BIOGRAFI
1.1 Biodata Mr Ali Sastromidjojo
Gender: Laki-Laki
Riwayat Hidup:
Riwayat Karir:
Wakil Menteri Penerangan dalam kabinet Presidensial masa kerja 19 Agustus 1945 - 14
November 1945
Menteri Pengajaran dalam kabinet Amir Sjarifuddin I masa kerja 3 Juli 1947 - 11
November 1947
Menteri Pengajaran dalam kabinet Amir Sjarifuddin II masa kerja 11 November 1947 -
29 Januari 1948
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam kabinet Hatta I masa kerja 29 Januari 1948 -
4 Agustus 1949
Menteri Pertahanan (Ad Interim) dalam kabinet Ali Sastromijojo II masa kerja 24 Maret
1956 - 14 Maret 1957
Wakil Ketua MPRS dengan Kedudukan sebagai Menteri dalam kabinet Kerja III masa
kerja 6 Maret 1962 - 13 November 1963
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dalam kabinet Kerja IV masa
kerja 13 November 1963 - 27 Agustus 1964
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dalam kabinet Dwikora I masa
kerja 27 Agustus 1964 - 22 Februari 1966
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dalam kabinet Dwikora III
masa kerja 27 Maret 1966 - 25 Juli 1966
Semasa bersekolah Ali aktif dalam organisasi pemuda, seperti pada organisasi
Jong Java (1918-1922) dan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda (1923-1928).
Karena aktivitasnya, ia pernah ditahan oleh Belanda pada tahun 1927. Pada tahun 1928,
ia membuka kantor pengacara, dan menerbitkan majalah Djanget di Solo. Ali pernah
bergabung dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), lalu aktif di Gerindo saat PNI
dibubarkan.
Setelah Perang Dunia II usai, Ali menjabat sebagai wakil ketua delegasi Republik
Indonesia dalam perundingan dengan Belanda (Februari, 1948) dan menjadi anggota
delegasi Republik Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar. Setelah
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, Ali diangkat menjadi Duta Besar Indonesia di
Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko (1950-1955). Selain itu, Ali juga menjabat ketua
umum Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955, wakil tetap Indonesia di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) periode 1957-1960, dan menjadi ketua umum PNI
(1960-1966).
Selain menjadi tokoh politik, Ali juga rajin mempublikasikan hasil pemikirannya,
antara lain pada Pengantar Hukum Internasional (1971), Politik Luar Negeri Indonesia
Dewasa Ini (1972), otobiografi Tonggak-tonggak Perjalananku (1974), dan Empat
Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda (1975).
1.2.1 Ali Sastroamidjojo sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan
Bab III Pasal 3 menyatakan bahwa tujuan pendidikan dan pelajaran ialah
membentuk manusia sosial yang cakap dan warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
Pada tahun 1955, Ali Sastroamidjojo diangkat sebagai ketua umum Konferensi
Asia Afrika di Bandung. Berawal dari adanya ketegangan di kawasan Indocina yang
sekarang dikenal dengan sebagai Negawa Vietnam, Perdana Menteri Sri Lanka Sir John
Kotelawala pada awal tahun 1954 yang mengirim surat ke pemerintahan Indonesia dalam
rangka mengundang Ali Sastroamidjojo agar bersedia hadir di pertemuan Kolombo.
Dalam pertemuan itu, turut diundang pula Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru,
Perdana Menteri Birma Perdana Menteri Pakistan Muhammad Ali. Berkumpulnya para
pemegang jabatan penting dari negara masing-masing itu bertujuan untuk membahas isu
ketegangan kawasan Indocina.
Konferensi Asia Afrika pertama menghasilkan Dasasila Bandung. Dari sejak saat
itu pula, Indonesia menjadi perhatian dunia. Utamanya, karena Ali Sastroamidjojo
berhasil mendatangkan pemimpin dari negeri Tiongkok yang sedang terisolir oleh
Amerika dan Inggris. Dari pertemuan pertama di Bandung, Konferensi Asia Afrika
berlanjut hingga memunculkan pertemuan lanjutan yang menghasilkan gerakan Non Blok
pada tahun 1961.
Ali Sastroamidjojo tidak hanya ulung dalam politik, ia juga penulis yang baik. Ia
rajin menuangkan gagasan-gagasannya dalam beberapa buku. Buku-buku berjudul
Pengantar Hukum Internasional (1971), Politik Luar Negeri Indonesia Dewasa Ini (1972),
otobiografi Tonggak-tonggak Perjalananku (1974), dan Empat Mahasiswa Indonesia di
Negeri Belanda (1975) adalah buku hasil jerih payah dan kesabarannya dalam menulis.
Sampai saat ini, sosok Ali Sastroamidjojo dipandang sebagai diplomat yang
berharga bagi bangsa Indonesia. Puncak karir Ali Sastroamidjojo ialah menjadi seorang
Perdana Menteri Republik Indonesaia. Namanya menjadi paling banyak dibicarakan bila
sejarawan membahas menganai sejarah kelahiran Konferensi Asia Afrika. Sosok yang
dekat dengan politik internasional ini menjadi semangat semboyan, “Bandung Ibu Kota
Asia Afrika”.
Di negeri Belanda, tempat ia sedang menimbah ilmu, Ali aktif dalam pergerakan
mahasiswa Indonesia. Ia aktif dalam organisasi Perhimpunan Indonesia—sebelumnya
bernama Indische Vereniging. Ia juga sering membuat gerah penguasa Belanda karena
tulisan-tulisannya di koran “Indonesia Merdeka”.
Ali kembali ke Indonesia tahun 1928. Ia segera membuka kantor pengacara
bersama kawan-kawannya. Akan tetapi, panggilan Ibu Pertiwi dan kecintaan kepada
rakyatnya membuatnya meninggalkan pekerjaan tersebut. Ia memilih jalan perjuangan
politik untuk membebaskan bangsanya dari belenggu kolonialisme. Pemuda kelahiran di
Grabag, Magelang, 21 Mei 1903, segera menceburkan diri secara mendalam dalam
pergerakan nasional.
Bergabung Di PNI
PNI didirikan Bung Karno dan kawan-kawannya di Bandung, 4 Juli 1927. Dalam
waktu singkat, PNI menjelma menjadi organisasi massa revolusioner. Cabang-cabang
PNI berdiri di berbagai daerah. Di Solo, Ali Sastroamidjojo menjadi ketua Cabang PNI.
Istrinya, Titi Roelia, yang mendampinginya sejak di negeri Belanda, juga menjadi aktivis
pergerakan nasional dan seorang feminis.
Pada tahun 1928, pada sebuah kongres PNI, Ali berdebat keras dengan Soekarno.
Saat itu, Soekarno mengusulkan agar semua anggota PNI memakai seragam. Ali
menyatakan ketidaksetujuan dengan ide tersebut.“Ini tidak sesuai dengan kepribadian
nasional,” kata Ali membantah Soekarno.Ali sendiri mengusulkan agar PNI mengenakan
sarung. Tidak perlu menggunakan alas kaki: sepatu atau sandal. Dengan begini, kata Ali,
PNI akan tampak benar-benar sebagai organisasi revolusioner.Soekarno meledak marah.
“Banyak orang yang kaki-ayam, tapi mereka tidak revolusioner. Banyak orang
berpangkat tinggi memakai sarung, tetapi mereka bekerjasama dengan Belanda.”Bagi
Soekarno, sarung identik dengan masa lampau, yaitu jaman feudal yang kolot. Sedangkan
pakaian seragam, di mata Soekarno, bisa mengangkat harkat kaum pribumi sejajar
dengan orang Belanda. Setidaknya, dalam gaya berpakaian.Ali berhasil mementahkan
usulan Bung Karno saat itu. Meski begitu, keduanya tetap berkawan akrab. PNI sendiri
berkembang pesat saat itu. Di mata penguasa kolonial, pertumbuhan PNI yang luar biasa
mengancam kekuasaan mereka. Akhirnya, pada tahun 1929, Soekarno dan tiga kawannya
ditangkap oleh Belanda.
PNI sempat goyah saat itu. Ketika Soekarno ditahan di penjara Sukamiskin, PNI
sudah bubar dan dinyatakan terlarang. Akan tetapi, beberapa bekas pimpinan PNI segera
mendirikan partai baru: Partai Indonesia (Partindo). Ali Sastroamidjojo segera
menggabungkan diri dengan Partindo. Ali juga sempat bergabung dengan Gerakan
Rakyat Indonesia (Gerindo).
Pada tahun 1950, Ali ditunjuk sebagai Dubes pertama Indonesia di AS. Saat
menyampaikan surat-surat kepercayaan (credentials), Ali meminta kesempatan berpidato.
Akan tetapi, Presiden AS saat itu, Truman, meminta agar pidato itu dihentikan. Akhirnya,
dengan mata bercucuran Ali mengatakan: “Saya mengerti perjuangan kemerdekaan
negeri tuan yang mulia, karena saya teringat kepada perjuangan kemerdekaan negeri saya
sendiri yang gagah berani seperti negeri tuan.”
Ali memulai politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif. Politik luar negeri
meluas ke negeri-negeri sosialis: 1953, Indonesia mengirim dubes ke Peking, Tiongkok;
1954, Indonesia membuka kedutaan di Moskow, USSR.Politik luar negeri Indonesa
makin anti-kolonialis dan anti-imperialis. Di bawah pemerintahan Ali Sastroamidjojo,
Indonesia berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955.
Dalam sidang Badan Pekerdja Kongres PNI, pada 13-17 Nopember 1964,
disetujui bahwa “Marhaenisme” ialah Marxisme “jang diterapkan sesuai dengan kondisi2
dan situasi Indonesia”. PNI juga menegaskan cita-citanya sebagai partai kaum marhen
untuk melawan imperialisme, neo-kolonialisme, dan kapitalisme.
Rocamora, seorang peneliti asal Filipina, mencatat pertentangan itu sebagai suatu
usaha merumuskan ideologi nasionalisme radikal dalam suatu partai yang memiliki basis-
basis konservatif yang luas di daerah.Saat itu, kata Rocamora, sejak Kongres PNI 1963,
peranan dari organisasi massa (onderbouw) menjadi makin kuat dalam PNI, khususnya
kalangan buruh (KBM) dan mahasiswa (GMNI). Seiring dengan meningkatnya peranan
parpol melalui aksi massa, garis radikal revolusioner (kiri) juga makin kuat dalam tubuh
PNI. PNI memang sangat radikal jaman itu. Pada tahun 1955, di bawa kepimpinan Sidik
Djojosukarto, PNI merumuskan apa yang disebut “Dua Anti”: anti-feodalisme dan anti-
kapitalisme.
Di ranah hubungan internasional, tokoh yang produktif menulis ini pun pernah menjabat
sebagai Duta Besar pertama Indonesia untuk Amerika, Meksiko, dan Kanada dalam
waktu hampir bersamaan (1950-1953), Kepala Perwakilan Tetap Republik Indonesia di
PBB (1957-1960), delegasi Indonesia pada Perundingan Roem-van Royen (1949) dan
Konferensi Meja Bundar (1949).
3.PENDAPAT TENTANG MR ALI SASTROMIDJOJO
Raden Dr. Ali Sastroamidjojo merupakan seorang politikus yang ulung. Terlihat dari diraihnya
gelar Master in de Rechten dari Universitas Leiden, keberhasilan KAA, tercatatnya Ia sebagai
perdana menteri cabinet Ali Sastroamidjojo 1&2, serta jabatan penting lainnya sudah cukup
membuktikan jika Ia merupakan politikus yang ulung.
Tak lupa, Ia merupakan tokoh penting dalam KAA. Ia merupakan penggagas dan ketua KAA
yang diselenggarakan di Bandung tahun 1955 yang tercatat dalam sejarah. Konferensi Asia
Afrika pertama menghasilkan Dasasila Bandung. Dari sejak saat itu pula, Indonesia menjadi
perhatian dunia. Utamanya, karena Ali Sastroamidjojo berhasil mendatangkan pemimpin dari
negeri Tiongkok yang sedang terisolir oleh Amerika dan Inggris. Dari pertemuan pertama di
Bandung, Konferensi Asia Afrika berlanjut hingga memunculkan pertemuan lanjutan yang
menghasilkan gerakan Non Blok pada tahun 1961.
Namun, meskipun Mr. Ali tercatat sebagai penggagas dan ketua pelaksana KAA, penghormatan
yang diberikan negara kepadanya seakan tak sepadan. Meski dimakamkan di Taman Pahlawan
Kalibata, tokoh yang wafat di Jakarta 13 Maret 1975 itu belum tercatat sebagai Pahlawan
Nasional.
4. DAFTAR PUSTAKA