Anda di halaman 1dari 14

PROPOSAL TESIS

Spatial dan Spillover Effects Aglomerasi Industri Manufaktur Indonesia

Adi Permana/ NPM. 1706086436

Jumlah Kata: 3.605 kata

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor industri manufaktur merupakan sektor unggulan Indonesia, karena mampu
menghasilkan share produk domestik bruto terbesar, menungguli sektor pertanian. Menurut data
Badan Pusat Statistik, industri manufaktur memiliki kontribusi PDB nasional sebesar 21,38
persen (kondisi triwulan I 2018), sedikit mengalami penurunan dibandingkan triwulan I tahun
2017, yaitu 21,45 persen. Besarnya kontribusi industri manufaktur mendorong pemerintah untuk
semakin mengembangkan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui sektor industri
manufaktur. Fokus pemerintah dalam mengembangkan sektor industri diantaranya dengan
membangun Kawasan Industri (KI).
Pembangunan kawasan industri diyakini akan memberi dampak spillover positif yang
mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi sektor lainnya melalui aglomerasi. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Sandhika dan Hendarto (2011), Wibowo (2013),
Sholehati (2017), yang menyimpulkan bahwa aglomerasi mempunyai pengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Adanya perbedaan pendekatan dalam mengukur aglomerasi dan
perbedaan jenis industri yang dianalisis ternyata menghasilkan kesimpulan yang berbeda terkait
pengaruh aglomerasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Seperti temuan Sodik dan Iskandar
(2007), dan Hasanah (2016) menyimpulkan bahwa aglomerasi tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi karena menurut mereka aglomerasi industri yang terjadi di Indonesia
masih sangat rendah.
Selain memiliki dampak positif berupa spillover, aglomerasi industri dikhawatirkan
dapat menimbulkan backwash effect berupa tergerusnya sumber daya alam dan meningkatnya
masalah lingkungan (pencemaran, polusi, dan sebagainya). Sebagaimana penelitian oleh
Pasaribu (2015), bahwa pertumbuhan output, pertumbuhan tenaga kerja, dan pertumbuhan
investasi yang terjadi pada pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan secara signifikan
memberikan dampak backwash effect terhadap wilayah sekitarnya. Pusat-pusat pertumbuhan
secara signifikan berdampak spillover positif terhadap wilayah sekitarnya apabila pertumbuhan
output, pertumbuhan tenaga kerja, dan pertumbuhan investasi pada pusat-pusat pertumbuhan
disertai dengan aliran ekonomi ke wilayah sekitarnya.

1
Berdasarkan fakta studi empiris terdahulu bahwa pembangunan sektor industri selain
berdampak spillover positif ternyata memiliki backwash effect yang merugikan daerah
sekitarnya, maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi besarnya spillover
aglomerasi industri manufaktur. Idealnya spillover lebih besar dari backwash effect agar tujuan
percepatan dan pemerataan pembangunan Nasional dapat tercapai. Setelah melakukan
identifikasi efek spillover aglomerasi, berikutnya akan dilakukan analisis lebih lanjut untuk
melihat adanya keterkaitan spasial antara produktifitas tenaga kerja dengan aglomerasi sektor
industri manufaktur di Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah
Cukup banyak studi empiris di Indonesia mengenai aglomerasi ekonomi dalam
kaitannya dengan produktivitas tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan atau dengan
indeks pembangunan manusia. Namun sebagian besar studi empiris belum mempertimbangkan
aspek regional yang sangat erat kaitannya dengan proses aglomerasi. Dengan memasukkan
aspek regional diharapkan mampu mengurangi bias dan estimasi menjadi konsisten.
Tulisan ini akan mengidentifikasi apakah dampak spillover aglomerasi lebih besar
daripada efek backwash . Selanjutnya dengan menggunakan perangkat ekonometrika spasial
akan dilakukan analisis spasial pengaruh aglomerasi industri manufaktur terhadap produktifitas
tenaga kerja industri manufaktur Indonesia.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan tujuan
dari penelitian ini antara lain:
a. Menghitung derajat aglomerasi yang terjadi di sektor industri manufaktur.
b. Menganalisa dampak spillover aglomerasi industri manufaktur.
c. Melakukan identifikasi keterkaitan spasial aglomerasi terhadap produktifitas tenaga
kerja industri manufaktur.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Aglomerasi
Aglomerasi adalah adanya konsentrasi spasial kegiatan ekonomi sehingga menyebabkan
penghematan-penghematan yang diperoleh sektor industri. Industri yang beraglomerasi dapat
meningkatkan produktifitasnya melalui faktor kedekatan jarak sehingga ada proses komunikasi
antara pekerja antar industri yang secara tidak langsung akan terjadi proses transfer pengetahuan
dan teknologi. Adanya aglomerasi juga akan meningkatkan efisiensi dalam pergerakan input
produksi industri akibat lokasi industri yang saling berdekatan. Selanjutnya dengan adanya
aglomerasi maka industri mendapat keuntungan berupa kemudahan dalam mencari tenaga kerja

2
yang terbaik, karena aglomerasi industri mampu menjadi magnet bagi para pekerja untuk
migrasi ke lokasi industri.
Menurut S.V. Lall et al (2004) ada tiga faktor yang menggambarkan terjadinya
aglomerasi, yaitu scale economies from increased market access, industry concentration, dan
urban utilities and services. Economies of scale merupakan penghematan lokalisasi ekonomi
yang terjadi ketika biaya produksi perusahaan menurun akibat meningkatnya jumlah output.
Lokalisasi ekonomi ini akan menghasilkan klaster industri yang sejenis sehingga menimbulkan
efisiensi biaya karena adanya input sharing, ketersedian tenaga kerja dengan keahlian tertentu,
dan pertukaran informasi mengenai produk atau teknologi yang baru.
Beberapa pendekatan dalam mengukur aglomerasi diantaranya menggunakan indeks
Balassa (Wibowo, 2013; Sodik dan Iskandar, 2007), indeks Ellison-Glaeser (H.-Lin et al.,2011),
gini koefisien geografis Krugman dan indeks geografis Herfindahl (Chang dan Oxley, 2009).
Berdasarkan indeks Balassa, aglomerasi tinggi jika nilai indeks di atas 4, aglomerasi sedang jika
nilai indeksnya 2 sampai 4, untuk nilai indeks 1 sampai 2 terjadi aglomerasi kecil, nilai nol
artinya tidak terjadi aglomerasi. Indeks Herfindahl lebih mudah dalam perhitungannya yaitu
dengan menjumlahkan kuadrat dari market share industri. Keunggulan Indeks Ellison Glaeser
adalah mampu memasukkan variabel geografis ke dalam perhitungan indeks sehingga sangat
cocok untuk analisis mendalam mengenai aglomerasi industri.
2.1.2 Produktifitas
Produktifitas menurut Coelli(2005) merupakan rasio output yang dihasilkan terhadap
input yang digunakan, semakin besar nilai rasio ini menunjukkan kinerja perusahaan yang lebih
baik. Pengukuran produktifitas ini tingkat kerumitannya tergantung dengan keragaman output
dan input yang digunakan oleh perusahaan. Jika perusahaan hanya menghasilkan satu output
dari satu input, maka pengukuran produktifitas dapat dilakukan dengan sangat sederhana. Model
produktifitas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model translog yang
mengikutsertakan adanya faktor waktu dalam model:

Dimana t adalah waktu, θ1, dan θ2 adalah parameter yang diestimasi. Dengan menurunkan
persamaan translog tersebut terhadap waktu, maka akan diperoleh persentase perubahan y
terhadap perubahan teknologi tiap periode, yaitu:

Hasil di atas menunjukkan bahwa fungsi translog memberikan informasi adanya perubahan
teknologi yang mengalami perubahan kenaikan atau penurunan sepanjang waktu.

3
2.1.3 Penelitian Terdahulu
Aglomerasi industri mampu meningkatkan produktifitas industri sesuai dengan hasil H.-
Lin et al. (2011), serta Chang dan Oxley ( 2009), namun pada titik tertentu hubungan
aglomerasi dengan produktifitas menjadi kurva U terbalik ( H.-Lin et al.,2011), artinya
disekonomies aglomerasi akan muncul jika derajat aglomerasi terlalu tinggi. Hal ini bisa
dijelaskan sebagai proses diminishing marginal productivity dikarenakan konsenterasi
aglomerasi yang sudah terlalu tinggi dengan terbatasnya lahan dan sumber daya yang ada,
akibatnya output yang dihasilkan oleh perusahaan tidak berada pada output optimumnya.
Azari et.al (2016) meneliti efek aglomerasi terhadap produktifitas tenaga kerja
perkotaan sektor manufaktur di Korea, sebagai leading emerging economy dengan memperluas
model density produksi Ciccone dan Hall (1996) dengan menggunakan indikator Ke's (2010),
Azari menggunakan variabel kepadatan tenaga kerja dan kepadatan output manufaktur dari
ekonomi perkotaan. Hasil empiris menunjukkan bahwa produktifitas tenaga kerja perkotaan
ditentukan oleh input tradisional aglomerasi ekonomi. Kepadatan tenaga kerja memiliki efek
negatif pada produktifitas tenaga kerja industri manufaktur perkotaan, sementara itu kepadatan
output memiliki dampak positif pada produktifitas industri manufaktur perkotaan.
Pendekatan sedikit berbeda dalam mengukur aglomerasi dan pengaruhnya terhadap
produktifitas (yaitu total faktor produksi) dilakukan oleh Chang dan Oxley (2009). Mereka
mengukur aktivitas inovasi geografis (sebagai pendekatan adanya aglomerasi) menggunakan
koefisien Gini Krugman dan indeks geografis Herfindahl. Variabel inovasi geografis tersebut
kemudian digunakan sebagai variabel endogen. Dalam estimasi parameter menggunakan Two
Stage Least Squares (2SLS), hasil menunjukkan bahwa aglomerasi yang diukur dari inovasi
geografis serta pengeluaran di sektor inovasi signifikan meningkatkan produktifitas total faktor
produksi.
S.V. Lall.,et al.(2004) memeriksa sejauh mana aglomerasi ekonomi berkontribusi
terhadap produktifitas ekonomi dengan membedakan tiga sumber aglomerasi ekonomi: (1) pada
level perusahaan dari peningkatan akses ke pusat-pusat pasar, (2) pada level industri dari
lokalisasi ekonomi di dalam industri, dan (3) di tingkat regional dari urbanisasi ekonomi antar
industri. Ada variasi yang cukup besar dalam sumber dan besaran ekonomi aglomerasi di antara
sektor-sektor industri, hasil empiris menunjukkan bahwa akses ke pasar melalui perbaikan
infrastruktur antar daerah merupakan penentu penting dari tingkat produktifitas perusahaan,
sedangkan lokalisasi ekonomi di daerah perkotaan yang padat tidak signifikan. Tidak
signifikannya lokalisasi ekonomi dikarenkan ketimpangan yang besar dalam distribusi spasial
infrastruktur transportasi yang menghubungkan dengan daerah perkotaan. Sulit bagi perusahaan
untuk pindah ke pusat perkotaan sekunder (biaya lebih rendah) dengan tetap mempertahankan

4
konektivitas dengan pembeli output dan pemasok input faktor produksi. Di perkotaan sekunder
fasilitas infrastruktur jalan raya masih terbatas sehingga perusahaan akan memilih
berkonsentrasi di pusat kota besar walaupun dengan konsekuensi menanggung biaya upah dan
sewa yang tinggi.
Sebagian besar penelitian di Indonesia mengenai aglomerasi mengaitkan antara
aglomerasi dengan pertumbuhan ekonomi (makro). Beberapa penelitian di Indonesia mengenai
dampak aglomerasi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Sodik dan Iskandar (2007) Menggunakan indeks Balassa dalam mengukur aglomerasi
di 26 provinsi di Indonesia. Indeks Balassa dihitung dengan formula:

Dengan i sektor, j wilayah dan E adalah tenaga kerja. Menggunakan data panel dengan
estimasi fixed effect menghasilkan kesimpulan aglomerasi tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi regional. Hal ini diduga karena Indonesia belum termasuk
industri maju sehingga aglomerasi belum bisa menjadi ukuran yang baik sebagai faktor
yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
2. Sandhika dan Hendarto (2011) aglomerasi yang diukur dari proporsi PDRB atas harga
konstan tahun 2000 di 19 Kecamatan di Kabupaten Kendal memiliki dampak positif
terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kendal. Estimasi menggunakan ordinary
least square dengan jumlah observasi sebanyak 57.
3. Prasetyo ( 2010) mengukur Aglomerasi dengan indeks spesialisasi industri manufaktur.
Indeks spesialisasi industri dalam perspektif regional dapat menyediakan dasar
pertimbangan awal dan bersifat sementara untuk mencari dan mendorong industri lebih
lanjut, serta sebagai indikator untuk melihat apakah suatu daerah melakukan ekspor atau
impor dalam memenuhi kebutuhan daerah. Formula indeks spesialisasi industri yang
digunakan adalah:

Dimana Eir adalah tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) dalam suatu provinsi r, Er
adalah total tenaga kerja pada provinsi r, Ei adalah tenaga kerja IBS di Indonesia, E
adalah total tenaga kerja di Indonesia. Hasil estimasi data panel menggunakan fixed
effects menghasilkan kesimpulan bahwa aglomerasi mempunyai dampak positif
terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Variabel yang memengaruhi terjadinya
aglomerasi yaitu skala ekonomi (semakin besar skala usaha maka semakin
meningkatkan konsentrasi industri), keanekaragaman industri (semakin beragam
semakin mendukung aglomerasi industri), orientasi ekspor dan impor (semakin tinggi

5
orientasi semakin tinggi indeks spesialisasi industri), upah minimun provinsi (upah
yang rendah mendukung terjadinya aglomerasi industri), pendidikan angkatan kerja
(konsentrasi industri memerlukan dukungan tingkat pendidikan tenaga kerja yang lebih
tinggi), dan besarnya pasar (besarnya pasar akan memengaruhi pemilihan lokasi
industri). Sedangkan kepemilikan modal asing dan indeks persaingan (struktur pasar)
tidak berpengaruh secara statistik dalam memengaruhi aglomerasi industri.
4. Hasanah(2016) menggunakan indeks Balassa dalam mengukur aglomerasi di kabupaten
dan kota di Jawa Tengah. Hasil estimasi data panel menggunakan fixed effects
menyimpulkan bahwa aglomerasi industri tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi ekonomi kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah dikarenakan tingkat
aglomerasi industri di Provinsi Jawa Tengah masih tergolong lemah (berdasarkan
indeks Balassa hanya ada 3 kabupaten/ kota yang tergolong aglomerasi sedang, 15
kab/kota aglomerasi rendah, dan 17 kabupaten/ kota yang belum mengalami
aglomerasi).
2.2 Kajian Teori
2.2.1 Perkembangan Teori Aglomerasi
Setiap teori mengenai aglomerasi dapat digolongkan dalam perspektif klasik atau
moderen. Dalam perspektif klasik aglomerasi merupakan suatu bentuk spasial dan diasosiasikan
dengan konsep penghematan akibat aglomerasi melalui konsep eksternalitas. Berikut bagan
perkembangan pemikiran mengenai aglomerasi yang dirangkum oleh Kuncoro (2000):

Aglomerasi

Klasik Moderen

Penghematan Formasi Eksternalitas Pertumbuhan Biaya


Eksternal Perkotaan Dinamis Kota Transaksi

Lokalisasi vs Marshall- Arrow Central Place vs


Urbanisasi Romer Jacobs Network System

Increasing return Knowledge Ketergantungan Minimisasi biaya


(Penghematan spillover akibat skala vs transaksi akibat
akibat skala) keanekaragaman netralitas skala

Gambar 1. Bagan Perkembangan Pemikiran tentang Aglomerasi

6
Menurut Storper dalam Affandi (2009) aglomerasi dengan pendekatan spasial
mengandung 2 konsep yaitu penghematan internal dan eksternal serta penghematan akibat skala
dan cakupan. Penghematan internal adalah suatu pengurangan biaya secara internal di dalam
perusahaan sebagai dampak adanya aglomerasi. Seberapa jauh pengurangan biaya dapat dicapai
pada suatu perusahaan tergantung dengan efisiensi apakah masih bisa ditingkatkan atau
dipertahankan. Beberapa faktor yang berperan dalam pengurangan biaya secara internal antara
lain pembagian kerja (spesialisasi), digantinya tenaga manusia dengan mesin, melakukan
subkontrak tahapan kegiatan produksi kepada perusahaan lain, dan menjaga titik optimal
produksi yang meminimalkan biaya.
Penghematan eksternal merupakan pengurangan biaya yang terjadi akibat aktivitas di
luar lingkup perusahaan. Penghematan biaya ini muncul akibat perusahaan-perusahaan dalam
industri yang sama bersaing dalam memperoleh pasar dan konsumen. Penghematan juga terjadi
karena adanya tenaga terampil dan bahan baku pada daerah tersebut yang menopang kegiatan
produksi perusahaan. Manfaat aglomerasi industri ini dapat diperkuat oleh sarana prasarana
seperti pendidikan, transportasi, air, dan hiburan yang memungkinakan adanya penghematan
biaya.
Penghematan dalam bentuk skala muncul karena perusahaan menambah produksi
dengan cara memperbesar pabrik. Penghematan terjadi akibat memproduksi output yang banyak
sehingga biaya produksi per unit menurun. Sedikit berbeda dengan penghematan cakupan yang
terjadi karena sejumlah aktivitas atau sub unit usaha secara internal maupun eksternal dapat
dilakukan pada saat yang bersamaan sehingga menghemat biaya.
2.2.2 Ekonometrika Spasial
Ekonometrika spasial merupakan metodologi yang berkaitan dengan efek spasial,
seperti autokorelasi spasial dan heterogenitas spasial. Dengan kata lain, ekonometrika spasial
adalah teknik untuk memodelkan dan menganalisis data (cross-section atau panel) yang di
dalamnya memperhitungkan efek kewilayahan (efek spasial). Efek kewilayahan tersebut
dapat berupa interaksi spasial (autokorelasi spasial) dan struktur spasial (heterogenitas
spasial). Oleh karena itu, model regresi yang digunakan untuk menggambarkan
hubungan yang di dalamnya terdapat efek spasial dinamakan model regresi spasial (Anselin,
1999).
Adanya interaksi (autokorelasi) spasial akan menyebabkan terjadinya
keterkaitan spasial. Keterkaitan ini dipresentasikan dengan nilai observasi pada wilayah
tertentu dipengaruhi oleh nilai observasi pada wilayah lain. Sedangkan heterogenitas
spasial berkaitan dengan ketidakstabilan perilaku hubungan. Hal ini dapat mengakibatkan

7
variansi eror yang tidak konstan (heterokedastisitas spasial) dan perbedaan koefisien
model sehingga fungsi hubungan antar wilayah berbeda (tidak homogen).
Keterkaitan Spasial
Keterkaitan spasial merupakan hubungan yang terjadi karena adanya interaksi
antar wilayah. Hal ini merefleksikan situasi bahwa nilai observasi di wilayah i tergantung
pada nilai observasi tetangganya, yaitu wilayah j dimana i j . Guna memudahkan
pemahaman, untuk selanjutnya keterkaitan ini disebut juga dengan keterkaitan wilayah. Bentuk
keterkaitan antar wilayah jika dipresentasikan dalam formula matematis adalah :
; i = 1,2,…,N. dani j

Interaksi yang terjadi antar wilayah dapat berupa interaksi di bidang ekonomi.
Sebagai contohnya adalah adanya aliran barang dan jasa, migrasi tenaga kerja, aliran
pendapatan termasuk transfer dan pengiriman uang. Interaksi juga dapat terjadi di bidang
teknologi, yaitu terjadinya difusi teknologi dari wilayah yang memiliki teknologi lebih
inggi ke wilayah yang memiliki teknologi yang lebih rendah. Selain itu, situasi politik di
suatu wilayah akan mempengaruhi kebijakan di wilayah tersebut yang akan berdampak ke
wilayah tetangganya.
Besarnya keterkaitan antar wilayah dapat berbeda-beda tergantung dari intensitas dan
kualitas interaksinya. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah letak suatu wilayah
terhadap wilayah lain (tetangga). Semakin dekat letak suatu wilayah terhadap wilayah
lain memungkinkan tingkat interaksi yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah
yang letaknya lebih jauh. Hal ini sesuai dengan hukum geografi Tobler I bahwa “segala
sesuatu berkaitan satu sama lain, namun sesuatu yang dekat memiliki keterkaitan yang lebih
erat dibandingkan yang jauh”.
Keterkaitan yang terjadi antar wilayah dapat berupa keterkaitan positif dan
negatif. Keterkaitan positif terjadi jika suatu wilayah dikelilingi oleh wilayah dengan
karakteristik yang sama. Sebaliknya, keterkaitan negatif terjadi jika suatu wilayah dikelilingi
oleh wilayah lain yang karakteristiknya tidak sama.
Moran’s I sebagai Ukuran Keterkaitan Global
Ukuran keterkaitan global merupakan statistik yang digunakan untuk mengetahui
keterkaitan wilayah secara umum. Seluruh wilayah dianggap memiliki kondisi
keterkaitan yang sama satu dengan yang lainnya. Jadi, nilai statistik yang dihasilkan
mewakili kondisi rata-rata dari seluruh wilayah. Salah satu jenis statistik yang dapat
digunakan adalah indeks Moran’s I :

8
Dimana adalah rata-rata observasi dan adalah penimbang keterkaitan antara wilayah
i dan j. Indeks Moran’s I memiliki nilai harapan dan variansi sebagai berikut:

dimana

; ;

Nilai indeks Moran’s I berada pada range -1 sampai dengan 1. Jika indeks Moran’s I
positif secara signifikan maka akan terjadi pengelompokan wilayah yang memiliki
karakteristik sama. Sedangkan jika indeks Moran’s I negatif secara signifikan maka terjadi
pengelompokan wilayah dengan karakteristik yang tidak sama. Sementara, jika indeks
Moran’s I adalah nol maka tidak ada keterkaitan spasial antar wilayah.
Untuk mengetahui tingkat signifikansi dari keterkaitan wilayah yang ada, dapat
dilakukan pengujian terhadap ouput indeks Moran’s I yang dihasilkan. Hipotesisnya adalah
sebagai berikut.
H0 :I = 0 , (tidak ada keterkaitan antar wilayah)

H1 :I 0 , (terdapat keterkaitan antar wilayah)

Statistik uji yang digunakan adalah

Nilai Z tersebut berdistribusi normal standar. Jika nilai Z lebih besar dari atau lebih kecil
dari maka dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan wilayah yang signifikan pada
tingkat signifikansi α.

Matriks Pembobot Spasial (Spatial Weighting Matrix)


Dalam model spasial ekonometrika, komponen yang paling mendasar adalah adanya
matriks pembobot/ penimbang spasial (W). Matrik inilah yang mencerminkan adanya hubungan
antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Matriks pembobot spasial dapat dibentuk
berdasarkan informasi jarak dari ketetanggaan (neighbourhood), atau dalam kata lain dari jarak
antara satu region dengan region yang lain. Pemilihan matriks pembobot spasial biasanya
berdasar apriori (informasi atau dugaan awal) dan tujuan dari penelitiannya. Hubungan

9
persinggungan (contiguity) merupakan metode pembentukan matriks pembobot spasial dimana
wilayah yang berbatasan secara geografis merupakan neighbour (tetangga).
Ada beberapa metode dalam membentuk suatu matriks penimbang spasial, diantaranya:
1. Linear Contiguity (Persinggungan Tepi); mendefinisikan wij=1 untuk region yang
berada di tepi (edge) kiri maupun kanan region yang menjadi perhatian, wij=0 untuk
region lainnya .
2. Rook Contiguity (Persinggungan Sisi); mendefinisikan wij=1 untuk region yang
bersisian (common side) dengan region yang menjadi perhatian, wij=0 untuk region
lainnya.
3. Bhisop Contiguity (Persinggungan Sudut); mendefinisikan wij=1 untuk region yang titik
sudutnya (common vertex) bertemu dengan sudut region yang menjadi perhatian, wij=0
untuk region lainnya.
4. Double Linear Contiguity (Persinggungan Dua Tepi); mendefinisikan wij=1 untuk dua
entity yang berada di sisi (edge) kiri dan kanan region yang menjadi perhatian, wij=0
untuk region lainnya.
5. Double Rook Contiquity (Persinggungan Dua Sisi); mendefinisikan wij=1 untuk dua
entity di kiri, kanan, utara dan selatan region yang menjadi perhatian, wij=0 untuk
region lainnya.
6. Queen Contiguity (Persinggungan Sisi-Sudut); mendefinisikan wij=1 untuk entity yang
bersisian (common side) atau titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan region
yang menjadi perhatian, wij=0 untuk region lainnya.
Dalam penelitian ini akan digunakan weight matriks Queen Contiguity karena diduga
terdapat efek spasial aglomerasi terhadap produktifitas industri manufaktur antar region yang
berbatasan langsung dengan region lainnya.
Klasifikasi Model Spasial Area
Fitriandari (2018) melakukan pembahasan mengenai model spasial berdasarkan tipe
pembobotannya, analisis spasial dapat dibedakan menjadi analisis dengan pendekatan titik dan
pendekatan area. Pendekatan titik adalah metode yang menggunakan informasi jarak sebagai
pembobotnya. Jenis pemodelan spasial dengan pendekatan titik diantaranya adalah
Geographically Weighted Regression (GWR), Geographically Weighted Poisson Regression
(GWPR), Geographically Weighted Logistic Regression (GWLR), Space-Time Aitoregressive
(STAR), dan Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR).
Analisis spasial dengan pendekatan area adalah menggunakan persinggungan antar
lokasi yang berdekatan. Ukuran kedekatan bergantung pada pengetahuan tentang ukuran dan
bentuk unit observasi yang digambarkan pada peta. Jenis pemodelan dengan pendekatan area

10
antara lain Spatial Autoregressive (SAR), Spatial Error Models (SEM), dan Spatial durbin
Model (SDM).
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Model Empiris
Penelitian dilakukan untuk melihat efek spillover yaitu efek internal maupun eksternal
dari aglomerasi di dalam satu wilayah yang sama. Selain efek spillover, sangat penting untuk
melihat bagaimana aglomerasi mempengaruhi produktifitas ekonomi region yang berdekatan
dalam hal ini melihat efek spasial dari aglomerasi. Untuk melakukan estimasi efek spillover dan
efek spasial dari aglomerasi industri manufaktur, digunakan spesifikasi empiris hasil adopsi dari
Cheng (2015), sebagai berikut:

Dengan y dan aglo adalah produktifitas dan aglomerasi industri manufaktur, i dan j
adalah daerah i dan j, Wij merupakan matriks weight spasial dengan spesifikasi Queen
Contiguity, X dan Y masing-masing merupakan variabel kontrol yang mempengaruhi
produktifitas serta aglomerasi industri manufaktur. Spesifikasi Queen Contiguity digunakan
karena diduga terjadi efek spasial aglomerasi antar daerah yang berbatasan langsung. Efek
spillover aglomerasi dapat dilihat dari parameter α3 , jika parameter tersebut positif dan
signifikan maka terbukti terdapat efek spillover aglomerasi industrianufaktur. Untuk melihat
efek spasial aglomerasi terhadap produktifitas, digunakan parameter α2.
Persamaan produktifitas dan aglomerasi di atas mengasumsikan terdapat hubungan
simultan antara produktifitas dan aglomerasi, sehingga sebelum melakukan estimasi parameter
perlu dilakukan uji endogenitas terhadap variabel aglomerasi, jika tidak terbukti adanya
simultanitas maka untuk melihat efek spillover dan spasial cukup menggunakan persamaan 1
saja, dan diselesaikan sesuai mekanisme model spasial ekonometrik (spasial error atau spasial
lag). Namun jika terbukti ada hubungan simultan antara produktivitas dan aglomersi, maka
untuk melakukan estimasi parameter dapat menggunakan estimator Generalized Spatial Three
Stage Least Square (GS3SLS).
Derajat aglomerasi diukur menggunakan persamaan entropi sebagai berikut:

11
Dimana agloij(t) merupakan entropi lokasi dari industri j pada waktu t di daerah i, eij(t)
merupakan jumlah tenaga kerja dalam industri j daerah i pada waktu t. Semakin tinggi entropi
lokasi memperlihatkan semakin tinggi pula derajat aglomerasi industrinya.
3.2 Definisi Operasional Variabel
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Badan Pusat Statistik berupa
data tahunan hasil Survei Industri Besar Sedang, dari tahun 2008-2017. Struktur data panel
menurut daerah(kabupaten /kota atau provinsi) dan periode waktu tahunan. Defini variabel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Output: total nilai output yang dihasilkan oleh industri manufaktur.
b. Produktifitas: tingkat kinerja perusahaan, dalam penelitian ini menggunakan output per
tenaga kerja.
c. Modal: taksiran modal yang diperlukan oleh industri manufaktur untuk menjalankan proses
produksinya. Persentase modal merupakan proporsi asal modal (swasta nasional, asing,
pemerintah pusat atau daerah) dibagi dengan total modal industri manufaktur.
d. Aglomerasi: derajat aglomerasi yang dalam penelitian ini menggunakan entropi lokasi.
e. Tenaga kerja: jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri manufaktur.
3.3 Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam peneltian ini adalah Generalized Spatial Three
Stage Least Square (GS3SLS). Keunggulan metode GS3SLS adalah sebagai penaksir yang full
information yaitu memperhitungkan korelasi residual antar persamaan. Menurut para ahli
ekonometrika metode GS2SLS sudah cukup baik tetapi metode GS3SLS memberikan hasil
estimasi yang lebih efisien jika dibandingkan dengan GS2SLS. Dalam prosesnya, terdapat 4
tahapan proses GS3SLS, yaitu penaksiran menggunakan Two Stage Least Square (2SLS),
melakukan penaksiran parameter spasial autoregressive dari proses disturbance dalam setiap
persamaan dengan prosedur generalized moments, penaksiran Generalized Spatial Two Stage
Least Square (GS2SLS), tahap terakhir adalah menambahkan proses Seemingly Unrelated
Regression (SUR), sehingga estimasi parameter yang dihasilkan sudah memperhitungkan
adanya korelasi error antar persamaan.
3.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini antara lain:
1. Aglomerasi industri manufaktur memiliki efek spillover lebih besar dari nol.
2. Aglomerasi industri manufaktur mempunyai dampak keterkaitan antar region (efek
spatial).
3. Terdapat hubungan simultan antara aglomerasi industri dan produktifitas tenaga kerja
sektor industi manufaktur.

12
Daftar Pustaka

Affandi, M.I. (2009). Peran Agroindustri dalam Perekonomian Wilayah Provinsi Lampung:
Analisis Keterkaitan antar sektor dan Aglomerasi Industri. Disertasi.Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Anselin, L. (1999).Spatial Econometrics. Dallas: Center School of Social Sciences,
University of Texas.

Azari.,et al.. (2016).The effect of agglomeration on the productivity of urban


Manufacturing sectors in a leading emerging economy. Economic System .
doi:10.1016/j.ecosys.2015.08.005
Chang dan Oxley. (2009).Industrial agglomeration, geographic innovation and total factor
productivity:The case of Taiwan. Mathematics and Computers in Simulation .doi:
10.1016/j.matcom.2008.09.003
Cheng,Z.(2015).The spatial correlation and interaction between manufacturing agglomeration
and environmental pollution. Ecological Indicators 61,1024–1032.
doi: 10.1016/j.ecolind.2015.10.060
Fitriandari,M.(2018). Penerapan Generalized Method of Moment (GMM) pada persamaan
Simultan Durbin Spasial untuk Pemodelan Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN.
Tesis. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Hasanah,F.(2016). Analisis Pengaruh Aglomerasi Industri, Angkatan Kerja dan Human Capital
Investment terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2012-2014.Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Kuncoro, M.(2000). Beyond Agglomeration and Urbanization. Gadjah Mada International
Journal of Business, 2(3): 307-325.
Lin, H.-L., et al.(2011).Agglomeration and productivity: Firm-level evidence from China's
textile industry. China Economic Review. doi:10.1016/j.chieco.2011.03.003
Pasaribu,Ernawati.(2015).Dampak Spillover Pusat-Pusat Pertumbuhan di Kalimantan. Tesis.
Bogor: Institute Pertanian Bogor.
Prasetyo, R.B.(2010). Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri
terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia.Tesis. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
S.V. Lall.,et al.(2004).Agglomeration economies and productivity in Indian industry. Jurnal of
Development Economics.doi:10.1016/j.jdeveco.2003.04.006

13
Sandhika, A.W., dan Hendarto,M. (2012). Analisis Pengaruh Aglomerasi, Tenaga Kerja, Jumlah
Penduduk, dan Modal terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Kendal. Diponegoro
Journal of Economics,1(1),1-6.
Sholehati,Mar’atun.(2017). Pengaruh Aglomerasi dan Tenaga Kerja Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Kabupaten/Kota di Prov Lampung Periode 2011-2015 dalam Perspektif
Ekonomi Islam. Skripsi. Lampung: Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.
Sodik,J., dan Iskandar,D.(2007). Aglomerasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Peran Karakteristik
Regional di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan,8(2),117-129.
Utami, E.R.(2017). Penerapan Generalized Spatial Three Stage Least Square (GS3SLS) pada
Persamaan Simultan Spasial untuk Pemodelan Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur.
Tesis. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Wibowo,Wisnu A.(2013).Pengaruh Faktor Aglomerasi Industri, Angkatan Kerja dan Tingkat
Upah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2005-2010. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
https://www.bps.go.id/dynamictable/2015/05/06/828/-seri-2010-distribusi-pdb-triwulanan-atas-
dasar-harga-berlaku-menurut-lapangan-usaha-persen-2014-2018.html diakses: April 2018.

14

Anda mungkin juga menyukai