Anda di halaman 1dari 19

BAGIAN KULIT DAN KELAMIN REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2018


UNIVERSITAS HASANUDDIN

PATOGENESIS URTIKARIA AKUT DAN ANGIOEDEMA

DISUSUN OLEH :
Fadlul Laila C014172015
Nurdina Takdir C014172047
Jusma Wijaya Kusuma Geswar C014172084
Chusnul Khotimah C014172070
Rizal Talalu C014181031

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Gede Putra Kartika

DOSEN PEMBIMBING :
Dr. dr. Faridha Ilyas, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
BAB I

1.1 PENDAHULUAN
Urtikaria yang biasa disebut juga sebagai hives memiliki sejarah
panjang dan dikenal sejak abad ke-10 SM. Sinonim dari urtika adalah
hives, nettle rash, biduran, atau kaligata. Urtikaria sering dikatakan sebagai
penyakit alergi pada kulit yang utama yang mengenai lengan dan kaki.

Studi prevalensi urtikaria pada tahun 2004 didapatkan hasil bahwa


di Spanyol dari 5004 orang dewasa ditemukan bahwa titik prevalensi
urtikaria kronis adalah 0,6%. Dalam sebuah penelitian Jerman tahun 2010
pada 4.593 orang dewasa, Prevalensi semua jenis urtikaria adalah 8,8%,
meningkat secara signifikan dari tahun sebelumnya, dimana prevalensi
semua bentuk urtikaria adalah 0,8%. Sebuah studi di Norwegia pada 4992
orang berusia 15 sampai 70 tahun, semasa hidupnya terkena urtikaria
sebanyak 9%. Di arab saudi dari 854 responden didapatkan 64%
diantaranya pernah mengalami urtikaria, jauh lebih tinggi dari tingkat rata-
rata yang dilaporkan. Data serupa untuk Australia, Indonesia , dan
Selandia Baru tidak tersedia.

Berdasarkan durasinya, urtikaria dibedakan menjadi urtikaria akut


dan kronis. Urtikaria akut terjadi <6 minggu, apabila >6 minggu disebut
sebagai urtikaria kronis. Urtikaria akut dan angioedema dibedakan dari
urtikaria kronik berdasarkan durasi penyakit. Klasifikasi berdasarkan
durasi sangat penting untuk mengetahui patogenesis dan menentukan
terapi. Paling sering episode akut pada anak-anak adalah karena reaksi
merugikan atau efek samping dari makanan atau karena penyakit-penyakit
virus. Episode urtikaria yang persisten melebihi 6 minggu disebut kronik
dan paling sering adalah urtikaria idiopatik atau urtikaria yang disebabkan
karena autoimun.

Urtikaria akut lebih sering dijumpai dan biasanya cepat


menghilang, tetapi identifikasi etiologi penting untuk mencegah
kekambuhan. Penyebab umum urtikaria akut sebagian besar dapat
diketahui melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh, jarang
dibutuhkan pemeriksaan penunjang. Pada anak, penyebab yang sering
adalah infeksi virus dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Makanan
dan obat-obatan, seperti antibiotik dan NSAID (nonsteroidal anti-
inflammatory drug), dapat sebagai penyebab pada anak ataupun dewasa.
Tes diagnostik hanya diindikasikan apabila dicurigai didasari oleh alergi
tipe I.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Urtikaria akut adalah reaksi vascular pada kulit, ditandai dengan adanya
edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, bewarna pucat
atau kemerahan, umumnya di kelilingi oleh halo kemerahan (flare) dan disertai
rasa gatal yang berat, rasa tersengat atau tertusuk.

2.2 Epidemiologi
Urtikaria dan angioedema merupakan gangguan yang sering dijumpai.
Faktor usia, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografis dan musim
mempengaruhui jenis pajanan yang akan di alami seseorang. Urtikaria
dikenal ada dua macam, urtikaria akut dan kronis Urtikaria atau angioedema
digolongkan sebagai akut bila berlangsung kurang dari 6 minggu, seringkali
dihubungkan dengan keadaan alergi, ,dan di anggap kronis bila lebih dari 6
minggu dan biasanya mengenai orang berusia pertengahan dan cendrung
kambuh ulang. Urtikaria kronis umumnya dialami oleh orang dewasa, dengan
perbandingan perempuan:laik-laki 2:1. Sebagian besar anak-anak (85%) yang
mengalami urtikaria, tidak disertai angioedema. Sedangkan 40% dewasa yang
mengalami urtikaria, juga mengalami angioedema. Sekitar 50% pasien
urtikaria kronis akan sembuh dalam waktu 1 tahun, 65% sembuh dalam
waktu3 tahun dan 85% akan sembuh dalam waktu 5 tahun. Pada kurang dari
5% pasien, lesi akan menetap lebih dari 10 tahun.

2.3 Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui
penyebabnya. Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, diantaranya :
1) Obat-obatan
Bermacam-macam obat yang dapat menimbulkan urtikaria akut,
baik secara imunologi maupun non imunologk. Hampir semua obat
sistemik menimbulkan urtikaria akut secara imunologik tipe I atau
II. Contohnya ialah obat-obat golongan penisilin, sulfonamid,
analgesik, dan diuretik.
2) Makanan
Peranan makan lebih berpengaruh pada urtikaria akut, umumnya
akibat reaksi imunologik.
3) Gigitan/sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika
setempat, yang berperan dalam hal ini lebih banyak diperantarai
oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).
4) Fotozensitizer
Bahan semacam ini misalnya griseofulvin, fenotiasin, sulfonamid,
dan bahan kosmetik.
5) Inhalan
Ihalan berupa serbuk sari bunga, spora jamur, debu, bulu binatang,
dan aerosol.
6) Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria adalah kutu
binatang, serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, dan
insect repellent.
7) Trauma fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas,
dan faktor tekanan.

8) Infeksi dan infestasi


Bermacam-macam infeksi yang dapat menimbulkan urtikaria,
misalnya infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit.
9) Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler.
10) Genetik
Faktor genetik dapat berperan dalam timbulnya urtikaria, walaupun
jarang.
11) Penyakit sistemik.
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan
urtikaria, reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-
antibodi. Penyakit vesiko-bulosa, misalnya pemfigus dan
dermatitis herpetiformis Duhring, sering menimbulkan urtikaria.2

2.4 Patogenesis

Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler


yang meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan
pengumpulan cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema
setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator, misalnya
histamin, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis
(SRSA), dan prostaglandin oleh sel mas dan atau basofil.2

Gambar 2.1. Patogenesis Urtikaria


Kompartemen cairan tubuh
Air (H2O) adalah komponen tubuh manusia yang paling banyak,
rata-rata membentuk 60% berat tubuh, tetapi berkisar dari 40% sampai
80%. Air di dalam tubuh tersebar antara dua kompartemen cairan utama
yaitu cairan di dalam sel, cairan intrasel (CIS), dan cairan yang
mengelilingi sel, cairan ekstrasel (CES). Kata "H2O" dan "cairan"
sering dipertukarkan. Meskipun pemakaian ini tidak sepenuhnya tepat,
karena mengabaikan zat-zat terlarut dalam cairan tubuh, namun masih
dapat diterima dalam membahas volume total cairan, karena sebagian
besar dari cairan ini terdiri dari H2O. (Sherwood, lauralee. 2011; Fox,
Stuart Ira. 2011)
Kompartemen CIS membentuk sekitar dua pertiga dari cairan
tubuh total. Sepertiga sisanya dari cairan total tubuh terdapat pada
kompartemen CES. CES terdiri dari plasma darah dan cairan
interstisium. Plasma darah membentuk sekitar seperlima dari volume
CES. Cairan interstisium adalah cairan di ruang antarsel yang
membentuk empat perlima dari volume CES. Cairan ini melakukan
pertukaran zat dengan sel. (Sherwood, lauralee. 2011 ; Fox, Stuart Ira.
2011)
Dua komponen CES yaitu plasma darah dan cairan interstisium
dipisahkan oleh dinding pembuluh darah. Komponen dalam plasma
darah kecuali protein plasma terus menerus dan bebas mengalir
kedalam cairan interstisium secara pasif menembus dinding kapiler tipis
yang berpori. Setiap perubahan pada salah satu dari komponen CES
tersebut akan mempengaruhi kompartemen yang lain karena saling
berkaitan. Berbeda dari komponen plasma darah dan cairan interstisium
yang sangat mirip, komponen CES sangat berbeda dari komponen CIS.
Setiap sel dikelilingi oleh membran plasma yang sangat selektif yang
memungkinkan lewatnya bahan tertentu tetapi menolak bahan yang
lain. Perpindahan menembus sawar membran ini terjadi secara aktif dan
pasif. Perbedaan antara CES dan CIS antara lain adalah (1) adanya
protein sel di CIS yang tidak dapat menembus membran untuk keluar
sel dan (2) distribusi Na dan K. (Sherwood, lauralee. 2011)
Empat gaya yang mempengaruhi perpindahan cairan melewati
dinding kapiler, yaitu (l) tekanan darah kapiler adalah tekanan cairan
atau hidrostatik yang dihasilkan oleh darah pada bagian dalam dinding
kapiler. Tekanan ini cenderung mendorong cairan keluar dari kapiler ke
dalam cairan interstisium. (2) Tekanan osmotik koloid (onkotik) plasma
adalah gaya yang menarik cairan ke dalam kapiler (perpindahan air dari
daerah dengan konsentrasi air tinggi di cairan interstisium ke daerah
dengan konsentrasi air rendah di plasma). (3) Tekanan hidrostatik
cairan interstisium adalah tekanan yang ditimbulkan oleh cairan
interstisium pada bagian luar dinding kapiler. Tekanan ini cenderung
mendorong cairan masuk ke dalam kapiler. (4) Tekanan osmotik koloid
(onkotik) cairan interstisium adalah gaya lain yang secara normal tidak
berperan signifikan. Sebagian kecil protein plasma yang bocor
menembus dinding kapiler ke dalam cairan interstisium normalnya
dikembalikan ke darah melalui sistem limfe. Karena itu, konsentrasi
protein di cairan interstisium sangat rendah, dan tekanan osmotik koloid
cairan interstisium mendekati nol. (Sherwood, lauralee. 2011)
Karena itu, dua tekanan yang cenderung mendorong cairan keluar
kapiler adalah tekanan darah kapiler dan tekanan osmotik koloid cairan
interstisium. Dua tekanan yang cenderung mendorong cairan ke dalam
kapiler adalah tekanan osmotik koloid plasma dan tekanan hidrostatik
cairan interstisium.

Patofisiologi Udema
Pembengkakan jaringan akibat kelebihan cairan interstisium dikenal
sebagai edema. Penyebab edema dapat dikelompokkan menjadi empat
kategori umum yaitu (1) berkurangnya konsentrasi protein plasma
menurunkan tekanan osmotik koloid plasma. Penurunan tekanan masuk
utama ini menyebabkan kelebihan cairan yang keluar sementara cairan
yang direabsorpsi lebih sedikit daripada normal, karena itu kelebihan
cairan tersebut tetap berada di ruang interstisium. (2) Meningkatnya
permeabilitas dinding kapiler (tekanan hidrostatik) memungkinkan
lebih banyak protein plasma yang keluar dari plasma ke dalam cairan
interstisium sekitar. (3) Meningkatnya tekanan vena, seperti ketika
darah terbendung di vena, menyebabkan peningkatan tekanan darah
kapiler karena kapiler mengalirkan isinya ke dalam vena. (4) Sumbatan
pembuluh limfe menyebabkan edema karena kelebihan cairan filtrasi
tertahan di cairan interstisium dan tidak dapat dikembalikan ke darah
melalui pembuluh limfe. (Sherwood, lauralee. 2011)

Patofisiologi angioedema
Terjadinya reaksi alergi yang melibatkan histamin dan mediator
inflamasi lainnya dapat meningkatkan permeabilitas dinding kapiler
yang memungkinkan lebih banyak protein plasma yang keluar dari
plasma darah ke dalam cairan interstisium sekitar melalui pelebaran
pori kapiler. Hal itu menyebabkan terjadinya penurunan tekanan
osmotik koloid (tekanan onkotik) plasma. Penurunan tekanan onkotik
plasma yang terjadi menurunkan tekanan masuk efektif, sementara
peningkatan tekanan onkotik cairan interstisium yang terjadi akibat
peningkatan protein di cairan interstisium meningkatkan gaya keluar
efektif. Ketidakseimbangan tersebut menyebabkan terjadinya
angioedema. (Sherwood, lauralee. 2011)

Patomekanisme Hipersensitivitas
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas diklasifikasikan
menjadi 4 tipe, yaitu tipe I, II, III dan IV. Reaksi hipersensitivitas tipe I
yang disebut juga reaksi anafilaktik atau reaksi alergi.

Reaksi alergi terjadi akibat peran mediator-mediator alergi. Yang


termasuk sel mediator adalah sel mast, basofil, dan trombosit. Sel mast
dan basofil mengandung mediator kimia yang poten untuk reaksi
hipersensitivitas tipe cepat. Mediator tersebut adalah histamin, newly
synthesized mediator, ECF-A, PAF, dan heparin (Arwin, 2008).
Mekanisme alergi terjadi akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap
alergen tertentu, yang berikatan dengan mediator alergi yaitu sel mast
(Antonius, 2009; Baratawijaya 2011). Reaksi alergi dimulai dengan
cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil
dengan alergen. Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan
sistem nukleotida siklik yang meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP
dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan menyebabkan
pelepasan mediator lain (Arwin, 2008)

Mediator histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus


yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular
menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah
yang lebih besar menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos.
Selanjutnya histamin meninggikan permeabilitas kapiler dan venula
pasca kapiler. Perubahan vaskular ini menyebabkan respon wheal-flare
(triple respons dari Lewis) dan bila terjadi sistemik dapat menimbulkan
hipotensi, urtikaria dan angioderma.

Gambar 2.2. Respon hipersensitivitas tipe 1

(Sumber: Kuby Immunology, Sixth Ed.)


2.5 Gambaran Klinis

Rasa gatal yang hebat hampir selalu merupakan keluhan subyektif


urtikaria, dapat juga timbul rasa terbakar atau rasa tertusuk. Secara klinis
tampak lesi urtika (eritema dan edema setempat yang berbatas tegas)
dengan berbagai bentuk dan ukuran. Kadang-kadang bagian tengah lesi
tampak lebih pucat. Bila terlihat urtika dengan bentuk papular, patut
dicurigai adanya gigitan serangga atau sinar ultraviolet sebagai penyebab

Bila lesi melibatkan jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan
subkutis atau submukosa, akan terlihat edema dengan batas difus dan
disebut angioedema. Rasa gatal umumnya tidak dijumpai pada
angioedema, namun terdapat rasa terbakar. Angioedema sering dijumpai di
kelopak mata dan bibir. Bila angioedema terjadi di mukosa saluran napas
dapat terjadi sesak napas, suara serak dan rinitis. Angioedema di saluran
cema bermanifestasi sebagai rasa mual, muntah, kolik abdomen dan diare.
Urtikaria akibat tekanan mekanis dapat dijumpai pada tempat-tempat yang
tertekan pakaian misalnya di sekitar pinggang, bentuknya sesuai dengan
tekanan yang menjadi penyebab Pada pasien seperti ini, uji dermografisme
menimbulkan lesi urtika yang linier pada kult setelah digores dengan
benda tumpul.

Urtikaria kolinergik memberikan gambaran klinis yang khas, yaitu


urtika dengan ukuran kecil 2-3 mm, folikular, dan dipicu oleh peningkatan
suhu tubuh akibat latihan fisik, suhu lingkungan yang sangat panas dan
emosi. Urtikaria kolinergi terutama dialami oleh remaja dan dewasa muda.
2.6 Klasifikasi

2.7 Diagnosis

Urtikaria akut
Anamnesis

 Keluhan subjektif : Pruritus, rasa terbakar atau tertusuk. Lesi bersifat hilang
timbul dan sementara
 Berlangsung tidak lebih dari 6 minggu (Fitzpatrick’s, 2012)

Pemeriksaan Fisik

 Efloresensi:
 Eritema dan edema ukuran kecil hingga besar
 Bentuk: Bulat, oval, acriformis (setengah lingkaran), annular (cincin)
 Batas tegas, kadang bagian tengah tampak lebih pucat
 Distribusi: Regional atau generalisata

Angioedema
Anamnesis

 Keluhan subjektif : Kulit bengkak yang terasa nyeri atau terbakar


 Angioedema di mukosa saluran napas dapat terjadi sesak napas, suara serak,
dan rinitis
 Angioedema di saluran cerna bermanifestasi sebagai rasa mual, muntah,
kolik abdomen dan diare

Pemeriksaan Fisik

 Edema subkutan dan jaringan submucosa


 Efloresensi:
 Edema
 Batas difus
 Predileksi: Wajah (bibir, pipi, periorbital), ekstremitas, saluran napas bagian
atas seperti lidah, faring atau laring.

Gambar 2.3. Urtikaria pada wajah, leher, dan dada dengan


angioedema di mata
Gambar 2.4. Dermografisme

Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya
infeksi yang tersembunyi
 Pemeriksaan IgE total, eosinophil dan komplemen untuk mencari
kemungkinan kaitannya dengan factor atopi
 Pemeriksaan gigi, THT dan usapan genitalia interna wanita untuk mencari
focus infeksi
 Uji tusuk (Prick test) terhadap berbagai makanan dan inhalan
 Uji dermografisme dan uji dengan es batu (ice cube test) untuk mencari
penyebab fisik
 Pemeriksaan histopatologi kulit bila terdapat kemungkinan urtikaria
sebagai gejala vaskulitis atau mastositosis

2.8 Penatalaksanaan Urtikaria Akut dan Angioedema

Tatalaksana urtikaria dan angioedema terdiri dari 2 hal utama, yaitu:


1. Identifikasi Dan Eliminasi Faktor Penyebab Atau Pencetus
Identifikasi faktor penyebab membutuhkan diagnostik secara
menyeluruh dan tepat. Jika didapatkan perbaikan setelah eliminasi factor
yang diduga menjadi penyebab, faktor ini baru bisa disimpulkan sebagai
penyebab jika terjadi kekambuhan setelah tes provokasi ( Bernstein et al.
2017).

2. Terapi Simptomatis
Tujuan utama terapi simptomatis melalui medikamentosa adalah
menghilangkan keluhan. Berikut merupakan terapi medicamentosa untuk
angioedema.( Aisyah. Urtikaria dan angioedema. 2016)

Terapi lini pertama untuk urtikaria adalah antihistamin H1 non


sedatif/generasi kedua seperti azelastine, bilastine, cetirizine, deslorataine,
ebastine, fexofenadine, levocetirizine, loratadine, mizolastine, dan
rupatadine yang dikonsumsi secara teratur, bukan hanya digunakan ketika
lesi muncul. Pemberian antihistamin tersebut harus mempertimbangkan
usia, status, kehamilan, status kesehatan dan respon individu. Bila gejala
menetap setelah 2 minggu, diberikan terapi lini kedua yaitu dosis AH1
dinaikkan, dapat mencapai 4 kali dosis biasa, dengan mempertimbangkan
ukuran tubuh pasien. Bila gejala menetap setelah 1-4 minggu, dianjurkan
penggunaan terapi lini ketiga yaitu mengubah jenis antihistamin menjadi
AH1 sedasi atau AH1-ns golongan lain, ditambah dengan antagonis
leukotrien, misalnya zalfirkulast atau montelukast (Aisyah. Urtikaria dan
angioedema. 2016).

Dalam terapi lini ketiga ini, bila muncul eksaserbasi, dapat


diberikan kortikosteroid sistemik (dosis 10-30 mg prednison) selama 3-7
hari. Dalam tatalaksana urtikaria, selain terapi sistemik, juga dianjurkan
untuk pemberian terapi topikal untuk mengurangi gatal, berupa bedak
kocok atau losio yang mengandung mentol 0,5-1 % atau kalamin (Aisyah.
Urtikaria dan angioedema. 2016).
Sementara terapi medikamentosa untuk angioedema dapat
diberikan:

1. Allergic Angioedema
a. Antihistamin
Antihistamin dianggap sebagai agen lini kedua dalam pengobatan
angioedema dengan tanda-tanda anafilaksis.Secara klinis dasar
pengobatan pada angioedema dipercayakan kepada efek antagonis
terhadap histamin pada reseptor H1 misalnya difenhidramin. Orang
dewasa menerima dosis 25 hingga 50 mg IV. Dosis untuk anak-anak
adalah 1 mg / kg IV (hingga 50 mg). Rute pemberian antihistamin untuk
gejala alergi ringan berhubungan dengan angioedema sering diberikan
lewat oral. (Bernstein et al. 2017)
Bila pengobatan dengan satu jenis antihistamin gagal hendaknya
dipergunakan antihistamin group lain. Hasil pengamatan membuktikan
dinding pembuluh darah manusia juga mempunyai reseptor H2. Hal ini
dapat menerangkan bahwa kombinasi antihistamin H1 dan H2 dapat
mengatatasi urtikaria.(Aisyah. Urtikaria. 2016)
b. Epinefrin

Epinefrin berkerja pada alpha-1 reseptor menghasilkan


vasokonstriksi. Epinefrin merupakan obat pilihan untuk angioedema
terkait dengan anafilaksis. Rute pemberian epinefrin yang sering
diberikan adalah intramuskular (IM), yaitu pada daerah anterolateral
aspek sepertiga tengah paha. (Bernstein et al. 2017)
Dosis awal pada orang dewasa adalah 0,2 mL hingga 0,5 ml(0,2-
0,5 mg) dengan pengenceran 1: 1000 (1 mg / mL). Ini diulang setiap 5
hingga 15 menit sesuai kebutuhan. Dosis untuk anak-anak adalah 0,01
mg / kg (maksimum 0,3 mg) dengan pengenceran 1: 1000. (Bernstein et
al. 2017)
c. Steroid

Kortikosteroid sistemik banyak digunakan dalam bidang


dermatologi karena obat tersebut mempunyai efek imunosupresan dan
anti-inflamasi. Penggunaan steroid dalam Type I immediate
hypersensitivity reactions didasarkan pada penghambatan terhadap sel T
helper dan produksi mediator inflamasi seperti leukotrin, prostaglandin,
histamin, dan bradikinin.( Bernstein et al. 2017)

2. Acquired angioedema
Konsentrat C1 INH 500-2000 U/IV dan fresh-frozen plasma sebanyak 2
U secara intavena adalah perawatan pilihan untuk episode akut AAE.
Selain itu,androgen lainnya disusutkan seperti Stanozolol 1-4mg/hari
atau Danazol 50-600mg/hari digunakan untuk pengobatan AAE.( R.
Gentry Wilkerson et al.2013)
3. Hereditary angioedema

Pasien dengan HAE harus menghindari mengambil ACE inhibitor


dan kontrasepsi estrogen. Perawatan pilihan untuk episode akut HAE
adalah konsentrat C1 INH yang berasal dari plasma. Selain itu,
pengobatan dengan 1-2 U/ IV fresh-frozen plasma, yang mengandung C1
INH,telah terbukti seefektif konsentrat C1 INH. Androgen yang
dilemahkan, seperti danazol, telah digunakan selama bertahun-tahun
untuk profilaksis kronis HAE. Androgen bekerja dengan meningkatkan
produksi hati C1 INH. Dosis efektif terendah harus digunakan, dengan
dosis maksimum 600 mg setiap hari.4 Efek samping termasuk virilisasi,
pertambahan berat badan, dan disfungsi hati.( Bernstein et al. 2017; R.
Gentry Wilkerson et al.2013)
4. Idiopathic Recurrent Angioedema

Pemberian antihistamin setiap hari adalah terapi profilaksis awal.


Pasien harus dievaluasi kembali setiap 3 sampai 4 bulan untuk
menentukan
apakah ada gejala baru atau terindenfikasi perkembangan pemicu yang
sementara. (R. Gentry Wilkerson et al.2013)

5. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor-Induced Angioedema


Jika angioedema disebabkan oleh ACE-inhibitor tertentu, maka
pasien harus menghindari kesemua ACE-inhibitor pada masa akan
datang.( R. Gentry Wilkerson et al.2013)

2.9 Prognosis Urtikaria Akut dan Angioedema


Prognosis urtikaria akut umumnya baik, bisa hilang dalam 24 jam.
Urtikaria akut hampir tidak pernah menimbulkan kematian, kecuali bila
disertai angioedema saluran napas bagian atas. Pada anak-anak, 20-30 %
urtikaria akut akan berkembang menjadi urtikaria kronik dan angka
hospitalisasi meningkat 3 kali lipat pada usia 0-4 tahun.

Angioedema yang disertai urtikaria secara umum dapat sembuh sendiri


pada pasien pediatri. Pada pasien dengan angioedema herediter, onset dari
gejala sering terjadi saat masa remaja. Morbiditas bervariasi pada tiap kasus.
Pada beberapa pasien, serangan akut terjadi sekali dalam beberapa tahun,
namun bisa juga terjadi beberapa kali serangan pertahun. Morbiditas berubah
setelah terapi dimulai. Onset tiba-tiba dari edema laring yang parah dapat
menyebabkan kematian. Dulu, tingkat mortalitas dari serangan yang
melibatkan jalur napas bagian atas mencapai 25%. Nyeri abdomen berat bias
menyebabkan pasien mengalami operasi yang sebenarnya tidak diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

Boediardja, Siti Aisah. 2016 Urtikaria dan Angioedema. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Soter, Allen. Urticaria and Angioedema. Fitzpatrick’s Dermatology In General


Medicine. Terj. Freedberg, Eisen, Wolff, Austen. 2012. Edisi 8
McGraw-Hill Inc: New York

Bernstein,Jonathan A.et al.2014.The Diagnosis and Management of Acute and


Cronic Urticaria.Journal Allergy Clin Immunol.vol.133.no.5.

Sherwood, lauralee. 2011. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem Ed. 6. Jakarta :
EGC

Godse, Kiran. et al. 2018. Consensus Statement for the Diagnosis and Treatment
of Urticaria. Indian Journal of Dermatology.

Anda mungkin juga menyukai