)
DALAM RANSUM AYAM BROILER RENDAH ENERGI
DAN PROTEIN TERHADAP ENERGI METABOLIS
DAN RETENSI PROTEIN
SKRIPSI
GIANT NOMAN PRACEKA
Kualitas ransum dapat dilihat dari kandungan protein dan energinya. Untuk
mendapatkan kadar protein dan energi yang tinggi dalam ransum, dibutuhkan biaya
produksi yang cukup tinggi. Kencur merupakan salah satu jenis tanaman tradisional
Indonesia yang bisa digunakan sebagai tanaman obat. Tanaman ini bermanfaat untuk
menambah nafsu makan, menghilangkan pegal linu dan memperlancar aliran darah
serta saluran pencernaan. Hal ini dikarenakan pada kencur terdapat beberapa
senyawa aktif saponin, flavonoid, polifenoid dan minyak atsiri yang mempunyai
peranan yang spesifik. Senyawa aktif ini diharapkan dapat menstimulir pencernaan
protein dan energi pada ayam broiler dan menghentikan penggunaan antibiotik
sebagai pemacu pertumbuhan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur energi metabolis dan retensi
nitrogen pada ayam broiler dengan menggunakan ransum yang rendah energi dan
protein. Penelitian ini menggunakan 18 ekor ayam broiler yang berumur 35 hari.
Ransum yang digunakan yaitu ransum basal dengan kandungan energi metabolis dan
protein sebesar 2.800 kkal/kg dan 18 %, serta ransum kontrol dengan penambahan
tepung kencur pada berbagai taraf (0,3; 0,6; 0,9; dan 1,2%). Pengukuran energi
metabolis dan retensi nitrogen menggunakan metode Sibbald (1980) yang telah
dimodifikasi.
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah ekskresi energi, energi
metabolisme, konsumsi nitrogen, ekskresi nitrogen dan retensi nitrogen (daya cerna
protein). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Data yang diperoleh dianalisa sidik ragam
(Analysis of Variance/ ANOVA).
Penambahan tepung kencur memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap
nilai retensi nitrogen, nilai Energi Metabolis Semu (EMS), Energi Metabolis Murni
(EMM), Energi Metabolis Semu Terkoreksi Nitrogen (EMSn) dan nilai Energi
Metabolis Murni Terkoreksi Nitrogen (EMMn). Nilai rataan retensi nitrogen pada
ternak yang diberi ransum dengan penambahan tepung kencur pada level 0; 0,3; 0,6;
0,9 dan 1,2% adalah 36,09; 37,34; 39,42; 42,53 dan 48,78 %. Rataan nilai EMSn
adalah 3.662,65 – 3.880,82 kkal/kg (%BK) dengan rasio EM/EB 0,82 – 0,86.
Kata-kata Kunci : tepung kencur, ransum basal, energi metabolis, retensi nitrogen
ABSTRACT
Key words : kaemferia galanga powder, basal diet , metabolizable energy, nitrogen
retention
PEMBERIAN TEPUNG KENCUR (Kaemferia galanga linn.)
DALAM RANSUM AYAM BROILER RENDAH ENERGI
DAN PROTEIN TERHADAP ENERGI METABOLIS
DAN RETENSI PROTEIN
Oleh :
GIANT NOMAN PRACEKA
D24103040
Dekan
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
Alhamdulillahi robbil’alamin
Puji dan syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta izin-Nya bagi Penulis untuk
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemberian Tepung Kencur (Kaemferia
galanga linn.) dalam Ransum Broiler Rendah Energi dan Protein terhadap Energi
Metabolis dan Retensi Protein”, yang disusun berdasarkan penelitian yang
dilaksanakan pada bulan Mei dan April tahun 2006 di Laboratorium Ilmu Nutrisi
Ternak Unggas dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Tingginya harga bahan baku (raw materials) dari ransum ayam broiler
membuat output cost menjadi sangat tinggi, sehingga dapat menghambat
perkembangan dari peternak-peternak skala kecil dan menengah. Dengan
menurunkan kadar protein dan energi dalam ransum secara otomatis dapat menekan
biaya yang dikeluarkan untuk ransum.
Penambahan tepung kencur dalam ransum sebagai promotor penyerap nutrisi
pakan, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan ransum yang
mengandung kadar protein dan energi yang rendah, sehingga ransum dengan protein
dan energi yang rendah dapat diserap dengan seefisien mungkin, dengan begitu dapat
menurunkan biaya yang dikeluarkan untuk ransum.
Penulis sangat mengharapkan semoga skripsi yang ditulis dapat bermanfaat
untuk Penulis dan semua pihak yang terkait, atas perhatiannya Penulis mengucapkan
terima kasih.
Bogor, Februari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN.............................................................................................. ii
ABSTRAK................................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................... viii
DAFTAR TABEL........................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xii
PENDAHULUAN
Latar Belakang................................................................................. 1
Perumusan Masalah ......................................................................... 2
Tujuan .............................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA
Kencur.............................................................................................. 3
Tanaman Herbal .............................................................................. 5
Ayam Broiler ................................................................................... 6
Retensi Nitrogen .............................................................................. 7
Energi Metabolis.............................................................................. 9
METODE
Nomor Halaman
Nomor Halaman
1. Sidik Ragam Rataan Nilai Retensi Nitrogen (g)...................................... 38
2. Sidik Ragam Rataan Nilai Retensi Nitrogen (%) .................................... 38
3. Sidik Ragam Rataan Nilai Ekskresi Nitrogen (g).................................... 38
4. Sidik Ragam Rataan Nilai Ekskresi Nitrogen (%)................................... 39
5. Sidik Ragam Rataan Nilai EMS .............................................................. 39
6. Sidik Ragam Rataan Nilai EMM ............................................................. 39
7. Sidik Ragam Rataan Nilai EMSn. ........................................................... 40
8. Sidik Ragam Rataan Nilai EMMn ........................................................... 40
9. Protein dan Energi Bruto Ekskreta. ......................................................... 40
10. Sidik Ragam Rataan Protein Bahan Kering Ekskreta ........................... 41
11. Uji Lanjut Duncan Protein Bahan Kering Ekskreta .............................. 41
12. Sidik Ragam Rataan Ekskresi Energi ................................................... 41
13. Sidik Ragam Rataan Energi Bruto Ekskreta ......................................... 42
14. Uji Lanjut Duncan Energi Bruto Ekskreta ............................................ 42
15. Sidik Ragam Rataan Ekskresi Energi .................................................. 42
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha peternakan ayam broiler merupakan salah satu usaha yang potensial
untuk menghasilkan daging dan banyak menarik minat peternak untuk menjalani
bisnis ini, karena ayam broiler mempunyai karakteristik pertumbuhan yang cepat
dalam waktu yang singkat. Umur yang singkat tersebut menyebabkan perputaran
modal menjadi lebih cepat sehingga banyak yang terlibat dalam bisnis ayam broiler
terutama bila permintaan masyarakat akan daging meningkat.
Permasalahan yang sering dihadapi dalam peternakan adalah penyediaan
ransum, yaitu harga ransum yang dihasilkan mahal, karena bahan baku yang
berkualitas mempunyai harga yang cukup tinggi. Ransum mengambil porsi tempat
yang paling besar yaitu 70%-80% dari biaya pemeliharaan, sehingga pihak produsen
ransum mulai berpikir untuk beralih membuat ransum dengan kandungan protein dan
energi yang lebih minimal, tetapi ransum rendah protein dan energi di pasaran belum
memperlihatkan hasil yang memuaskan.
Protein dan energi dalam ransum yang berkurang, menyebabkan ketersediaan
zat nutrisi untuk berproduksi berkurang. Upaya untuk mengatasi hal ini dapat
dikurangi dengan menambahkan tepung kencur yang mempunyai kandungan
beberapa senyawa aktif seperti saponin, flavonoid, polifenoid dan minyak atsiri yang
diduga dapat meningkatkan efisiensi ransum. Penambahan tepung kencur tersebut
pada ransum yang berenergi dan protein rendah diharapkan dapat dicerna
semaksimal mungkin dalam saluran pencernaan ternak ayam broiler.
Kencur merupakan salah satu jenis tanaman tradisional Indonesia yang dapat
digunakan sebagai tanaman obat. Seluruh bagian tanaman kencur dapat digunakan
dalam bentuk segar atau dikeringkan. Tanaman ini bermanfaat untuk menambah
nafsu makan, menghilangkan pegal linu dan memperlancar aliran darah serta saluran
pencernaan. Hal ini dikarenakan pada kencur terdapat beberapa senyawa aktif seperti
saponin, flavonoid, polifenoid dan minyak atsiri yang mempunyai peranan yang
spesifik. Senyawa aktif ini diharapkan dapat menstimulir pencernaan pada ayam
broiler.
Perumusan Masalah
Biaya ransum memegang porsi terbesar untuk biaya pemeliharaan broiler.
Biaya yang dikeluarkan untuk ransum berbanding lurus dengan kandungan protein
dan energi yang digunakan dalam ransum, semakin tinggi protein dan energi yang
digunakan, maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan dalam pembuatan
ransum tersebut. Jika terjadi penurunan porsi energi dan protein dalam ransum akan
menyebabkan efisiensi ransum rendah.
Kencur merupakan salah satu tanaman obat asli Indonesia yang dipercaya
dapat meningkatkan metabolisme tubuh. Hal ini dikarenakan pada kencur terdapat
zat atau senyawa aktif yang terdiri dari saponin, flavonoid, polifenoid dan minyak
atsiri yang dalam mekanisme kerjanya akan mengurangi populasi bakteri patogen
pada saluran pencernaan dan meningkatkan populasi bakteri non patogen yang
berguna dalam proses penyerapan makanan.
Tepung kencur yang ditambahkan pada ransum ayam broiler rendah protein
dan energi, diharapkan dapat meningkatkan konsumsi, pertambahan bobot badan dan
menurunkan konversi ransum.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur energi metabolis dan retensi
nitrogen ransum ayam broiler yang rendah energi dan protein yang mengandung
tepung kencur.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Herbal
Tanaman herbal yang bermanfaat banyak, sehingga membuat para ilmuwan
mencari dan menelaah, serta meneliti mengenai kandungan, khasiat dan segala
sesuatu yang terkait dengan tanaman herbal. Tanaman dengan ordo atau famili
Zingiberaceae pada umumnya mempunyai kandungan nutrien dan khasiat yang
sama. Kandungan kimia yang umum terkandung dalam tanaman tersebut adalah
minyak atsiri, pati, dan kurkumin.
Menurut Liang et al. (1985) komponen terpenting dari temulawak adalah
kurkuminoid dan minyak atsiri, kadar kurkuminoid dan minyak atsiri dalam tepung
temulawak adalah 3,16% dan 15,5%. Zat kurkumin yang terdapat didalamnya
mempunyai khasiat anti bakteri dan dapat merangsang dinding kantung empedu
untuk mengsekresi cairan empedu supaya kerja pencernaan lebih optimal dan cepat.
Purseglove et al. (1981) menyatakan bahwa kurkumin merupakan turunan dari
diferuloil metan yang tidak menguap pada pemanasan, disamping itu kurkumin
merupakan bis-fenolik yang berfungsi sebagai anti mikroba. Menurut Lukman dan
Silitonga (1985) temulawak (Curcuma xanthorhiza, Roxb) banyak digunakan
sebagai obat tradisional, mempunyai khasiat obat sebagai tonikum (obat kuat),
menyembuhkan TBC (Tuberculosis), gangguan pencernaan dan aliran seni,
memperlancar aliran darah dan cairan empedu yang tersumbat.
Tanaman herbal lain yang mempunyai khasiat yang sama dengan kencur
adalah kunyit (Curcuma domestica, Val). Kunyit memiliki kandungan berbagai
komponen kimia, antara lain kurkumin, minyak atsiri, pati, zat pahit, resin dan
beberapa mineral (Winarto, 2003). Kurkumin dalam kunyit lebih tinggi dari
temulawak. Kurkumin dapat meningkatkan nafsu makan karena kurkumin dapat
mempercepat pengosongan isi lambung, semakin tinggi taraf temulawak dalam
ransum, maka persentase karkas semakin meningkat (Damayanti, 2005).
Suwanto (1983) menyatakan bahwa kurkumin dapat menghambat bakteri
gram positif karena kurkumin sebagai senyawa fenolik yang memiliki sifat merusak
dan menembus dinding sel bakteri kemudian mengendapkan protein sel mikroba
sehingga merupakan racun bagi protoplasma.
Ayam Broiler
Ayam broiler merupakan ayam yang telah mengalami seleksi genetik
(breeding) sebagai penghasil daging dengan pertumbuhan yang cepat sehingga waktu
pemeliharaan lebih singkat, pakan lebih efisien dan produksi daging tinggi
(Ensminger, 1991). Selain itu menurut Amrullah (2004) broiler adalah ayam yang
dikhususkan untuk produksi daging dengan pertumbuhan yang sangat cepat, dalam
kurun waktu 6-7 minggu ayam akan tumbuh 40-50 kali dari bobot awal dan pada
minggu-minggu terakhir, broiler tumbuh sebanyak 50-70 g per hari. Bobot hidup 2,1
kg dicapai pada umur enam minggu untuk ayam broiler jantan dan 1,7 kg untuk
ayam broiler betina pada tahun 1994, sedangkan pada tahun 1984 dicapai pada umur
tujuh minggu pada program pemberian ransum yang sama (National Research
Council, 1994).
Scott et al. (1982) merekomendasikan tiga periode pemeliharaan ayam broiler
sesuai dengan kebutuhan zat makanannya yaitu pada periode pre-starter (0-2
minggu) ransum yang diberikan mengandung 23,2%-26,5% protein dengan energi
3.000 kkal/kg, pada periode grower (2-6 minggu) ransum yang diberikan
mengandung protein 19,5%-22,7 % dengan energi metabolis 2.800-3.200 kkal/kg,
sedangkan pada periode finisher (enam minggu hingga dipasarkan) ransum yang
diberikan mengandung 18,1%-21,2% protein dengan energi metabolis 2.900-3.400
kkal/kg. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kebutuhan zat nutrisi pada periode pre-
starter (0-2 minggu) adalah pada kandungan energi dalam ransum sebesar 3.000
kkal/kg dan membutuhkan protein sebesar 24,8%, sedangkan pada periode grower
(2-6 minggu ) kandungan energi yang dibutuhkan adalah sebesar 3.000 kkal/kg dan
protein sebesar 20,6%.
Menurut Scott et al. (1982) batas terendah kandungan energi dalam ransum
adalah 2.600 kkal/kg untuk pemeliharaan pada suhu rendah dan 2.400 kkal/kg untuk
pemeliharaan pada suhu tinggi. Pada kandungan energi tersebut ternak dapat
memenuhi kebutuhan maintenance tanpa dapat memenuhi kebutuhan produksi. Jika
level energi yang diberikan berada di bawah kebutuhan untuk maintenence, maka
ternak akan kehilangan bobot badan karena penggunaan protein tubuh atau jaringan
untuk mendapatkan energi metabolisme tubuh, bahkan dapat menyebabkan kematian
pada ternak.
Retensi Nitrogen
Retensi nitrogen yaitu selisih antara nilai konsumsi nitrogen dengan nilai
nitrogen yang diekskresikan setelah dikoreksi dengan nilai ekskresi nitrogen
endogenus (Sibbald dan Wolynetz, 1985). Menurut Wahju (1997) tingkat retensi
nitrogen bergantung pada konsumsi nitrogen dan energi metabolis ransum, akan
tetapi peningkatan energi metabolis ransum tidak selalu diikuti oleh peningkatan
retensi nitrogen. Konsumsi nitrogen yang meningkat diikuti dengan peningkatan
retensi nitrogen, akan tetapi tidak selalu diikuti dengan peningkatan bobot badan, jika
energi ransum rendah. Pada tingkat protein yang sama, pertambahan bobot badan
meningkat dengan energi dalam ransum yang semakin tinggi. Peningkatan retensi
nitrogen berarti semakin banyak nitrogen yang dimanfaatkan oleh tubuh ternak
(Wahju, 1997).
Retensi nitrogen dapat bernilai positif atau negatif yang dipengaruhi oleh
konsumsi nitrogen (Wahju, 1997). Apabila nitrogen yang dikonsumsi lebih besar
daripada nitrogen yang diekskresikan, berarti hewan tersebut dalam keadaan retensi
nitrogen yang positif, sedangkan retensi nitrogen yang negatif terjadi apabila
nitrogen yang dikonsumsi lebih kecil daripada nitrogen yang diekskresikan (Wahju,
1997). Nilai retensi nitrogen positif berarti ternak tersebut mendapatkan pertambahan
bobot badan karena tenunan ototnya bertambah. Nilai retensi nitrogen yang tinggi
dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi ternak (Anggorodi, 1994). Retensi
nitrogen negatif menunjukkan ternak telah kehilangan nitrogen dan kejadian ini tidak
selalu ditunjukkan dengan penurunan bobot badan, terutama jika energi dalam
ransum tinggi (Lloyd et al., 1978).
Scott et al. (1982) menyatakan kualitas protein dapat diukur melalui retensi
nitrogen atau satu satuan seperti nilai biologis, rasio effisiensi protein, dan neraca
nitrogen. Nitrogen yang diretensi lebih banyak dalam tubuh ternak akan
mengakibatkan ekskreta mengandung sedikit nitrogen urin dan energi yang lebih
kecil dibandingkan dengan ternak yang tidak merentensi nitrogen (National Research
Council, 1994). Nilai retensi bervariasi untuk masing-masing unggas, tergantung dari
kemampuan unggas untuk menahan nitrogen di dalam tubuh dan tidak dikeluarkan
sebagai nitrogen dalam urin dan feses (Sibbald dan Wolynetz, 1985). Nilai retensi
dari berbagai penelitian disajikan dalam Tabel 1.
Sutardi (1980) menyatakan bahwa tidak semua nitrogen yang dikonsumsi
dapat diretensi, tetapi sebagian dibuang melalui feses dan urin, sedangkan nitrogen
yang diekskresikan tidak semua berasal dari nitrogen bahan makanan yang tidak
diserap tetapi berasal dari peluruhan sel mukosa usus, empedu maupun saluran
pencernaan. National Research Council (1994) menjelaskan bahwa jika nitrogen
tidak diretensi, maka nitrogen akan muncul sebagai asam urat dengan nilai koreksi
sebesar 34,4 kj/g atau 8,22 kkal/g. Retensi nitrogen yaitu nilai energi yang dihasilkan
ketika asam urat dioksidasi secara sempurna.
Energi Metabolis
Energi metabolis adalah perbedaan antara kandungan energi bruto pakan atau
ransum dengan energi bruto yang dikeluarkan melalui ekskreta (Sibbald, 1980).
Kebutuhan energi dijadikan standar dalam penyusunan ransum, sehingga
pengetahuan akan kandungan energi bahan baku secara kuantitatif sangatlah penting
(Mc Donald et al., 1995). Penentuan kandungan energi metabolis bahan makanan
secara biologis dilakukan pertama kali oleh Hill et al. (1960). Metode Hill pada
dasarnya mengukur konsumsi energi dengan energi ekskreta.
Nilai energi metabolis antara lain dipengaruhi oleh kandungan energi bruto
dalam pakan atau ransum, jumlah ransum yang dikonsumsi dan jumlah ternak
(Storey dan Allen, 1982). Penghitungan energi metabolis dalam pakan sangat penting
karena dapat memperkirakan keuntungan dalam pemeliharaan ternak unggas
komersil. Farrell (1978) mengembangkan suatu metode yang hampir sama untuk
menentukan energi metabolis semu (EMS), hanya berbeda cara pemberian pakannya.
Ayam yang digunakan juga tidak memerlukan pemulihan kondisi. Metode Farrell ini
lebih memperhatikan kesejahteraan hewan karena tidak ditemukan unsur pemaksaan.
Kelebihan dari metode Sibbald diantaranya adalah jumlah bahan makanan uji yang
dibutuhkan sedikit, melibatkan sedikit analisis kimia, waktu singkat dan biaya yang
murah (Farrell, 1978).
Menurut Sibbald (1980) selain dipengaruhi oleh jumlah ransum yang
dikonsumsi, energi metabolis juga dipengaruhi oleh kemampuan ternak untuk
memetabolis ransum di dalam tubuh. Energi yang dikonsumsi oleh ternak (dari
ransum) akan menjadi energi dapat dicerna dan sisanya dibuang dalam kotoran
(feses). Selanjutnya, energi dapat dicerna dan dirombak menjadi energi metabolis
serta energi dalam urin. Energi metabolis akan diubah menjadi panas dari proses
metabolisme zat-zat makanan dan energi netto. Energi netto oleh tubuh digunakan
untuk hidup pokok dan kebutuhan produksi (Wahju, 1997). Untuk setiap bahan
makanan minimal memiliki empat nilai energi yaitu energi bruto (gross energy atau
combustible energy); energi dapat dicerna; energi metabolis dan energi netto (Wahju,
1997). Skema penggunaan dan distribusi energi pada unggas dapat dilihat pada
Gambar 2.
Kelebihan energi tidak dikeluarkan dari tubuh hewan, oleh karena itu, yang
paling effisien dalam pemberian makanan pada ayam adalah seimbang antara tingkat
energi dan zat-zat makanan lain (Wahju, 1997). Dalam penentuan energi metabolis
perlu dikoreksi terhadap jumlah nitrogen yang diretensi, karena kemampuan ternak
dalam memanfaatkan energi bruto dari protein pakan sangat bervariasi (McDonald et
al., 2002). Koreksi terhadap nitrogen dengan cara mengkonversi energi (faktor
koreksi) yang berasal dari nitrogen komponen karbohidrat sebesar 8,22 kkal/g yang
keluar sebagai asam urat jika dioksidasi secara sempurna (Sibbald,1980). Menurut
National Research Council (1994) bahwa nitrogen yang tidak diretensi akan berubah
menjadi asam urat, sehingga setiap gram nitrogen yang diretensi unggas setara
dengan 8,22 kkal. Menurut Sibbald dan Wolynetz (1985) energi metabolis
dinyatakan dengan empat peubah, yaitu energi metabolis semu (EMS), energi
metabolis semu terkoreksi nitrogen (EMSn), energi metabolis murni (EMM) dan
energi metabolis murni terkoreksi nitrogen (EMMn).
Nilai EMM selalu lebih besar dari EMS karena oleh energi endogenous yang
diperhitungkan sebagai faktor koreksi pada EMM (Sibbald, 1980). Energi
endogenous terdiri akan metabolic faecal dan endogenous urinary yang berasal dari
katabolisme jaringan tubuh untuk kebutuhan hidup pokok pada saat dipuasakan dan
sebagian lagi berasal dari produk akhir yang mengandung nitrogen (Wolynetz dan
Sibbald, 1984). EMS tidak memperhitungkan metabolic faecal dan endogenous
urinary (Sibbald, 1989). Nilai EMSn dan EMMn merupakan nilai energi metabolis
yang dikoreksi dengan nitrogen, sehingga nilainya lebih kecil dari EMS dan EMM.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2006. Penelitian
dilakukan di laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Unggas, Laboratorium Ilmu dan
Teknologi Pakan Fakultas Peternakan dan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi (Pusat Antar Universitas), Institut Pertanian Bogor.
Materi
Ternak
Ransum
Ransum yang digunakan dalam penelitian yaitu ransum yang mengandung
energi metabolis 2.800 kkal/kg dan protein kasar 18% yang digunakan sebagai
kontrol. Ransum kontrol yang dicampur dengan tepung kencur pada berbagai level
digunakan untuk perlakuan selanjutnya.
Komposisi bahan makanan dalam ransum kontrol yang digunakan dapat
dilihat pada Tabel 3 dan kandungan nutrisi dari ransum perlakuan disajikan pada
Tabel 4.
Prosedur
Pembuatan Tepung Kencur
Kencur segar yang masih kotor dicuci untuk menghilangkan kotoran atau
tanah yang menempel pada rimpang kencur. Setelah pencucian, kencur yang bersih
diiris dengan ketebalan yang sama dengan tujuan untuk mempercepat pengeringan.
Kemudian dikeringkan dengan cara pengovenan pada suhu 60 oC selama 24 jam.
Rimpang kencur yang sudah kering, kemudian digiling untuk mendapatkan tepung
kencur. Prosedur pembuatan tepung kencur dapat dilihat pada Gambar 3.
Kencur segar
Tepung kencur
Gambar 3. Alur Pembuatan Tepung Kencur
Persiapan Kandang
Kandang metabolis yang digunakan dibersihkan dan didesinfeksi terlebih
dahulu dengan mengggunakan desinfektan. Hal ini dimaksudkan agar ayam tidak
terkena bibit penyakit dari lingkungan sebelumnya. Tempat air minum juga
didesinfeksi untuk menghindari kontaminasi bakteri pada ayam percobaan.
9. Retensi Nitrogen
Retensi nitrogen yang dihitung merupakan selisih jumlah nitrogen
yang dikonsumsi dengan jumlah nitrogen yang dikeluarkan, yang dikoreksi
dengan nitrogen endogenus.
Retensi Nitrogen (RN) (g)
RN = NP − NE
NP − NE
RN = x100 %
NP
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 5 taraf perlakuan dan 3 ulangan yang masing-masing ulangan terdiri
dari 1 ekor ayam. Model matematikanya adalah :
Yij = µ + αi + εij
Keterangan :
Yij = Respon percobaan dari perlakuan ke-i ulangan ke-j
μ = Rataan umum
αi = Pengaruh perlakuan ke-i
εij = Galat perlakuan ke-i ulangan ke-j
Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan sidik
ragam (Analysis of Variance/ANOVA) dan jika berbeda nyata atau sangat nyata
dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel dan Torrie, 1993).
Ransum yang digunakan untuk setiap perlakuan adalah :
P1 = Ransum kontrol
P2 = Ransum P1 + tepung kencur 0,3%
P3 = Ransum P1 + tepung kencur 0,6%
P4 = Ransum P1 + tepung kencur 0,9%
P5 = Ransum P1 + tepung kencur 1,2%
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 6. Kandungan dan Ekskresi Protein serta Energi Bruto Ekskreta dari
Perlakuan
Ekskresi Protein Energi Bruto (%BK) Ekskresi Energi
Perlakuan Protein (%BK)
(g) (kkal/kg) (kkal)
58,58± 7,07± 2.355,28± 28,21±
P1
3,31A 1,28 313,32A 4,48
54,23± 6,99± 2.115,55± 27,20±
P2
1,36AB 0,98 252,08A 4,73
52,05± 6,84± 1.876,39± 24,19±
P3
1,14B 2,67 168,03AB 8,50
46,49± 6,62± 1.515,41± 21,49±
P4
1,70C 0,42 148,47B 0,92
43,35± 6,18± 1.392,54± 19,62±
P5
0,40C 1,21 154,50B 2,23
Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) pada
kolom yang sama.
P1 = Ransum Basal (Kontrol)
P2 = P1 + 0,3% Tepung Kencur
P3 = P1 + 0,6% Tepung Kencur
P4 = P1 + 0,9% Tepung Kencur
P5 = P1 + 1,2% Tepung Kencur
Retensi Nitrogen
Banyaknya nitrogen yang diretensi dalam tubuh ternak akan mengakibatkan
ekskreta mengandung sedikit nitrogen urin dan energi yang lebih kecil dibandingkan
dengan ternak yang tidak merentensi nitrogen (National Research Council , 1994).
Penambahan tepung kencur 0,3-1,2% dalam ransum terhadap retensi N
ransum ayam broiler finisher dapat dilihat pada Tabel 7.
Retensi nitrogen dari hasil penelitian menunjukkan nilai yang positif, karena
nilai konsumsi nitrogen lebih besar dari nilai ekskresi nitrogen. Nilai retensi nitrogen
pada penelitian ini berkisar dari 0,41g – 0,55g dengan rataan 0,46±0,21 atau 36,09%
– 48,78% dengan rataan 40,82±18,60. Jumlah nitrogen yang tertinggal ini akan
dimanfaatkan oleh tubuh ternak untuk penyusunan sel-sel otot (Maynard dan Loosly,
1962).
Berdasarkan hasil sidik ragam yang dilakukan, retensi nitrogen pada
penelitian ini memberikan hasil yang tidak berbeda (P>0,05) antara perlakuan
penambahan kencur dari 0,3-1,2% (P5) dengan kontrol. Penambahan tepung kencur
belum dapat meningkatkan nilai retensi nitrogen diduga karena beberapa hal.
Pertama, terjadinya kerusakan dan pengurangan zat-zat aktif yang terkandung pada
kencur ketika dilakukan pengolahan yaitu pada proses pengeringan kencur yang
diberi perlakuan suhu tinggi sampai dengan 60 oC. Kedua, yaitu pemberian level
tepung kencur yang kurang tepat.
Rendahnya nilai retensi nitrogen juga dapat disebabkan oleh karena jumlah
protein dalam ransum yang dikonsumsi oleh ternak perlakuan lebih rendah dari
beberapa penelitian lain atau ransum pada umumnya. Hal ini ada hubungannya
dengan pendapat Scott et al. (1982) menyatakan bahwa pada ransum dengan protein
dan energi metabolis rendah menghasilkan konversi ransum yang besar atau effisien
penggunaan ransum rendah. Konversi ransum yang tinggi berarti antara pertumbuhan
dan jumlah ransum yang dikonsumsi tidak seimbang.
Sibbald (1976) menyatakan bahwa besarnya ekskresi nitrogen pada ayam
dengan berat badan 1,15 kg sebesar 0,64 g, berat badan 1,5 kg sebesar 0,76 g dan
berat badan 1,63 kg sebesar 0,79 g pada pengumpulan ekskreta selama 24 jam.
Rataan nilai retensi nitrogen pada penelitian ini sebesar 0,46 g dengan rataan bobot
badan 1.462 g. Jika dibandingkan dengan beberapa penelitian lain, penelitian ini juga
mempunyai nilai retensi nitrogen yang jauh lebih rendah (Tabel 1.). Pada
penggunaan limbah restoran sebanyak 12% sebagai pengganti dedak padi nilai
retensi nitrogennya mencapai 74,23%, sedangkan nilai retensi nitrogen pada
penelitian ini rata-rata adalah 40,83% . Lebih rendahnya nilai tersebut disebabkan
bobot ekskreta yang dihasilkan dari ternak yang memperoleh perlakuan penggunaan
limbah restoran jauh lebih kecil dari bobot ekskreta perlakuan penambahan tepung
kencur. Bobot ekskreta penggunaan limbah restoran rata-rata sebesar ± 7,30g/ekor,
sedangkan bobot ekskreta perlakuan rata-rata sebesar ±13,33g/ekor.
Energi Metabolis
Energi metabolis adalah perbedaan antara kandungan energi bruto ransum
dengan energi bruto yang dikeluarkan melalui ekskreta (Sibbald, 1980). Perlakuan
penggunaan pemberian tepung kencur pada ransum ayam broiler sebagai zat additif,
yaitu energi bruto yang dikeluarkan melalui ekskreta lebih sedikit jika dibandingkan
dengan energi bruto yang dikeluarkan oleh ayam yang diberikan ransum tanpa
perlakuan penambahan kencur. Semakin sedikit energi yang dikeluarkan melalui
ekskreta, maka semakin tinggi energi ransum yang diserap atau dicerna oleh tubuh,
sehingga efisiensi penggunaan energi ransum tinggi.
Hasil analisis dan perhitungan energi metabolis yang telah dilakukan,
menghasilkan nilai Energi Metabolis Semu (EMS), Energi Metabolis Murni (EMM),
Energi Metabolis Semu Terkoreksi Nitrogen (EMSn), dan Energi Metabolis Murni
Terkoreksi Nitrogen (EMMn). Perbedaan ini disebabkan sebagai adanya konversi
energi (faktor koreksi) yang berasal dari nitrogen komponen karbohidrat sebesar 8,22
kkal/g yang keluar sebagai asam urat jika dioksidasi secara sempurna (Sibbald,1980).
Pengaruh pemberian tepung kencur dalam ransum dari level 0,3-1,2% terhadap
energi metabolis dapat dilihat pada Tabel 8.
Kesimpulan
Pemberian tepung kencur pada level 0,3; 0,6; 0,9 dan 1,2% dalam ransum
ayam broiler rendah energi (2.800 kkal/kg) dan protein (18%) tidak dapat
meningkatkan retensi N (%) dan energi metabolis ransum.
Saran
Perlu dilakukan proses lain dalam pengeringan kencur sehingga zat-zat aktif
kencur tidak mengalami dekomposisi.
UCAPAN TERIMA KASIH