PENDAHULUAN
1
BAB II
KOLESISTITIS AKUT
2.1. Definisi
Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut
dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan
dan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini
masih belum jelas. Walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, insidens
kolesistitis dan batu empedu (kolelitiasis) di negara Indonesia relatiF lebih rendah
dibandingkan negara-negara barat.2
2.2 Epidemiologi
Kasus kolesistitis ditemukan pada sekitar 10% populasi. Sekitar 90% kasus
berkaitan dengan batu empedu; sedangkan 10% sisanya tidak. Kasus minoritas yang
disebut juga dengan istilah acalculous cholecystitis ini, biasanya berkaitan dengan
pascabedah umum, cedera berat, sepsis (infeksi berat), puasa berkepanjangan, dan
beberapa infeksi pada penderita AIDS.3
Dari mereka yang dirawat di rumah sakit karena penyakit traktus bilier, 20%
mengalami kolesistitis akut. Dan jumlah kolesistektomi secara perlahan meningkat,
terutama pada lansia. Distribusi jenis kelamin untuk batu empedu adalah 2-3 kali
lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria, sehingga insiden kolesistitis
kalkulus juga lebih tinggi pada wanita. Kadar progesteron yang tinggi selama
kehamilan dapat menyebabkan empedu stasis, sehingga insiden penyakit kandung
empedu pada wanita hamil juga tinggi. Kolesistitis kalkulus dijumpai lebih sering
pada pria usia lanjut. Insidensi kolesistitis meningkat seiring dengan usia.
Penerangan secara fisiologi untuk meningkatnya kasus penyakit batu empedu
dalam populasi orang yang lebih tua kurang dipahami. Meningkatnya kadar
insidensi untuk laki-laki yang lebih berusia telah dikaitkan dengan rasio perubahan
androgen kepada estrogen.4
2
2.3 Anatomi dan Fisiologi
2.3.1 Anatomi Kandung Empedu
Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir, yang
terletak pada permukaan inferior dari hati pada garis yang memisahkan lobus kanan
dan kiri, yang disebut dengan fossa kandung empedu. Ukuran kandung empedu
pada orang dewasa adalah 7cm hingga 10 cm dengan kapasitas lebih kurang 30mL.
Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat longgar, yang
mengandung vena dan saluran limfatik yang menghubungkan kandung empedu
dengan hati. Kandung empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus, korpus,
infundibulum, dan kolum.5
Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit, yang kemudian menuju ke
duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan
kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta hepatis. Ketika
duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan duktus hepatikus komunis,
maka terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis secara umum
memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati duodenum menuju
pangkal pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri.5
3
Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang
berasal dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi pada tiap tiap
orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan.6
Aliran vena pada kandung empedu biasanya melalui hubungan antara vena
vena kecil. Vena-vena ini melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati
dan bergabung dengan vena kolateral dari saluran empedu bersama dan akhirnya
menuju vena portal. Aliran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran
venanya. Cairan limfa mengalir dari kandung empedu ke hati dan menuju duktus
sistika dan masuk ke sebuah nodus atau sekelompok nodus. Dari nodus ini cairan
limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada vena portal. Kandung empedu
diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati
pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf
postganglionik simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan
arteri hepatik dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf parasimpatetik
berasal dari cabang nervus vagus.7
Cairan empedu dibentuk oleh hepatosit, sekitar 600 mL per hari, terdiri dari
air, elektrolit, garam empedu, kolesterol, fosfolipid, bilirubin, dan senyawa organik
terlarut lainnya. Kandung empedu bertugas menyimpan dan menkonsentrasikan
empedu pada saat puasa. Kira-kira 90 % air dan elektrolit diresorbsi oleh epitel
kandung empedu, yang menyebabkan empedu kaya akan konstituen organik.5
Di antara waktu makan, empedu akan disimpan di kandung empedu dan
dipekatkan. Selama makan, ketika kimus mencapai usus halus, keberadaan
makanan terutama produk lemak akan memicu pengeluaran kolesistokinin (CCK).
4
Hormon ini merangsang kontraksi dari kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi,
sehingga empedu dikeluarkan ke duodenum dan membantu pencernaan dan
penyerapan lemak. Garam empedu secara aktif disekresikan ke dalam empedu dan
akhirnya disekresikan bersama dengan konstituen empedu lainnya ke dalam
duodenum. Setelah berperan serta dalam pencernaan lemak, garam empedu
diresorpsi ke dalam darah dengan mekanisme transport aktif khusus di ileum
terminal. Dari sini garam empedu akan kembali ke sistem porta hepatika lalu ke
hati, yang kembali mensekresikan mereka ke kandung empedu. Proses
pendaurulangan antara usus halus dan hati ini disebut sebagai sirkulasi
enterohepatik.8
Dalam keadaan dimana kandung empedu tidak berfungsi dengan baik, garam
empedu yang telah melalui sirkulasi enterohepatik sebagian besar akan disimpan di
usus halus.8
5
dengan imunodefisiensi juga menunjukkan peningkatan risiko kolesistitis akibat
berbagai sumber infeksi lain. Selain itu juga dapat dijumpai sejumlah kasus
kolesistitis idiopatik.2,9
2.5 Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis
cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab
utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus
sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus
kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akalkulus).21,22
Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu
empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan
drainase limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis.20
Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu,
kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding
kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.22
6
dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Stasis
empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia
dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau
spasme sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal
terutama pada kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu
yang lebih lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan
mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu
empedu daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu.21
Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas, beberapa
teori telah diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit ini.
Penyebab utama penyakit ini dipikirkan akibat stasis empedu dan peningkatan
litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam kondisi kritis lebih mungkin terkena
kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu akibat demam dan dehidrasi
dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam jangka waktu lama
sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin
untuk kontraksi kandung empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu
mungkin merupakan hasil dari tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang
sangat berbahaya. Pada pasien dengan puasa yang berkepanjangan, kandung
empedu tidak pernah mendapatkan stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi
merangsang pengosongan kandung empedu, sehingga empedu pekat tersebut
tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang terjadi akibat lambatnya
aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga berperan dalam
patogenesis kolesistitis akalkulus.20
Penelitian yang dilakukan oleh Cullen dkk memperlihatkan kemampuan
endotoksin dalam menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang luas,
dan hilangnya mukosa secara ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang menyertai.
Endotoksin juga menghilangkan respons kontraktilitas terhadap kolesistokinin
sehingga menyebabkan stasis kandung empedu.20,22
7
2.6 Gejala Klinis
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut
di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu
tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa
sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60
menit tanpa reda.10 Nyeri diperberat dengan konsumsi makanan berlemak dirasakan.
Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan
inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu.
Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh
spontan.1
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran
atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan
sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda
deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan
atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh
pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam
atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri
dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda Murphy).1
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan
nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan,
juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda
rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak
ditemukan, asalkan tidak ada perforasi.1 Ikterus dijumpai pada 20% kasus,
umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin
tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien
– pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada
tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja.4
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan
dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun
sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien
8
sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut
yang jelas sebelumnya.2,4
Pasien dianggap menderita kolesistitis akut jika mereka memiliki kriteria
berikut:11
⚫
Nyeri akut region hypochondria kanan dan / atau nyeri epigastric durasi >
8-12 jam.
⚫
Nyeri tekan/ teraba massa di kuadran kanan atas.
⚫
Peningkatan suhu (> 37.50C) dan / atau leukositosis (> 10x109 / L).
⚫
Bukti kolesistitis akut pada ultrasonografi.
9
kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan pemeriksaan
fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan leukositosis
sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai
dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis.
Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5 µmol/L (5mg/dl)] pada 45 %
pasien, sementara 25 % pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum
(biasanya kurang dari lima kali lipat). Pemeriksaan alkali phospatase biasanya
meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan
lipase diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase
dapat meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi
dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi
kandung empedu dipertimbangkan.2
Selain melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, dalam menegakkan
diagnosis kolesistitis akut perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti foto
polos abdomen (BOF), USG abdomen, CT Scan abdomen, ataupun skintigrafi
saluran empedu (HIDA).
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut
secara akurat. Hanya pada 10-15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak
tembus pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak
(Gambar 2.8.1) dan dapat menunjukkan gas di dalam dinding kandung empedu
pada emphysematous kolesistitis (Gambar 2.8.2).25,26
10
Gambar 2.8.1. Foto polos abdomen, Gambar 2.8.2. Foto polos abdomen, tampak udara
tampak beberapa empedu berukuran kecil yang mengisi salah satu bagian kantung empedu dan
terdapat gas diantara dinding kantung empedu
Ultrasound (USG) abdomen lebih baik untuk mendeteksi batu empedu dan
lebih berguna dalam evaluasi awal penyakit saluran empedu akut dibandingkan
dengan CT Scan karena USG membantu untuk proses triase pasien yang
membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut atau tidak. Pencitraan dengan USG
biasanya memberikan gambaran cairan perikolesistik (cairan di sekitar kandung
empedu), kandung empedu yang distensi, dinding kandung empedu, dan batu
empedu (Gambar 2.8.3(a)-2.8.3(d)).26 Salah satu keuntungan paling penting dari
USG dari teknik pencitraan lain dalam menilai kolesistitis akut adalah kemampuan
untuk menilai untuk sonografi dengan tanda Murphy (Murphy sign), yang
merupakan indikator terbaik dari kolesistitis akut dengan sensitivitas sebesar 92%.
Munculnya tanda Murphy sonografi yang positif dapat membantu membedakan
kolesistitis akalkulus akut dari distensi kandung empedu yang disebabkan oleh
puasa yang berkepanjangan, tetapi penting untuk diingat bahwa tanda ini dapat
tertutupi oleh perubahan status mental atau obat-obatan yang dikonsumsi.
Penampakan penebalan dinding kandung empedu dengan adanya batu-batu empedu
menggunakan USG memiliki nilai prediksi positif sebesar 95% untuk diagnosis
kolesistitis akut.27
11
Gambar 2.8.3(a) USG pembesaran Gambar 2.8.3(b) USG kantung empedu
kantung empedu dengan batu multipel yang distensi dengan lapisan endapan pada
pada pasien kolesistitis akut pasien kolesistitis akut
Gambar 2.8.3(c) USG (a) penebalan kantung empedu sedang dan (b) penebalan yang berat pada
pasien kolesistitis akut
Gambar 2.8.3(d) USG cairan perikolesistik yang mempengaruhi batu empedu dan distensi kantung
empedu pada pasien kolesistitis akut
12
penebalan signifikan dinding kandung empedu dengan hipergesi mukosa dalam
pengaturan kantung empedu.24 Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan
perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa
tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosa yang terlepas (Gambar
2.8.4). Pemeriksaan dengan CT dapat memperlihatkan adanya abses perikolesistik
yang masih berukuran kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.28
Pada pasien dengan nyeri abdomen akut, kombinasi dari beberapa atau semua
temuan CT ini sangat spesifik untuk kolesistitis akut, menunjukkan akurasi
diagnostik yang baik dengan sensitivitas 92% dan spesifisitas 99% sebanding
dengan USG. MDCT juga dapat digunakan untuk mendemonstrasikan komplikasi
AC yang dapat mendorong perawatan bedah, seperti kolesistitis emphysematous
dan gangren, perforasi kandung empedu dan ileus batu empedu.24
Gambar 4. MDCT penebalan difus dari dinding kandung empedu dengan lapisan batu empedu (a),
kandung empedu yang membesar dengan batu di duktus sistikus dan lemak perikolesistitis (b) pada
pasien dengan kolesistitis akut.
13
Gambar 2.8.5(b) HIDA tidak mengisi
Gambar 2.8.5(a) Normal scintigrafi, HIDA
kandung empedu setelah 1 jam 30 menit.
mengisi kandung empedu setelah 45 menit.
2.9 Terapi
2.9.1 Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis
akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit
sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status
hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat
penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada
fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis
dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai
untuk mematikan kuman – kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti
E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien
yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian
antibiotik kombinasi.2
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam
dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole
dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus
yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual
dan muntah dapat diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube. Pasien –
pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus
14
dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda
– tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain yang
menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang, pasien
diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan
Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai.2
15
organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau jangka
panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit berat atau
keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase selang
terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada
lain waktu.17
Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia
ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat – pusat bedah
digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari seluruh
kolesitektomi. Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim
A. dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus
sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%), perdarahan dan keganasan
kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan ini yaitu trauma
saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran empedu. Menurut kebanyakan ahli
bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai
kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan angka
kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah
sakit dan mempercepat aktivitas pasien.18 Pada wanita hamil, laparaskopi
kolesistektomi terbukti aman dilakukan pada semua trimester.19
Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi kolesistektomi diantaranya
adalah:
• Resiko tinggi terhadap anastesi umum
pembekuan darah.16
2.10 Komplikasi
Pada kolesistitis akut yang tidak ditangani secara tepat dapat menimbulkan
beberapa komplikasi, antara lain :
1. Gangren dan perforasi kandung empedu
16
Pada 2-38% kasus terutama pada penderita diabetes melitus dan pasien
dengan permasalahan imunitas, kolesistitis akut dapat menyebabkan gangren.
Hal ini terjadi karena distensi berlebihan dari kandung empedu yang
menyebabkan oklusi arteri sehingga aliran darah ke kandung empedu menurun.
Hampir 10% kasus menunjukkan bahwa gangren merupakan predisposisi
rupturnya kandung empedu (perforasi).13
Apabila perforasi yang terjadi bersifat lokal maka dapat mengarah ke
terbentuknya abses yang disebut perycholecystic abscess. Perforasi bebas
jarang terjadi tetapi memiliki angka kematian sebesar 30% dengan munculnya
peritonitis.14
2. Empiema
Kolesistitis akut yang tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan
inflamasi lebih parah. Infeksi sekunder pada kandung empedu dengan
sumbatan duktus sistikus yang persisten akan menyebabkan terkumpulnya pus
dalam kandung empedu yang disebut dengan empiema.14 Biasanya terjadi pada
pasien laki - laki dengan kolesistitis akut akalkulus dan juga menderita diabetes
mellitus. Gambaran klinis mirip kolangitis dengan demam tinggi, nyeri
kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis berat dan sering keadaan umum
lemah. Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi menjadi sepsis gram
negatif dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah darurat disertai
perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis dicurigai.15
Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan
berkepanjangan duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam
keadaan ini, lumen kandung empedu yang tersumbat secara progresif
mengalami peregangan oleh mukus (mukokel) atau cairan transudat jernih
(hidrops) yang dihasilkan oleh sel – sel epitel mukosa. Pada pemeriksaan fisis
sering teraba massa tidak nyeri yang mudah dilihat dan diraba menonjol dari
kuadran kanan atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien hidrops kandung empedu
sering tetap asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas kronik juga dapat
terjadi. Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi
empiema, perforasi atau gangren.15
3. Pembentukan fistula dan ileus batu empedu
17
Inflamasi pada kolesistitis dapat menimbulkan perlekatan antara kandung
empedu dan organ intra-abdomen lain terutama duodenum. Perlekatan ini
menimbulkan koneksi langsung antara kandung empedu dengan organ
pencernaan lain sehingga terbentuk fistula. Dengan adanya hubungan langsung
antara kandung empedu dengan organ pencernaan menyebabkan batu empedu
dapat berpindah menuju usus. Batu empedu dapat terperangkap dalam saluran
cerna terutama pada katup ileosekal dan menimbulkan obstruksi pada usus
yang disebut gallstone ileus.2
2.11 Prognosis
Pada kasus kolesistitis akut tanpa komplikasi, perbaikan gejala dapat terlihat
dalam 1 – 4 hari bila dalam penanganan yang tepat. Penyembuhan spontan
didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kadang kandung empedu menjadi tebal,
fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang pula, menjadi
kolesistitis rekuren. Kadang – kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat
menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau
peritonitis umum pada 10 – 15% kasus. Bila hal ini terjadi, angka kematian dapat
mencapai 50 – 60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang
adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut akalkulus memiliki
angka mortalitas sebesar 10 – 50%. Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun)
mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul
komplikasi pasca bedah.23
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
20
15. Gruber P, Silverman R, Gottesfeld S, Flaster E. Presence of Fever and
Leukocytosis in Acute Cholecystitis. Annals of Emergency Medicine. 1996;
28(3): 273-277.
16. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and value of
information analysis of early versus delayed laparoscopic cholecystectomy for
acute cholecystitis. Br J Surg. Feb 2010; 97(2): 210-219.
17. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, Familiari P, Tringali A, Spada C et al.
Endoscopic gallbladder drainage for acute cholecystitis: technical and clinical
results. Endoscopy. 2009; 41(06): 539-546.
18. Siddiqui T, MacDonald A, Chong P, Jenkins J. Early versus delayed
laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis: a meta-analysis of
randomized clinical trials. The American Journal of Surgery. 2008; 195(1): 40-
47.
19. Cox M, Wilson T, Luck A, Jeans P, Padbury R, Toouli J. Laparoscopic
Cholecystectomy for Acute Inflammation of the Gallbladder. Annals of
Surgery. 1993; 218(5): 630-634.
20. Bloom A, Anand B. Cholecystitis: Practice Essentials, Background,
Pathophysiology [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2017 [cited 6 June
2018]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/171886-
overview
21. Kimura Y, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Hirata K, Sekimoto M et al.
Definitions, Patophysiology, and Epidemiology of Acute Cholangitis and
Cholecystitis: Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancrea Surg. 2007; 14(1):
15-26.
22. Pridady FX. Kolesistitis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke 6.
Jakarta: Interna Publishing; 2014.
23. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM. Current Medical Diagnosis &
Treatment. New York: McGraw Hill-Lange; 2009.
24. Turturici L, Ginanni B, Donatelli G, Ruschi F, Scionti A, Bianchi F et al. Acute
Cholecystitis: Ultrasonography and CT indications in the emergency
department. Europian Society of Radiology. 2014 ;1–14.
21
25. Towfigh S, McFadden DW, Cortina GR, Thompson JE Jr, Tompkins RK,
Chandler C et al. Porcelain gallbladder is not associated with gallbladder
carcinoma. Am Surg. Jan 2010; 67(1): 7-10.
26. Indar AA, Beckingham IJ. Clinical review Acute cholecystitis. Nottingham.
2002; 325: 639–43.
27. O’Connor OJ, Maher MM. Imaging of cholecystitis. Am J Roentgenol. 2011;
196(4): 367–74.
28. Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT findings
of mild forms or early manifestations of acute cholecystitis. Clin Imaging. Jul-
Aug 2009; 33(4): 274-80.
22