Anda di halaman 1dari 23

TINJAUAN PUSTAKA

STROKE PERDARAHAN INTRASEREBRAL


Diajukan untuk memenuhi tugas kepanitraan
Ilmu Penyakit Saraf

Disusun oleh :
FitriaDiahSuharjo (4151121511)
Dian MuthiaLutfiana (4151121512)
LeniWidiawati (4151121510)

Pembimbing :
dr. Daswara Djajasasmita Sp.S, M.Kes, AIF

Bagian Ilmu Penyakit Saraf


Fakultas kedokteran Unjani–Rumkit Tk II Dustira
Cimahi
2014
KASUS I

Anamnesis
Keluhanutama: penurunankesadaran
Seorang laki-laki, 56 tahun, dibawa ke RS Dustira dengan penurunan kesadaran.Sejak
tadi pagi setelah dari kamar mandi tiba-tiba penderita mengeluh nyeri kepala, kemudian lengan
dan tungkai kanan berat untuk diangkat. Lalu, 2 jam kemudian penderita terlihat banyak tidur,
bila dipanggil atau digoyang bangun terus menjawab pertanyaan tapi kemudian tertidur kembali.
5 jam kemudian penderita hanya bisa membuka mata bila dirangsang nyeri, dipanggil digoyang
diam saja. Kemudian penderita dibawa ke IGD.
Kesadaran : Koma
Tanda Vital : TD: 210/110 mmHg
RR: Cheyne StokesRespiration (CSR) 18 x/mnt
HR: 80 x/mnt
S: 39oC
Tugas:
1. Ceritakan apa kemungkinan yang terjadi pada penderita ini
2. Anamnesa tambahan apa yang diperlukan
3. Pemeriksaan neurologis dibuat sesuai dengan keadaan penderita
4. Bahas tentang heniasi serebri
5. Bagaimana tatalaksana nonfarmakoterapi dan farmakoterapinya.

Jawaban:
1. Kemungkinan yang diagnosis atau diagnosis diferensial padapenderita:
 Gangguan pembuluh darah otak: stroke perdarahan atau infark
 Infeksi: ensefalitis, meningitis
 Gangguan metabolic: hipoglikemia
 Gangguan keseimbangan elektrolit
 Neoplasma: tumor
 Trauma
2. Anamnesis tambahan:
 Sejak kapan penderita mulai mengalami penurunan kesadaran? Berapa lama
sebelummasukrumahsakit? (onset)
 Apakah penurunan kesadaran terjadi mendadak?
 Apakah nyeri kepala dirasakan timbul mendadak?
 Apakah nyeri kepala yang dirasakan ini merupakan yang pertama kali?
 Bagaimana sifat nyeri kepala yang dirasakan penderita sebelum mengalami penurunan
kesadaran? Dimana lokasi nyeri kepala yang dirasakan?
 Apakah keluhan disertai kejang?
 Apakah keluhan disertai muntah yang terus-menerus atau menyembur?
 Apakah bicara penderita menjadi cadel atau pelo, lupa dan mulut menjadi mencong?
 Apakah sebelum lengan dan tungkai kanan berat diangkat, penderita merasakan baal atau
kesemutan?
 Apakah penderita mengalami keluhan:
Sistem karotis: gangguan irama bicara, buta sebelah mata?
Sistem vertebrobasiler: pandangan gelap sesaat atau ganda, pusingberputar, baal disekitar
mulut, telinga berdenging?
 Apakah penderita pernah tersedak saat makan atau menjadi sulit menelan makanan?
 Bagaimana BAK dan BAB penderita?
 Apakah penderita memiliki faktor risiko:
Hipertensi: bagaimana kontrol pengobatannya? Berapa kisaran tekanan darah?
Diabetes Mellitus: bagaimana kontrol pengobatannya? Berapa kisaran kadar gula darah
dan kolesterol?
Penyakit jantung: bagaimana kontrol pengobatannya?
Stroke sebelumnya: kapan terjadi stroke pertama kali? keluhan yang dirasakan?
Trauma kepala: kapan dan dimana lokasinya?
Merokok: berapa batang dalam sehari? Jenis rokok yang dikonsumsi?
 Apakah penderita sering mengkonsumsi makanan berlemak dan berminyak atau
meminum minuman beralkohol?
 Apakah penderita sering berolahraga? Berapa kali dalamseminggu?
 Apakah keluhan seperti ini merupakan yang pertama kali atau berulang?

3. Pemeriksaan Neurologik
Kesadaran : Koma GCS: E2M1V1 (4)
a. Penampilan : Kepala : Normocephal
Columna vertebra : Tidak ada kelainan
b. Rangsangan Meningen
Kaku kuduk :-
Test Brudzinki I : -/-
Test Brudzinki II : -/-
Test Brudzinki III : -/-
Test Laseque : kanan : tidak terbatas kiri : tidak terbatas
Test Kernig : kanan : tidak terbatas kiri : tidak terbatas

c. Saraf Otak
NI : Penciuman : sulit dinilai
N II : Ketajaman Penglihatan : sulit dinilai
Campus : sulit dinilai
Fundus Oculi : sulit dinilai
N III/IV/VI :Ptosis : sulit dinilai
Pupil : anisokor ØOD 5mm, ØOS 3mm
Refleks cahaya (D/I) : direk -/+ , indirek -/+
Refleks konvergensi : sulit dinilai
Posisi mata: align
Gerakan bola mata : sulit dinilai
Nystagmus: sulit dinilai
Doll’s Eye: -/-
NV :Sensorik
Oftalmikus : sulit dinilai
Maksilaris : sulit dinilai
Mandibularis : sulit dinilai
Motorik
Mandibularis : sulit dinilai
N VII :Gerakan wajah : sulit dinilai
Angkat alis mata : sulitdinilai
Plica nasolabialis : sulitdinilai
Memejamkan mata : sulitdinilai
Rasa kecap 2/3 bagian depan lidah: sulit dinilai
N VIII :Pendengaran : sulit dinilai
Keseimbangan : tidak diperiksa
N IX/X :Suara/bicara : sulit dinilai
Menelan : sulit dinilai
Gerakan palatum & uvula: sulit dinilai
Refleks muntah : sulitdinilai
Rasa kecap 1/3 belakang lidah : sulit dinilai
N XI :Angkat Bahu : sulitdinilai
Menengok ke kanan-kiri : sulit dinilai
N XII :Gerakan lidah :sulit dinilai
Atrofi :-
Tremor/fasikulasi :-
d. Motorik
Kekuatan Tonus Atrofi Fasikulasi
Anggota badan atas Sulitdinilai Tidak ada Tidak ada
Anggota badan bawah Sulitdinilai Tidak ada Tidak ada

Batang tubuh : sulit dinilai


Gerakan Involunter : tidak ada
Cara berjalan : sulit dinilai
Lain-lain

e. Sensorik
Anggota badan atas : sulit dinilai
Batang tubuh : sulit dinilai
Anggota badan bawah : sulit dinilai
f. Koordinasi
Cara bicara : Baik
Tremor : Tidak ada
Tes telunjuk hidung : Tidak ada kelainan
Tes tumit lutut : Tidak ada kelainan
Tes romberg : Tidak ada kelainan

g. Refleks Fisiologis
Kanan Kiri
Anggota badan atas : Biceps : ↑ +
Triceps : ↑ +
Radius : ↑ +
Dinding perut : Epigastrik : +
Hipogastrik : ↑ +
Mesogastrik : ↑ +
Kremaster : tidak dilakukan pemeriksaan
Anggota badan bawah : Patella : ↑ +
Achilles : ↑ +
Klonus
Patella : ↑ +
Achilles : ↑ +

Reflek Patologis
Hoffman Tromner: - -
Babinski : + -
Chaddock : - -
Oppenheim : - -
Gordon : - -
Schaeffer : - -
Rossalimo : - -
Mendel betherew - -
Refleks Primitif
Glabella : sulit dinilai
Mencucut mulut : sulit dinilai
Palmomental : sulit dinilai
h. Fungsi Otonom
BAB : tidak terganggu
BAK : tidak terganggu
i. Pemeriksaan fungsi luhur
Hubungan Psikis
Afasia : Motorik : sulit dinilai
Sensorik : sulit dinilai
Ingatan :Jangka pendek : sulit dinilai
Jangka panjang : sulit dinilai
Kemampuan berhitung : sulit dinilai

4. Herniasi Serebral
Ruang intracranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap
bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intracranial normal
sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 5 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan
intracranial dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai
tingkat yang jauh lebih tinggi dari pada normal. Beberapa aktivitas tersebut adalah pernapasan
abdominal dalam, batuk, dan mengedan atau valsalva maneuver. Kenaikan sementara TIK tidak
menimbulkan kesukaran, tetapi kenaikan tekanan yang menetap mengakibatkan rusaknya
kehidupan jaringan otak.

Ruang intracranial adalah suatu ruangan yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur
yang tidak dapat ditekan : otak (1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar
75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan
ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikan tekanan intracranial. Hipotesis Monro-
Kellie memberikan suatu contoh konsep pemahaman peningkatan TIK. Teori ini menyatakan
bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu dari ketiga ruangannya
meluas, dua ruang lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi volumenya (apabila TIK
masih konstan). Mekanisme kompensasi intracranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural
ini dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran
CSF kedalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa
meningkatkan TIK. Edema menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan dan akhirnya
meningkatkan TIK, yang pada gilirannya akan menurunkan aliran darah otak (ADO), iskemia,
hipoksia, asidosis (penurunan pH dan peningkatan PCo2), Mekanisme kompensasi yang
berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran otak
ke arah bawah atau horizontal (herniasi) bila TIK makin meningkat. Perdarahan, pembengkakan
dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan
massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan
tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam tengkorak,
maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam
lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut herniasi. Sejenis
herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui lubang di dasar tengkorak
(foramen magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak
mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan pernafasan).

Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil dari volume otak, keadaan ini tidak akan cepat
menyebabkan tekanan tinggi intrakranial. Sebab volume yang meninggi ini dapat dikompensasi
dengan memindahkan cairan serebrospinalis dari ronga tengkorak ke kanalis spinalis dan
disamping itu volume darah intrakranial akan menurun oleh karena berkurangnya peregangan
durameter. Hubungan antara tekanan dan volume ini dikenal dengan complience. Jika otak,
darah dan cairan serebrospinalis volumenya terus menerus meninggi, maka mekanisme
penyesuaian ini akan gagal dan terjadilah tekanan tinggi intrakranial

Herniasi terdiri dari herniasi supratentorial dan infratentorial. Herniasi supratentorii terdiri
atas :

a. Hernia uncal
Hernia uncal adalah pergeseran uncus melewati tentorium menekan truncus cerebri.
Hernia ini cukup sering sebab di sisi medial uncus terdapat space yang cukup kosong.
Herniasi uncus juga menekan NC III (n. occulomotor) yang kenampakan klinisnya
adalah dilatasi pupil (refleks pupil negatif). Selain itu, bola mata juga tampak
inferolateral sebab semua otot bola mata diinervasi oleh NC III selain m.rectus superior
(NC VI) dan m. superior oblique (NC IV). Penekanan pada a. cerebri posterior ipsilateral
akan meyebabkan iskemi cortex visual primer ipsilateral dan defisit visual field
contralateral (contralateral homonymous hemianopia). Manifestasi lain adalah adanya
tanda lokalisasi stimulasi yang salah (Kernohan’s notch) jika crus cerebri (telinga mickey
mouse) contralateral ikut tertekan sebab berisi tractus corticospinal dan corticobulbar.
Bisa juga terjadi hemiparesis ipsilateral. Penekanan yang ektensif bisa menyebabkan
robekan vasa darah dan perdarahan (Duret hemorrhages) di mesencephalon dan pons.
Tekanan pada mesencephalon menyebabkan postur tubuh decorticated (seperti gambar di
bawah), depresi pusat respirasi dan kematian. Hernnia ini bisa berlanjut menjadi hernia
central
b. Hernia central / transtentorial
Hernia central adalah pergeseran ke atas (ascending) atau ke bawah (descending)
diencephalon dan lobus temporal otak melewati inchisura tentorii. Yang lebih banyak terjadi
adalah hernia descending dengan obliterasi cisterna suprasellar yang bisa meregangkan cabang-
cabang a. basilaris menyebabkan Duret hemorrhage. Bisa juga terjadi intracranial hypotension
syndrome. Hernia ascending disertai dengan obliterasi cisterna quadrigemina.
c. Hernia cingulate / subfalcine
Hernia cingulate adalah pergeseran gyrus cinguli pada lobus frontal melewati bagian bawah
falx cerebri. Pergeseran ini biasanya hanya menekan a. cerebri anterior dan bisa berkembang
menjadi hernia central. Gejala yang muncul tidak spesifik, bisa berupa postur abnormal dan
koma. Hernia ini dianggap menjadi prekursor hernia tipe lain.
d. Hernia transcalvarial / external
Hernia transcalvarial ditandai dengan penekanan otak melewari calvaria cranii yang
mengalami fraktur atau bekas operasi (craniectomy)
Hernia infratentorii terdiri dari :
a. Hernia upward / upward cerebellar / upward transtentorial
Hernia upward terjadi jika cerebellum tergeser ke atas melewati tentorium sehingga
mesencephalon tertekan oleh inchisura tentorii dan bergeser ke bawah.
b. Hernia tonsilar / downward cerebellar / conning
Hernia tonsilar ditandai dengan tonsila cerebelli yang bergeser ke bawah melewati foramen
magnum sehingga menekan truncus cerebri bawah dan medulla spinalis atas sehingga bisa terjadi
disfungsi kontrol respirasi dan fungsi jantung. Hernia ini juga disebut Chiari Malformation
(CM) atau Arnold Chiari Malformation (ACM). Nama lainnya lagi adalah ektopi cerebellar
(minimal 5 mm cerebellum melewati foramen magnum).

5. Penatalaksanaan
 Non-Farmakoterapi
 ABC perbaiki jalan nafas
 Stabilisasi hemodinamika
 Pengelolaan keseimbangan cairan dan elektrolit
 Enteral paling lambat diberikan dalam 48 jam jika fungsi menelan baik, jika
gangguan pasang NGT
 Farmakoterapi
 Terapi trombolitik
 Terapi antiplatelet
 Terapi antikoagulan
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Stroke adalah suatu keadaan dimana terjadi defisit neurologis fokal/global yang terjadi secara
mendadak akibat gangguan peredaran darah di otak yakni kurangnya suplai darah (iskemik) atau
pecahnya pembuluh darah (perdarahan), berlangsung 24 jam atau lebih yang dapat menyebabkan
kematian dimana gejala yang timbul berhubungan dengan waktu (temporal profile).

Stroke perdarahan intraserebral (PIS primer) adalah ekstravasasi darah yang berlangsung
spontan dan mendadak ke dalam parenkim otak yang bukan disebabkan oleh trauma (non
traumatis).

II. Epidemiologi
PERDOSSI tahun 2011 data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus
stroke baik dalam hal kematian, kejadian, maupun kecatatan. Angka kematian berdasarkan umur
adalah sebesar 15,9% (umur 45-55 tahun), 26,8%( umur 55-64 tahun) dan 23,5%( umur >65
tahun). Kejadian stroke sebesar 51,6/100.000 penduduk, kecatatan 1,6% tidak berubah, 4,3%
semakin memberat.

III. Faktor Risiko


Faktor risiko terjadinya stroke terdiri atas faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (non-
modifiable) dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable)
A. Non modifiable
1. Usia
Usia merupakan faktor utama pembentukan atheroma, sehingga merupakan faktor utama
terjadinya stroke. Pembentukan atheroma terjadi seiring bertambahnya usia, dimana stroke
paling sering terjadi pada usia lebih dari 65 tahun. Pada usia tua terjadi perubahan degenerative
berupa lipohilinosisdan nekrosis fibrinoid sehingga pembuluh darah menjadi lemah yang
menyebabkan rusaknya tunika media sehingga otot polos menjadi berubah tidak berkontraksi.
2. Jenis kelamin
Stroke lebih sering terjadi pada pria. Diperkirakan bahwa insidensi stroke pada wanita lebih
rendah dibandingkan pria, akibat adanya estrogen yang berfungsi sebagai proteksi pada proses
aterosklerosis.
3. Ras
Rata-rata mortalitas pada stroke iskemik, perdarahan subarahnoid dan perdarahan
intraserebral lebih tinggi pada kulit hitam dibandingkan kulit putih. Rata-rata angka kematian
pada perdarahan intraserebral lebih tinggi pada ras Asia/Pasifik dibandingkan kulit putih.
4. Riwayat keluarga/genetik
Terdapat lima kali lipat peningkatan prevalensi stroke antara kembar monozigot dibandingkan
dengan pasangan kembar laki-laki dizigot yang menunjukkan kecenderungan genetic untuk
stroke.
B. Modifiable
1. Hipertensi
Penyebab utama dari suatu perdarahan intraserebral (PIS) adalah hipertensi. Secara
epidemiologi 70-80% pasien perdarahan intraserebral menderita hipertensi terutama hipertensi
tidak terkontrol. Tekanan darah yang tinggi menyebabkan peninggian tekanan hidrostatik pada
arteriol dan kapiler sehingga teregang secara berlebihan. Hipertensi yang lama akan
menimbulkan perubahan degenerative berupa lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid sehingga
dinding pembuluh darah menjadi lemah karena kerusakan pada tunika intima dan menimbulkan
mikroaneurisma Charchot dan Bouchard. PIS terjadi melalui rupture mikroaneurisma-
aterosklerotik, nekrosis pembuluh darah, rupture vena atau disketing aneurisma. Umumnya PIS
merupakan akibat dari rupture arteri kecil, kapiler atau aneursima arteriolar Charchot Bouchard.
Pada PIS tekanan darah atau aliran darah yang mendadak dapat menyebabkan pecahnya arteri
penetrans tanpa didahului hipertensi sebelumnya.
2. Diabetes Melitus
Diabetes melitus terbukti sebagai faktor risiko yang kuat untuk semua manifestasi klinik
penyakit vaskuler aterosklerotik. Mekanisme peningkatan aterogenesis pada penderita DM
meliputi gangguan pada profil lipid, gangguan metabolisme asam arakidonat, peningkatan
agregasi trombosit, peningkatan kadar fibrinogen, gangguan fibrinolisin, disfungsi endotel,
glikosilasi protein dan adanya resistensi insulin (hiperinsulinemia).
3. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia kronis, terutama hiperkolesterolemia, dapat secara langsung mengganggu
fungsi endotel melalui peningkatan pembentukan radikal bebas oksigen mendeaktivasi nitrat
oksida, faktor pelemas endotel utama.
Pada hiperlipidemia kronis terjadi penimbunan lipoprotein di dalam intima di tempat yang
permeabilitas endotelnya meningkat.
Perubahan kimiawi lemak yang dipicu oleh radikal bebas yang dihasilkan dalam makrofag atau
sel endotel dinding arteri akan menghasilkan LDL teroksidasi.
4. Inflamasi dan infeksi
Inflamasi dan infeksi berkaitan dengan aterogenesis, khususnya melalui aktivasi dan
proliferasi makrofag, sel endotel, dan sel otot pembuluh darah. Inflamasi dan infeksi ditandai
dengan dikeluarkannya berbagai macam protein plasma ke dalam darah, antara lain CRP (C-
reaktiv Protein) yang melipatgandakan sinyal sitokin. Kadar CRP berkorelasi langsung dengan
tingkat keparahan aterosklerosis koroner, serebral, dan arteri perifer. Dari dua penelitian yang
independen disimpulkan bahwa kadar CRP dapat memprediksikan risiko infark miokard dan
stroke dikemudian hari. Selain CRP, zat lain yang meningkat pada inflamasi adalah molekul
adhesi seperti ICAM-1, s-selektif, zat-zat ini merangsang penempelan monosit pada dinding
endotel dimana hal ini merupakan tahap awal dari proses aterogenesis. Infeksi kronis dari
beberapa virus dan bakteri diduga berhubungan dengan proses aterosklerosis. Hal ini ditunjang
dengan ditemukannya beberapa virus dan bakteri seperti Cytomegalovirus, Clamydia pneumonia,
dan Helicobacter pylori pada plak aterosklerotik.
5. Hiperomosisteinemi
Hiperomosisteinemi merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya infark miokard,
stroke dan penyakit vaskuler perifer. Dasar peningkatan risiko aterogenesis pada
hipeomosisteinemi masih belum jelas. Ada beberapa mekanisme yang diduga berhubungan, yaitu
(1) hemosistein mempunyai efek sitotoksis langsung terhadap endotel karena zat ini dapat
mengkatalisir produksi hydrogen peroksida, (2) hemosistein meningkatkan oksidasi LDL, (3)
hemosistein meningkatkan proliferasi sel otot polos dan kolagen, (4) homosistein mengkatkan
risiko thrombosis dengan cara menurunkan aktivitas AT-III, menurunkan kadar faktor V dan VII,
inhibisi aktivasi protein-C, penurunan ikatan tPA. Homosistein juga diketahui dapat menurunkan
sintesis NO.
6. Peningkatan hematokrit
Biasanya akibat peningkatan sel darah merah dengan peningkatan fibrinogen darah yang
menyebabkan peningkatan visikositas darah. Hal ini menyebabkan kelainan patologis yang akan
menyebabkan penyempitan arteri penetrasi yang berukuran kecil, dan arteri serebri yang besar
yang mengalami stenosis berat.
7. Kontrasepsi oral
Pil KB, estrogen tinggi yang dilaporkan meningkatkan risiko stroke pada wanita muda.
Mekanisme diduga meningkatkan koagulasi, karena estrogen tentang produksi protein liver.
8. Aktivitas fisik yang rendah
Menimbulkan peningkatan LDL, kenaikan tensi karena berat badan tidak berkurang karena
aktivitas.
9. Obesitas
Obesitas menjadi faktor risiko biasanya berhubungan dengan tingginya tekanan darah, gula
darah, dan lipid serum.
10. Diet
Pada makanan yang paling menentukan angka kejadian penyakit kardiovaskuler adalah
konsumsi garam yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah. Jika pada penderita
kelainan vaskuler akibat konsumsi minuman yang mengandung kafein, hal ini disebabkan karena
adanya efek hiperlipidemia pada minuman kopi, atau karena peminum kopi sering disertai
dengan adanya kebiasaan merokok.
11. Alkohol
Alkohol dapat menyebabkan terhambatnya proses fibrinolisis. Ada yang mengatakan bahwa
alcohol masih merupakan faktor risiko controversial. Walaupun begitu angka kejadian stroke
meningkat pada peminum alcohol sedang hingga berat, dibandingkan seseorang yang bukan
peminum alcohol.

IV. Etiologi
Penyebab utama PIS dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu :
1. Faktor anatomik berupa lesi atau malformasi pembuluh darah otak
Abnormalitas pembuluh darah bervariasi pada kelompok umur tertentu. Pada usia kurang dari
40 tahun, kelainan pembuluh darah yang paling sering dijumpai adalah AVM (Arteriovenous
malformation). PIS yang disebabkan oleh AVM biasanya berupa perdarahan lobar (substansia
alba). Pada kelompok usia 40-70 tahun, PIS sering kali berupa perdarahan subkortikal dalam,
sebagai akibat pecahnya arteria perforans. Hal ini disebabkan oleh perubahan degenerative pada
pembuluh darah tersebut dan diduga berkaitan dengan adanya mikroaneurisma. Pada kelompok
usia lanjut (diatas 70 tahun). PIS berkaitan dengan lesi vaskuler berupa angiopati amyloid
(cerebral amylid angiopaty atau CAA). Perdarahan yang ditimbulkan oleh CAA sering kali
berupa perdarahan lobar, multiple dan cenderung berulang (kambuh).
2. Faktor hemodinamik berupa tekanan darah yang meningkat
Hipertensi kronis mengakibatkan perubahan degenerative berupa lipohialinosis, fragmentasi,
nekrosis fibrinoid dan mikroaneurisma (Charchot Bouchard pada arteria perforans kecil di otak.
Keadaan ini merupakan penyebab tersering PIS yang terjadi di ganglion basalis (putamen,
thalamus, atau nucleus caudatus), batang otak (pons), serebelum, dan substansia alba subkortikal.
Hipertensi akut atau peningkatan tekanan darah yang terjadi secara mendadak pada individu
normotensif, dapat pula mengakibatkan PIS. Bila pada hipertensi kronis, dinding arteriol
mengalami hipertrofi, maka pada hipertensi akut diduga PIS justru terjadi karena dinding arteriol
tidak mengalami hipertrofi. Sehubungan dengan ini, telah dilaporkan beberapa kasus PIS pada
eklamsia, paparan suhu yang sangat dingin, pemakaian obat yang dapat mengakibatkan
hipertensi akut (misalnya inhibitor oksidase monoamine, kokain, fenilpropanolamin), keadaan
nyeri akut (misalnya yang terjadi saat ekstraksi gigi), dan hipertensi relative pasca
endarteroktomi karotis.
3. Faktor hemostatik yang berkaitan dengan fungsi trombosit atau system koagulasi darah
Risiko terjadinya PIS semakin meningkat pada penderita yang mendapat terapi obat
antikoagulan (OAK). Angka kejadian PIS pada kelompok penderita yang mendapat terapi OAK
oral lebih tinggi 7-10 kali lipat disbanding kelompok yang tidak mendapat terapi OAK oral.
Selain meningkatkan risiko terjadinya PIS, OAK oral juga meningkatkan severitas dan risiko
kematian. Sebuah studi epidemiologi menunjukkan bahwa PIS yang berkaitan dengan pemakaian
OAK oral merupakan 10-20% dari seluruh kasus PIS, dan angka kejadiannya diperkirakan 2-9
per 100.000 penduduk pertahun. Selain itu, mortalitas PIS yang berkaitan dengan pemakaian
OAK oral ternyata lebih tinggi pada mortalitas PIS pada umumnya, yaitu hingga mencapai 67%.
Pemberian OAK oral (warfarin dan kumarin) jangka panjang sering dilakukan dalam upaya
prevensi stroke iskemik pada penderita fibrilasi atrial (FA). Angka kejadian PIS yang berkaitan
dengan pemakaian OAK oral ini diperkirakan akan semakin meningkat berdsamaan dengan
meningkatnya angka kejadian FA yang diakibatkan oleh penuaan.
Frekuensi terjadinya PIS pada pemakaian warfarin jangka panjang berkisar 0,3-0,6%
pertahun. Faktor risikonya adalah usia lanjut, riwayat hipertensi, intensitas OAK, serta keadaan
tertentu seperti CAA dan leukoaraiosis karena lesi pada substansia alba.
Dari berbagai penyebab diatas, hipertensi adalah faktor utama PIS dan merupakan penyebab
dari 60-70% kasus PIS. Penyebab tersering berikutnya adalah CAA, yang merupakan penyebab
dari 15% kasus PIS.
Perdarahan yang ditimbulkan oleh CAA terkadang asimtomatis, akan tetapi angka
kekambuhannya 5% pertahun. Angka kekambuhan ini lebih besar dibandingkan angka
kekambuhan PIS hipertensi yang tekanan darahnya terkontrol dengan baik, yakni 22% pertahun.

V. Patofisiologi
Perdarahan intraserebri ditandai oleh adaya perdarahan ke dalam parenkim otak akibat
pecahnya arteri penetrans yang merupakan cabang dari pembuluh darah superficial dan berjalan
tegak lurus menuju parenkim otak yang di bagian distalnya berupa anyaman kapiler.
Atherosklerosis yang terjadi dengan meningkatnya usia dan adanya hipertensi kronik, maka
sepanjang arteri penetrans ini terjadi aneurisma kecil –kecil (mikroaneurisma) dengan diameter
sekitar 1 mm disebut aneurismas Charcot-Bouchard. Pada suatu saat aneurisma ini dapat pecah
oleh tekanan darah yang meningkat sehingga terjadilan perdarahan ke dalam parenkim otak.
Darah ini mendorong struktur otak dan merembes ke sekitarnya bahkan dapat masuk ke dalam
ventrikel atau ke ruangan subaraknoid yang akan bercampur dengan cairan serebrospinal dan
merangsang meningens.
Onset perdarahan intraserebri sangat mendadak, seringkali terjadi saat beraktivitas dan
disertai nyeri kepala berat, muntah dan penurunan kesadaran, kadang-kadang juga disertai
kejang. Distribusi umur biasanya pada usia pertengahan sampai tua dan lebih sering dijumpai
pada laki-laki. Hipertensi memegang peranan penting sebagai penyebab lemahnya dinding
pembuluh darah dan pembentukan mikroaneurisma. Pada pasien nonhipertensi usia lanjut,
penyebab utama terjadinya perdarahan intraserebri adalah amiloid angiopathy. Penyebab lainnya
dapat berupa aneurisma, AVM, angiopati kavernosa, diskrasia darah, terapi antikoagulan,
kokain, amfetamin, alkohol dan tumor otak. Dari hasil anamnesa tidak dijumpai adanya riwayat
TIA.
Lokasi perdarahan umumnya terletak pada daerah ganglia basalis, pons, serebelum dan
thalamus. Perdarahan pada ganglia basalis sering meluas hingga mengenai kapsula interna dan
kadang-kadang rupture ke dalam ventrikel lateral lalu menyebar melalui system ventrikuler ke
dalam rongga subarachnoid. Adanya Perluasan intraventrikuler sering berakibat fatal. Perdarahan
pada lobus hemisfer serebri atau serebelum biasanya terbatas dalam parenkim otak.
Apabila pasien dengan perdarahan intraserebri dapat bertahan hidup, adanya darah dan
jaringan nekrotik otak akan dibersihkan oleh fagosit. Jaringan otak yang telah rusak sebagian
digantikan pleh jaringan ikatdan pembuluh darah baru, yang meninggalkan rongga kecil yang
terisi cairan.

VI. Gejala Klinis


Gambaran klinis tergantung dari lokasi dan ukuran hematoma. Karakteristiknya berupa sakit
kepala, muntah-muntah dan kadang-kadang kejang pada saat permulaan. Kesadaran dapat
terganggu pada keadaan awal dan menjadi jelas dalam waktu 24-48 jam pertama bila volume
darah lebih dari 50 cc. Karena jaringan otak terdorong, maka timbul gejala defisit neurologik
yang cepat menjadi berat dalam beberapa jam.

Skala Hunt dan Hess untukPenentuanDerajat PSA

Derajat Status Neurologik

I Asimthomatik, atau nyeri kepala minimal dan kaku kuduk ringan


II Nyeri kepala sedang sampai parah, kaku kuduk, tidak adadefisit
neurologik kecuali kelumpuhan saraf kranialis
Mengantuk, difisit neurologi minimal
III
Stupor, hemiparesis sedang sampai berat, mungkin rigiditas
IV
deserebrasi dini dan gangguan vegetative
V
Koma dalam, rigiditas serebri, penampakan parah
VII. Pemeriksaan Penunjang
 Hb, leukosit, trombosit,hematokrit
 Ureum, gula darah sewaktu, elektrolit, profil lipid
 Laju endap darah, eritrosit
 Fungsi hati : SGOT/SGPT
 Foto thoraks
 Echocardiografi
 MRI
 Ct-scan

VIII. Penatalaksanaan
1. Diagnosis dan perdarahan gawat darurat pada perdarahan intracranial dan penyebabnya
a. Pemeriksaan pencitraan yang cepat dengan CT atau MRI direkomendisikan untuk
membedakan stroke iskemik dengan perdarahan intracranial (AHA/ASA, Class I, Level
of evidence A).
b. Angiografi CT dan CT kontras dapat dipertimbangkan untuk membantu
mengidentifikasi pasien dengan risiko perluasan hematoma (AHA/ASA, Class II, Level
of evidence B). bila secara klinis atau radiologis terdapat kecurigaan yang mengarah ke
lesi structural termasuk malformasi vaskuler dan tumor, sebaiknya dilakukan angiografi
CT, venografi CT, CT dengan kontras, MRI dengan kontras, MRA dan venografi MR
(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).
2. Tatalaksana medis perdarahan intracranial
a. Pasien dengan defisiensi berat faktor koagulasi atau trombositopenia berat sebaiknya
mendapat terapi penggantian faktor koagulasi atau trombosit (AHA/ASA, Class I, Level
of evidence C).
b. Pasien dengan perdarahan intracranial dan peningkatan INR terkait obat antikoagulan
oral sebaiknya tidak diberikan warfarin, tetapi mendapat terapi untuk mengganti vitamin
K intravena (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C). konsentrat kompleks protrombin
tidak menunjukkan perbaikan keluaran dibandingkan dengan Fresh Frozen Plasma
(FFP). Namun, pemberian konsentrat kompleks protrombin dapat mengurangi
komplikasi dibandingkan dengan FFP dan dapat dipertimbangkan sebagai alternative
FFP (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
c. Apabila terjadi gangguan koagulasi maka dapat dikoreksi sebagai berikut:
 Vitamin K 10 mg IV diberikan pada penderita dengan peningkatan INR dan
diberikan dalam waktu yang sama dengan terapi yang lain karena efek akan timbul 6
jam kemudian. Kecepatan pemberian untuk meminimalkan risiko anafilaksis.
 FFP 2-6 unit diberikan untuk mengoreksi defisiensi faktor pembekuan darah bila
ditemukan sehingga dengan cepat memperbaiki INR atau Aptt. Terapi FFP ini untuk
mengganti pada kehilangan faktor koagulasi.
d. Faktor VIIa rekombinan tidak mengganti semua faktor pembekuan, dan walaupun INR
menurun, pembekuan bias jadi tidak membaik. Oleh karena itu, faktor VIIa rekombinan
tidak secara rutin direkomendasikan sebagai agen tunggal untuk mengganti
antikoagulan oral pada perdarahan intracranial. (AHA/ASA,Class III, Level of evidence
C). Walaupun faktor VIIarekombinan dapat membatasi perluasan hematoma pada
pasien ICH tanpa koagulopati, risiko kejadian tromboemboli akan meningkat dengan
faktor VIIa rekombinan dan tidak ada keuntungan nyata pada pasien yang tidak
terseleksi. Dengan demikian, faktor VIIa rekombinan tidak direkomendasikan pada
pasien yang tidak terseleksi. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
e. Kegunaan dari transfuse trombosit pada pasien perdarahan intracranial dengna riwayat
penggunaan antiplatelet masih tidak jelas dan dalam tahap penelitian. (AHA/ASA, Class
IIb, Level of evidence B)
f. Untuk mencegah tromboemboli vena pada pasien dengan perdarahan intracranial,
sebaiknya mendapatkan pneumatic intermittent compression selain dengan stoking
elastic. (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
g. Setelah dokumentasi penghentian perdarahan, LMWH atau UFH subkutan dosis rendah
dapat dipertimbangkan untuk pencegahan tromboemboli vena pada pasien dengan
mobilitas yang kurang setelah satu hingga empat hari pasca awitan. (AHA/ASA, Class
IIb, Level of evidence B)
h. Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian protamin sulfat 10-50 mg IV dalam waktu
1-3 menit. Penderita dengan pemberian protamin sulfat perlu pengawasan ketat untuk
melihat tanda-tanda hipersensitif (AHA/ASA,Class I, Level of evidence B)
3. Tekanan Darah
4. Penanganan di Rumah Sakit dan Pencegahan Kerusakan Otak Sekunder
a. Pemantauan awal dan penanganan pasien perdarahan intracranial sebaiknya dilakukan
di ICU dengan dokter dan perawat yang memiliki keahlian perawatan intensif
neurosains (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
b. Penanganan Glukosa
c. Obat kejang dan anti epilepsy
Kejang sebaiknya diterapi dengan obat anti epilepsy (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C). pemantauan EEG secara kontinu dapat diindikasikan pada pasien
perdarahan intracranial dengan kesadaran menurun tanpa mempertimbangkan kerusakan
otak yang terjadi. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). pasien dengan
perubahan status kesadaran yang didapatkan gelombang epileptogenik pada EEG
sebaiknya diterapi dengan obat anti epilepsy (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence
C). pemberian anti konvulsan profilaksis tidak direkomendasikan. (AHA/ASA, Class
III, Level of evidence B).
5. Prosedur/ Operasi
a. Penangan dan pemantauan tekanan intracranial
 Pasien dengan skor GCS <8, dengan tanda klinis herniasi transtentoral, atau dengan
perdarahan intraventrikuler yang luas atau hidrosefalus, dapat dipertimbangkan
untuk penangan dan pemantauan tekanan intracranial. Tekanan perfusi otak 50-70
mmHg dapat dipertahankan tergantung pada status otoregulasi otak (AHA/ASA,
Class IIb, Level of evidence C).
 Drainase ventrikuler sebagai tata laksana hidrosefalus dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan penurunan tingkat kesadaran (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidence B)
b. Perdarahan Intraventrikuler
Walaupun pemberian intraventrikuler recombinant tissue-type plasminogen activator
(rTrA) untuk melisiskan bekuan darah intraventrikuler memiliki tingkat komplikasi
yang cukup rendah, efikasi dan keamanan dari tata laksana ini masih belum pasti dan
dalam tahap penelitian (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence B)
c. Evakuasi Hematom
 Pada sebagian besar pasien dengan perdarahan intracranial, kegunaan tindakan
operasi masih belum pasti (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence C)
 Pasien dengan perdarahan serebral yang mengalami perburukan neurologis, atau
yang terdapat kompresi batang otak, dan atau hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel
sebaiknya menjalani operasi evakuasi bekuan darah secepatnya. (AHA/ASA,Class I,
Level of evidence B). tata laksana awal pada pasien tersebut dengan drainase
ventrikuler saja tanpa evakuasi bekuan darah tidak direkomendasikan (AHA/ASA,
Class III, Level of evidence C).
 Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml, dan terdapat 1 cm dari
permukaan, evakuasi perdarahan intracranial supratentorial dengan kraniotomi
standar dapat dipertimbangkan (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence B)
 Efektivitas evakuasi sumbatan secara invasive minimal menggunakan baik aspirasi
stereotaktik maupun endoskopik dengan atau tanpa penggunaan trombolitik masih
belum pasti dan dalam tahap penelitian (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence B).
 Saat ini tidak terdapat bukti mengindikasikan pengangkatan segera dari perdarahan
intracranial suprastentorial untuk meningkatkan keluaran fungsional atau angka
kematian. Kraniotomi segera dapat merugikan karena dapat meningkatkan risiko
perdarahan berulang (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
d. Prediksi keluaran dan penghentian dukungan teknologi
 Perintah penundaan tidak diresusitasi direkomendasikan untuk tidak dilakukan
sebelum perawatan penuh dan agresif selama dua hari (AHA/ASA, Class IIa, Level
of evidence B), kecuali pada pasien yang sejak semula ada keinginan untuk tidak
diresustasi.

e. Pencegahan Perdarahan intracranial berulang


 Pada perdarahan intracranial dimana stratifikasi risiko pasien telah disusn untuk
mencegah perdarahan berulang keputusan tatalaksana dapat berubah karena
pertimbangan beberapa faktor risiko, antara lain lokasi lobus dari perdarahan awal,
usia lanjut, dalam pengobatan antikoagulan, terdapat alel E2 atau E4 apoliprotein dan
perdarahan mikro dalam jumlah besar pada MRI (AHA/ASA, Class IIa Level of
evidence B)
 Setelah periode akut perdarahan intracranial dan tidak ada kontraindikasi medis,
tekanan darah sebaiknya dikontrol dengan baik terutama pada pasien yang lokasi
perdarahannya tipikal dari vaskulopati hipertensif ( AHA/ASA, Class I, Level of
evidence A)
 Setelah periode akut perdarahan intracranial, target dari tekanan darah dapat
dipertimbangkan menjadi <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg jika diabetes atau
penyakit ginjal kronik (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B)
 Penghentian pemakaian antikoagulan jangka panjang sebagai tatalaksana fibrilasi
atrial nonvalvuler mungkin direkomendasikan setelah perdaraha intracranial lobar
spontan karena relative berisiko tinggi untuk perdarahan berulang (AHA/ASA, Class
IIa, Level of evidence B). pemberian antikoagulan dan terapi antiplatelet setelah
perdarahan intracranial nonlobar dapat dipertimbangkan, terutama pada keadaan
tedapat indikasi pasti penggunaan terapi tersebut (AHA/ASA Class IIb, Level of
evidence B)
 Pelarangan konsumsi alcohol berat sangat bermanfaat (AHA/ASA, Class IIa, Level
of evidence B).
f. Rehabilitasi dan pemulihan
 Mengingat potensi yang serius dari perdarahan intracranial berupa kecacatan yang
berat, serius dan kompleks semua pasien sebaiknya dilakukan rehabilitasi secara
multidisiplin (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). jika memungkinkan
rehabilitasi dapat dilakukan sedini mungkin dan berlanjut disarana rehabilitasi
komunita, sebagai bagian dari program terkoordinasi yang baik antara perawatan di
rumah sakit dengan perawatan berbasis rumah untuk meningkatkan pemulihan
(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B.

IX. Komplikasi
a. Neurogenik:
Edema otak, infark berdarah, vasospasme, hydrocephalus, hidroma.
b. Non neurogenik
Akibat proses diotak: tekanan darah tinggi, hiperglikemi, edema otak.
Akibat imoboblisasi bronkopneumonia, tromboplebitis, dekubitus, kontraktur, infeksi
saluran kencing.
X. Prognosis
Tergantung berat stroke dan komplikasi yang timbul serta dilihat dari tanda vitalnya.
Penilaian dengan parameter indeks bartel atau stroke scale serta dilihat dari risiko dari
kecacatan dan ketergantungan fisik ataupun kognitif setelah satu tahun.

Anda mungkin juga menyukai