbiditas serius
sehubungan dengan ketidakadekuatan monitor. Tensimeter air raksa atau pegas juga harus
disiapkan untuk mendukung monitor tekanan darah non invasive. Monitor dengan kemampuan
untuk memantau sedikitnya dua tekanan secara terus menerus langsung pada arteri, vena sentral,
arteri pulmonalis, atau monitoring tekanan intra cranial. Capnografi mungkin berguna untuk
pasien yang terintubasi. Temperatur sensitif mungkin digunakan untuk mengukur suhu di PACU
tetapi pada umumnya tidak akurat untuk memantau hipotermia atau hipertermia termometer air
raksa atau elektrik, harus digunakan bilamana ada kecurigaan suhu yang abnormal. Alat
penghangat udara, lampu panas, selimut hangat atau dingin harus tersedia.
PACU seharusnya punya sendiri alat -alat pokok dan gawat darurat terpisah dari kamar operasi.
Alat-alat ini meliputi kanul oksigen, masker dengan berbagai pilihan, oral dan nasal airway,
laringoskop, pipa endotrakeal, masker laring, Jacksen Rees untuk ventilasi. Persediaan kateter
untuk kanulasi vaskuler (vena, arteri, vena sentral, atau arteri pulmonalis) harus cukup. Kateter
transvena dan sebuah generator juga harusnya tersedia. Alat untuk melakukan tindakan
transthorak juga amat diperlukan. Sebuah alat defibrilasi transkutan dan sebuah kereta dorong
darurat dengan obat-obatan dan perlengkapan untuk bantuan hidup lanjut serta syring pump
harus ada dan dicek secara periodik. Trakeostomi, pipa thorak, vena seksi juga harus ada. Alat
untuk terapi respirasi seperti terapi bronkodilator dengan aerosol, tekanan positif kortinyu, dan
ventilator harus terbuka dekat dengan ruang pemulihan. Sebuah bronkoskopi amat diperlukan
tetapi tidak diharuskan ada.

Staf PACU
PACU sebaiknya hanya diawakili oleh perawat-perawat khusus yang telah mendapat pelatihan
dalam merawat pasien-pasien yang bangun dari anestesi. Mereka sebaiknya punya keahlian
dalam memanajemen jalan nafas dan ACLS sebaik masalah-masalah yang biasa ditemukarn pada
pasien-pasien bedah yang berhubungan dengan perawatan luka.drainase kateter, dan perdarahan .
PACU sebaiknya di bawah pimpinan seorang dokter ahli anestesi. Seorang dokter ditugaskan
full-time untuk PACU pada senter-senter yang amat sibuk, tetapi tak diharuskan pada fasilitas
yang lebih kecil. Manajemen pasien di dalam PACU tidak berbeda (dikarenakan akan
mencerminkan suatu koordinasi antara ahli anestesi, ahli bedah, dan beberapa
konsumen,masalah-masalah metabolisme, sementara ahli bedah mengelola masalah-masalah
yang berkaitan langsung dengan masalah pembedahan itu sendiri. Berdasarkan asumsi itu maka
perawatan di PACU rata-rata 1 jam dan paling lama rata-rata 2 jam. Perbandingan 1 perawat -
untuk 2 pasien pada umumnya memuaskan. Staffing untuk perawat sebaiknya disesuaikan
dengan kebutuhan. Dengan 2 perawat umumnya dapat menjamin jika 1 pasien membutuhkan
perawatan 1:1, pasien lain akan masih terawat dengan adekuat. Akhir-akhir ini juga penting
medikolegal, karena staffing yang tidak adekuat sering disebut sebagai sangat berperan pada
kecelakaan di PACU. Jika jadwal kamar operasi mencantumkan pasien anak-anak, atau berapa
banyak operasi singkat, rasio satu perawat untuk satu pasien sering dibutuhkan. Gaji perawat
sebaiknya ditentukan untuk menjamin staffing yang optimal sepanjang waktu.

PERAWATAN PASIEN
PEMULIHAN DAR! ANESTESI UMUM

Pemulihan dari anestesi umum atau regional adalah waktu yang penuh dengan stress fisiologis
bagi banyak pasien. Pemulihan dari anestesi umum sebaiknya secara halus dan bangun pelan-
pelan dalam lingkungan yang terkontrol. Kerugiannya hal ini sering terjadi di kamar operasi atau
selama transport ke ruang pemulihan dan ini sering ditandai dengan sumbatan jalan nafas,
menggigil, agitasi, delirium, nyeri, mual-muntah, hipotermi dan labilnya otonom. Rata-rata
pasien yang dianestesi spinal atau epidural dapat mengalami penurunan tensi selama transport
atau pemulihan; efek simpatolitik dari blok regional mencegah kompensasi dari reflek
vasokonstriksi bila pasien bergerak atau duduk.
Mengikuti dasar anestesi inhalasi, kecepatan pemulihan secara langsung berbanding lurus
dengan ventilasi alveolar, dan berbanding terbalik dengan kelarutan agent dalam darah.
Sebagaimana peningkatan dari durasi anestesi, pemulihan juga meningkat tergantung pada
ambilan total jaringan, yang mana merupakan fungsi dari agent yang larut, konsentrasi rata-rata
zat yang digunakan dan lama terekspos terhadap anestetik. Pemulihan tercepat dengan desfluran
dan N20, terlambat dengan halothan dan enfluran. Hipoventilasi memperlambat pemulihan dari
anestesi inhalasi.
Pemulihan dari anestesi intravena adalah fungsi dari farmakokinetiknya. Kebanyakan tergantung
pada redistribusi daripada eliminasi waktu paruh. Penggunaan dosis total yang tinggi akan
menampakkan efek kurnulatif dalam bentuk pemulihan yang lama. Akhir dari kerja obat akan
meningkat tergantung pada eliminasi atau waktu paruh itictaholik. Dibawah kondisi-kondisi
seperti ini, orang tua, penyakit ginjal atau hati memperpanjang masa pulih sadar. Para pasien
yang mendapat propofol untuk induksi dan maintenance khususnya pemulihannya lebih cepat
daripada yang mendapat agent lain.
Kecepatan pulih sadar juga dipengaruhi oleh pemberian premedikasi. Premedikasi dengan agent
yang durasinya lebih lama dari prosedur operasi dapat diperkirakan pulih sadarnya akan lama.
Midazolam yang durasinya pendek cocok sebagai agent premedikasi untuk prosedur singkat.
Efek-efek dari preoperasi seperti kurang tidur, pemakaian obat-obatan (alcohol, sedatif dapat
menambah efek obat anestesi dan memperlambat masa pulih sadar.

Pulih sadar yang tertunda

Penyebab tersering ketertundaan pulih sadar (belum sadar penuh setelah 30 menit post anestesi
umum) adalah pengaruh dari sisa sisa obat anestesi, sedasi, dan analgesi. Bisa juga terjadi akibat
overdosis obat baik absolut maupun relatif, dan potensiasi dari agent anestesi diengan obat
sebelumnya (alcohol). Pemberian naloxon (min.0,04ing)- dan flumazenil (min.0,2 mg) dapat
mengembalikan dan meniadakan efek dari opioid dan benzodiazepin dengan baik. Physostigmin
1-2mg mungkin mereverse sebagian dari efek agent lainnya. Stimulator saraf dapat digunakan
untuk menghilangkan blokade neuro muskuler pada para pasien yang menggunakan ventilator
mekanik karena volunc tidalnya tidak spontan adekuat.
Penyebab yang kurang umum dari ketertundaan pulih sadar adalah hipotermi, tanda-tanda
gangguan metabolik, dan stroke perioperasi. Suhu tubuh kurang dari 33⁰ C berpengaruh terhadap
anastesi dan sangat berperan terhadap terjadinya depresi susunan saraf pusat. Alat penghangat
udara yang kuat sangat efektif untuk nenaikkan suhu tubuh. Hipoksemia dan hiperkarbia dapat
disingkirkan dengan analisa gas darah. Hiperkalsemia, hipermagnesemia, hiponatremia,
hipoglikemia dan hiperglikemia adalah jarang dan itu memerlukan perneriksaan laboratoriuni
untuk mendiagnosisnya. Stroke perioperasi adalah jarang kecuali menyertai bedah saraf, jantung,
dan pembuluh darah otak. Mendiagnosanya perlu konsul ke neurologi dan gambaran radiology.

TRANSPORT DARI KAMAR OPERASI

Komplikasi pada periode ini biasanya karena ketiadaan monitor yang adekuat, pemasukan obat,
atau peralatan resusitasi. Pasien sebaiknya tidak meninggalkan kamar operasi sebelum jalan
nafasnya patent dan stabil, ventilasi dan oksigenasinya adekuat dan hemodinamikanya stabil.
Kebanyakan tidak semua pasien diangkut dengan supplementasi oksigen sebab hypoxemia yang
temporer ( Sp02<90%) bisa terjadi 30-50% pada pasien normal selama pengangkutan dan
bernafas dengan udara ruangan: Pasien-pasien yang tidak stabil intubasinya dibiarkan dan
dipindahkan dengan monitor portable dan siapkan obat-obatan gawat darurat.
Semua pasien sebaiknya ditempatkan di PACU dengan bed yang dapat diposisikan head down
atau head up. Posisi head down untuk pasien yang hipovolemik sedang head up untuk pasien
yang punya gangguan fungsi paru. Pasien yang beresiko tinggi untuk muntah dan perdarahan
jalan nafas atas seperti post tonsilektomi sebaiknya dipindahkan dengan posisi miring. Posisi ini
juga membantu mencegah sumbatan jalan nafas dan mempermudah pengeluaran sekresi.

PEMULIHAN RUTIN

Anestesi Umum
Vital sign dan oksigenasi segera dicek begitu datang. Setelah itu tensi, nadi, dan respirasi diukur
secara rutin setiap 5 menit selama 15 menit atau sampai stabil dan setelah itu se,tiap 15 menit.
Meskipun kejadian hipoksia tadak ada hubungan dengan tingkat kesadaran, oksimetri nadi
sebaiknya dipasang kontinyu pada semua pasien yang pulih dari anestesi umum paling tidak
sampai sadar penuh. Temperatur paling tidak diukur sekali. Setelah vital sign awal dicatat,
anestesiolog sebaiknya memberikan penjelasan singkat kepada perawat PACU tentang riwayat
preoperasi, (meliputi status mental, problem bahasa, ketulian, kebutaan,atau retardasi mental),
kejadian intra operasi (tipe anestesi, prosedur pembedahan, darah yang hilang, penggantian
cairan, dan komplikasi-komplikasi), perkiraan masalah-masalah post operasi, dan instruksi post
anestesi (perawatan kateter epidural,transfusi.ventilasi post operasi).
Semua pasien yang sadar dari anestesi umum sebaiknya mendapat 30-40% oksigen selama
pemulihan karena hipoksia sementara dapat terjadi pada pasienn yang sehat. Para pasien yang
be:resiko tinggi terjadi hipoksia seperti yang punya gangguan fungsi paru atau pembedahan perut
atas atau dada, sebaiknya dimonitor kontinyu dengan oksimetri denyut bahkan setelah pemulihan
dan mungkin memerlukan suplemen oksigen jangka lama. Pilihan rasional melanjutkan terapi
oksigen pada saat keluar dari PACU dapat dibuat berdasarkan pembacaan saturasi 02 pada udara
kamar. Analisa gas darah dapat dilakukan untuk konfirmasi bacaan oksimetri yang tidak normal.
Terapi oksigen harus dikontrol dengan hati-hati pada.pasien dengan penyakit paru obstruktif
menahun dan riwayat retensi C02.Pasien umumnya diposisikan head up kapan saja mungkin
untuk mengoptimalkap oksigenasi. Elevasi kepala bed sebelum pasien responsive dapat
menyebabkan sumbatan jalan nafas. Dalam beberapa kasus pipa nasal atau oral dibiarkan sampai
pasien bangun. Nafas dalam dun batuk sebaiknya dianjurkan secara
periodik.

Anestesi Regional.

Pasien yang tersedasi berat dan hemodinamikanya tidak stabil setelah anestesi regional juga
diberi suplemen oksigen di PACU. Tingkat sensorik dan motorik dicatat periodic pada catatan
hilangnya blok. Perhatian dalam bentuk peringatan berulang mungkin diperlukan untuk
mencegah melukai diri sendiri karena gerakan lengan yang tak terkoordinasi pada blok pleksus
brakhialis. Tensi harus selalu dimonitor pada anestesi spinal dan epidural. Kateter kandung
kemih mungkin diperlukan pada pasien yang dianestesi spinal atau epidural lebih dari 4 jam.

Pengendalian Nyeri

Nyeri sedang sampai berat post operasi di PACU dapat diobati dengan opioid parenteral atau
intra spinal, anestesi regional, atau blok saraf spesifik. Bila opioid digunakan titrasi dengan dosis
kecil intra vena umumnya aman. Meskipun dapat dipertimbangkan variabilitas dapat terjadi,
kebanyakan pasien amat sensitive terhadap opioid pada jam pertama setelah anestesi umum.
Analgesi adekuat harus diseimbangkan lagi tanpa sedasi. Opioid durasi menengah sampai lama.
seperti meperidine 10-20 mg .(0,25-0,50 mg/kg pada anak), hydromorphone 0,25-0,50 mg
(0,015-0,02 mg/kg pada anak) atau morphin 2-4 mg (0,025-0,050 mg/kg pada anak) adalah
paling umum dipakai. Efek puncak analgesinya dalam 4-5 menit. Depresi nafas maksimal
khususnya dengan morphin mungkin tak tampak sampai 20-30 menit kemudian. Bila pasien
sadar penuh PCA (Patien Controlled Analgesia) dapat diadakan. Pemberian opioid intra
muskuler tidak menguntungkan karena onsetnya bervariasi (10-20 menit) dan depresi nafas
yang.tertunda (sampai 1 jam). Bila dipasang kateter epidural, pemberian fentanil 50-100mcg,
sufentanil 20-30 mcg, atau morphin 3-5 mg dapat sempurna menghilangkan nyeri pada orang
dewasa, akan tetapi depresi nafas yang tertunda dengan morphin mernerlukan perhatian khusus
selama -12-24 jam setelah pemberian. Infiltrasi luka dengan anestesi local atau inter
kostal,interscalene, epidural atau anestesi kaudal adalah sering membantu bila analgesi opioid itu
sendiri tidak memuaskan.
Nyeri ringan sampai sedang dapat diterapi intra vena dengan agonis-antagonis opioid
(butorphanol 1-2 mg, atau nalbuphine 5-10 mg) atau ketorolac tromet.hamin 30 mg. Yang
terakhir ini sangat berguna khususnya setelah prosedur ortopedi dan ginekologi.

Agitasi
Sebelum pasien sadar penuh, nyeri sering muncul sebagai kegelisahan post operasi. Gangguan
sistemik * yang serius (hipoksemia, asidosis dan hipotensi), kandung kemih yang penuh atau
komplikasi pembedahan (perdarahan intra abdominal tersembunyi) harus dipikirkan masak-
masak. - Agitasi menandakan mungkin perlu untuk menahan lengan dan kaki agar tak terjadi
perlukaan diril sendiri, khususnuya pada anak-anak. Bila gangguan fisiologis yang series muncul
pada anak-anak, kasih sayang dan kata-kata yang manis dari yang menemani atau orang tuanya
sering menenangkan pasien anak-anak. Faktor-faktor lainnya yang turut memberi kontribusi
meliputi ketakutan dan kecemasan pre operasi, efek samping obat (dosis tinggi daril agent
antikolinergik sentral, phenothiazin atau ketamin). Phisostigmin 1-2 mg intra vena (0,05 mg/kg
pada anak) sangat efektif untuk terapi delirium karena atropin dan scopolamine tetapi mungkin
juga berguna untuk kasus kasus lainnya. Jika gangguan sistemik serius dan nyeri dapat
diatasi, agitasi yang menetap dapat diberi sedasi dengan midazolam intra vena intermittent 0,5-1
mg (0,05 mg/kg pada anak).

Mual dan Muntah

Mual dan muntah adalah masalah umum setelah anestesi umum. Mual juga bisa nampak pada
hipotensi karena anestesi spinal atau epidural. Peningkatan insiden mual dilaporkan mengikuti
pemberian opioid atau mungkin anestesi dengan N20,pembedahan intraperitoneal (khususnya
laparoskopi), dan bedah strabismus.
Insides tertinggi tampak pada wanita muda, penelitian menunjukkan bahwa mual lehih sering
terjadi selama menstruasi. Peningkatan tonus vagal dengan manifestasi bradikardi mendadak
umumnya didahului atau disertai dengan muntah-muntah. Anestesi propofol menurunkan insiden
mual dan muntah post operasi. Droperidol i.v 0,05-1,25 mg (0,05-0,075 mg/kg pada anak-anak)
bila diberikan intra operesi menurunkan mual post operasi secara bermakna tanpa
meinperpanjang masa pemulihan;. dosis kedua mungkin diperlukan bila mual masih terjadi di
PACU. Metoclopramid 0,15 mg/kg i.v mungkin seefektif droperidol dan lebih sedikit
menyebabkan kantuk. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika propofol tidak digunakan
selama anestesi, droperidol muiigkin lebih efektif daripada metoklopramid. Selektif 5-
hydroxytriptamin (serotonin) 1reseptor 3 (5HT3) antagonis seperti ondansetron 4 mg (0,1 mg/kb
pada anak), granisetron 0,01-0,04 mg/kg dan dolasetron 12,5 mg (0,035 mg/kg pada anak)juga
amat efektif. 5HT3 antagonis adalah tidak menimbulkan sedasi, ekstra pyramidal akut
(dystonik), dan reaksi diphoric yang muiigkin terjadi dengan agent lainnya. Ondansetron
mungkin lebih efektif daripada agent lainnya pada anak-anak. Dexamethason 8-10 mg (0,1
mg/kg pada anak) jika dikombinasikan dengan anti muntah lainnya sangat efektif untuk mual
muntah yang sukar disembuhkan. Propofol dosis rendah (20 mg bolus atau 10 mg bolus
dilanjutkan dengan 10mcg/kg/mnt) juga dilaporkan efektif untuk mual muntah post operasi.

MANAJEMEN KOMPLIKASI
KOMPLIKASI RESPIRASI

Problem-problem respirasi adalah komplikasi serius yang paling sering ditemukan di PACU.
Kebanyakan berhubungan dengan sumbatan jalan nafas, hipoventilasi dan hipoksemia. Karena
hipoksemia adalah jalan akhir menuju morbiditas dan mortalitas, monitor rutin oksimetri denyut
di PACU akan mengenali lebih awal
Menggigil dan Hipotermia

Menggigil dapat terjadi di PACU sebagai akibat dari hipotermia intra operasi atau dari agent
anestesi. Hal ini juga biasa terjadi pada pertengahan periode post partum. Penyebab terpenting
dari hipotermia adalah redistribusi panas dari bagian tengah tubuh kebagian tepi tubuh. Suhu
sekitar ruang operasi yang dingin, luka besar yang terbuka lama, dan penggunaan sejumlah besar
cairan intravena yang tak dihangatkan, serta aliran gas yang tinggi dan tidak dilembabkan juga
dapat memberi kontribusi. Hampir semua obat anestesi, terutania yang mudah menguap,
menurunkan respon vasokonstriksi terhadap hpotermia. Meskipun agent-agent anestesi juga
menurunkan ambang menggigil, menggigil umumnya sering nampak selama atau sesudah pulih
dari anestesi umum.
Menggigil adalah suatu usaha tubuh untuk meningkatkan produksi panas, meningkatkan suhu
tubuh dan mungkin diikuti oleh vasokonstriksi yang hebat. Bahkan pemulihan dari ancstesi
umum yang singkatpun kadang-kadang juga menggigil. Meskipun menggigil dapat menjadi
bagian dari tanda-tanda neurologis non spesifik (postur, clonus atau Babinski's sign) kadang-
kadang dapat terjadi selama pemulihan, hal itu paling sering karena hipotermi dan umumnya
dihubungkan dengan obat anestesi yang mudah menguap. Bagaimanapun mekanismenya,
timbulnya nampak berhubungan dengan janga waktu dari pembedahan dan penggunaan dari
konsentrasi tinggi agen mudah menguap. Menggigil kadangkala cukup hebat sehingga
menyebabkan hypertermia (38-39°C) dan acidosis metabolic yang signifikan, kedua-duanya
terselesaikan ketika menggigil berhenti. Anestesi spinal dan epidural keduanya juga menurunkan
nilai ambang menggigil dan respon vasokonstriksi terhadap hipotermi; menggigil mungkin juga
ditemui dalam RR setelah anestesi regional. Penyebab lain dari menggigil sebaiknya
disingkirkan, seperti sepsis, alergi obat, atau reaksi transfusi.
Hipotermi diterapi dengan alat penghangat udara, lampu hangat atau selimut hangat untuk
meningkatkan suhu tubuh ke normal. Menggigil yang hebat dapat menyebabkan kenaikan
konsumsi oksigen, produksi C02, dan curah jantung. Efek fisiologis ini sering sulit ditoleransi
oleh pasien yang sudah ada gangguan jantung atau paru. Hipotermi telah dikaitkan dengan
meningkatnya kejadian iskemia miokard, aritmia, meningkatkan kebutuhan transfusi, dan
meningkatkan durasi obat pelumpuh otot. Dosis kecil meperidine i.v, 10-50 mg, dapat
menurunkan bahkan menghentikan menggigil. Pasien-pasien yang terintubasi dan memakai
ventilator juga dapat di sedasi dan diberi pelumpuh otot sampai normotermia kembali dan efek
dari anestesia sudah tiada lag-1.

Kriteria Keluar

Semua pasien yang mau keluar dari PACU. harus dievaluasi dulu oleh anestesiolog, kecuali bila
sudah dibuat kriteria pengeluaran_ yang tegas. Kriteria tersebut dibuat oleh bagian anestesiologi
dan staf medik rumah sakit. Hal ini memungkinkan seorang perawat PACU holeh menentukan
kapan pasien dipindahkan tanpa adanya dokter bila semua kriteria terpenuhi. Kriteria dapat
bermacam-macam sesuai dengan keadaan pasien apakah akan ke ICU, bangsal, bagian rawat
jalan, atau langsung pulang.
Sebelum keluar pasien harus diobservasi minimal 30 menit setelah pemberian terakhir suntikan
opioid apakah ada depresi napas. Kriteria minimal lainnya untuk mengeluarkan pasien dari RR
setelah pulih dari anestesi umum adalah
1. Mudah dibangunkan
2. Orientasi penuh
3. Mampu menjaga dan mempertahankan jalan nafas
4. Vital sign stabil minimal 30-60 menit
5. Mampu memanggii bila perlu bantuan
6. Tidak tampak komplikasi bedah (seperti perdarahan aktiO
Kontrol nyeri post operasi dan mempertahankan suhu normal sebelum keluar adalah sangat
penting. Sistim skor digunakan secara luas. Penting menilai Sp02, kesadaran, sirkulasi, respirasi,
dan aktivitas motorik Mayoritas pasien dapat memenuhi criteria pengeluaran dalarn 60 menit di
PACU. Pasien-pasien yang
dipindahkan ke fasilitas perawatan intensif lain tak perlu memenuhi semua persyaratan di atas.
Tambahan untuk kriteria di atas, pasien-pasien yang mendapat anestesi regional harus dilihat
tanda-tanda resolusi dari blok sensorik dan mntoriknya. Resolusi komlit dari blok umumnya
diharapkan unt:ulc menghindari perlukaan yang tidak disengaja karena kelernahan motorik atau
defisit sensorik beberapa center medik punya protocol perawatan yang membolehkan
pengeluaran lebih awal untuk pengaturan persediaan tempat. Dokumen resolusi blok juga sangat
penting. Kegagalan biok spinal atau epidural untuk diresolusi setelah lebih dari C jam
kemungkinan hematoma spinal cord atau epidural, yang mana harus disingkirkan dengan
pemeriksaan radiology.
Pada beberapa center, pasien rawat jalan yang memenuhi kriteria pengeluaran, begitu datang dari
kamar operasi langsung ditempatkan pada area pemulihan fase 2. Begitu juga pasien rawat inap,
bila kriteria di atas terpenuhi boleh langsung dipindahkan ke bangsalnya.

MANAJEMEN KOMPLIKASI
KOMPLIKASI RESPIR.ASI

Problem-problem respirasi adalah komplikasi serius yang paling sering ditemukan di PACU.
Kebanyakan berhubungan dengan sumbatan jalan nafas, hipoventilasi dan hipoksemia. Karena
hipoksemia adalah jalan akhir menuju morbiditas dan mortalitas, monitor rutin oksimetri denyut
di PACU akan mengenali lebih awal komplikasi-komplikasi ini dengan hasil yang sedikit agak
menyimpang.

Sumbatan Jalan Nafas


Sumbatan jalan nafas pada pasien tidak sadar adalah tersering karena lidah jatuh ke belakang ke
pharing posterior. Penyebab lainnya adalah spasme laring, udema glottis, sekresi, muntahan,
darah di jalan nafas, atau tekanan luar dari trakea (tersering karena hematoma di leher).
Sumbatan parsial jalan nafas biasanya diketahui dengan adanya respirasi sonor. Sumbatan total
menyebabkan aliran udara terhenti, suara nafas menghilang, dan ditandai dengan gerakan
paradoksal dada (saat inspirasi dada turun sedang perut naik). Pasien dengan sumbatan jalan
nafas harus diberi suplemen oksigen sementara ukuran koreksi dikerjakan. Kombinasi gerakan
mendorong rahang dan memiringkan kepala akan menarik lidah ke depan dan membuka. jalan
nafas. Memasang pipa nasal atau oral sering meringankan masalah. pipa nasal lebih ditolelir oleh
pasien-pasien selama pernulihan dan lebih sedikit kemungkinan trauma pads gigi bila mereka
menggigit.
Jika manuver diatas gagal, spasme laring harus dipertimbangkan. Karakteristik dari spasme
laring adalah suara tinggi nyaring dan mungkin juga diam jika glottis tertutup. Spasme dari pita
suara adalah lebih mudah terjadi pada trauma jalan nafas, atau instrurnentasi berulang, atau
stimulasi dari secret atau darah di jalan nafas. Manuver jaw thrust (mendorong rahang), terutama
bila dikombinasikan dengan tekanan positif jalan nafas lewat face mask, biasanya dapat
mengakhiri spasme laring. Memasukkan alat jalan nafas oral atau nasal juga membantu dalam
menjamin patensi jalan nafas bawah sampai pada pita suara. Sekret atau darah pada jalan nafas
harus disedot untuk mencegah kekambuhan. Spasme laring yang parah harus diterapi agresif.
Dengan dosis kecil suksinilkolin (10-20 mg) dan ventilasi tekanan positif dengan 02 100% untuk
sementara waktu guna mencegah hipoksia berat atau udema paru tekanan negatif. Intubasi
endotrakea kadang-kadang diperlukan untuk menjaga ventilasi. Crico tirotomi atau jet ventilasi
transtrakea diindikasikan jika intubasi tak segera berhasil.
Udema glotis setelah instrumentasi-jalan nafas adalah penyebab penting sumbatan jalan nafas
pada bayi dan anak-anak muda. Kortikosteroid i.v (dexamethason 0,5 mg/kg) atau aerosol
rasemik epinephrine (0,5 ml larutan 2,25 % dengan 3 ml NS) mungkin membantu dalam kasus-
kasus semacam ini. Luka hematoma post operasi setelah prosedur bedah kepala dan leher, tiroid,
dan carotid dapat membahayakan jalan nafas dengan cepat. Pembukaan luka tersebut segera
menghilangkan kompresi trakea. Kasa yang tertinggal tak sengaja di hipopharing pada bedah
mulut dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas total cepat atau lambat.

Hipoventilasi

Hipoventilasi didefinisikan sebagai PaCO2 > 45 mmHg, adalah sering sering terjadi setelah
anestesi umum. Kebanyakan hipoventilasi adalah ringan dan pada beberapa kasus dapat
diabaikan. Hipoventilasi yang bemakna secara klinis akan tampak bila PaCO2 > 60 mmHg atau
pH darah arteri < 7.25. Tanda-tandanya bervariasi misalnya mengantuk yang berlebihan atau
lama, sumbatan jalan nafas, laju nafas pelan, takipnea dengan nafas dangkal, atau sulit bernafas.
Asidosis ringan sampai sedang dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi, jantung iritabel
(lewat stimulasi simpatis), tetapi asidosis yang lebih berat menyebabkan depresi sirkulasi. Jika
curiga hipoventilasi yang bermakna, harus dilakukan analisa gas darah arteri untuk menilai
keparahan dan pemandu tata laksana selanjutnya.
Hipoventilasi di PACU sangat umum karena efek-efek sisa depresi dari agen anestesi terhadap
pusat nafas. Karakteristik depresi nafas karena opioid adalah laju nafas yang lambat,
seringdengan volume tidal yang besar. Sedasi yang berlebihan juga sering terjadi, tetapi pasien
mungkin mendengar dan dapat meningkatkan pernafasan dengan perintah. Biphasik atau
berulangnya bentuk-bentuk depresi nafas telali dilaporkan sebagai akibat dari semua opioid.
Mekanismenya meliputi variasi-variasi dalam intensitas dari stimulasi selama pemulihan dan
pelepasan lambat opioid dari kompartemen perifer seperti otot rangka (atau paru pada fentanyl)
selama pasien hangat kembali atau mulai bergerak. Pengeluaran dari pemberian opioid intra vena
ke dalam cairan lambung kemudian diserap lagi juga telah dijelaskan tetapi tampaknya tak diakui
karena pengambilan oleh hati yang tinggi untuk kebanyakan opioid.
Revers tidak adekuat, overdosis, hipotermi, interaksi farmakologi (misalnya dengan antibiotik
"mycin" atau t.erapi magnesium), perubahan farmakokinetik (karena hipotermi, perubahan
distribusi volume, disfungsi ginjal aLau hati) atau factor-faktor metabolic (hipokalemia atau
asidosis respiratorik) dapat berespon terhadap aisa-sisa pelumpuh otot di PACU. Tanpa
memperhatikan penyebabnya, gerakan nafas yang tak terkoordinasi dengan volume tidal yang
dangkal dan takipnea biasanya jelas kelihatan. Diagnosa dapat ditegakkan dengan sebuah
stimulator syaraf pada pasien yang tak sadar, pasien yang sadar dapat disuruh memiringkan
kepala. Kemampuan untuk mengangkat kepala selama 5 detik mungkin test paling sensitive
untuk menilai keadekuatan dari reversal..
Nyeri sayatan dan disfungsi diafragma setelah pembedahan perut atas atau dada, perut yang
menggelembung, pakaian yang ketat perutnya adalah factor-faktor lainnya yang dapat memberi
kontribusi pada hipoventilasi. Kenaikan produksi C02 karena menggigil, hipertermi, atau sepsis
dapat juga meningkatkan PaCO2 bahkan pada pasien normal yang pulih dari anestesi umum.
Tanda hipoventilasi dan asidosis respiratorik dapat dilihat jika factor-faktor tersebut tumpang
tindih pada seseorang yang cadangan ventilasinya terganggu karena penyakit pulmoner,
neuromuskuler, atau neurology yang mendasarinya.

TERAPI

Terapi sebaiknya langsung ditujukan pada penyebab yang mendasarinya, tetapi tanda-tanda
hipoventilasi selalu memerlukan ventilasi terkontrol sampai factor-faktor yang berperan
diidentifikasi dan dikoreksi. Adanya depresi sirkulasi, atau saidosis (pH darah arteri < 7,15)
adalah indikasi untuk segera dilakukan intubasi endotrakea. Antagonis dari opioid penyebab
depresi dengan naloxone adalah pedang bermata dua. Peningkatan ventilasi alveolar biasanya
juga dikaitkan dengan nyeri mendadak dan keluarnya simpatis. Akhirnya dapat mencetuskan
krisis hipertensi,udema paru, dan miokard iskemik atau infark. Jika naloxone digunakan untuk
meningkatkan pernafasan, titrasi dengan dosis kecil (0,04 mg pada orang dewasa) mungkin
menghindari komplikasi-komplikasi oleh revers sebagian dart depresi nafas tanpa revers
bermakna dari analgesia. Setelah raloxone sebaiknya pasien dipantau secara cermat akan
kekambuhan dari depresi nafas oleh opioid (renarkotisasi),mengingat naloxone berdurasi lebih
pendek daripada kebanyakan opioid. Sebagai alternatif doxapram 60-100mg, dilanjutkan dengan
1-2mg/mnt i.v boleh digunakan, doxapram tak merevers analgesia tetapi dapat menyebabkan
hipertensi dan takikardi. Bila terdapat sisa dari pelumpuh otot dapat diberikan penghambat
kolinesterase. Sisa pelumpuh kendati dalam dosis penuh penghambat kolinesterase memerlukan
kontrol ventilasi sampai terjadi pemulihan spontan. Kebijaksanaan memilih analgesi opiopid
(intravena atau intraspinal), anestesi epidural, atau blok saraf interkostal adalah sering
menguntungkan dalam mengurangi pembebatan setelah prosedur bedah perut atas atau dada.

Hipoksemia

Hipokscmia ringan adalah biasa terjadi pada pasien-pasien yang pulih dari anestesi tanpa diberi
suplemen oksigen selama pemulihan. Hipoksia ringan sampai sedang (Pa02 50-60 mmHg) pada
pasien pasien muda sehat sejak awal mungkin dapat ditoleransi dengan baik, tetapi dengan
peningkatan durasi atau keparahan stimulasi simpatis awal sering terlihat berganti dengan
asidosis progresif dan depresi sirkulasi. Cianosis yang jelas mungkin tak ada jika konsentrasi
hemoglobin berkurang. Secara klinis hipoksemia mungkin juga dicurigai dari kegelisahan,
takikardi, atau iritabel jantung (ventrikel atau atrium). Kebingungan, bradikardi, hipotensi, dan
cardiac arrest adalah tanda-tanda belakangan. Penggunaan rutin oksimeter denyut di PACU
memfasilitasi deteksi awal. Analisa gas darah sebaiknya dilakukan untuk menegakkan diagnosa
dan pemandu terapi.
Hipoksemia di PACU biasanya disebabkan oleh hipoventilasi, peningkatan shunting intra
pulmorcr dari kanan ke kiril atau kedua-duanya.Penurunan cardiac output atau kenaikan
konsumsi oksigen akan menonjolkan hipoksemia. Hipoksia diffusi tidak biasa menyebabkan
hipoksemia jika selama pemulihan diberi suplemen oksigen. Hipoksia karena murni hipoventilasi
juga tidak biasa jika pasien mcnerima suplemen oksigen tanpa tanda-tanda hiperkapnea atau
bersamaan dengan adanya kenaikan shunting intra pulmoner. Kenaikan shunting intra pulmoner
dari penurunan FRC relatif terhadap closing capacity adalah penyebab tersering hipoksemia
setelah anestesi umum. Penurunan FRC terbesar terjadi pada bedah perut atas atau dada.
Kehilangan volume paru adalah sering dihubungkan dengan mikro atelektasis, karena
mikroatelektasis sering tak kelihatan pada foto dada. Posisi semi upright membantu memelihara
FRC.
Tanda shunting intrapulmoner kanan ke kiri (Qs/Qt>15%) biasanya dihubungkan dengan
perbedaan radiografi yang ditemukan seperti atelektasis paru, infiltrat parenkimal, atau
pneumothorak yang luas. Penyebab-penyebabnya mpliputi hipoventilasi intraoperasi yang lama
dengan volume tidal rendah, intubasi endobronkial tak disengaja, kola) lobaris karena bronkus
tersumbat oleh sekresi atau darah, aspirasi paru, atau udema paru. Udema paru post operasi
sering tampak sebagai wheezing dalam 60 menit pertama setelah pembedahan. flat itu mungkin
disebabkan oleh kegagaian ventrikel kiri, ARDS, atau pembebasan mendadak sumbatan jalan
nafas yang lama. Berlawanan dengan udema paru, wheezing karena obstruksi primer penyakit
paru, yang mana sering terjadi pada peningkatan besar shunting intrapulmoner, adalah tidak
berhubungan dengan auskultasi crackles (gemercik), cairan udema pada jalan nafas, atau infiltrat
pada foto dada. Kemungkinan dari pneumothorak post operasi sebaiknya selalu diwaspadai
mengikuti pergeseran garis tengah, blok interkosta, patah tulang iga, irisan pada leher,
trakeostomi, nephrostomi, prosedur retroperitoneal atau intraabdomen (termasuk laparoskopy)
khususnya bila daifragma mungkin tertembus. Pasien-pasien dengan bleb subpleural atau bulla
yang besar dapat juga berkembang menjadi pneumothorax selama ventilasi
tekanan positif.

TERAPI

Terapi oksigen dengan atau itanpa tekanan positif jalan nafas adalah dasar dari terapi. Pemberian
rutin 30-60% oksigen biasanya cukup untuk mencegah hipoksemia dengan hipoventilasi sedang
dan hiperkapnca. Pasien-pasien deiigan penyakit.paru atau jantung yang mendasari memerlukan
konsentrasi oksigen yang lebih tinggi. Terapi oksigen sebaiknya dipandu dengan Sp02 atau
analisa gas darah arteri. Konsentrasi oksigen harus dikontrol dengan ketat pada pe.;:ien- pasien
dengan retensi C02 untuk menghindari tercetusnya g :gal nafas akut. Pasien-pasien dengan
hipoksemia berat atau meaetap harus diberi 100% oksigen lewat NRM atau ETT sampai
penyebabnya diketahui dan terapi lainnya dimulai;Ventilasi mekanik diko-_ trol atau dibantu
mungkin juga diperlukan. F oto dada (terutama tegak lurus) adalah amat berguna dalam menilai
volume paru dan ukuran jantung serta menunjukkan pneumothorak atau infiltrat paru. Infiltrat
pada mulanya tidak tampak pada awal inspirasi.
Terapi tambahan sebaiknya langsung pada penyebab dasar. Pipa dada sebaiknya dipasang pada
pneumothorax simtomatis atau yang lebih besar dari 15-20%. Spasme bronkus sebaiknya diterapi
dengan bronkodilator aerosol dari mungkin aminophilin i.v. Diuretik diberikan bila sirkulasi
cairan berlebihan. Fungsi jantung dioptimalkan. Hipoksernia menetap kendati dari 50% oksigen
secara umum diindikasikan untuk PEEP atau CPAP. Bronkoskopi sering bermanfaat dalam
mengembangkan kembali atelektasis lobaris oleh kotoran bronkus atau partikel aspirasi.

KOMPLIKASI SIRKULASI
Gangguan sirkulasi yang paling umum di PACU adalah hipotensi, hipertensi dan aritmia.
Kemungkinan ketidaknormalan sirkulasi itu adalah sekunder dari gangguan sirkulasi yang
mendasar yang selalu harus dipertimbangkan sebelum beberapa intervensi yang lain.

Hipotensi

Hipotensi biasanya disebabkan cleh penurunan venous return pada jantung, gangguan fungsi
ventrikel kiri, vasodilatasi arteri yang berlebihan yang kurang umum. Hipovolemia adalah
penyebab hipotensi paling umum di PACU. Hipovolemia absolut dapat disebabkan oleh
penggantian cairan yang tidak adekuat, sekuesterisasi cairan yang terus-menerus oleh jaringan
(rongga ketiga), atau drainase luka, serta perdarahan post operasi. Konstriksi vena selama
hipotermia mungkin menutupi hipovolemia sampai suhu pasien mulai naik lagi. Kemudian
dilatasi vena menghasilkari hipotensi yang tertunda. Hipovolemia relatif adalah bertanggung
jawab untuk hipotensi yang dihubungkan dengan spinal atau epidural, venodilator, dan blokade
alfa adrenergik; peningkatan untuk segera dilakukan aspirasi pleura bahkan sebelum konfirmasi
radiografi. Begitu juga hipotensi karena tamponade jantung, biasanya menyertai trauma dada
atau bedah thorax, sering diperlukan pericardiocentesis atau thoracotomi.

Hipertensi

Hipertensi post operasi adalah umum di PACU dan khususnya terjadi pada 30 menit pertama
setelah tindakan. Rangsangan nyeri dari sayatan, intubasi trakea, atau kandung kemih penuh,
biasanya ikut berperan. Hipertensi post operasi bisa juga karena aktivasi reflek simpatis, yang
menjadi bagian dari respon neuroendokrin terhadap pembedahan atau hipoksemia sekunder,
hiperkapnea, atau asidosis metabolic. Pasien-pasien dengan riwayat hipertensi sistemik mudah
berkembang menjadi hipertensi di PACU, bahkan tarpa sebab yang jelas. Derajat kontrol
hipertensi berbanding terbalik dengan insiden hipertensi pada beberapa pasien. Cairan berlebihan
atau hipertensi intrakranial dapat juga tampak sebagai hipertensi post operasi.

TERAPI

Hipertensi ringan umumnya tidak memerlukan terapi, tetapi penyebab reversible sebaiknya
dicari. Petanda hipertensi dapat mencetuskan pcrdarahan post anestesi, iskemia miokard, gagal
jantung. atau perdarahan intrakranial. Keputusan tentang derajat hipertensi dan kapan harus
diterapi bersifat individual. Pada umumnya tensi meningkat lebih dari 20-30% dari basal normal
pasien, atau.berkaitan dengan efek samping (infark miokard, gagal jantung, atau perdarahan-~
harus diterapi. Peningkatan ringan sampai sedang dapat diterapi dengan beta bloker iv seperti
labetolol, esmolol, atau propanalol. Ca chanel blocker nicardipin atau pasta nitrogliserin, serta
nifedipine sublingual juga efektif. Hidralazin juga efektif tapi sering menyebabkan takikardi dan
dihubungkan dengan iskemik miokard dan infark. Petanda hipertensi pada pasien-pasien
menghilangkan cemas dan nyeri sebagai penyebab. Meski sebuah diagnosis sementara
hiperthyroidism dapat dibuat berdasarkan klinis, konfirmasi pengukuran hormon thyroid serum
diperlukon, biasanya dalam 24-48 jam pada kebanyakan rumah sakit. Tanda-tanda infeksi-
sepertipeningkatan keradangan atau purulensi dari luka, sputum purulen,
infiltrat pada foto thorax, pyuria atau leukositosis dengan sel darah putih premature pada
hopusan darah (bergeser ke kiri), kultur darah sebaiknya segera dilakukan dan pembedahan
ditunda sampai hasil kultur didapat serta antibiotik yang sesuai diberikan. Pasien ditransfer ke
PACU untuk evaluasi lebih lanjut. EKG 12 lead menunjukkan sinus takikardi 150x/mnt. Foto
thorax normal, anatisa gas darah pada udara kamar normal (pH 7.44, PaC02 41 mmHg, Pa02 87
mmHg, HC03' 27 mEq/t). Hb adatah 11 g/dl. Sediaan darah untuk fungsi thyroid dikirim ke
Laboratorium. Pasien disedasi dengan midazolam 2 mg iv dan fentanyl 50 mg dan diberi
albumin 5% 500 ml. Dia tampak relax dan tidak nyeri tetapi frekuensi jantung hanya menurun
144x/mnt. Keputusan dibuat untuk memutai pembedahan dengan anestesi tempat epidural
kontinyu menggunakan lidckain 2%. Esmolol 100mg diberikan pelan-pelan sampai nadinya
turun menjadi 120x/mnt. Esmolol infus kontinyu diberikan rata-rata 300µg/kg/jam. Operasi
selesai dalam 3 jam. Meski pasien tak mengeluh nyeri selama operasi diberikan tambahan sedasi
ringan (midazolam 2 mg). Dia delirium ketika masuk PACU. Esmolol infus dilanjutkan rata-rata
500pg/kg/mnt. Dia juga mendapat propanotol 24mg iv. Perkiraan darah yang hilang 500 cc,
penggantian cairan dengan 2 unit PRC, 1000 ml hetastarch, 9000 ml RL. VS nya adalah T:
105/90 mmHg, N: 124x/mnt, RR: 30x/mnt, t rectal 38,8° C. AGD ditaporkan sebagai berikut: pH
7,37, PaC02 37 mmHg, Pa02 91 mmHg, HC03 22mEq/L

Apa diagnosa yang hampir bisa dipastikan?

Sekarang pasien jelas pada status hipermetabolik, dimanifestasikan dengan aktivitas adrenergik
yang berlebihan, demam, menandakan peningkatan kebutuhan cairan dan pemburukan status
mental. Tidak adanya asidosis metabolik dan tidak adanya agen pencetus menyingkirkan
hipertermia maligna 43..Kemungkinan lain adalah reaksi transfusi, sepsis atau pheocromositoma
yang tidak terdiognosis. Urutan peristiwa itu membuat dua hati pertama tidak dapat diprediksi
sementara penurunan yang menyolok dari hipertensi (sekarang begitu-dengan hipotensi relatif)
dan peningkatan suhu membuat yang terakhir ini tak dapat dipercaya sepenuhnya. Presentasi
klinis saat ini betul-betul menggambarkan badai tiroid.
Konsultasi darurat ke ahli endokrin dilakukan, diagnosisnya adalah badai tiroid. Bagaimana
memanajemen badai tiroid?
Badai (krisis) tiroid adalah gawat darurat medis yang membawa angka kematian 10-50% . Hal
ini biasanya tak diperhitungkan pada pasien-pasien dengan pengawasan yang kurang balk atau
penyakit Graves yang tak terdiagnosis. Faktor-faktor pencetus meliputi 1) Stress pembedahan
dan anestesi, 2) Pengerjaan dan pengiriman, 3) Infeksi berat, dan jarang 4) Tiroiditis setelah 1-2
minggu terapi radioaktif. Manifestosinya biasanya meliputi perubahan status mental (Label;
delirium, koma), demam, takikardi, dan hipotensi. Aritmia atrium dan ventrikel biasa terjadi,
khususnya fibrilasi atrium. Gagai jantung kongestif terjadi pada 25% pasien. Hipertensi sering
mendahului hipotensi, intoleransi panas dengan keringat yang banyak, mual don muntah, dan
diare mungkin menonjol pada awalnya. Hipokalernia terdapat pada lebih -dari 50% pasien. Level
hormon tiroid tinggi di dalam plasma tetapi hanya sedikit korelasinya dengan keparahan dari
krisis. Kekambuhan dari tirotoksikosis yang mendadak mungkin menunjukkan pergeseran
hormon yang cepat dari terikat protein ke keadaan bebas atau peningkatan respon terhadap
hormon tiroid pada tingkat selluler.
Terapi langsung ditujukan pada pengembalian krisis serta komplikasikomplikasinya dengan
sebaik-baiknya. Dosis besar kortikosteroid (dexamethason iv 10 mg dilanjutkan dengan 2 mg
tiap 6 jam), menghambat sintesa-, pelepasan, don konversi perifer dari tiroksin (T4) ke
Triiodotironin (T3). Kortikosteroid juga mencegah insufisiensi adrenal sekunder relatif terhadap
status hipermetabolik. PTU 200-400 mg, dilanjutkan dengan 100 mg setiap 2 jam, digunakan
untuk menghambat sintesa hormon tiroid. Meskipun methimazole menghambat produksi hormon
tiroid dan mempunyai waktu paruh yang lebih panjang, PTU yang direkomendasikan karena juga
menghamhat konversi T4 perifer. Sediean intravena tidak terdapat untuk agent manapun, jadi
harus diberikan peroral atau NGT. Iodide diberikan untuk menghambat pe(epasan hormon tiroid
dari kelenjarnya. Iodide mungkin diberikan intravena sebagai natrium iodide, 1 g dalam 24 jam,
atau suntikan sebagai kalium iodide 100-200 mg tiap 8 jam. Agent natrium iodide kontras sinar
X 1 gld dapat digunakan sebagai alternatif. Propanolo( tidak hanya berefek antagonis perifer dari
tirotoksikosis tetapi juga menghambat konversi perifer dari T4. Kombinasi hlokade /31 dan ,32
adalah lebih balk daripada antagonis selektif /31 (esmolol atau metoprolol) karena aktivitas
reseptor 132 yang berlebihan dapat bertanggung jawab terhadap efek metabo(ik. Blokade
reseptor p^2 juga menurunkan atiran darah otot dan mungkin juga menurunkan produksi panas.
Ukuran yang mendukung meliputi pendinginan permukoan (selimut pendingin), asetaminophen
(aspirin tidak direkomendasikan karena mungkin memindahkan hormon tiroid dari plasma
karrier protein), day, penggantian cairan intravena banyak sekali. Vasopressor juga sering
diperlukon untuk mendukung tekanan darah arteri. Digoksin diindikasikan pada pasien- pasien
dengan fibrilasi atrium untuk mengontrot kecepatan ventrike dan pasien-pasien dengan gagal
jantung kongestif. Sebuah kateter arteri pulmonalis sangat memudahkan dalam memanajemen
pasien-pasien dengan tanda-tanda gagal jantung kongestif atou hipotensi menetap dengan
pengukuran cardiac output dan indeks dari tekanan pengisian ventrikeL ./3bloker
dikontraindikasikan pada
pasien-pasien dengan cardiac output rendah.
Propanolol, dexamethason, PTU dan natrium iodide diberikan, pasien dimasukkan ke ICU,
disana terapi diteruskan. Tiga hail kemudian status mentalnya membaik. T3 dan total tiroksin
level pada hari pembedahan keduanya meningkat sampai 250ngldl dan 18,5mg/dl. Dia
dipulangkan 6 hari kemudian dengan pemakaian propanolol dan PTU teratur, tensi 124180
mmHg, nadi 92x/mnt, suhu oral 37,3 °C.

PROFIL DI DALAM PRAKTEK ANESTESI


SUCTION RUTIN POST OPERASI: SEBUAH IDE YANG TIDAK BAIK

Salah satu tantangan utama untuk ahli anestesi terjadi pada akhir prosedur pembedahan ketika
waktunya patien pulih reflek-reflek pertindungan jalannya seperti batuk dan menelan yang telah
dihilangkan oleh anestesi umum. Pertanyaan adalah, "Bagaimana agar reflek-reflek ini diaktifkan
tan pa terjadi laringospasme?" laringospasme post operasi berlanjut menjadi masalah utama
untuk ahli anestesi. Suatu laporan menunjukkan bahwa 1 dari 1000 pasien terjadi udema paru
tekanan negatif pada akhir operasi. Satu tekhnik untuk membantu seorang pasien dclam
memulihkan reflek-reflek pertindungan adalah membiarkannya sampoi sadar penuh dari anestesi
sebelum ekstubasi. Akan tetapi, pendekatan ini masih dalam pertentangan dengan praktek dari
banyak ah(i anestesi yang secara rutin melakukan penyedotan yang dalam pada hipopharing
sebelum mengambil pipa trakea.
Jika penyedodotan hipopharing mendalam dilakukan sementara seorang pasien masih teranestesi
dan masih paralisa, hat itu tak berpengaruh terhadap reflek-reflek jalan nafas. Akan tetapi jika
ditakukan pada periode akhir anestesi scat pasien mendapat kembali(reflek-reflek protektif jalan
nafasnya, akin merangsang pasien dan menyebabkan batuk, tahan nafas, atau berusaha mencabut
sendiri pipanya. Sementara kejadian-kejadian ini menunjukkan bahwa pasien telah cukup putlh
dari anestesi dan dibolehkan ekstubasi endotrakea, terdapat banyak laporan kasus spasme faring
berat dengan udema paru tekanan negati f mengikuti skenp ario ini. Setiap tahun di sistim
kesehatan Universitas Virginia terdapat 4 atau 5 kasus udema paru tekanan negatif berakibat
spasme faring. Kasus terbanyak terjadi pada orang muda, pasien sehat pada dekade dua atau tiga
dari kehidupan. Larson telah menjelaskan sebuah tekhnik yang amat efektif untuk menerapi
spasme faring yang terjadi saat ekstubasi. Akan tetapi tebih baik menghindari spasme faring
daripada menerapi spasme faring.

BANGUN SPONTAN DARI ANESTESI

Apakah pilihan-pilihan pemulihan dari anestesi jika pasien sekresinya berdarah atau ludah pada
hipopharing? Terdapat dua cars untuk penatataksanaan hal ini. Pertama dengan melakukan
penyedotan saat pasien masih teranestesi dan tidak reaktif. Kedua adalah mengeluarkan sekresi
atau darah dan tempatkan pusien pada posisi lateral pada akhir pembedahan, biarkan gravitasi
yang mengeluarkan sekresi. Rahasia membangunkan pasien dengan tenang adalah mencegah
stimulasi pasien. Berikan lidokain 1,5mg/kg iv cukup sebelum pasien dipindahkan dari meja
operasi ke brangkar untuk dibawa ke PACU. Bilo perlu, dosis tersebut dapat diulangi sekali
dalam waktu 5 menit. Kadang- kadang pasien ribut, batuk, bergerak, don meraih ETnya. Ini
menciptakan suatu kesulitan untuk ahli anestesi. Hal ini praktis diterima untuk menyimpulkan
bahwa ketika pasien mempunyai pergerakan penuh is sudah cukup pulih dari anestesi, mawnpu
memelihara jalan nafasnya. Scat itu adalah amat sulit untuk mengatakan dengan pasti kapan poin
itu datang. Jika pasien membuka matanya, mengikuti perintah, dan menggapai ET, ini adalah
pemikiran yang-menjadi indikator sudah waktunya untuk ekstubasi. Akan tetapi jika perawat
PACU menyedot hipopharing sementara pusien pulih dari anestesi secara spontan, pasien
mungkin memberi penampilan yang menunjukkan bahwa diperlukan ekstubasi. Akan tetapi
perlakuan yang demikian adalah tidak pantas. Pada keadaan ini, spasnie laring diikuti dengan
udema paru dan perdaruhan telah dilaporkan.
Karena banyak dari proses pemulihan mengambil tempat di PACU, adalah penting bahwa
perawat-perawat PACU harus mengetahui tekhnik bangun spontan dari anestesi. Tanpa
dilakukan penyedotan oropharing, pasien ditempatkan pada posisi miring sampai cukup sadar
untuk mencabut pipanya sendiri. Menggunakan tekhnik ini penulis be(um pernah melihat
seorong pasien menjadi spasme laring yang mono tidak mudah penatalaksanaannya dengan
manuver-manuver ja(an nafas sedehana

Anda mungkin juga menyukai