Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kemajuan ilmu kedokteran dewasa ini khususnya bidang pembedahan tidak
terlepas dari peran dan dukungan kemajuan bidang anestesiologi. Dokter spesialis
bedah sehari-hari sekarang dapat melakukan pembedahan yang luas dan rumit pada
bayi baru lahir sampai orang tua dengan kelainan yang berat, melakukan pembedahan
jantung, transplantasi berbagai organ tubuh, yang berlangsung berjam-jam dengan
aman tanpa rasa sakit sedikitpun adalah akibat dukungan tindakan anestesi yang
canggih.

Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan yang
meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami
pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi
inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai
hilangnya kesadaran, dan (2) anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang
reversible yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada
seluruh tubuh. Sebagian besar operasi ( 70-75 %) dilakukan dengan anestesi umum,
lainnya dengan anestesi lokal / regional.

Dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang
harus dilaksanakan yaitu tahap pra anestesi, tahap penatalaksanaan anestesi dan
pemeliharaan, serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.Tahap pra anestesi
merupakan tahap persiapan yang sangat menentukan keberhasilan suatu anestesi. Hal
yang penting dalam tahap ini adalah : (1) menyiapkan pasien, yang meliputi riwayat
penyakit pasien, keadaan umum pasien, dan mental pasien, (2) menyiapkan teknik,
obat-obat, dan macam anestesi yang digunakan, (3) memperkirakan kemungkinan-
kemungkinan yang timbul pada waktu pelaksanaan anestesi dan komplikasi yang
timbul pasca anestesi.

Tahap pelaksanaan anestesi meliputi premedikasi, induksi, dan pemeliharaan.


Obat-obat yang diberikan dapat berupa obat inhalasi atau intravena, sampai stadium
anestesi dikehendaki. Perlunya pemantauan pada tahap ini yaitu pernafasan, sirkulasi,
1
dan kedalaman anestesi, dilakukan secara berkala dan terus-menerus untuk
menghindari penyulit atau komplikasi yang dapat terjadi. Pada tahap pemulihan,
pengawasan ketat masih harus dilakukan, sampai penderita benar-benar pulih dan
cukup stabil untuk dipindah ke bangsal

Tonsilektomi yang didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil berasal dari


bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan sepatu serta
dari bahasa yunani ectomy yang berarti eksisi. Beragam teknik tonsilektomi terus
berkembang mulai dari abad 21 diantaranya diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi
monopolar dan bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser dan terakhir
diperkenalkan tonsilektomi dengan coblation. Adapun teknik yang sering dilakukan
adalah diseksi thermal menggunakan elektrokauter.

Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien,


kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter
bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih
dilakukan di bawah anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali
di rumah sakit pendidikan dengan tujuan untuk pendidikan. Mengingat tonsilektomi
merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum maupun lokal,
komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan
anestesi. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa laringospasme, gelisah
pasca operasi, mual, muntah, kematian pada saat induksi pada pasien dengan
hipovolemia, hipersensitif terhadap obat anestesi serta hipotensi dan henti jantung.

B. TUJUAN PENULISAN

Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk memahami tindakan anestesi yang
dilakukan pada pasien dengan diagnosa tonsilitis kronis, sehingga dapat dipahami dan
dipelajari berdasarkan tata cara tindakan anestesi secara prosedural serta dapat
dipahami kemungkinan komplikasinya yang ditimbulkan.

2
BAB II
ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS
1. Nama pasien : An. T
2. Umur : 13 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Alamat : Semper
5. Agama : Islam
6. Tanggal operasi : 22 Juli 2017 pukul 13.00 WIB
7. No. rekam medik : 241501
8. Diagnosa Preoperatif : Tonsilitis

9. Macam Operasi : Tonsilektomi

10. Macam Anestesi : General anestesi (Anestesi umum)

B. ANAMNESIS
Dilakukan pada pasien (autoananmnesis) dan pada keluarga pasien (alloanamnesis) di
ruang preoperasi RSIJ Sukapura pada tanggal 22 Juli 2017

1. Keluhan Utama

Os mengeluh nyeri tenggorokan sejak ± 1 minggu SMRS

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien perempuan berusia 13 tahun dengan keluhan nyeri tenggorokan sejak
± 1 minggu SMRS. Nyeri tenggorokan dirasakan saat makan, minum ataupun
menelan ludah. Menurut orangtuanya, keluhan nyeri tenggorokan didahului
dengan demam dan pilek. Pasien sering mengalami demam, batuk, pilek yang
kumat-kumatan hampir tiap bulan. Saat ini pasien tidak mengeluhkan pilek,
hidung tersumbat, nyeri di kedua telinga, kurang pendengaran, gemerebek
maupun sakit kepala .

3
3 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasien periksa ke dokter
umum dengan keluhan yang sama dan dikatakan mengalami radang amandel.
Dalam 1 bulan terakhir kambuh 2 kali. Bila kambuh pasien merasakan nyeri
tenggorokan, susah menelan, disertai demam dan batuk pilek. Keluhan terasa
setelah mengkonsumsi minuman dingin, jajan sembrangan dan berminyak.
Saat ini pasien tidak mengalami batuk dan pilek.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


o Riwayat hipertensi : disangkal
o Riwayat diabetes mellitus : disangkal
o Riwayat sakit jantung : disangkal
o Riwayat asma : Ada
o Riwayat penyakit hati : disangkal
o Riwayat gangguan pembekuan darah : disangkal
o Riwayat penyakit serupa : disangkal

4. Riwayat Keluarga
o Riwayat hipertensi : disangkal
o Riwayat diabetes mellitus : disangkal
o Riwayat sakit jantung : disangkal
o Riwayat asma : disangkal
o Riwayat penyakit hati : disangkal
o Riwayat gangguan pembekuan darah : disangkal
o Riwayat penyakit serupa : disangkal

5. Anamnesis Sistemik
o Sistem serebrospinal : lemas(-), penurunan kesadaran(-), pusing (-)
o Sistem kardiovaskuler : anemis (-), akral hangat (+), sianosis(-)
o Sistem respirasi : sesak nafas (-), batuk (-), mengi (-), nafas cuping
hidung (-)
o Sistem genitourinarius : BAK (+) normal
o Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri telan (+), kembung (-),
nafsu makan menurun (-), susah BAB (-), susah kentut (-)

4
o Sistem musculoskeletal : edema tungkai(-/-), kaku pada ekstremitas (-/-),
nyeri sendi/tulang (-)

6. Riwayat Pengobatan

o Riwayat konsumsi obat disangkal

7. Riwayat Operasi dan Anestesi

o Os tidak mempunyai riwayat operasi sebelumnya dan tidak pernah dilakukan


tindakan anestesi apapun sebelumnya

8. Riwayat Psikososial

o Riwayat merokok dan minum alcohol (-)

9. Riwayat hal-hal yang digunakan pasien

o Adanya gigi palsu atau gigi goyang disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum : Lemah


2. Kesadaran : Composmentis
3. Tanda Vital
a. TD : 110/70 mmHg
b. Nadi : 104 kali/menit, regular, kuat angkat
c. Respirasi : 22 kali/menit, reguler
d. Suhu : 36,50C
4. Antropometri
a. Berat Badan : 49 kg
b. Tinggi Badan : 145 cm
c. IMT : 23.3  BB Ideal

5. Status Generalis
a. Kepala : Normocephal, deformitas (-)

5
b. Mata : Konjungtiva anemis (-/-),Edema palpebra (-/-), sklera
ikterik (-/-)
c. Telinga : Bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka (-),
bengkak (-), hiperemis (-), sekret (-)
d. Hidung : Deformitas(-),sekret(-), edema(-), deviasi septum (-)
e. Mulut : Bibir kering, lidah kotor (-)
f. Tenggorokan : Pembesaran tonsil (+) T4-T4, tonsil hiperemis (+),
pelebaran kripte (+), uvula sentral.
g. Leher : Pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)
h. Thoraks
Pulmo Depan Belakang
Inspeksi Simetris, Simetris,
Ketinggalan gerak (-) Ketinggalan gerak (-)
Retraksi intercostae (-) Retraksi intercostae (-)
Palpasi Gerak dada simetris Gerak dada simetris
Fremitus normal Fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi SDV (+/+) SDV (+/+)
Wh (-/-), Wh (-/-),
Rh kering (-/-) Rh kering (-/-)

Cor Hasil Pemeriksaan


Inspeksi Ictus cordis tidak tampak
Palpasi Ictus cordis pada SIC VI linea midclavicularis sin
Perkusi Batas kanan atas : SIC II, linea parasternalis dex
Batas kanan bawah : SIC IV, linea parasternalis dex
Batas kiri atas : SIC II, linea parasternalis sin
Batas kiri bawah : SIC V, linea midclavicula sin
Auskultasi Bunyi jantung I-II intensitas regular, bising (-)

6
i. Abdomen :
Abdomen Hasil pemeriksaan
Inspeksi Datar, darm contour (-), darm steifung (-)

Auskultasi Peristaltik (+) N , metallic sound (-),


Palpasi Nyeri tekan (-) seluruh lapang abdomen, defans
muskuler (-), hepar dan lien tak teraba

Perkusi Timpani (+) seluruh lapang abdomen

j. Ekstremitas :
Supor dextra Akral hangat (+), edema (-), sianosis (-)
Supor sinistra Akral hangat (+), edema (-), sianosis (-)
Infor dextra Akral hangat (+), edema (-), sianosis (-)
Infor sinistra Akral hangat (+), edema (-), sianosis (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium darah rutin tanggal 21 Juli 2017

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hemoglobin 13 g/dL 11.3-15.5
Leukosit 10.44 103/µL 4.3-10.4
Hematokrit 33.1 % 36.0-46.0
Trombosit 400 103/µL 150-400
LED 13 Mm/jam 0-15
GDS 101 Mg/dL <200
BT 2’00” Menit 1-3
CT 4’00” Menit 2-6

2. Roentgen Thorax
Hasil Pemeriksaan :
o CTR < 50%

7
o Tidak tampak TB paru aktif atau pneumonia
o Sinus dan diafragma normal
o Tak tampak infiltrat
o Tulang costae normal

ASESMEN PRA-ANESTESI

1. Kebiasaan  Merokok
 Alkohol
 Kopi / teh
√Tidak Ada
2. Obat-Obatan Yang  Terapi Herbal
Dipakai  Aspirin / anti platelet drug dalam 2 minggu terakhir
 Prednison / Cortisone dalam 6 bulan
√Tidak Ada
3. Riwayat Alergi  Makanan
 Obat
 Cuaca
 Lateks / plester/ debu
√Tidak Ada
4. Riwayat Penyakit  Perdarahan / pembekuan darah tidak normal
Pasien  Sesak nafas
√ Asma
 Kejang
 Diabetes melitus
 Sering pingsan
 Serangan Jantung / Nyeri Dada
 Hepatitis / kuning
 Hipertensi
 Penyakit berat lainnya yg dirawat dirs.
 Lain-lain : Epilepsi

8
 Tidak Ada
5. Riwayat Keluarga  Perdarahan / pembekuan darah tidak normal
 Hipertensi
 Serangan jantung / nyeri dada
 Diabetes melitus
 Permasalahan saat pembiusan
 Penyakit berat lainnya…………………
√Tidak Ada
6. Gangguan Komunikasi  Bahasa Indonesia
 Gangguan pendengaran / tuli
 Gangguan bicara
√Tidak Ada
7. Pemeriksaan Hiv  Ya
√Tidak
8. Apakah Pasien  Alat Bantu Dengar
Memakai  Gigi Palsu
 Tidak Ada
9. Pernah Operasi  Ya
√Tidak
10. Riwayat Operasi, √Tidak
Anestesi Dan
Komplikasi
11. Khusus Pasien Wanita  Hamil
 Menyusui
12. Khusus Pasien  Prematuritas
Bayi/Anak  Kelainan Kongenital
√Tidak
13. Keadaan Umum Pasien  Compos Mentis
 Apatis
 Somnolen
 Tidak Sadar

9
14. Observasi Tanda Vital  Tekanan Darah 110/70 mmHG
 Nadi 104x/menit, regular, kuat angkat
 Pernapasan 22x/menit, regular
 Suhu 36,5 c
 CRT <2 detik
 SaO2 100%
15. Pemeriksaan Fisik  Gigi palsu
 Goyang / Ompong Obesitas
 Ortopneu
 Tanda – tanda dekompensasi berat
 Leher pendek
 Gangguan mobilisasi leher
 Skoliosis berat
 Gangguan respirasi
 Lain –lain

16. Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium


Lain  Rontgen Thorak
 Lainnya
17. Kesimpulan  ASA 1
√ ASA 2
 ASA 3
 ASA 4
 ASA 5
18. Puasa 9 jam

10
E. DIAGNOSIS PRA-BEDAH
Tonsilitis Kronik

F. KLASIFIKASI STATUS FISIK


ASA II  Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai
akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis.
G. RENCANA TINDAKAN PEMBEDAHAN
Tonsilektomi

H. RENCANA TINDAKAN ANESTESI


Anestesi Umum dengan Intubasi Endotrakeal dengan ETT No. 6, Cuff (+)

I. MULAI TINDAKAN ANESTESI


Pukul 12.45 WIB

J. PRA-ANESTESI
1. Dilakukan assesment pre anestesi kepada pasien
2. Dilakukan pemeriksaan kembali identitas pasien, persetujuan operasi, lembaran
konsultasi anestesi, obat-obatan dan alat-alat yang diperlukan
3. Mengganti pakaian pasien dengan pakaian operasi
4. Saat di ruang persiapan, pasien di infus dengan Ringer Laktat
5. Pemberian cairan pengganti puasa (6-8 jam)
6. Pasien dibaringkan di meja operasi dengan posisi telentang
7. IV line terpasang di tangan kiri, manset tekanan darah terpasang di tangan kanan
dan pulse oxymetri terpasang di digiti I manus sinistra

K. TATALAKSANA ANESTESI
A. Pemantauan Selama Anestesi

11
Melakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien yaitu reaksi pasien
terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi pernapasan dan
jantung.
Kardiovaskular : Nadi setiap 5 menit dan Tekanan darah setiap 5 menit
Respirasi : Inspeksi pernapasan spontan pada pasien
Saturasi oksigen dan Monitoring input cairan
B. Monitoring Tindakan Operasi : (INTRAOPERATIF)
Jam Tindakan Tekanan Nadi Saturasi
Darah (x/menit) O2 (%)
(mmHg)
12.30  Pasien masuk ke kamar operasi, dan 110/60 104 100
dipindahkan ke meja operasi
 Pemasangan monitoring tekanan
darah, nadi, saturasi O2
 Infus RL terpasang pada tangan
kanan
 Premedikasi :
- Untuk mencegah muntah
diberikan ondansentron 4 mg.
12.45  Obat induksi dimasukkan secara iv: 120/70 119 100
o Propofol 120 mg
o Fentanyl 100 µg
o Atracurium 30 mg IV + 10
mg + 10 mg + 10 mg

 Kemudian mengecek apakah


refleks bulu mata masih ada
atau sudah hilang. Nilai refleks
bulu mata
 Berikan O2 dengan Face mask
± 3 liter/menit, lakukan Triple
airway manuver pada pasien,
kemudian lakukan bantuan

12
ventilasi pompa.
 Amati tanda vital pasien
 Jika tidak ada, lalu dilakukan
tindakan face mask dengan
sungkup No.3, dan diberikan:
o O2 : 2 L
o N2O : 2 L
o Isoflurane : 1,5 vol%

12.47  Diberikan O2 120/70 58 100


 Dilakukan pemasangan pipa
orotrakeal dengan ETT No. 6,
mulut dibuka dengan cross finger
dan laringoskop, ETT dimasukkan
ke dalam trakea,pastikan dengan
menggunakan stetoskop. Cuff
dikembangkan agar ETT terfiksasi.
Intubasi berhasil dilakukan.
Dipasang OPA. ETT dan pipa
difiksasi dan dihubungkan dengan
mesin anestesi.
12.00  Operasi dimulai 120/80 110 100
 Kondisi terkontrol
12.25  Untuk mempertahankan anestesi 120/70 100 100
digunakan gas N2O : O2 (50:50),
isofluran 1,5 vol %
 Obat lain yang digunakan :
 Asam tranexamat 500mg
 Deksametason 20 mg
 Dipenhidramin 10 mg
 Operasi berlangsung selama 2 jam
13.15  Kondisi terkontrol 120/80 99 100

13
 Tramadol diberikan 100 mg secara
iv drip dalam 500ml Ringer Laktat
 Dilakukan penggantian infus RL
500 cc
14.00  Operasi selesai 120/80 97 100
 Melakukan ekstubasi
 Memasang goedel (oral airway) ,
dilakukan suction , dan pelepasan
ETT
 Gas N2O dan isoflurane dimatikan,
dan gas O2 dinaikkan menjadi 5
vol % (Oksigenisasi) dengan
menggunakan face mask.
 Gas 02 dihentikan
 Pelepasan alat monitoring (saturasi
dan tensimeter).
 Pasien dipindahkan ke ruang
recovery room. Selanjutnya
dilakukan pemasangan alat
monitoring di recovery room
 Pasien dapat dibangunkan dan
memonitoring keadaan pasien.

C. POST OPERATIF
- Pasien masuk ruang pemulihan
- Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 93x/min
Saturasi : 99%
- Penilaian pemulihan kesadaran
Variabel Tem Skor Skor

14
Pasien

Gerak ke-4 anggota gerak atas perintah 2

Aktivitas Gerak ke-2 anggota gerak atas perintah 1 2

Tidak respon 0

Dapat bernapas dalam dan batuk 2

Respirasi Dispnea, hipoventilasi 1 2

Apnea 0

Perubahan < 20 % TD sistol preoperasi 2

Sirkulasi Perubahan 20-50 % TD sistol preoperasi 1 2

Perubahan .> 50 % TD sistol preoperasi 0

Sadar penuh 2

Kesadaran Dapat dibangunkan 1 1

Tidak respon 0

Merah 2

Warna kulit Pucat 1 2

Sianotik 0

Skor Total 9

≥ 9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi

≥ 8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal

≥ 5 : dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)

15
Pada pasien ini didapatkan nilai aldrete skor 9, pasien dipindahkan ke ruang
perawatan bangsal untuk dilakukan observasi lebih lanjut.

L. PROGNOSIS

Ditentukan berdasarkan status fisik pasien pra-anestesi, ASA (American


Associety of Anesthesiologist). Pada pasien ini dikelompokan pada ASA II yaitu
pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai akibat kelainan
bedah atau proses patofisiologis.

16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. TONSILITIS KRONIS
Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya
merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Pada
tonsillitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsillitis
kronis hipertrofi. Mengingat dampak yang ditimbulkan maka tonsilitis kronis hipertrofi
yang telah menyebabkan sumbatan jalan napas harus segera ditindak lanjuti dengan
pendekatan operatif tonsilektomi4,5 Tonsilektomi yang didefinisikan sebagai metode
pengangkatan tonsil berasal dari bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat
menggantungkan sepatu serta dari bahasa yunani ectomy yang berarti eksisi. Beragam
teknik tonsilektomi terus berkembang mulai dari abad 21 diantaranya diseksi tumpul,
eksisi guillotine, diatermi monopolar dan bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser
dan terakhir diperkenalkan tonsilektomi dengan coblation. Adapun teknik yang sering
dilakukan di RSUD Sragen adalah diseksi thermal menggunakan elektrocauter.

Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien,


kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah,
dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah
anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit
pendidikan dengan tujuan untuk pendidikan.

B. ANESTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi yang ideal terdiri
dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah
anestesi umum. Tanda-tanda klinis anesthesia umum (menggunakan zat anestesi yang
mudah menguap, terutama diethyleter) menurut Guedel, dengan teknik open drop:
1. Stadium I : analgesia dari mulanya induksi anestesi hingga hilangnya kesadaran. Rasa
nyeri belum hilang sama sekali sehingga hanya pembedahan kecil yang dapat

17
dilakukan pada stadium ini. Stadium ini berakhir ditandai dengan hilangnya reflek bulu
mata.
2. Stadium II : excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya respirasi teratur,
mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah.
3. Stadium III : stadium pembedahan, dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya
respirasi. Dibagi 4 plane yaitu :
a. Plane 1 : dari timbulnya pernafasan teratur thoracoabdominal, anak mata terfiksasi
kadang – kadang eksentrik, pupil miosis, reflek cahaya positif, lakrimasi
meningkat, reflek faring dan muntah negative, tonus otot mulai menurun.
b. Plane 2 : ventilasi teratur. Abdominothoracal, volume tidal menurun, frekuensi
nafas meningkat, anakmata terfiksasi di tengah, pupil mulai midriasis, reflek
cahaya mulai menurun dan reflek kornea negative.
c. Plane 3 : ventilasi teratur dan sifatnya abdominal karena terjadi kelumpuhan saraf
interkostal, lakrimasi tidak ada, pupil melebar dan sentral, reflek laring dan
peritoneum negative, tonus otot makin menurun.
d. Plane 4 : ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat karena otot diafragma lumpuh
yang makin nyata pada akhir plana, tonus otot sangat menurun, pupil midriasis dan
reflek sfingter ani dan kelenjsar air mata negative.
4. Stadium IV : overdosis, dari timbulnya paralisis diafragma hingga cardiac arrest.

11. PERSIAPAN PRA ANESTESI


Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan
tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, laboratorium dan pemeriksaan lain.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology)
1) ASA I Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.

18
2) ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas
16%.
3) ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian /
live style terbatas. Angka mortalitas 38%.
4) ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina
menetap. Angka mortalitas 68%.
5) ASA V pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak
ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan
operasi. Angka mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E.

12. PREMEDIKASI ANESTESI


Dewasa ini dengan kemajuan teknik anestesi, tujuan premedikasi bukan hanya
untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah obatobatan yang digunakan,
tetapi terutama untuk menenangkan pasien sebagai persiapan anestesi. Premedikasi
anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.
Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal pethidin
e. mencegah muntah, misal : droperidol
f. memperlancar induksi, misal : pethidin
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan
obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur
pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi
sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang

19
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi,
dan rencana anestesi yang akan digunakan.

Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat
premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:
a. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
b. Transquillizer yaitu dari golongan Benzodiazepin, misal diazepam dan midazolam.
c. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
d. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
e. Antihistamin, misal prometazine.
f. Antasida, misal gelusil.
g. H2 reseptor antagonis, misal cimetidine.
Karena khasiat obat premedikasi yang berlainan tersebut, dalam pemakaian sehari-
hari dipakai kombinasi beberapa obat untuk mendapatkan hasil yang diinginkan,
misalnya kombinasi narkotik, benzodiazepin, dan antikolinergik.
Obat yang sering digunakan :
a. Sedacum adalah preparat transquilizer dari jenis midazolam. Selain sebagai
premedikasi, midazolam juga dapat dihunakan dalam induksi maupun
pemeliharaan anestesi umum. Keuntungan dari penggunaan midazolam ini antara
lain dapat menghilangkan halusinasi akibat penggunaan ketamin serta dapat
mengendalikan kejang. Obat ini digunakan tanpa pengenceran, dapat diberikan
secara intravena, dengan dosis 0,07-0,1 mg/kgBB.
b. Ecron merupakan preparat muscle relaxant atau obat pelumpuh otot, dari jenis
succinil cholin tipe ultrashort acting. Preparat ini wajib digunakan untuk
melemahkan otot-otot pada jalan nafas sehingga memudahkan saat pemasangan
alat bantu dalam mempertahankan jalan nafas (dalam kasus ini, nasal endotracheal
tube) atau pada operasi perut sehingga organ abdominal tidak keluar dan terjadi
relaksasi. Obat ini digunakan tanpa pengenceran, dapat diberikan secara intravena,
dengan dosis 1-2 mg/kgBB.

20
13. INDUKSI
KETAMIN
Ketamin (ketalar) kurang digemari untuk induksi anestesia, karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.
Kalau harus diberikan sebaiknya sebelumnya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk
mengurangi salivasi diberikan sulfas atropine 0,01 mg/kg.
Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk intramuskular
3-10 mg. ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1
ml=50 mg) dan 10% (1 ml=100 mg).

DI-ISOPROPYL PHENOL ( PROPOFOL, DIPRIVAN )


Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi berisi 10% minyak
kedelai, 2,25% gliserol, dan 1,2 % phosphatide telur. Pemberian intravena propofol (2
mg/kg BB) menginduksi anestesi secara cepat seperti tiopental. Rasa nyeri kadang-
kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai dengan phlebitis atau
trombosis. Propofol tidak menimbulkan aritmia atau iskemik otot jantung. Sesudah
pemberian Propofol IV terjadi depresi pernapaasan sampai apnea selama 30 detik. Hal
ini diperkuat dengan premedikasi dengan opiat.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak,
metabolisme otak dan tekanan intrakanial akan menurun. Tak jelas adanya interaksi
dengan obat pelemas otot. Keuntungan Propofol karena bekerja lebih cepat dari
tiopental dan konfusi pasca operasi yang minimal. Terjadi mual, muntah dan sakit
kepala mirip dengan thiopental. Cepatnya induksi dan pemulihan dari anestesi
berguna dalam pasien rawat jalan yang memerlukan prosedur yang cepat dan singkat.
o Sediaan : dalam ampul, 200mg/20cc
o Dosis : 1,5-2,5 mg/kg BB
o Pemberian : IV

14. PEMELIHARAAN
Obat anestesi maintenance yang sering digunakan adalah:
a. Halothane

21
Merupakan cairan yang tidak berwarna, berbau enak serta tidak
merangsang/iritasi, mudah menguap (volatile), tidak mudah meledak atau
terbakar, tidak bereaksi dengan soda lime absorber, mudah diuraikan oleh cahaya
karena itu harus disimpan dalam botol berwarna gelap (ambard). Merupakan obat
anestesia yang potent, kekuatan 4-5 kali eter atau 2 kali kloroform. Overdosis
relatif mudah terjadi dengan gejala kegagalan pernafasan dan sirkulasi yang dapat
menyebabkan kematian. Efek terhadap SSP sama dengan obat anestesia lain pada
umumnya yaitu mendepresi kortek serebral dan medulla. Pengaruhnya terhadap
kardiovaskular adalah vasodilatasi yang menimbulkan hipotensi dan bradikardi.
Uap halothane tidak menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan karenanya
induksi mudah dicapai tanpa batuk-batuk atau eksitasi. Halothane mendepresi
pernafasan yang pada tingkat permulaan menyebabkan pernafasan lebih cepat
(takipnu) dan dangkal, dan pada stadium lebih dalam dapat timbul gagal nafas
(henti nafas). Halothane juga mempunyai efek relaksasi yang moderat terhadap
sistem otot.
o Dosis : dosis induksi 2-4%, dosis pemeliharaan 0,5-2%
o Pemberian : inhalasi
b. Nitrous Oksida /Gas Gelak (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi
dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang
kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini
tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi
otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada
masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam
ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen
konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi
umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ;
70% : 30% atau 50% : 50%.

22
15. OBAT PELUMPUH OTOT
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga menimbulkan
kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2
golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin,
dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi , misal kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan menguragi cedera tindakan
laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dan ventilasi kendali. 2 golongan obat pelumpuh otot yaitu :
a. Depolarisasi.
1) Ada fasikulasi otot
2) Berpotensiasi dengan antikolinesterase
3) Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada perangsangantunggal atau
tetanik
4) Belum dapat diatasi dengan obat spesifik
5) Kelumpuhan berkurang dengan penambahan obat pelumpuh otot non
depolarisasi dan asidosis
Contoh: suksametonium (suksinil kolin)

b. Non depolarisasi
1) Tidak ada fasikulasi otot
2) Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi, eter,
halothane, enfluran, isoflurane
3) Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau
tetanik
4) Dapat diantagonis oleh antikolinesterase
Contoh: tracrium (atrakurium besilat), pavulon (pankuronium bromida),
norkuron (pankuronium bromida), esmeron (rokuronium bromida).

16. INTUBASI TRAKEA


Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas
bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan, sedangkan ekstubasi trakea
adalah tindakan pengeluaran pipa endotrakeal. Intubasi trakea bertujuan untuk :
a. Mempermudah pemberian anestesi.

23
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
Indikasi intubasi trakea adalah: tindakan resusitasi, tindakan
anestesi,pemeliharaan jalan nafas, dan pemberian ventilasi mekanis jangka panjang.
Komplikasi tindakan intubasi trakea dapat terjadi saat dilakukannya
tindakan laringoskopi dan intubasi, selama pipa endotrakeal dimasukkan, dan
setelah ekstubasi.

17. TERAPI CAIRAN


Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah
dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan
untuk :
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan,
misalnya terapi dengan menggunakan diuretic.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena pemasukan kurang, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, adanya fistula enterokutan, penumpukan cairan pada
ruang ketiga (ruang ekstra sel yang tidak berfungsi), seperti pada ileus obstriktif,
peritonitis.
Defisit cairan ekstra sel yang terjadi dapat diduga dengan berat ringannya
dehidrasi yang terjadi. Dehidrasi ringan (defisit cairan ekstrasel sesuai dengan 4%
dari berat badan), dehidrasi sedang (defisit cairan ekstrasel sesuai dengan 6% dari
berat badan), dan dehidrasi berat (defisit cairan ekstrasel sesuai dengan 8% dari
berat badan).
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam.
Setiap kenaikan suhu 10Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15%. Cairan yang
diberikan bisa berupa cairan elektrolit (ringer laktat, NaCl 0,9%), kalau perlu
diberikan cairan koloid. Kecuali penilaian terhadap keadaan umum dan

24
kardiovaskuler, tanda rehidrasi telah tercapai ialah dengan adanya produksi urin 0,5-
1 ml/kg BB/ jam.
b. Selama operasi
Pada pemberian cairan selama pembedahan, harus diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1) Kekurangan cairan pra bedah
2) Kebutuhan untuk pemeliharaan
3) Bertambahnya “insensible loss karena suhu kamar bedah yang tinggi, dan
hiperventilasi.
4) Terjadinya translokasi cairan pada daerah operasi ke dalam ruang ketiga.
5) Terjadinya perdarahan.
Defisit cairan karena puasa, 50% nya diberikan pada jam I, 25% nya pada
jam kedua, dan 25% nya lagi pada jam ketiga. Cairan yang diberikan ringer laktat
dalam dekstrose 5%, atau ringer laktat.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
- Ringan= 4 ml/kgBB/jam.
- Sedang= 6 ml / kgBB/jam
- Berat = 8 ml / kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari
10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume
darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran / darah dengan dosis 1-2 kali
darah yang hilang.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

18. PEMULIHAN
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi. Pasien yang dikelola adalah pasien pasca anestasi
umum ataupun anestesi regional. Di ruang pulih sadar dimonitor jalan nafasnya apakah
bebas ataukah tidak, ventilasinya cukup atau tidak, dan sirkulasinya sudah baik ataukah

25
tidak. Selain obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh ke belakang atau karena
spasme laring, pasca bedah dini juga dapat terjadi muntah yang dapat menyebabkan
aspirasi. Monitor kesadaran merupakan hal yang penting karena selama pasien belum
sadar dapat terjadi gangguan jalan nafas. Sadar yang berkepanjangan adalah akibat dari
pengaruh sisa obat anestesi, hipotermi, atau hipoksia, dan hiperkarbi. Hipoksia dan
hiperkarbi terjadi pada pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi. Menggigil
yang terjadi pasca bedah adalah akibat efek vasodilatasi obat anestesi. Menggigil akan
menambah beban jantung dan sangat berbahaya pada pasien dangan penyakit jantung.
Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien
pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.

26
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Permasalahan dari segi medis


Adanya penyakit tersebut dapat menyebabkan fokal infeksi.
B. Permasalahan dari segi bedah
1. Jika operasi tidak dilakukan maka dapat menyebabkan fokal infeksi yang jika
dibiarkan dapat menjadi bakteremia.
2. Perdarahan
C. Permasalahan dari segi anestesi
1. Pemeriksaan pra anestesi
Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :
a. Puasa ±9jam (pasien sudah puasa selama 9 jam)
b. Pemeriksaan laboratorium darah
Permasalahan yang ada adalah :
a. Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum dilakukan
anestesi dan operasi.
b. Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan
keadaan umum penderita.
Dalam memperbaiki keadaan umum dan mempersiapkan operasi pada
penderita perlu dilakukan :
a. Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS.
b. Puasa paling tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung, sehingga bahaya
muntah dan aspirasi dapat dihindarkan.
c. Jenis anestesi yang dipilih adalah general anestesi karena pada operasi ini
diperlukan hilangnya kesadaran, rasa sakit dan amnesia dengan
menggunakan premedikasi. Teknik anestesinya semi closed inhalasi dengan
pemasangan endotrakheal tube, dan perencanaan ini sudah tepat karena bila
dengan face mask bahaya aspirasi dan terganggunya jalan napas lebih besar
d. Selama operasi dipasang ET teknik cepat.

27
2. Premedikasi
a. Untuk mencegah muntah diberikan ondansentron 4 mg.

3. Induksi

Teori Kasus

Induksi IV : Ketamin, Propofol 120 mg IV


propofol, tiopental
Maintenance inhalasi N2O : O2 = 50 : 50
N2O : O2  2:1

Maintenance inhalasi Isoflurant 1,5%


isoflurant 2-3%

Teori Kasus

Atracurium
Dosis awal = 0,5-
0,6 mg/kg Atracurium 30
mg IV + 10 mg +
10 mg + 10 mg
Dosis intubasi =
0,3-0,5 mg/kgBB

28
BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasiyang


melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi
pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada laporan ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi
Tonsilektomi pada penderita perempuan, usia 13 tahun, status fisik ASA II. Dengan
diagnosis Tonsilitis Kronis dengan menggunakan teknik anestesi semi closed dengan ET
no.6 respirasi terkontrol.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada
diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat
ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada
hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di
ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum
pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik meskipun ada hal-
hal yang perlu mendapat perhatian.

29

Anda mungkin juga menyukai