Refarat Urtikaria
Refarat Urtikaria
DISUSUN OLEH :
Fadlul Laila C014172015
Nurdina Takdir C014172047
Jusma Wijaya Kusuma Geswar C014172084
Chusnul Khotimah C014172070
Rizal Talalu C014181031
RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Gede Putra Kartika
DOSEN PEMBIMBING :
Dr. dr. Faridha Ilyas, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
1.1 PENDAHULUAN
Urtikaria yang biasa disebut juga sebagai hives memiliki sejarah
panjang dan dikenal sejak abad ke-10 SM. Sinonim dari urtika adalah
hives, nettle rash, biduran, atau kaligata. Urtikaria sering dikatakan sebagai
penyakit alergi pada kulit yang utama yang mengenai lengan dan kaki.
2.1 Definisi
Urtikaria akut adalah reaksi vascular pada kulit, ditandai dengan adanya
edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, bewarna pucat
atau kemerahan, umumnya di kelilingi oleh halo kemerahan (flare) dan disertai
rasa gatal yang berat, rasa tersengat atau tertusuk.
2.2 Epidemiologi
Urtikaria dan angioedema merupakan gangguan yang sering dijumpai.
Faktor usia, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografis dan musim
mempengaruhui jenis pajanan yang akan di alami seseorang. Urtikaria
dikenal ada dua macam, urtikaria akut dan kronis Urtikaria atau angioedema
digolongkan sebagai akut bila berlangsung kurang dari 6 minggu, seringkali
dihubungkan dengan keadaan alergi, ,dan di anggap kronis bila lebih dari 6
minggu dan biasanya mengenai orang berusia pertengahan dan cendrung
kambuh ulang. Urtikaria kronis umumnya dialami oleh orang dewasa, dengan
perbandingan perempuan:laik-laki 2:1. Sebagian besar anak-anak (85%) yang
mengalami urtikaria, tidak disertai angioedema. Sedangkan 40% dewasa yang
mengalami urtikaria, juga mengalami angioedema. Sekitar 50% pasien
urtikaria kronis akan sembuh dalam waktu 1 tahun, 65% sembuh dalam
waktu3 tahun dan 85% akan sembuh dalam waktu 5 tahun. Pada kurang dari
5% pasien, lesi akan menetap lebih dari 10 tahun.
2.3 Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui
penyebabnya. Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, diantaranya :
1) Obat-obatan
Bermacam-macam obat yang dapat menimbulkan urtikaria akut,
baik secara imunologi maupun non imunologk. Hampir semua obat
sistemik menimbulkan urtikaria akut secara imunologik tipe I atau
II. Contohnya ialah obat-obat golongan penisilin, sulfonamid,
analgesik, dan diuretik.
2) Makanan
Peranan makan lebih berpengaruh pada urtikaria akut, umumnya
akibat reaksi imunologik.
3) Gigitan/sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika
setempat, yang berperan dalam hal ini lebih banyak diperantarai
oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).
4) Fotozensitizer
Bahan semacam ini misalnya griseofulvin, fenotiasin, sulfonamid,
dan bahan kosmetik.
5) Inhalan
Ihalan berupa serbuk sari bunga, spora jamur, debu, bulu binatang,
dan aerosol.
6) Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria adalah kutu
binatang, serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, dan
insect repellent.
7) Trauma fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas,
dan faktor tekanan.
2.4 Patogenesis
Patofisiologi Udema
Pembengkakan jaringan akibat kelebihan cairan interstisium dikenal
sebagai edema. Penyebab edema dapat dikelompokkan menjadi empat
kategori umum yaitu (1) berkurangnya konsentrasi protein plasma
menurunkan tekanan osmotik koloid plasma. Penurunan tekanan masuk
utama ini menyebabkan kelebihan cairan yang keluar sementara cairan
yang direabsorpsi lebih sedikit daripada normal, karena itu kelebihan
cairan tersebut tetap berada di ruang interstisium. (2) Meningkatnya
permeabilitas dinding kapiler (tekanan hidrostatik) memungkinkan
lebih banyak protein plasma yang keluar dari plasma ke dalam cairan
interstisium sekitar. (3) Meningkatnya tekanan vena, seperti ketika
darah terbendung di vena, menyebabkan peningkatan tekanan darah
kapiler karena kapiler mengalirkan isinya ke dalam vena. (4) Sumbatan
pembuluh limfe menyebabkan edema karena kelebihan cairan filtrasi
tertahan di cairan interstisium dan tidak dapat dikembalikan ke darah
melalui pembuluh limfe. (Sherwood, lauralee. 2011)
Patofisiologi angioedema
Terjadinya reaksi alergi yang melibatkan histamin dan mediator
inflamasi lainnya dapat meningkatkan permeabilitas dinding kapiler
yang memungkinkan lebih banyak protein plasma yang keluar dari
plasma darah ke dalam cairan interstisium sekitar melalui pelebaran
pori kapiler. Hal itu menyebabkan terjadinya penurunan tekanan
osmotik koloid (tekanan onkotik) plasma. Penurunan tekanan onkotik
plasma yang terjadi menurunkan tekanan masuk efektif, sementara
peningkatan tekanan onkotik cairan interstisium yang terjadi akibat
peningkatan protein di cairan interstisium meningkatkan gaya keluar
efektif. Ketidakseimbangan tersebut menyebabkan terjadinya
angioedema. (Sherwood, lauralee. 2011)
Patomekanisme Hipersensitivitas
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas diklasifikasikan
menjadi 4 tipe, yaitu tipe I, II, III dan IV. Reaksi hipersensitivitas tipe I
yang disebut juga reaksi anafilaktik atau reaksi alergi.
Bila lesi melibatkan jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan
subkutis atau submukosa, akan terlihat edema dengan batas difus dan
disebut angioedema. Rasa gatal umumnya tidak dijumpai pada
angioedema, namun terdapat rasa terbakar. Angioedema sering dijumpai di
kelopak mata dan bibir. Bila angioedema terjadi di mukosa saluran napas
dapat terjadi sesak napas, suara serak dan rinitis. Angioedema di saluran
cema bermanifestasi sebagai rasa mual, muntah, kolik abdomen dan diare.
Urtikaria akibat tekanan mekanis dapat dijumpai pada tempat-tempat yang
tertekan pakaian misalnya di sekitar pinggang, bentuknya sesuai dengan
tekanan yang menjadi penyebab Pada pasien seperti ini, uji dermografisme
menimbulkan lesi urtika yang linier pada kult setelah digores dengan
benda tumpul.
2.7 Diagnosis
Urtikaria akut
Anamnesis
Keluhan subjektif : Pruritus, rasa terbakar atau tertusuk. Lesi bersifat hilang
timbul dan sementara
Berlangsung tidak lebih dari 6 minggu (Fitzpatrick’s, 2012)
Pemeriksaan Fisik
Efloresensi:
Eritema dan edema ukuran kecil hingga besar
Bentuk: Bulat, oval, acriformis (setengah lingkaran), annular (cincin)
Batas tegas, kadang bagian tengah tampak lebih pucat
Distribusi: Regional atau generalisata
Angioedema
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya
infeksi yang tersembunyi
Pemeriksaan IgE total, eosinophil dan komplemen untuk mencari
kemungkinan kaitannya dengan factor atopi
Pemeriksaan gigi, THT dan usapan genitalia interna wanita untuk mencari
focus infeksi
Uji tusuk (Prick test) terhadap berbagai makanan dan inhalan
Uji dermografisme dan uji dengan es batu (ice cube test) untuk mencari
penyebab fisik
Pemeriksaan histopatologi kulit bila terdapat kemungkinan urtikaria
sebagai gejala vaskulitis atau mastositosis
2. Terapi Simptomatis
Tujuan utama terapi simptomatis melalui medikamentosa adalah
menghilangkan keluhan. Berikut merupakan terapi medicamentosa untuk
angioedema.( Aisyah. Urtikaria dan angioedema. 2016)
1. Allergic Angioedema
a. Antihistamin
Antihistamin dianggap sebagai agen lini kedua dalam pengobatan
angioedema dengan tanda-tanda anafilaksis.Secara klinis dasar
pengobatan pada angioedema dipercayakan kepada efek antagonis
terhadap histamin pada reseptor H1 misalnya difenhidramin. Orang
dewasa menerima dosis 25 hingga 50 mg IV. Dosis untuk anak-anak
adalah 1 mg / kg IV (hingga 50 mg). Rute pemberian antihistamin untuk
gejala alergi ringan berhubungan dengan angioedema sering diberikan
lewat oral. (Bernstein et al. 2017)
Bila pengobatan dengan satu jenis antihistamin gagal hendaknya
dipergunakan antihistamin group lain. Hasil pengamatan membuktikan
dinding pembuluh darah manusia juga mempunyai reseptor H2. Hal ini
dapat menerangkan bahwa kombinasi antihistamin H1 dan H2 dapat
mengatatasi urtikaria.(Aisyah. Urtikaria. 2016)
b. Epinefrin
2. Acquired angioedema
Konsentrat C1 INH 500-2000 U/IV dan fresh-frozen plasma sebanyak 2
U secara intavena adalah perawatan pilihan untuk episode akut AAE.
Selain itu,androgen lainnya disusutkan seperti Stanozolol 1-4mg/hari
atau Danazol 50-600mg/hari digunakan untuk pengobatan AAE.( R.
Gentry Wilkerson et al.2013)
3. Hereditary angioedema
Boediardja, Siti Aisah. 2016 Urtikaria dan Angioedema. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Sherwood, lauralee. 2011. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem Ed. 6. Jakarta :
EGC
Godse, Kiran. et al. 2018. Consensus Statement for the Diagnosis and Treatment
of Urticaria. Indian Journal of Dermatology.