Anda di halaman 1dari 13

1.

BIOGRAFI
1.1 Biodata Mr Ali Sastromidjojo

Nama: Ali Sastroamidjojo

Gender: Laki-Laki

Tempat Lahir: Grabag, Jawa Tengah,

Tanggal Lahir: 21 Mei 1903

Riwayat Hidup:

Pendidikan Terakhir : Meester in de Raechten (Sarjana Hukum), Universitas Leiden,


Belanda (1927)

Riwayat Karir:

Wakil Menteri Penerangan dalam kabinet Presidensial masa kerja 19 Agustus 1945 - 14
November 1945

Menteri Pengajaran dalam kabinet Amir Sjarifuddin I masa kerja 3 Juli 1947 - 11
November 1947

Menteri Pengajaran dalam kabinet Amir Sjarifuddin II masa kerja 11 November 1947 -
29 Januari 1948

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam kabinet Hatta I masa kerja 29 Januari 1948 -
4 Agustus 1949

Menteri Pertahanan (Ad Interim) dalam kabinet Ali Sastromijojo II masa kerja 24 Maret
1956 - 14 Maret 1957

Wakil Ketua MPRS dengan Kedudukan sebagai Menteri dalam kabinet Kerja III masa
kerja 6 Maret 1962 - 13 November 1963

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dalam kabinet Kerja IV masa
kerja 13 November 1963 - 27 Agustus 1964

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dalam kabinet Dwikora I masa
kerja 27 Agustus 1964 - 22 Februari 1966

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dalam kabinet Dwikora III
masa kerja 27 Maret 1966 - 25 Juli 1966

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dalam kabinet Dwikora II


masa kerja 24 Februari 1966 - 28 Maret 1966
1.2 Biografi Mr Ali Sastromidjojo

Ali Sastroamidjojo, SH (Grabag, Jawa Tengah, 21 Mei 1903 - Jakarta, 13 Maret


1976) adalah seorang tokoh politik, pemerintahan, dan nasionalis. Ali mendapatkan gelar
Meester in de Raechten (Sarjana Hukum) dari Universitas Leiden, Belanda pada tahun
1927. Ali adalah Perdana Menteri Indonesia ke-8 yang sempat dua kali menjabat pada
periode 1953-1955 Kabinet Ali Sastroamidjojo I dan periode 1956-1957 Kabinet Ali
Sastroamidjojo II. Selain itu, Ali juga menjabat sebagai Wakil Menteri Penerangan pada
Kabinet Presidensial, Menteri Pengajaran pada Kabinet Amir Sjarifuddin I, Kabinet Amir
Sjarifuddin II, serta Kabinet Hatta I, dan Wakil Ketua MPRS pada Kabinet Kerja III,
Kabinet Kerja IV, Kabinet Dwikora I, dan Kabinet Dwikora II.

Semasa bersekolah Ali aktif dalam organisasi pemuda, seperti pada organisasi
Jong Java (1918-1922) dan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda (1923-1928).
Karena aktivitasnya, ia pernah ditahan oleh Belanda pada tahun 1927. Pada tahun 1928,
ia membuka kantor pengacara, dan menerbitkan majalah Djanget di Solo. Ali pernah
bergabung dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), lalu aktif di Gerindo saat PNI
dibubarkan.

Setelah Perang Dunia II usai, Ali menjabat sebagai wakil ketua delegasi Republik
Indonesia dalam perundingan dengan Belanda (Februari, 1948) dan menjadi anggota
delegasi Republik Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar. Setelah
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, Ali diangkat menjadi Duta Besar Indonesia di
Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko (1950-1955). Selain itu, Ali juga menjabat ketua
umum Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955, wakil tetap Indonesia di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) periode 1957-1960, dan menjadi ketua umum PNI
(1960-1966).

Selain menjadi tokoh politik, Ali juga rajin mempublikasikan hasil pemikirannya,
antara lain pada Pengantar Hukum Internasional (1971), Politik Luar Negeri Indonesia
Dewasa Ini (1972), otobiografi Tonggak-tonggak Perjalananku (1974), dan Empat
Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda (1975).
1.2.1 Ali Sastroamidjojo sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan

Ketika ia menjabat Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan


(PP&K) ia membetuk Panitia Perancang Undang-undang Pokok Pendidikan dan
Pengajaran pada awal tahun 1948. Panitia ini bertugas menyusun Rencana
Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran yang kelak menjadi pedoman
bagi pemerintah dalam menyelenggarakan sekolah-sekolah. Akan tetapi rencana
tersebut tidak dapat berjalan karena terjadi Agresi Militer Belanda kedua pada 19
Desember 1948. Setelah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta pada 6
Agustus 1949, Rencana Undang-undang tersebut diajukan kembali kepada KNIP
oleh menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan yang baru, Ki Sarmidi
Mangunsarkoro yang menggantikannya.

Rencana undang-undang pokok akhirnya diterima oleh BP KNIP dan


disahkan oleh pejabat (Acting) Presiden RI. Mr. Asaat di Yogyakarata pada
tanggal 2 Januari 1950 sebagai undang-undang Nomor 4 Tahun 1950. Dewan
Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia (DPRS RI) kembali
mengesahkan Undang-undang ini pada tanggal 27 Januari 1954 sebagai Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1954 dan dinyatakan berlaku di seluruh Indonesia.
Rencana undang-undang pokok yang disahkan menjadi undang-undang Nomor 4
Tahun 1950 atau undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tersebut mempunyai nilai
yang penting dan bersejarah bagi Indonesia. Undang-undang tersebut terdiri atas
17 bab dan 30 pasal. Beberapa hal penting di antaranya adalah:

Bab III Pasal 3 menyatakan bahwa tujuan pendidikan dan pelajaran ialah
membentuk manusia sosial yang cakap dan warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.

Bab IV Pasal 5 ayat 1 menyatakan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa


persatuan adalah bahasa pengantar sekolah di seluruh Indonesia

Bab V Pasal 6 mengenai pendidikan dan pengajaran dibagi atas 4 (empat)


jenjang yaitu, pendidikan dan pengajaran rendah, pendidikan dan pengajaran
menengah (umum dan kejuruan), pendidikan dan pengajaran tinggi.

1.2.2. Ali Sastroamidjojo di Bidang Politik

Ali Sastroamidjojo, S.H. merupakan politikus ulung dari Indonesia. Ia disegani


sebagai tokoh politik oleh pemerintahan dan tokoh-tokoh politik dari negara lain. Ali
merupakan tokoh nasionalis yang memiliki gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum)
dari Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1927.
Perdana Menteri Indonesia ke-8 ini menjabat sebanyak dua periode, periode
pertama tahun 1953-1955 dan periode kedua tahun 1956-1957. Mantan Menteri
Pengajaran pada Kabinet Amir Sjarifuddin I, Amir Sjarifuddin II, serta Hatta I ini sudah
aktif di bidang keorganisasian sejak masih sekolah. Ali Sastroamidjojo menjadi anggota
di organisasi Jong Java (1918-1922) dan Perhimpunan Indonesia (1923-1928).

Aktivitasnya di organisasi sempat meresahkan pemerintahan Hindia Belanda. Ia


ditahan tahun 1927 oleh Polisi Belanda dengan Mohammad Hatta, Natzir Dt. Pamuncak,
dan Abdul Madjid. Aktivitas Ali Sastroamidjojo di dunia poitik tak pernah berhenti.
Setelah kemerdekaan resmi teraih oleh bangsa Indonesia, Ali Sastroamidjojo dikirim
menjadi wakil ketua delegasi Republik Indonesia di Konferensi Meja Bundar pada bulan
Februari tahun 1948. Setelah pengakuan kedaulatan kemerdekaan secara resmi diperoleh
dari Belanda, Ali Sastroamidjojo pun diangkat menjadi Duta Besar Indonesia untuk
Amerika Serikat, Kana, dan Meksiko dari tahun 1950 sampai 1955.

Pada tahun 1955, Ali Sastroamidjojo diangkat sebagai ketua umum Konferensi
Asia Afrika di Bandung. Berawal dari adanya ketegangan di kawasan Indocina yang
sekarang dikenal dengan sebagai Negawa Vietnam, Perdana Menteri Sri Lanka Sir John
Kotelawala pada awal tahun 1954 yang mengirim surat ke pemerintahan Indonesia dalam
rangka mengundang Ali Sastroamidjojo agar bersedia hadir di pertemuan Kolombo.
Dalam pertemuan itu, turut diundang pula Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru,
Perdana Menteri Birma Perdana Menteri Pakistan Muhammad Ali. Berkumpulnya para
pemegang jabatan penting dari negara masing-masing itu bertujuan untuk membahas isu
ketegangan kawasan Indocina.

Dalam pertemuan di Kolombo, Ali menyampaikan pesan presiden dan


menghasilkan kesepakatan yang persis sesuai dengan keinginan presiden. Ali mendorong
agar dibuat pertemuan besar antara negara Asia-Afrika dengan tujuan besar yakni
menghapuskan penjajahan.
Ali Sastroamidjojo berhasil memperoleh dukungan dari empat negara lain dan
munculah kesepakatan usaha perwujudan penyatuan negara Asia-Afrika. Pada pertemuan
disepakati, pertemuan selanjutnya dengan negara-negara Asia-Afrika akan terjadi Bogor
pada 28-29 September 1954."Jadi peranan pada waktu itu, Pak Ali Sastroamidjojo itu
memang bisa luwes mengemong dari lima negara inisiator. Setelah konferensi Kolombo,
dia bikin semacam steering committee sehingga bisa terjadi pertemuan KAA," kata
peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang fokus pada sejarah
Asia dan Afrika, Harry Tjan Silalahi.

Dengan demikian, itulah pertama kalinya penyelenggaraan Konferensi Asia


Afrika digelar di Indonesai dengan Ali Sastroamidjojo sebagai ketua umum yang dipilih
langsung oleh keempat negara lain. Negara-negara yang melakukan pertemuan di
Kolombo ini akhirnya menjadi steering committe pengundang dan panitia penyelengara
Konferensi Asia Afrika. Anggota terdiri dari dua besar empat negara dan ketua panitia
Roeslan Abdulgani.

Konferensi Asia Afrika pertama menghasilkan Dasasila Bandung. Dari sejak saat
itu pula, Indonesia menjadi perhatian dunia. Utamanya, karena Ali Sastroamidjojo
berhasil mendatangkan pemimpin dari negeri Tiongkok yang sedang terisolir oleh
Amerika dan Inggris. Dari pertemuan pertama di Bandung, Konferensi Asia Afrika
berlanjut hingga memunculkan pertemuan lanjutan yang menghasilkan gerakan Non Blok
pada tahun 1961.

"KAA betul-betul merupakan arena di mana negara-negara baru di Asia Afrika


tampil dan juga mempunyai tekad untuk mengajak negara-negara sedang
memperjuangkan kemerdekaan segera bisa segera memperoleh kemerdekaan. Bagi
Indonesia, sebetulnya tidak lain dan tidak bukan adalah pelaksanaan dari ikrar bangsa
Indonesia, yang mengatakan kemerdekaan hak segala bangsa,"jelas Harry.
Sukses menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika seperti yang diharapkan Presiden
Soekarno, kecakapan Ali dalam bidang diplomasi politik semakin dipercaya, sehingga ia
terpilih menjadi wakil tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selama
kurang lebih tiga tahun, dari tahun 1957 sampai 1960. Tahun 1960-1966, keahlian politik
Ali Sastroamidjojo dikukuhkan dengan jabatan penting sebagai ketua umum PNI.

Ali Sastroamidjojo tidak hanya ulung dalam politik, ia juga penulis yang baik. Ia
rajin menuangkan gagasan-gagasannya dalam beberapa buku. Buku-buku berjudul
Pengantar Hukum Internasional (1971), Politik Luar Negeri Indonesia Dewasa Ini (1972),
otobiografi Tonggak-tonggak Perjalananku (1974), dan Empat Mahasiswa Indonesia di
Negeri Belanda (1975) adalah buku hasil jerih payah dan kesabarannya dalam menulis.

Sampai saat ini, sosok Ali Sastroamidjojo dipandang sebagai diplomat yang
berharga bagi bangsa Indonesia. Puncak karir Ali Sastroamidjojo ialah menjadi seorang
Perdana Menteri Republik Indonesaia. Namanya menjadi paling banyak dibicarakan bila
sejarawan membahas menganai sejarah kelahiran Konferensi Asia Afrika. Sosok yang
dekat dengan politik internasional ini menjadi semangat semboyan, “Bandung Ibu Kota
Asia Afrika”.

September 1927, di negeri Belanda, empat orang pemuda Indonesia di tahan.


Keempat pemuda itu adalah Muhammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdoel Madjib
Djojoadhiningrat, dan Pamontjak. Mereka dituding “menghasut orang-orang agar
memberontak terhadap pemerintah”.
Saat itu, Ali Sastroamidjodjo, baru berusia 24 tahun, dan sedang mempersiapkan
ujian doktoranyal di Universitas Leiden, Belanda. Dengan dikawal sipir penjara, juga
status ‘tapol’ yang melekat, Ali berhasil menyelesaikan ujian itu. Ia dinyatakan lulus
ujian.

Di negeri Belanda, tempat ia sedang menimbah ilmu, Ali aktif dalam pergerakan
mahasiswa Indonesia. Ia aktif dalam organisasi Perhimpunan Indonesia—sebelumnya
bernama Indische Vereniging. Ia juga sering membuat gerah penguasa Belanda karena
tulisan-tulisannya di koran “Indonesia Merdeka”.
Ali kembali ke Indonesia tahun 1928. Ia segera membuka kantor pengacara
bersama kawan-kawannya. Akan tetapi, panggilan Ibu Pertiwi dan kecintaan kepada
rakyatnya membuatnya meninggalkan pekerjaan tersebut. Ia memilih jalan perjuangan
politik untuk membebaskan bangsanya dari belenggu kolonialisme. Pemuda kelahiran di
Grabag, Magelang, 21 Mei 1903, segera menceburkan diri secara mendalam dalam
pergerakan nasional.

Bergabung Di PNI
PNI didirikan Bung Karno dan kawan-kawannya di Bandung, 4 Juli 1927. Dalam
waktu singkat, PNI menjelma menjadi organisasi massa revolusioner. Cabang-cabang
PNI berdiri di berbagai daerah. Di Solo, Ali Sastroamidjojo menjadi ketua Cabang PNI.
Istrinya, Titi Roelia, yang mendampinginya sejak di negeri Belanda, juga menjadi aktivis
pergerakan nasional dan seorang feminis.

Pada tahun 1928, pada sebuah kongres PNI, Ali berdebat keras dengan Soekarno.
Saat itu, Soekarno mengusulkan agar semua anggota PNI memakai seragam. Ali
menyatakan ketidaksetujuan dengan ide tersebut.“Ini tidak sesuai dengan kepribadian
nasional,” kata Ali membantah Soekarno.Ali sendiri mengusulkan agar PNI mengenakan
sarung. Tidak perlu menggunakan alas kaki: sepatu atau sandal. Dengan begini, kata Ali,
PNI akan tampak benar-benar sebagai organisasi revolusioner.Soekarno meledak marah.
“Banyak orang yang kaki-ayam, tapi mereka tidak revolusioner. Banyak orang
berpangkat tinggi memakai sarung, tetapi mereka bekerjasama dengan Belanda.”Bagi
Soekarno, sarung identik dengan masa lampau, yaitu jaman feudal yang kolot. Sedangkan
pakaian seragam, di mata Soekarno, bisa mengangkat harkat kaum pribumi sejajar
dengan orang Belanda. Setidaknya, dalam gaya berpakaian.Ali berhasil mementahkan
usulan Bung Karno saat itu. Meski begitu, keduanya tetap berkawan akrab. PNI sendiri
berkembang pesat saat itu. Di mata penguasa kolonial, pertumbuhan PNI yang luar biasa
mengancam kekuasaan mereka. Akhirnya, pada tahun 1929, Soekarno dan tiga kawannya
ditangkap oleh Belanda.

PNI sempat goyah saat itu. Ketika Soekarno ditahan di penjara Sukamiskin, PNI
sudah bubar dan dinyatakan terlarang. Akan tetapi, beberapa bekas pimpinan PNI segera
mendirikan partai baru: Partai Indonesia (Partindo). Ali Sastroamidjojo segera
menggabungkan diri dengan Partindo. Ali juga sempat bergabung dengan Gerakan
Rakyat Indonesia (Gerindo).

Politisi dan Diplomat


Pasca kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, Ali langsung menjadi salah satu
tenaga penting di pemerintahan Republik yang baru. Bung Karno menunjuknya sebagai
Menteri Penerangan.Lalu, di bawah kabinet Amir Sjarifuddin, Ali ditunjuk sebagai
Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan. Di masa jabatannya, ia merancang UU
pokok pendidikan dan pengajaran. Rancangan Undang-Undang itu dianggap paling
progressif pada jamannya.

Pada tahun 1950, Ali ditunjuk sebagai Dubes pertama Indonesia di AS. Saat
menyampaikan surat-surat kepercayaan (credentials), Ali meminta kesempatan berpidato.
Akan tetapi, Presiden AS saat itu, Truman, meminta agar pidato itu dihentikan. Akhirnya,
dengan mata bercucuran Ali mengatakan: “Saya mengerti perjuangan kemerdekaan
negeri tuan yang mulia, karena saya teringat kepada perjuangan kemerdekaan negeri saya
sendiri yang gagah berani seperti negeri tuan.”

Di tahun 1953, di tengah krisis politik yang berpotensi meretakkan Republik


Indonesia, Ali Sastroamidjojo ditunjuk sebagai Perdana Menteri. Orang-orang sering
menyebut kabinet Ali sebagai “Kabinet kiri”. Sebab, isinya kebanyakan orang kiri.
Pasalnya, pada saat itu Masjumi dan PSI ditendang keluar, sedangkan PKI dan NU
ditarik masuk.

Ali memulai politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif. Politik luar negeri
meluas ke negeri-negeri sosialis: 1953, Indonesia mengirim dubes ke Peking, Tiongkok;
1954, Indonesia membuka kedutaan di Moskow, USSR.Politik luar negeri Indonesa
makin anti-kolonialis dan anti-imperialis. Di bawah pemerintahan Ali Sastroamidjojo,
Indonesia berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955.

Meski sangat sukses, media-media barat, khususnya TIME, menjelek-jelekkan


pertemuan Bogor (pertemuan menjelang KAA). TIME menulis tentang pelayanan
terhadap delegasi sangat buruk, air tak mengalir, listrik kedap-kedip, tak ada gantungan
pakaian, dan lain-lain. “Pengemis-pengemis ini tak akan dapat belajar!” kata delegasi
India.Ali marah besar. “Kurang ajar!” katanya. Akan tetapi, kritikan itu dijadikan cambuk
oleh Ali untuk membuat KAA menjadi lebih bergengsi dan bermartabat. KAA resmi
dibuka tanggal 18 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung. Presiden Soekarno
membuka KAA dengan pidatonya yang berapi-api. Sejarah mencatat KAA berhasil
berjalan dengan sukses.

Pemerintahan Ali Sastroamidjojo juga sukses menyelenggarakan pemilu pertama


Indonesia pada tahun 1955. Inilah pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia;
diikuti 190 partai, organisasi, maupun perorangan.Ali, yang saat itu menjadi juru
kampanye PNI, berhasil memenangkan pemilu dengan 119 kursi. Disusul oleh Masjumi
(112 kursi), NU (91), dan PKI (80).

Kabinet Ali Sastroamidjojo II juga sukses membatalkan hasil Konferensi Meja


Bundar (KMB) pada April 1956. Empat bulan kemudian, pemerintah Indonesia
menyatakan menolak membayar utang-utang warisan kolonialisme Belanda.
Marhaenis sejati hingga akhir hayatnya
September 1963, PNI menggelar kongres ke-X di Purwokerto, Jawa Tengah. Saat
itu, Ali Sastroamidjojo dan Surachman terpilih memimpin PNI. Kongres juga menyetujui
pembentukan Front Marhaenis untuk memastikan kepemimpinan politik terhadap
gerakan massa marhaen. Jadinya, ada penyebutan PNI/Front Marhaenis.Ali
Sastroamidjojo, yang terlibat di PNI sejak tahun 1928, berusaha menegaskan bahwa
marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan dalam konteks Indonesia. Pada pidato
peringatan HUT PNI ke-36, 7 Juli 1963, di stadion utama Senayan, Ali Sastroamidjojo
menegaskan bahwa marhaenisme adalah doktrin dan program sosialisme ilmiah dalam
konteks Indonesia.

Dalam sidang Badan Pekerdja Kongres PNI, pada 13-17 Nopember 1964,
disetujui bahwa “Marhaenisme” ialah Marxisme “jang diterapkan sesuai dengan kondisi2
dan situasi Indonesia”. PNI juga menegaskan cita-citanya sebagai partai kaum marhen
untuk melawan imperialisme, neo-kolonialisme, dan kapitalisme.

Muncul isu perpecahan di tubuh PNI: pimpinan Ali-Surachman (kiri) versus


kelompok PNI konservatif (Osa Maliki, Sabilal Rasjad, Hardi, Hadisubeno dan Mh.
Isnaeni). Pertarungan itu berujung pada pemecatan sejumlah tokoh konservatif PNI,
seperti Hardi, Osa Maliki, Hadisubeno, dan Mh. Isnaeni.

Rocamora, seorang peneliti asal Filipina, mencatat pertentangan itu sebagai suatu
usaha merumuskan ideologi nasionalisme radikal dalam suatu partai yang memiliki basis-
basis konservatif yang luas di daerah.Saat itu, kata Rocamora, sejak Kongres PNI 1963,
peranan dari organisasi massa (onderbouw) menjadi makin kuat dalam PNI, khususnya
kalangan buruh (KBM) dan mahasiswa (GMNI). Seiring dengan meningkatnya peranan
parpol melalui aksi massa, garis radikal revolusioner (kiri) juga makin kuat dalam tubuh
PNI. PNI memang sangat radikal jaman itu. Pada tahun 1955, di bawa kepimpinan Sidik
Djojosukarto, PNI merumuskan apa yang disebut “Dua Anti”: anti-feodalisme dan anti-
kapitalisme.

Situasi berubah pada tahun 1965. Upaya negeri-negeri imperialis menggulingkan


Bung Karno didahului dengan penghancuran basis pendukungnya: gerakan kiri.
Akhirnya, dengan dalih terlibat Gestapu, militer segera menyerang PKI dan ormas-
ormasnya. PNI Ali Surachman juga terkena getahnya. Aksi-aksi mahasiswa kanan di
tahun 1966 sangat akrab dengan istilah “PNI ASU” (PNI Ali Sastroamidjojo-
Surachman).

Akhirnya, pada kongres luar biasa di Bandung, 21 sampai 27 April 1966,


kelompok Ali Sastroamidjojo-Surachman digulingkan. Kelompok sayap kanan PNI, yang
sering disebut kelompok Osa-Usep, berhasil merebut kepemimpinan. Konon, Ali
Murtopo terlibat langsung dalam kongres itu untuk membersihkan kaum kiri dalam PNI.
Ali Sastroamidjojo ditawan oleh orde baru. Meski begitu, sampai menghembuskan
nafasnya yang terakhir, Ali tetap menyebut diri sebagai seorang nasionalis dan sekaligus
marhaenis pengikut Bung Karno. Pada 13 Maret 1976, Ali Sastroamidjojo meninggal dan
dimakamkan di TMP Kalibata.
2. PERAN MR ALI SASTROMIDJOJO DALAM MEMBANGUN BANGSA

2.1 Peranan Ali Sastroamidjojo dalam KAA

Peranan Ali Sastroamidjojo dalam percaturan diplomasi Indonesia sangat tampak


dalam drama KAA dimana Ali berhasil menjadi sutradara besar konferensi. Ia berhasil
meyakinkan 4 perdana menteri lainnya pada konferensi Kolombo untuk
menyelenggarakan KAA 1955, karena tanpa Colombo Plan, tidak akan terjadi KAA.
Kebesaran Ali semakin tampak pada hari kelima penyelenggaraan KAA yang
terselenggara di Bandung, kecanggihan diplomasinya mampu menyatukan berbagai latar
belakang ideologi untuk bersatu dalam forum internasional kulit berwarna pertama di
dunia saat itu. Selain menjadi tokoh politik, ia juga rajin mempublikasikan buah
pikirannya dalam berbagai buku karangannya sendiri, seperti buku Pengantar Hukum
Internasional (1971), Politik Luar Negeri Indonesia Dewasa Ini (1972), otobiografi
Tonggak-tonggak Perjalananku (1974), dan Empat Mahasiswa Indonesia di Negeri
Belanda (1975).

2.2 Peranan Ali Sastroamidjojo dalam Politik

Semasa hidupnya, peraih gelar Master in de Rechten dari Universitas Leiden


ini tercatat sebagai Perdana Menteri pada Kabinet Ali Sastroamidjodjo I & II, Wakil
Menteri Penerangan pada Kabinet Presedensial I, Menteri Pengajaran pada Kabinet Amir
Sjarifuddin I & II dan Kabinet Hatta I, Wakil Ketua MPRS pada Kabinet Kerja III & IV
serta Dwikora I & II.

Di ranah hubungan internasional, tokoh yang produktif menulis ini pun pernah menjabat
sebagai Duta Besar pertama Indonesia untuk Amerika, Meksiko, dan Kanada dalam
waktu hampir bersamaan (1950-1953), Kepala Perwakilan Tetap Republik Indonesia di
PBB (1957-1960), delegasi Indonesia pada Perundingan Roem-van Royen (1949) dan
Konferensi Meja Bundar (1949).
3.PENDAPAT TENTANG MR ALI SASTROMIDJOJO

Raden Dr. Ali Sastroamidjojo merupakan seorang politikus yang ulung. Terlihat dari diraihnya
gelar Master in de Rechten dari Universitas Leiden, keberhasilan KAA, tercatatnya Ia sebagai
perdana menteri cabinet Ali Sastroamidjojo 1&2, serta jabatan penting lainnya sudah cukup
membuktikan jika Ia merupakan politikus yang ulung.

Tak lupa, Ia merupakan tokoh penting dalam KAA. Ia merupakan penggagas dan ketua KAA
yang diselenggarakan di Bandung tahun 1955 yang tercatat dalam sejarah. Konferensi Asia
Afrika pertama menghasilkan Dasasila Bandung. Dari sejak saat itu pula, Indonesia menjadi
perhatian dunia. Utamanya, karena Ali Sastroamidjojo berhasil mendatangkan pemimpin dari
negeri Tiongkok yang sedang terisolir oleh Amerika dan Inggris. Dari pertemuan pertama di
Bandung, Konferensi Asia Afrika berlanjut hingga memunculkan pertemuan lanjutan yang
menghasilkan gerakan Non Blok pada tahun 1961.

Namun, meskipun Mr. Ali tercatat sebagai penggagas dan ketua pelaksana KAA, penghormatan
yang diberikan negara kepadanya seakan tak sepadan. Meski dimakamkan di Taman Pahlawan
Kalibata, tokoh yang wafat di Jakarta 13 Maret 1975 itu belum tercatat sebagai Pahlawan
Nasional.
4. DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai