Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Peradangan akut dinding kandung empedu atau disebut juga dengan


kolesistitis akut biasanya terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu. Sekitar
10 – 20% warga Amerika menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya
juga menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia
tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada wanita, terutama pada
wanita – wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat – obat hormonal, insidensi
kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini berkaitan
dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan statis aliran kandung
empedu. Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, insidens
kolesistitis dan kolelitiasis di negara kita relatif lebih rendah dibandingkan dengan
negara – negara barat. Meskipun dikatakan bahwa pasien kolesistitis akut umumnya
perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi menuruit Lesman LA, dkk,
hal ini sering tidak sesuai untuk pasien – pasien di negara kita.1
Kolesistitis akut sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang
memburuk secara progresif. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat
serangan yang sembuh spontan. Namun, seiring dengan makin parahnya serangan,
nyeri kolesistitis akut makin menjadi generalisata di abdomen kanan atas. Seperti
kolik biliaris, nyeri kolesistitis dapat menyebar ke daerah antarskapula, skapula
kanan atau bahu. Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien juga mengalami
anoreksia dan sering mual. Kolesistitis akut merupakan suatu penyakit yang dapat
mengganggu kualitas hidup pasien.1
Oleh karena itu dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai beberapa hal
berkaitan dengan penyakit peradangan pada dinding kandung empedu ini serta
terapi yang sesuai.

1
BAB II
KOLESISTITIS AKUT

2.1. Definisi
Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut
dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan
dan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini
masih belum jelas. Walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, insidens
kolesistitis dan batu empedu (kolelitiasis) di negara Indonesia relatiF lebih rendah
dibandingkan negara-negara barat.2

2.2 Epidemiologi
Kasus kolesistitis ditemukan pada sekitar 10% populasi. Sekitar 90% kasus
berkaitan dengan batu empedu; sedangkan 10% sisanya tidak. Kasus minoritas yang
disebut juga dengan istilah acalculous cholecystitis ini, biasanya berkaitan dengan
pascabedah umum, cedera berat, sepsis (infeksi berat), puasa berkepanjangan, dan
beberapa infeksi pada penderita AIDS.3
Dari mereka yang dirawat di rumah sakit karena penyakit traktus bilier, 20%
mengalami kolesistitis akut. Dan jumlah kolesistektomi secara perlahan meningkat,
terutama pada lansia. Distribusi jenis kelamin untuk batu empedu adalah 2-3 kali
lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria, sehingga insiden kolesistitis
kalkulus juga lebih tinggi pada wanita. Kadar progesteron yang tinggi selama
kehamilan dapat menyebabkan empedu stasis, sehingga insiden penyakit kandung
empedu pada wanita hamil juga tinggi. Kolesistitis kalkulus dijumpai lebih sering
pada pria usia lanjut. Insidensi kolesistitis meningkat seiring dengan usia.
Penerangan secara fisiologi untuk meningkatnya kasus penyakit batu empedu
dalam populasi orang yang lebih tua kurang dipahami. Meningkatnya kadar
insidensi untuk laki-laki yang lebih berusia telah dikaitkan dengan rasio perubahan
androgen kepada estrogen.4

2
2.3 Anatomi dan Fisiologi
2.3.1 Anatomi Kandung Empedu

Gambar 2.3.1. Anatomi kandung empedu dan saluran bilier

Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir, yang
terletak pada permukaan inferior dari hati pada garis yang memisahkan lobus kanan
dan kiri, yang disebut dengan fossa kandung empedu. Ukuran kandung empedu
pada orang dewasa adalah 7cm hingga 10 cm dengan kapasitas lebih kurang 30mL.
Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat longgar, yang
mengandung vena dan saluran limfatik yang menghubungkan kandung empedu
dengan hati. Kandung empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus, korpus,
infundibulum, dan kolum.5
Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit, yang kemudian menuju ke
duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan
kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta hepatis. Ketika
duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan duktus hepatikus komunis,
maka terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis secara umum
memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati duodenum menuju
pangkal pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri.5

3
Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang
berasal dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi pada tiap tiap
orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan.6
Aliran vena pada kandung empedu biasanya melalui hubungan antara vena
vena kecil. Vena-vena ini melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati
dan bergabung dengan vena kolateral dari saluran empedu bersama dan akhirnya
menuju vena portal. Aliran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran
venanya. Cairan limfa mengalir dari kandung empedu ke hati dan menuju duktus
sistika dan masuk ke sebuah nodus atau sekelompok nodus. Dari nodus ini cairan
limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada vena portal. Kandung empedu
diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati
pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf
postganglionik simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan
arteri hepatik dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf parasimpatetik
berasal dari cabang nervus vagus.7

2.3.2. Fisiologi Kandung Empedu


Fungsi kandung empedu yaitu sebagai berikut:
1. Menyimpan dan mengkonsentrasikan cairan empedu yang berasal dari hati di
antara dua periode makan.
2. Berkontraksi dan mengalirkan garam empedu yang merupakan turunan
kolesterol, dengan stimulasi oleh kolesistokinin, ke duodenum sehingga
membantu proses pencernaan lemak.8

Cairan empedu dibentuk oleh hepatosit, sekitar 600 mL per hari, terdiri dari
air, elektrolit, garam empedu, kolesterol, fosfolipid, bilirubin, dan senyawa organik
terlarut lainnya. Kandung empedu bertugas menyimpan dan menkonsentrasikan
empedu pada saat puasa. Kira-kira 90 % air dan elektrolit diresorbsi oleh epitel
kandung empedu, yang menyebabkan empedu kaya akan konstituen organik.5
Di antara waktu makan, empedu akan disimpan di kandung empedu dan
dipekatkan. Selama makan, ketika kimus mencapai usus halus, keberadaan
makanan terutama produk lemak akan memicu pengeluaran kolesistokinin (CCK).

4
Hormon ini merangsang kontraksi dari kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi,
sehingga empedu dikeluarkan ke duodenum dan membantu pencernaan dan
penyerapan lemak. Garam empedu secara aktif disekresikan ke dalam empedu dan
akhirnya disekresikan bersama dengan konstituen empedu lainnya ke dalam
duodenum. Setelah berperan serta dalam pencernaan lemak, garam empedu
diresorpsi ke dalam darah dengan mekanisme transport aktif khusus di ileum
terminal. Dari sini garam empedu akan kembali ke sistem porta hepatika lalu ke
hati, yang kembali mensekresikan mereka ke kandung empedu. Proses
pendaurulangan antara usus halus dan hati ini disebut sebagai sirkulasi
enterohepatik.8
Dalam keadaan dimana kandung empedu tidak berfungsi dengan baik, garam
empedu yang telah melalui sirkulasi enterohepatik sebagian besar akan disimpan di
usus halus.8

2.4 Etiologi dan Faktor Resiko


Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang
terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan
sebanyak lima hingga sepuluh persen kasus timbul tanpa adanya batu (kolesistitis
akut akalkulus). Bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis
akut, masih belum jelas. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya
kondisi ini seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan
prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh
reaksi inflamasi dan supurasi.1,2
Faktor risiko untuk terjadinya kolesistitis kakulosa umumnya serupa dengan
kolelitiasis yaitu meliputi jenis kelamin wanita, kelompok etnik tertentu, obesitas
atau penurunan berat badan yang cepat, obat-obatan (terutama terapi hormonal pada
wanita), kehamilan dan usia. Sementara itu, kolesistitis akalkulosa berhubungan
dengan penyakit yang berkaitan dengan stasis cairan empedu, seperti penyakit kritis,
operasi besar atau trauma/luka bakar berat, sepsis, pemberian nutrisi parenteral total
(TPN) jangka panjang, puasa jangka panjang, penyakit jantung (termasuk infark
miokardium), penyakit sel sabit, infeksi Salmonella, diabetes mellitus, pasien AIDS
yang terinfeksi cytomegalovirus, cryptosporidiosis, atau microsporidiosis. Pasien

5
dengan imunodefisiensi juga menunjukkan peningkatan risiko kolesistitis akibat
berbagai sumber infeksi lain. Selain itu juga dapat dijumpai sejumlah kasus
kolesistitis idiopatik.2,9

2.5 Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis
cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab
utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus
sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus
kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akalkulus).21,22
Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu
empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan
drainase limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis.20
Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu,
kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding
kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.22

Gambar 2.5. Kolesistitis Akut yang disebabkan oleh batu empedu.

Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan


empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu
mungkin merupakan faktor terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu
yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap

6
dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Stasis
empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia
dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau
spasme sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal
terutama pada kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu
yang lebih lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan
mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu
empedu daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu.21
Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas, beberapa
teori telah diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit ini.
Penyebab utama penyakit ini dipikirkan akibat stasis empedu dan peningkatan
litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam kondisi kritis lebih mungkin terkena
kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu akibat demam dan dehidrasi
dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam jangka waktu lama
sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin
untuk kontraksi kandung empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu
mungkin merupakan hasil dari tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang
sangat berbahaya. Pada pasien dengan puasa yang berkepanjangan, kandung
empedu tidak pernah mendapatkan stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi
merangsang pengosongan kandung empedu, sehingga empedu pekat tersebut
tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang terjadi akibat lambatnya
aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga berperan dalam
patogenesis kolesistitis akalkulus.20
Penelitian yang dilakukan oleh Cullen dkk memperlihatkan kemampuan
endotoksin dalam menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang luas,
dan hilangnya mukosa secara ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang menyertai.
Endotoksin juga menghilangkan respons kontraktilitas terhadap kolesistokinin
sehingga menyebabkan stasis kandung empedu.20,22

7
2.6 Gejala Klinis
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut
di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu
tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa
sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60
menit tanpa reda.10 Nyeri diperberat dengan konsumsi makanan berlemak dirasakan.
Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan
inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu.
Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh
spontan.1
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran
atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan
sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda
deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan
atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh
pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam
atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri
dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda Murphy).1
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan
nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan,
juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda
rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak
ditemukan, asalkan tidak ada perforasi.1 Ikterus dijumpai pada 20% kasus,
umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin
tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien
– pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada
tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja.4
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan
dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun
sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien

8
sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut
yang jelas sebelumnya.2,4
Pasien dianggap menderita kolesistitis akut jika mereka memiliki kriteria
berikut:11

Nyeri akut region hypochondria kanan dan / atau nyeri epigastric durasi >
8-12 jam.

Nyeri tekan/ teraba massa di kuadran kanan atas.

Peningkatan suhu (> 37.50C) dan / atau leukositosis (> 10x109 / L).

Bukti kolesistitis akut pada ultrasonografi.

2.7 Diagnosis Banding


Keterlambatan penegakkan diagnosis kolesistitis akut, dapat menyebabkan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Pada pasien – pasien yang
dirawat di ICU, kecurigaan terhadap timbulnya kolestitis akut akalkulus harus
dipertimbangkan bila telah terdapat tanda dan gejala, hal ini untuk mencegah
terjadinya perburukan kondisi pasien.1
Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu
dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma
seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum,
pankreatitis akut, pielonefritis dan infark miokard. Pada wanita hamil
kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan kolelitiasis. Pemeriksaan
lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat mengancam
nyawa ibu dan bayi.12

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Kolesistitis akut dengan disertai gejala nyeri abdomen yang akut merupakan
salah satu kejadian tersering yang menyebabkan pasien masuk rumah sakit bahkan
membutuhkan operasi darurat. Penyebab utamanya (90-95% kasus) adalah
obstruksi litiasis akibat batu yang terdapat di duktus sistikus atau leher kantung
empedu yang menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal, distensi kandung
empedu dan iritasi mukosa kandung empedu dengan pelepasan beberapa mediator
inflamasi serta peradangan dinding kandung empedu yang progresif.24 Diagnosis

9
kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan pemeriksaan
fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan leukositosis
sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai
dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis.
Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5 µmol/L (5mg/dl)] pada 45 %
pasien, sementara 25 % pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum
(biasanya kurang dari lima kali lipat). Pemeriksaan alkali phospatase biasanya
meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan
lipase diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase
dapat meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi
dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi
kandung empedu dipertimbangkan.2
Selain melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, dalam menegakkan
diagnosis kolesistitis akut perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti foto
polos abdomen (BOF), USG abdomen, CT Scan abdomen, ataupun skintigrafi
saluran empedu (HIDA).
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut
secara akurat. Hanya pada 10-15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak
tembus pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak
(Gambar 2.8.1) dan dapat menunjukkan gas di dalam dinding kandung empedu
pada emphysematous kolesistitis (Gambar 2.8.2).25,26

10
Gambar 2.8.1. Foto polos abdomen, Gambar 2.8.2. Foto polos abdomen, tampak udara
tampak beberapa empedu berukuran kecil yang mengisi salah satu bagian kantung empedu dan
terdapat gas diantara dinding kantung empedu

Ultrasound (USG) abdomen lebih baik untuk mendeteksi batu empedu dan
lebih berguna dalam evaluasi awal penyakit saluran empedu akut dibandingkan
dengan CT Scan karena USG membantu untuk proses triase pasien yang
membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut atau tidak. Pencitraan dengan USG
biasanya memberikan gambaran cairan perikolesistik (cairan di sekitar kandung
empedu), kandung empedu yang distensi, dinding kandung empedu, dan batu
empedu (Gambar 2.8.3(a)-2.8.3(d)).26 Salah satu keuntungan paling penting dari
USG dari teknik pencitraan lain dalam menilai kolesistitis akut adalah kemampuan
untuk menilai untuk sonografi dengan tanda Murphy (Murphy sign), yang
merupakan indikator terbaik dari kolesistitis akut dengan sensitivitas sebesar 92%.
Munculnya tanda Murphy sonografi yang positif dapat membantu membedakan
kolesistitis akalkulus akut dari distensi kandung empedu yang disebabkan oleh
puasa yang berkepanjangan, tetapi penting untuk diingat bahwa tanda ini dapat
tertutupi oleh perubahan status mental atau obat-obatan yang dikonsumsi.
Penampakan penebalan dinding kandung empedu dengan adanya batu-batu empedu
menggunakan USG memiliki nilai prediksi positif sebesar 95% untuk diagnosis
kolesistitis akut.27

11
Gambar 2.8.3(a) USG pembesaran Gambar 2.8.3(b) USG kantung empedu
kantung empedu dengan batu multipel yang distensi dengan lapisan endapan pada
pada pasien kolesistitis akut pasien kolesistitis akut

Gambar 2.8.3(c) USG (a) penebalan kantung empedu sedang dan (b) penebalan yang berat pada
pasien kolesistitis akut

Gambar 2.8.3(d) USG cairan perikolesistik yang mempengaruhi batu empedu dan distensi kantung
empedu pada pasien kolesistitis akut

Meskipun USG adalah modalitas pencitraan yang paling berguna untuk


evaluasi awal kolesistitis akut, MDCT (Multidetector CT) sangat membantu ketika
temuan USG masih meragukan atau gejala klinis tidak spesifik. Temuan CT yang
paling sensitif dan sederhana dalam kolesistitis akut adalah peradangan dan

12
penebalan signifikan dinding kandung empedu dengan hipergesi mukosa dalam
pengaturan kantung empedu.24 Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan
perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa
tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosa yang terlepas (Gambar
2.8.4). Pemeriksaan dengan CT dapat memperlihatkan adanya abses perikolesistik
yang masih berukuran kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.28
Pada pasien dengan nyeri abdomen akut, kombinasi dari beberapa atau semua
temuan CT ini sangat spesifik untuk kolesistitis akut, menunjukkan akurasi
diagnostik yang baik dengan sensitivitas 92% dan spesifisitas 99% sebanding
dengan USG. MDCT juga dapat digunakan untuk mendemonstrasikan komplikasi
AC yang dapat mendorong perawatan bedah, seperti kolesistitis emphysematous
dan gangren, perforasi kandung empedu dan ileus batu empedu.24

Gambar 4. MDCT penebalan difus dari dinding kandung empedu dengan lapisan batu empedu (a),
kandung empedu yang membesar dengan batu di duktus sistikus dan lemak perikolesistitis (b) pada
pasien dengan kolesistitis akut.

Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA


(Hepatobiliary Iminodiacetic Acid) merupakan standar baku emas untuk diagnosis
yang kurang meyakinkan setelah dilakukan USG dan untuk membedakan
kolesistitis akut dari kronis kolesistitis, namun teknik ini tidak mudah (Gambar
2.8.5A-B).26,27 Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis dan
duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna. Terlihatnya
gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada
pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis
akut.1

13
Gambar 2.8.5(b) HIDA tidak mengisi
Gambar 2.8.5(a) Normal scintigrafi, HIDA
kandung empedu setelah 1 jam 30 menit.
mengisi kandung empedu setelah 45 menit.

2.9 Terapi
2.9.1 Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis
akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit
sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status
hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat
penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada
fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis
dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai
untuk mematikan kuman – kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti
E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien
yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian
antibiotik kombinasi.2
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam
dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole
dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus
yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual
dan muntah dapat diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube. Pasien –
pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus

14
dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda
– tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain yang
menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang, pasien
diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan
Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai.2

2.9.2 Terapi bedah


Indikasi tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya
dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah terapi konservatif
dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa
tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren dan
komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di
rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya dapat ditekan. Sementara yang tidak
setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga
peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar
duktus akan mengaburkan anatomi.16
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan
pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut,
misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis
akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan
perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih
dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak
meningkat pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini dibanding
kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya
dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko
besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang diagnosis kolesistitis
akutnya masih meragukan.16
Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar
pasien kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk
kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk
kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari 60
tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit pada

15
organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau jangka
panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit berat atau
keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase selang
terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada
lain waktu.17
Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia
ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat – pusat bedah
digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari seluruh
kolesitektomi. Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim
A. dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus
sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%), perdarahan dan keganasan
kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan ini yaitu trauma
saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran empedu. Menurut kebanyakan ahli
bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai
kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan angka
kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah
sakit dan mempercepat aktivitas pasien.18 Pada wanita hamil, laparaskopi
kolesistektomi terbukti aman dilakukan pada semua trimester.19
Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi kolesistektomi diantaranya
adalah:
• Resiko tinggi terhadap anastesi umum

• Tanda – tanda perforasi kandung empedu seperti abses, fistula dan


peritonitis
• Batu empedu yang besar atau dicurigai keganasan

• Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan sistem

pembekuan darah.16

2.10 Komplikasi
Pada kolesistitis akut yang tidak ditangani secara tepat dapat menimbulkan
beberapa komplikasi, antara lain :
1. Gangren dan perforasi kandung empedu

16
Pada 2-38% kasus terutama pada penderita diabetes melitus dan pasien
dengan permasalahan imunitas, kolesistitis akut dapat menyebabkan gangren.
Hal ini terjadi karena distensi berlebihan dari kandung empedu yang
menyebabkan oklusi arteri sehingga aliran darah ke kandung empedu menurun.
Hampir 10% kasus menunjukkan bahwa gangren merupakan predisposisi
rupturnya kandung empedu (perforasi).13
Apabila perforasi yang terjadi bersifat lokal maka dapat mengarah ke
terbentuknya abses yang disebut perycholecystic abscess. Perforasi bebas
jarang terjadi tetapi memiliki angka kematian sebesar 30% dengan munculnya
peritonitis.14
2. Empiema
Kolesistitis akut yang tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan
inflamasi lebih parah. Infeksi sekunder pada kandung empedu dengan
sumbatan duktus sistikus yang persisten akan menyebabkan terkumpulnya pus
dalam kandung empedu yang disebut dengan empiema.14 Biasanya terjadi pada
pasien laki - laki dengan kolesistitis akut akalkulus dan juga menderita diabetes
mellitus. Gambaran klinis mirip kolangitis dengan demam tinggi, nyeri
kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis berat dan sering keadaan umum
lemah. Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi menjadi sepsis gram
negatif dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah darurat disertai
perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis dicurigai.15
Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan
berkepanjangan duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam
keadaan ini, lumen kandung empedu yang tersumbat secara progresif
mengalami peregangan oleh mukus (mukokel) atau cairan transudat jernih
(hidrops) yang dihasilkan oleh sel – sel epitel mukosa. Pada pemeriksaan fisis
sering teraba massa tidak nyeri yang mudah dilihat dan diraba menonjol dari
kuadran kanan atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien hidrops kandung empedu
sering tetap asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas kronik juga dapat
terjadi. Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi
empiema, perforasi atau gangren.15
3. Pembentukan fistula dan ileus batu empedu

17
Inflamasi pada kolesistitis dapat menimbulkan perlekatan antara kandung
empedu dan organ intra-abdomen lain terutama duodenum. Perlekatan ini
menimbulkan koneksi langsung antara kandung empedu dengan organ
pencernaan lain sehingga terbentuk fistula. Dengan adanya hubungan langsung
antara kandung empedu dengan organ pencernaan menyebabkan batu empedu
dapat berpindah menuju usus. Batu empedu dapat terperangkap dalam saluran
cerna terutama pada katup ileosekal dan menimbulkan obstruksi pada usus
yang disebut gallstone ileus.2

2.11 Prognosis
Pada kasus kolesistitis akut tanpa komplikasi, perbaikan gejala dapat terlihat
dalam 1 – 4 hari bila dalam penanganan yang tepat. Penyembuhan spontan
didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kadang kandung empedu menjadi tebal,
fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang pula, menjadi
kolesistitis rekuren. Kadang – kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat
menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau
peritonitis umum pada 10 – 15% kasus. Bila hal ini terjadi, angka kematian dapat
mencapai 50 – 60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang
adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut akalkulus memiliki
angka mortalitas sebesar 10 – 50%. Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun)
mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul
komplikasi pasca bedah.23

18
BAB III
KESIMPULAN

Kolesistitis merupakan peradangan pada dinding kandung empedu yang


ditandai dengan trias gejalanya yakni nyeri perut kuadran kanan atas, demam dan
leukositosis. Terdapat dua jenis kolesistitis berdasarkan penyebab utamanya yakni
kolesistitis akut kalkulus dan kolesistitis akut akalkulus. Patofisiologi kolesistitis
akut sampai saat ini masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Penegakkan
diagnosis untuk kolestitis adalah dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kolesistitis akut kalkulus lebih banyak ditemukan pada
wanita, usia > 40 tahun dan pada wanita hamil atau yang mengkonsumsi obat
hormonal, walaupun pada kenyataannya tidak selalu seperti itu. Pasien – pasien
yang menerima nutrisi parenteral total (TPN) beresiko menderita kolesistitis akut
akalkulus, sama halnya pada pasien dengan riwayat DM & demam tyfoid.
Pasien sering mengeluhkan nyeri perut kanan atas sakit bila ditekan (tanda Murphy
positif), takikardia, mual, muntah, anoreksia dan demam. Dapat teraba pula massa
di kuadran kanan atas perut. Pemeriksaan penunjang sering menunjukkan
leukositosis, peningkatan serum aminotransferasi, alkali fosfatase, serum bilirubin
dan serum amilase. Pemeriksaan USG dapat merupakan pemeriksaan penunjang
yang banyak dilakukan karena kesensitifitasannya sampai 95%. Namun apabila
masih meragukan, dapat pula dilakukan pemeriksaan CT Scan. Terapi dibagi
menjadi dua yakni terapi konvensional berupa perbaikan kondisi umum pasien,
antibiotik sesuai dengan pola kuman, analgesik dan anti-emetik dan terapi
pembedahan bila terdapat inidikasi, dimana saat ini lebih sering dilakukan
laparaskopik kolesistektomi dikarenakan dapat memberi keuntungan pada pasien
yakni rasa nyeri pasca operasi minimal, memperpendek masa perawatan dan
memperbaiki kualitas hidup pasien lebih cepat.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Jakarta: ECG; 2009.
2. Isselbacher KJ, Braunwald E, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison:
Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Editor Bahasa Indonesia: Prof. Dr. H.
Ahmad H. Asdie. Edisi 13. Jakarta: ECG; 2009.
3. Brunner & Suddart. Keperawatan Medikal Bedah. Vol 2. Jakarta: EGC; 2001.
4. Parmar A, Sheffield K, Adhikari D, Davee R, Vargas G, Tamirisa N et al.
PREOP-Gallstones. Annals of Surgery. 2015; 261(6): 1184-1190.
5. Avunduk C. Manual of Gastroenterology. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2002.
6. Debas H. Gastrointestinal surgery. New York: Springer; 2004.
7. Yamada T. Atlas of gastroenterology. 1st ed. Oxford: Wiley-Blackwell; 2009.
8. Barrett KE. Gastrointestinal Physiology. New York: Lange Medical
Books/McGraw – Hill; 2006.
9. Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, Pasha ZR, Sanders RC. Cholecystokinin
prevents parenteral nutrition induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol
Obstet. 2008; 170(1): 25-31.
10. Debas HT. Biliary Tract In Gastrointestinal Surgery: Pathophysiology and
Management. New York: Springer; 2004.
11. Zahur S, Rabbani S, Andrabi S, Ahmad H, Chaudry AM. Early vs interval
cholecystectomy in acute cholecystitis: An experience at Ghurki Trust
Teaching Hospital, Lahore. Pakistan Journal of Medical and Health Sciences.
2014; 8: 778-781.
12. Yates MR, Baron TH. Biliary tract disease in pregnancy. Clin Liver Dis. 2009;
3: 131-147.
13. Shakespear JS, Shaaban AM, Rezvani M. CT Findings of Acute Cholecystitis
and Its Complications. American J of Roentgenology. 2010; 194: 1523-1529.
14. Chiu HH, Chen CM, Mo LR. Emphysematous Cholecystitis. Am J Surg. 2009;
188(3): 325-6.

20
15. Gruber P, Silverman R, Gottesfeld S, Flaster E. Presence of Fever and
Leukocytosis in Acute Cholecystitis. Annals of Emergency Medicine. 1996;
28(3): 273-277.
16. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and value of
information analysis of early versus delayed laparoscopic cholecystectomy for
acute cholecystitis. Br J Surg. Feb 2010; 97(2): 210-219.
17. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, Familiari P, Tringali A, Spada C et al.
Endoscopic gallbladder drainage for acute cholecystitis: technical and clinical
results. Endoscopy. 2009; 41(06): 539-546.
18. Siddiqui T, MacDonald A, Chong P, Jenkins J. Early versus delayed
laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis: a meta-analysis of
randomized clinical trials. The American Journal of Surgery. 2008; 195(1): 40-
47.
19. Cox M, Wilson T, Luck A, Jeans P, Padbury R, Toouli J. Laparoscopic
Cholecystectomy for Acute Inflammation of the Gallbladder. Annals of
Surgery. 1993; 218(5): 630-634.
20. Bloom A, Anand B. Cholecystitis: Practice Essentials, Background,
Pathophysiology [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2017 [cited 6 June
2018]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/171886-
overview
21. Kimura Y, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Hirata K, Sekimoto M et al.
Definitions, Patophysiology, and Epidemiology of Acute Cholangitis and
Cholecystitis: Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancrea Surg. 2007; 14(1):
15-26.
22. Pridady FX. Kolesistitis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke 6.
Jakarta: Interna Publishing; 2014.
23. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM. Current Medical Diagnosis &
Treatment. New York: McGraw Hill-Lange; 2009.
24. Turturici L, Ginanni B, Donatelli G, Ruschi F, Scionti A, Bianchi F et al. Acute
Cholecystitis: Ultrasonography and CT indications in the emergency
department. Europian Society of Radiology. 2014 ;1–14.

21
25. Towfigh S, McFadden DW, Cortina GR, Thompson JE Jr, Tompkins RK,
Chandler C et al. Porcelain gallbladder is not associated with gallbladder
carcinoma. Am Surg. Jan 2010; 67(1): 7-10.
26. Indar AA, Beckingham IJ. Clinical review Acute cholecystitis. Nottingham.
2002; 325: 639–43.
27. O’Connor OJ, Maher MM. Imaging of cholecystitis. Am J Roentgenol. 2011;
196(4): 367–74.
28. Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT findings
of mild forms or early manifestations of acute cholecystitis. Clin Imaging. Jul-
Aug 2009; 33(4): 274-80.

22

Anda mungkin juga menyukai