Anda di halaman 1dari 6

A.

DEFINISI
Difteri adalah suatu penyakit infeksi yang bisa menular yang
disebabkan oleh bakteri coryneabacterium diphteria yang
berasal dari membran mukosa hidung dan nasovaring, kulit dan
lesi lain dari orang yang terinfeksi ( Buku pegangan praktik
klinik; Asuhan keperawatan pada Anak edisi 2
oleh: Supriadi, SKp, Msn.
Terbitan: (2010)).
Difteri adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan
bagian atas. Penyakit ini dominan menyerang anak anak,
biasanya bagian tubuh yang diserang adalah tonsil, faring
hingga laring yang merupakan saluran pernafasan bagian atas.
Difteri adalah penyakit infeksi yang mendadak yang disebabkan
oleh kuman Coryneabacterium diphteria. Mudah menular dan
yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dengan
tanda khas terbentuknya pseudo membran dan dilepaskannya
eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal
(Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2, 2007).
Ciri yang khusus pada difteri ialah terbentuknya lapisan yang
khas selaput lendir pada saluran nafas, serta adanya kerusakan
otot jantung dan saraf.
Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari , walaupun dapat singkat
hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu.
Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya
sakit tenggorokan yang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar
antara 37,8 ºC – 38,9ºC. Pada mulanya tenggorok hanya
hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane
putih/keabu-abuan.

B. PATOFISIOLOGI

Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat


serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas
bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke
sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui
pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan
tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2
asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati
kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini
akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk
polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses
translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan
transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P.
Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation
factor-2) yang aktif.

Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan


bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan
mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui proses
NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 +
Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan
proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk
rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan
mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman.
Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula
mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi
semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah
suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman,
tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin,
membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila
dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan.
Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi


sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes).
Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas.
Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan
penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin
yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan
pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin
difteria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin
telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi
dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum
timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam
10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7
minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis
toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan
jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila
pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial.
Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia,
kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular
akut pada ginjal.

C. EPIDEMIOLOGI
Indonesia adalah salah satu negara dengan kasus difteri tertinggi
di dunia. Selama sepuluh tahun terakhir, kasus difteri terbanyak
terjadi pada tahun 2012 di mana terdapat 1192 kasus difteri yang
tercatat. Selanjutnya, terjadi tren penurunan jumlah kasus
mencapai 342 kasus pada tahun 2016 dengan provinsi Jawa
Timur sebagai kontributor terbesar kasus difteri.
Namun, pada tahun 2017 terjadi peningkatan jumlah kasus
difteri di Indonesia. Sejak 1 Januari sampai dengan 4 November
2017, tercatat 591 kasus difteri dengan 32 kematian di 95
kabupaten/kota di 20 provinsi di Indonesia. Hal ini kemudian
direspon oleh Kementerian Kesehatan dengan melakukan
respons cepat kejadian luar biasa (KLB) dengan langkah
Outbreak Response Immunization (ORI) pada 12 kabupaten/kota
di 3 provinsi yang mengalami KLB, yakni Banten, Jawa Barat,
dan DKI Jakarta. Berdasarkan data Kemenkes RI, pada tahun
2015 cakupan vaksin DPT3 rutin di Indonesia mencapai 93,1%.
Berdasarkan data tahun 2015, sebanyak 37% kasus difteri
merupakan penderita yang belum mendapatkan imunisasi DPT3.
Tingkat mortalitas difteri sangat bervariasi, dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti bakteremia, usia, serta adanya
komplikasi seperti asfiksia maupun miokarditis. Tingkat
mortalitas ini diperkirakan sekitar 5-10% pada populasi umum
dan meningkat tajam hingga 30-40% jika terjadi bakteremia.
Tingkat mortalitas pada anak-anak kurang dari lima tahun dan
dewasa lebih dari 40 tahun sebesar 20%. Jika terjadi komplikasi,
kematian umumnya terjadi pada hari ketiga atau keempat.
MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

“DIFTERI”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 5

1 APRILIA KARTIKA SARI J210160079

2 ADRIANA J2101600

3 EUCHA J2101600

PRODI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2018

Anda mungkin juga menyukai