Pendahuluan
Hingga saat ini, persoalan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan tenaga
listrik belum terselesaikan dengan baik dan tuntas. Di mana, setiap terjadi
perubahan minimal tiga hal, yaitu harga minyak mentah, kurs rupiah, dan volume
konsumsi, pasti akan menyisakan persoalan pada besaran subsidi. Ketika harga
minyak naik, nilai rupiah turun, dan volume konsumsi naik, belanja subsidi akan
membengkak sehingga membebani anggaran pendapatan dan belanja negara
(APBN). Ujung-ujungnya Pemerintah mengorbankan belanja modal dengan
mengurangi alokasi anggarannya atau menumpuk utang untuk menambah
kekurangan beban subsidi.
Timbulnya persoalan subsidi ini tidak lain karena konsekuensi dari kebijakan
pemerintah yang memberikan subsidi harga kepada masyarakat. Di BBM tertentu,
seperti premium, solar, minyak tanah, dan LPG 3 kg, Pemerintah memberi subsidi
sebesar selisih harga patokan dikurangi harga eceran. Di listrik, Pemerintah
mensubsidi selisih biaya pokok penyediaan (BPP) plus margin dikurangi harga jual.
Karenanya, ketika minyak mentah naik maka harga BBM yang merupakan produk
minyak mentah akan naik, akibatnya harga patokan atau BPP naik, dan selanjutnya
subsidi naik. Selain itu, ketika volume konsumsi naik maka subsidi naik pula.
1
Kepala Sub Bidang BUMN Piset dan Peneliti Muda pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan
Fiskal, Kementerian Keuangan, email: annasiru@gmail.com. Artikel telah dimuat dalam Buletin Info Risiko
Fiskal (IRF) Edisi 1 Tahun 2014
Berangkat dari pro dan kontra harga BBM tersebut di atas, tentunya timbul
pertanyaan tentang bagaimana kondisi minyak dan gas bumi (migas) Indonesia
sesungguhnya, cukup kaya atau miskin kah Indonesia akan migas? Logika
sederhana, bila negara kaya akan minyak tentunya ada kewajaran harga BBM
murah, atau sebaliknya. Dengan menggunakan data sekunder, artikel ini
menggambarkan tentang kondisi migas di Indonesia sebagai jawaban atas
pertanyaan tersebut di atas. Selanjutnya, dari gambaran ini diharapkan masyarakat
dapat mempunyai pendapat atau penilaian yang logis dan berdasar terhadap
berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan migas.
800
600
400
Produksi Rata-Rata
200
0
1965 1967 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011
India 42,0
Azerbaijan 43,4
Indonesia 44,6
United Kingdom 45,0
Oman 45,8
Colombia 49,9
Libya
Algeria
71,1
73,0
24
Kazakhstan 81,3
Qatar 83,3
Angola 86,9
Norway 87,5
Brazil 112,2
Nigeria 116,2
Venezuela 139,7
Mexico 143,9
Iraq 152,4
Kuwait 152,5
United Arab Emirates 154,1
Iran 174,9
Canada 182,6
China 207,5
US 394,9
Russian Federation 526,2
Saudi Arabia 547,0
Di samping itu, dari total produksi minyak mentah yang dihasilkan, tidak
keseluruhannya adalah milik Pemerintah. Pemerintah harus berbagi dengan
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) dengan pola bagi hasil 85% untuk pemerintah
dan 15% untuk K3S. Namun demikian, sebelum dibagi, hasil produksi harus terlebih
dahulu digunakan sebagai pengganti biaya eksplorasi yang dikeluarkan oleh K3S
atau cost recovery. Dengan demikian, yang menjadi hak Pemerintah atas produksi
minyak mentah adalah di bawah angka produksi tersebut dalam Grafik 1.
1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
Kondisi yang bertolak belakang antara kinerja produksi dan konsumsi minyak,
pada akhirnya membuat Indonesia mengalami defisit minyak. Hal ini mulai terjadi
pada tahun 2004 di mana Indonesia mengalami defisit minyak sekitar 5 juta ton,
kemudian terus merangkak naik hingga tahun 2012 yang mengalami defisit 27 juta
ton. Konsekuensi defisit sudah dapat dipastikan bahwa Indonesia harus impor baik
dalam bentuk minyak mentah maupun hasil olahan (bensin, diesel, dan kerosene).
Ketika impor, otomatis juga dapat berdampak pada neraca perdagangan
Indonesia.
Grafik 4. Neraca Minyak dan BBM Grafik 5. Ekspor – Impor Minyak dan BBM
2011*
-38,6 2010
2012
2009
2008
-38,2
2011 2007
2006
-26,0 2005
2010
2004
-22,6 2003
2009 2002
2001
-24,6
2008 2000
Dari Grafik 4 dan Grafik 5 terlihat bahwa semakin lama volume impor minyak
dan BBM semakin meningkat. Tahun 2008, volume impor mencapai 24,6 juta kiloliter
(KL), meningkat 56,9% menjadi 38,6 juta KL pada tahun 2012. Dari sisi nilai nominal
pun otomatis defisit neraca perdagangan meningkat. Pada tahun 2003, terjadi
defisit neraca perdagangan sekitar US$414,8 juta, kemudian pada tahun 2011
periode Januari - November menjadi US$19,0 miliar.
Japan 8,52
Philippines 8,51
Singapore 8,35
Brazil 7,49
Australia 6,37
United States 6,32
Malaysia 5,40
India 5,34
Korea, Rep. 5,27
Constant
Pakistan 4,88
2005 PPP $
Brunei Darussalam 4,84
Per Kg of Oil
Indonesia 4,75
Equivalent
Venezuela, RB 4,70
Vietnam 4,57
Thailand 4,45
China 3,66
Russian Federation 2,88
0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00
Selain memiliki minyak mentah, Indonesia juga memiliki sumber energi primer
lainnya yang tidak kalah dalam hal nilai kalori dan ekonomisnya. Indonesia memiliki
gas, batu bara, coal bed methane, dan energi terbarukan seperti panas bumi,
surya, dan angin.
Khusus tentang gas bumi, Indonesia mempunyai catatan yang juga luar
biasa. Sejak tahun 1970 s. d. 2012, Indonesia merupakan negara produsen terbesar
gas bumi di Asia Pasifik meskipun khusus untuk tahun 2012 menempati posisi 2
terbesar sebagai negara produsen gas bumi di Asia Pasifik. Gambaran ini dapat
dilihat dalam Grafik 7.
Meskipun sampai dengan saat ini produksi gas Indonesia sudah sangat besar,
Indonesia masih diperkirakan memiliki potensi sumber gas yang cukup besar.
Fesharaki F. (2012), Chairman of Facts Global Energy, memperkirakan bahwa
produksi kotor gas Indonesia diperkirakan masih di atas 8.300 million standard cubic
feet per day (MMSCFD), bahkan diperkirakan dapat di atas 9.000 MMSCFD pada
tahun 2020.
Penutup
Referensi
BP. 2013. Statistical Review of World Energy June 2013. Diakses 10 Januari 2014.
http://www.bp.com/en/global/corporate/about-bp/energy-
economics/statistical-review-of-world-energy-2013/statistical-review-
downloads.html.