Anda di halaman 1dari 30

7

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Penyakit Jantung Koroner

2.1.1 Pengertian

Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung dan

pembuluh darah yang disebabkan karena penyempitan arteri

koroner. Penyempitan pembuluh darah terjadi karena proses

aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya.

Aterosklerosis yang terjadi karena timbunan kolesterol dan

jaringan ikat pada dinding pembuluh darah secara perlahan-lahan,

hal ini sering ditandai dengan keluhan nyeri pada dada (Davidson,

2003).

Bila aliran darah ke otot jantung lambat, maka jantung tidak

mendapatkan oksigen dan zat nutrisi yang cukup. Hal ini biasanya

mengakibatkan nyeri dada yang disebut angina atau nyeri dada.

Pada waktu jantung harus bekerja lebih keras terjadi

ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan oksigen, Bila

satu atau lebih dari arteri koronaria mengalami sumbatan total,

akibat yang terjadi adalah kerusakan pada otot jantung (Davidson,

2003).
8

Gambar 2.1 Mekanisme pembentukan thrombosis Sumber : Davidson, 2003

Penyumbatan pembuluh darah koroner terjadi akibat adanya

proses ateroskelosis, yang diawali dengan penimbunan lemak

pada lapisan-lapisan pembuluh darah tersebut. Proses

aterosklerosis sebenarnya sudah dimulai sejak masa kanak-kanak,

tetapi baru manifestasi pada usia dewasa, usia pertengahan atau

usia lanjut. Selain proses aterosklerosis ada juga proses lain, yakni

spasme (penyempitan) pembuluh darah koroner tanpa adanya

kelainan anatomis, yang secara tersendiri atau bersama-sama

memberikan gejala iskemia (Davidson, 2003).

Pemeriksaan yang paling terpercaya untuk mengetahui

penyumbatan arteri koronaria adalah angiografi koroner, juga

disebut kateterisasi jantung. Bila ditemukan penyempitan yang


9

bermakna, maka ada beberapa pilihan penyelesaian, yakni

melebarkannya dengan balon atau bedah pintas (Davidson, 2003).

2.1.2 Etiologi

Penyebab penyakit jantung koroner secara umum dibagi

atas dua, yakni menurunnya asupan oksigen yang dipengaruhi

oleh aterosklerosis, tromboemboli, vasopasme, dan meningkatnya

kebutuhan oksigen miokard. Dengan perkataan lain, ketidak

seimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dengan

masukannya.

Dikenal 2 keadaan ketidakseimbangan masukan terhadap

kebutuhan oksigen itu, yaitu hipoksemia (iskemia) yang

ditimbulkan oleh kelainan vaskuler (arteri koronaria) dan hipoksia

(anoksia) yang disebabkan kekurangan oksigen dalam darah.

Perbedaannya ialah pada iskemia terdapat kelainan vaskuler

sehingga perfusi ke jaringan berkurang dan eliminasi metabolit

yang ditimbulkannya (misal asam laktat) menurun juga sehingga

gejalanya akan lebih cepat muncul (Davidson, 2003).

Ruptur dari plak aterosklerosis dianggap penyebab

terpenting dari angina pektoris tidak stabil (APTS) sehingga tiba-

tiba terjadi oklusi (sumbatan) subtotal atau total dari arteri

koronaria yang sebelumnya mempunyai penyumbatan atau

penyempitan minimal. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang


10

berdekatan dengan intinya yang normal. Terjadinya ruptur

menyebabkan aktivasi, adhesi, dan agregasi platelet dan

menyebabkan aktivasi timbulnya trombus. Bila trombus menutup

pembuluh darah 100% akan menyebabkan infark dengan elevasi

segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%, dan

hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak

stabil (Gray, 2005).

Namun yang berperan penting dalam proses yang

mendorong terjadinya penyakit jantung koroner adalah faktor-

faktor risiko PJK. Berdasarkan survei Lembaga Lembaga Joint

National Committe 7 (JNC 7) dan National Cholesterol Education

Program’s Adult Treatment Panel (NCEP ATP) tentang Penyakit

Jantung Koroner, terdapat dua faktor resiko PJK, yaitu faktor yang

dapat dikendalikan dan faktor yang tidak dapat dikendalikan (NIH,

2002).

Faktor risiko yang dapat dikendalikan atau modifiable risk

factors terdiri atas kebiasaan merokok, tekanan darah tinggi

(hipertensi), dislipidemia, penyakit diabetes melitus, aktivitas fisik

dan obesitas. Faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan atau non-

modifiable risk factors terdiri atas keturunan, usia dan jenis

kelamin (NIH, 2002).


11

Pria mempunyai risiko 2-3 kali daripada wanita. Pada pria

insidensi tertinggi kasus PJK pada usia 50 – 60 tahun, sedangkan

pada wanita pada usia 60 – 70 tahun. Kandungan nikotin di dalam

rokok dapat merusak dinding (endotel) pembuluh darah sehingga

dapat terbentuk timbunan lemak yang akhirnya terjadi

penyumbatan pembuluh darah. Pada laki-laki usia pertengahan

(45-65 tahun) dengan kadar profil lipid yang tinggi (kolesterol total

: >240 mg/dl, trigliserida: >200 mg/dl, kolesterol HDL: <40 mg/dl,

kolesterol LDL : >160 mg/dl) risiko terjadinya PJK akan meningkat.

(Bahri, 2004 ; Supriyono, 2008).

Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan

trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri

koronaria, sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis

koroner (faktor koroner) yang merupakan penyebab PJK. Diabetes

melitus dapat meningkatkan risiko gangguan terhadap banyak

sistem sirkulasi termasuk CHD (Coronary Heart Disease) (Bahri,

2004 ; Supriyono, 2008).


12

2.1.3 Faktor-Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner

1. Faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan

a. Jenis Kelamin

Dari sisi jenis kelamin, pria lebih sering terkena

serangan jantung dibanding perempuan. Tetapi setelah

menopause, frekuensinya sama antara pria dan wanita.

Tomaszewski (2008) dari University of Leicester,

meneliti sebanyak 933 laki-laki dengan usia rata-rata 19

tahun yang berpartisipasi dalam studi Young Men

Cardiovascular Association. Tomaszewski menyelediki

adanya interaksi antara kadar hormon hormon seksual

estradiol, estron, testosteron, dan androstenedion, dengan 3

faktor risiko mayor penyakit jantung (kolesterol, tekanan

darah dan berat badan). Dalam studi ini diteliti hubungan

antara estrogen dalam darah (estradiol dan estron) maupun

androgen (testosteron dan androstenedion) dengan faktor

risiko mayor kardiovaskular (kadar lipid, tekanan darah, dan

indeks massa tubuh) pada 933 laki-laki muda sehat dengan

median usia 19 tahun (Tomaszewski, 2008)

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa 2 jenis hormon

seksual (yaitu estradiol dan estron, yang secara bersama

disebut estrogen) berhubungan dengan meningkatnya kadar


13

kolesterol-LDL dan menurunnya kadar koleterol-HDL pada

laki-laki (Tomaszewski, 2008).

Studi ini memperlihatkan bahwa salah satu hormon

seksual yaitu estradiol mempunyai korelasi positif dengan

kolesterol total dan mempunyai korelasi negatif dengan

kolesterol HDL. Kadar hormon seks lain yaitu estron,

menunjukkan korelasi positif kuat dengan kolesterol total

maupun kolesterol HDL (Tomaszewski, 2008).

Hal ini menunjukkan bahwa hormon seksual mungkin

merupakan faktor risiko yang penting untuk timbulnya

penyakit jantung pada laki-laki, dan hal ini sudah terjadi

sebelum adanya gejala penyakit arteri koroner atau stroke

(Sumiati, 2010;Karson, 2012 ).

Tim peneliti ini menyatakan bahwa kadar hormon

seksual dalam sirkulasi darah berhubungan dengan faktor

risiko penyakit kardiovaskular pada laki-laki, jauh sebelum

timbulnya manifestasi penyakit kardiovaskular seperti stroke

dan infark miokard. Jadi, laki-laki yang mempunyai kadar

estron dan estradiol tertinggi, mempunyai risiko

kardiovaskuler tertinggi juga, karena kadar kolesterol LDLnya

tinggi sedangkan kadar kolesterol HDLnya yang bersifat

protektif justru berkadar rendah (Tomaszewski, 2008).


14

b. Umur

Budhi Setianto, seorang dokter spesialis jantung dan

pembuluh darah dari Departemen Kardiologi dan Kedokteran

Vaskuler FKUI dalam penjelasannya di sebuah seminar 2012

mengatakan makin bertambah usia, makin mudah kena

serangan jantung. Jumlah penderita PJK pria masih dapat

dikatakan lebih besar dibandingkan perempuan (Arif, 2008 :

Wahyuningsih, 2011).

Faktor hormonal yang menyebabkan hal tersebut.

“Seperti yang sudah disebutkan, perempuan baru akan

mengidap PJK di usia 55 tahun ke atas, sementara pria di

usia 45 tahun ke atas. Ada jarak 10 tahun antara usia pria

dan perempuan, yang artinya, perempuan memiliki 10 tahun

waktu lebih lama terlindungi dari PJK dibandingkan pria

(Tomaszewski, 2008 : Wahyuningsih, 2011).

Alasannya, karena perempuan mengalami menstruasi

dengan siklus yang cenderung teratur setiap bulannya.

Dengan menstruasi wanita mengeluarkan zat feritin

(semacam protein) yang diduga merupakan faktor risiko

penyakit jantung koroner. Feritin ini, secara teratur

dikeluarkan bersama menstruasi yang dialami perempuan.

Sementara, feritin di dalam tubuh pria tak bisa mengalami


15

proses pengeluaran, sehingga tetap mendekam di dalam

tubuh. (Sumiati, 2010;Karson, 2012 ).

Hormon estrogen mampu melindungi kaum hawa dari

penyakit degeneratif, salah satunya PJK. Hormon estrogen

inilah yang dapat memberikan efek proteksi terhadap

mekanisme aliran darah dari dan ke dalam jantung. Hormon

estrogen ini mampu meningkatkan high density lipoprotein

(HDL) atau kolesterol baik, serta menurunkan low density

lipoprotein (LDL) atau kolesterol jahat yang dapat

menimbulkan proses pengapuran di pembuluh darah yang

kemudian akan menyumbat aliran darah saat memasuki

pembuluh-pembuluh darah menuju jantung (Sumiati,

2010;Karson, 2012 ).

Dengan meningkatnya HDL di dalam darah oleh

hormon estrogen, sumbatan di pembuluh darah yang

disebabkan oleh LDL ini dapat dihancurkan. Selain itu,

estrogen pun dapat memperlebar pembuluh darah agar

aliran darahnya menjadi lancar. Dengan demikian,

perempuan yang sudah mengalami menopause, otomatis

produksi hormon estrogen akan jauh berkurang. Saat inilah

perempuan mulai dapat dikatakan rentan terkena PJK.

(Sumiati, 2010;Karson, 2012 )

c. Riwayat Keluarga Yang menderita PJK


16

Faktor keluarga dan genetika mempunyai peranan

bermakna dalam patogenesis PJK. Pada penelitian Fazida,

dkk 2009 menyimpulkan bahwa terdapat 35,7% penderita

PJK mempunyai riwayat keluarga menderita penyakit jantung

serta hipertensi dan resiko terkena PJK pada orang yang

mempunyai riwayat keluarga 3,8 kali dibanding yang tidak

mempunyai riwayat keluarga.

2. Faktor resiko yang dapat dikendalikan

Faktor risiko yang dapat diubah dengan cara berperilaku

sehat sehari-hari, antara lain merokok, hipertensi, kolesterol

tinggi, kelebihan berat badan, DM, dan aktivitas fisik yang

kurang.

Tabel 2.1 Faktor Resiko mayor dan Minor PJK

Faktor Resiko Mayor Faktor Resiko Minor

- Merokok - Lemak jenuh


- Diabetes Melitus - Garam dan kolesterol
- Hipertensi - Tidak berolahraga/
- Diet tinggi kalori inaktifitas
- Hiperlipidemia - Obesitas
Sumber: Suryaatmadja, Marzuki 2010

a. Merokok

Merokok merupakan salah satu faktor risiko utama

PJK di samping hipetensi dan hiperkolesterolemia. Orang

yang merokok lebih 20 batang perhari dapat mempengaruhi

atau memperkuat efek dua faktor utama resiko lainnya.


17

Penelitian Sanders, mendapatkan kematian

mendadak akibat PJK pada laki-laki perokok 10 kali lebih

besar daripada bukan perokok dan pada perempuan perokok

4 kali lebih besar daripada bukan perokok. Rokok dapat

menyebabkan 25 % kematian PJK pada laki-laki dan

perempuan umur di bawah 65 tahun atau 80 % kematian

PJK pada laki-laki umur di bawah 45 tahun. (Karson, 2012 ).

Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard

bertambah karena rangsangan oleh katekolamin dan

menurunnya konsumsi oksigen akibat inhalasi CO. Akibat

selanjutnya adalah takikardi, vasokonstruksi pembuluh

darah, perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan

perubahan 5-10 % Hb menjadi carboksi-Hb. Nikotin akan

menyebabkan debaran yang lebih cepat dan gas CO akan

mengikat butir darah merah (hemoglobin) lebih kuat

dibanding oksigen sehingga oksigenisasi jantung relatif

berkurang (Karson, 2012 ).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Selim (2013)

didapati hasil yang menunjukkan nadi istirahat perokok

secara signifikan lebih tinggi ( p < 0,001 ) dan tekanan darah

sistolik ( p = 0,001 ) dibandingkan dengan non perokok dan

memiliki resiko lebih besar terhadap angka kejadian PJK.


18

Di samping itu rokok dapat menurunkan kadar HDL

kolesterol. Makin banyak jumlah rokok yang dihisap, kadar

HDL kolesterol makin menurun. Pada perempuan perokok

maka penurunan kadar HDL kolesterolnya lebih besar

dibandingkan laki-laki perokok. Merokok juga dapat

meningkatkan tipe IV hiperlipidemi dan hipertrigliserid,

pembentukan platelet yang abnormal pada diabetes melitus

disertai obesitas dan hipertensi sehingga perokok cenderung

lebih mudah terjadi proses aterosklerosis daripada yg bukan

perokok. (Karson, 2012 ).

Kenfield, 2008 dari Harvard School of Public Health di

Boston dan para koleganya dalam laporan yang berjudul

Smoking and Smoking Cessation in Relation to Mortality

yang diterbitkan dalam Journal of the American Medical

Association menunjukkan bahwa terdapat 64% kematian

pada perokok serta 28% kematian pada mantan perokok.

Apabila berhenti merokok, maka penurunan resiko

PJK akan mencapai 50 % pada akhir tahun pertama setelah

berhenti merokok dan kembali seperti yang tidak merokok

setelah berhenti merokok 10 tahun. Harus diupayakan

seseorang berhenti merokok untuk selama-lamanya.

Menghentikan merokok secara total memungkinkan tapi


19

dapat juga sedikit demi sedikit mengurangi jumlah rokok

yang dihisap sampai akhirnya berhenti total (Karson, 2012 ).

b. Hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama

untuk terjadinya PJK. Hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) 2007 menunjukkan, sebagian besar kasus

hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis. Hal ini terlihat

dari hasil pengukuran tekanan darah pada usia 18 tahun ke

atas ditemukan prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar

31,7%. Sebesar 7,2% penduduk yang sudah mengetahui

memiliki hipertensi dan hanya 0,4% kasus yang minum obat

hipertensi.

Adapun Klasifikasi Hipertensi menurut JNC VII (Joint

National Committee VII) terdapat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi menurut JNC VII (2003)


Tekanan Darah
Klasifikasi Sistolik Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 <80
Pre-Hipertesi 120-139 80-90
Hipertensi stage I 140-159 90-99
Hipertensi Stage II ≥160 ≤100
Sumber : Kuswardhani (2007)

Penyebab kematian akibat hipertensi di Amerika adalah

kegagalan jantung 45 %, miokard infark 35 %,

cerebrovascular accident 15 % dan gagal ginjal 5 %.

Komplikasi yang terjadi pada hipertensi esensial biasanya


20

akibat perubahan struktur arteri dan arterial sistemik,

terutama terjadi pada kasus-kasus yang tidak diobati. Mula-

mula akan terjadi hipertrofi dari tunika media diikuti dengan

hialinisasi setempat dan penebalan fibrosis dari tunika intima

dan akhirnya akan terjadi penyempitan pernbuluh darah.

Tempat yang paling berbahaya adalah bila mengenai

miokardium, arteri dan arterial sistemik arteri koroner dan

serebral serta pembuluh darah ginjal. Komplikasi terhadap

jantung akibat hipertensi yang paling sering terjadi adalah

kegagalan ventrikel kiri, PJK seperti angina pektoris dan

miokard infark.

Dari beberapa penelitian Framingham 1965 didapatkan

± 50 % penderita miokard infark menderita hipertensi dan 75

% kegagalan ventrikel kiri penyebabnya adalah hipertensi.

(Supriyono, 2008)

Klasifikasi hipertensi khususnya pada jantung

disebabkan karena :

 Meningkatnya tekanan darah

Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang

berat untuk jantung, sehingga menyebabkan hipertrofi

ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan ini tergantung dari

berat dan lamanya hipertensi.

 Mempercepat timbulnya aterosklerosis


21

Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan

menimbulkan trauma langsung terhadap dinding

pembuluh darah arteri koronaria dan memudahkan

terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini

memunculkan gejala angina pektoris, insufisiensi koroner

dan miokard infark lebih sering didapatkan pada

penderita hipertensi dibandingkan orang normal.

Tekanan darah sistolik diduga mempunyai

pengaruh yang lebih besar dari pada tekanan diastolik.

Kejadiannya PJK pada hipertensi sering ditemukan dan

secara langsung berhubungan dengan tingginya tekanan

darah sistolik. Penelitian Framingham selama 18 tahun

terhadap penderita berusia 45-75 tahun mendapatkan

hipertensi sistolik merupakan faktor pencetus terjadinya

angina pektoris dan miokard infark. Penelitian tersebut

juga mendapatkan penderita hipertensi yang mengalami

miokard infark mortalitasnya 3 kali lebih besar daripada

penderita yang normotensi dengan miokard infark.

Tekanan darah yang normal merupakan penunjang

kesehatan yang utama dalam kehidupan dan ada

hubungannya dengan faktor keturunan, perilaku dan cara

kehidupan, kebiasaan merokok dan alkoholisme, diet

serta pemasukan natrium & kalium yang seluruhnya


22

adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan pola

kehidupan seseorang. Kesegaran jasmani juga

berhubungan dengan tekanan darah sistolik, seperti yang

didapatkan pada penelitian Fraser dkk, orang-orang

dengan kesegaran jasmani yang optimal tekanan

darahnya cenderung lebih rendah. Penelitian di Amerika

Serikat melaporkan pada dekade terakhir ini telah terjadi

penurunan angka kematian PJK sebanyak 25 %.

Keadaan ini mungkin akibat hasil dari deteksi dini dan

pengobatan hipertensi pemakaian beta-bloker dan bedah

koroner serta perubahan kebiasaan merokok.

Bagi mereka yang hipertensi, ada baiknya

mengukur tekanan darah setiap ke dokter atau satu

sampai dua kali setahun jika tubuh dalam keadaan sehat.

Tetapi, jika mengidap hipertensi, harus diet rendah

garam, menurunkan berat badan bagi yang berlebihan,

minum obat, dan kontrol ke dokter sesuai dengan

anjuran.

c. Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) terbukti merupakan faktor

risiko yang kuat untuk semua penyakit aterosklerotik.

Mortalitas dan morbiditas PJK pada penderita DM 2-3 kali


23

lipat dibandingkan dengan yang non DM. Pada penderita DM

dewasa 75-80 % akan meninggal karena komplikasi PJK.

Berdasarkan Standards of Medical Care in Diabetes

2013, beberapa kriteria dan monitoring untuk DM tersebut

yakni, A1C > 6,5 % atau Fasting plasma glucose (FPG) >

126 mg/dL (7 mmol/L), puasa didefinisikan tidak adanya

ambilan kalori sedikitnya selama 8 jam, 2 jam glukosa

plasma > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) selama oral glucose

tolerance test (OGTT) dengan asupan glukosa sebanding

dengan 75 glukosa anhydrous yang dilarutkan.

Pasien dengan keluhan klasik hiperglikemia atau

krisis hiperglikemia dengan glukosa darah sewaktu > 200

mg/dL (11,1 mmol/L) atau dengan riwayat konsumsi obat DM

secara teratur. Intoleransi terhadap glukosa sejak dulu telah

diketahui sebagai predisposisi penyakit pembuluh darah.

Penelitian Hong Wang dan kolegannya 2011

menunjukkan laki-laki yang menderita DM resiko PJK 50 %

lebih tinggi daripada orang normal, sedangkan pada

perempuan resikonya menjadi 2 kali lipat. Mekanismenya

belum jelas, akan tetapi terjadi peningkatan tipe IV

hiperlipidemidan hipertrigliserid, pembentukan platelet yang

abnormal dan DM yang disertai obesitas dan hipertensi.


24

Mungkin juga banyak faktor-faktor lain yang

mempengaruhinya.

Diusahakan berolahraga 3-5 kali seminggu, dengan

durasi 30-60 menit setiap berolahraga. Untuk kelebihan berat

badan, agar dikendalikan dengan kisaran indeks massa

tubuh 21-25 kilogram/meter persegi.

d. Dislipidemia

Penelitian Balitbang Kesehatan tahun 2000,

menghasilkan persentasi tertinggi dibanding faktor risiko

yang lain seperti hipertensi, DM, merokok, dan kepribadian

Tipe A, yaitu 70,4 %.

Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang

ditandai oleh peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam

plasma. Kelainan fraksi utama dari lipid adalah kenaikan

kadar kolesterol total, Low Density lipoprotein (LDL) dan

trigliserida serta penurunan High Density lipoprotein (HDL).

Adult Treatment Panel (ATP) III memberi batasan

dislipidemia aterogenik adalah peningkatan trigliserida, small

dense LDL dan penurunan HDL.

Kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) yang

dikenal sebagai kolesterol jahat dan kolesterol HDL (High

Density Lipoprotein) yang dikenal sebagai kolesterol baik.

LDL membawa kolesterol dari hati ke sel, dan HDL berperan


25

membawa kolesterol dari sel ke hati. Kadar kolesterol LDL

yang tinggi akan memicu penimbunan kolesterol di sel, yang

menyebabkan munculnya atherosclerosis (pengerasan

dinding pembuluh darah arteri) dan penimbunan plak di

dinding pembuluh darah. Lipoprotein-a diperkirakan berperan

pada atherogenesis dengan mentranspor molekul LDL dan

mempengaruhi proliferasi sel otot polos vaskular,

menghambat fibrinolisis, dan mempengaruhi fungsi platelet.

Hal ini dihubungkan dengan peningkatan risiko

penyakit akibat gangguan pembuluh darah seperti penyakit

jantung koroner. Sedangkan HDL dapat mengangkut

kolesterol dari jaringan tepi, termasuk plak atherosklerotik,

untuk dibawa ke hati atau dibuang dalam bentuk asam

empedu. Proses tersebut disebut reverse cholesterol

transport. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan plak

atherosklerosis tidak hanya berkaitan dengan peningkatan

kadar LDL, namun juga rendahnya HDL dan

hipertrigliseridemia.
26

Tabel 2.3 Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol


HDL, dan trigliserid menurut NCEP-ATP III 2001
KOLESTEROL KOLESTEROL
TOTAL HDL
< 200 Optimal < 40 Rendah
200 – 239 Diinginkan > 60 Tinggi
> 240 Tinggi

Kolesterol LDL Trigliserid


< 100 Optimal < 150 Optimal
100 – 129 Mendekati optimal 150 – 199 Diinginkan
130 – 159 Diinginkan 200 – 499 Tinggi
160 – 189 Tinggi > 500 Sangat
> 190 Sangat tinggi tinggi
Sumber : The National Cholesterol Education Program’s Adult Treatment Panel III, 2001

Profil lemak yang normal adalah sebagai berikut,

kadar kolesterol darah di bawah 200 mg/dl, kadar kolesterol

LDL di bawah 150 mg/dl, kadar kolesterol HDL di atas 35

mg/dl, dan kadar trigliserida dibawah 200 mg/dl, seperti yang

ditunjukkan pada tabel 2.3. Hal yang juga tidak kalah

pentingnya adalah rasio kolesterol LDL dan kolesterol HDL

yang kurang dari 3,5. Kadar kolesterol HDL yang rendah

seringkali dijumpai bersamaan dengan kadar trigliserida yang

tinggi Jika kadar kolesterol total kurang dari 200 mg/dl, maka

seseorang dikatakan beresiko rendah terhadap penyakit

jantung. Sementara total kolesterol antara 200-239 mg/dl,

maka dia beresiko terserang penyakit jantung, dan jika total

kolesterol lebih dari 240 mg/dl, maka termasuk yang beresiko

tinggi terhadap penyakit jantung.

Kolesterol LDL yang merupakan kolesterol buruk

harus diturunkan kadarnya dengan diet rendah kolesterol.


27

Hal ini misalnya, mengurangi kuning telur, jeroan, udang, dan

goreng-gorengan. Sebaliknya kolesterol baik atau HDL justru

ditingkatkan kadarnya dengan cara berolahraga, berhenti

merokok, makan ikan laut, dan sebagainya.

e. Obesitas

Obesitas adalah status gizi dimana indeks massa

tubuh ≥ 25 kg/m2. Obesitas juga dapat diartikan sebagai

kelebihan jumlah lemak tubuh > 19 % pada laki-laki dan > 21

% pada perempuan. Berdasarkan data dari WHO tahun

2008, prevalensi obesitas pada usia dewasa di Indonesia

sebesar 9,4% dengan pembagian pada pria mencapai 2,5%

dan pada wanita 6,9%

Obesitas sering didapatkan bersama-sama dengan

hipertensi, DM dan hipertrigliserdemia. Obesitas juga dapat

meningkatkan kadar kolesterol total dan LDL kolesterol.

Resiko PJK akan jelas meningkat bila berat badan mulai

melebihi 20 % dari berat badan ideal. Obesitas akan

mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah sekitar

10 -30 %. (Sumiati, 2010)

Hal ini tentu merupakan beban tambahan bagi

jantung, otot jantung akan mengalami perubahan struktur

berupa hipertropi atau hiperplasi yang keduanya dapat

mengakibatkan terjadinya gangguan pompa jantung atau


28

lazim disebut sebagai gagal jantung atau lemah jantung.

Pada gagal jantung penderita akan merasakan lekas capek,

sesak napas bila melakukan aktifitas ringan, sedang,

ataupun berat (tergantung dari derajat lemah jantung).

(Sumiati, 2010;Karson, 2012 )

Obesitas dapat mempercepat terjadinya penyakit

jantung koroner melalui:

 Obesitas mengakibatkan terjadinya perubahan lipid

darah, yaitu peninggian kadar kolesterol darah, kadar

LDL-kolesterol meningkat, penurunan kadar HDL-

kolesterol.

 Obesitas mengakibatkan terjadinya hipertensi, akibat

penambahan volume darah, peningkatan kadar renin,

peningkatan kadar aldosteron dan insulin, meningkatnya

tahanan pembuluh darah sistemik, serta terdapatnya

penekanan mekanis oleh lemak pada dinding pembuluh

darah tepi.

Obesitas akan mengakibatkan terjadinya

peningkatan faktor-faktor pembekuan darah,

sebagaimana diketahui bahwa faktor pembekuan darah

merupakan faktor resiko untuk terjadinya serangan

jantung dan stroke. Obesitas akan meningkatkan resiko

stroke 20 % dan resiko serangan jantung sebesar 8 kali


29

lipat dibanding mereka yang bukan obesitas. Jika berat

badan naik 20 % maka angka kematian meningkat 20 %

pada pria dan 10 % pada wanita. Seperti penelitian yang

dilakukan Wira, dkk 2006 di denpasar dari hasil

penelitiannya terdapat 51,1% penderita PJK dengan

obesitas dari total keseluruhan sampel.

Obesitas pada masa kanak-kanak biasanya akan

mempunyai efek atau pengaruh yang lebih buruk

terhadap jantung dibanding jika obesitas didapat setelah

usia dewasa. Hal ini disebabkan oleh karena : efek

samping obesitas ditentukan oleh berat dan lamanya

obesitas. Kerusakan atau kelainan otot jantung akibat

obesitas sering disebut sebagai penyakit otot jantung

obesitas (obesity heart muscle disease) atau

kardiomiopati. (Sumiati, 2010;Karson, 2012)

f. Inaktivitas fisik

Pada latihan fisik akan terjadi dua perubahan pada

sistem kardiovaskuler, yaitu peningkatan curah jantung dan

redistribusi aliran darah dari organ yang kurang aktif ke organ

yang aktif. Aktivitas aerobik secara teratur menurunkan risiko

PJK, meskipun hanya 11 % laki-laki dan 4 % perempuan

memenuhi target pemerintah untuk berolah raga.


30

Disimpulkan juga bahwa olah raga secara teratur

akan menurunkan tekanan darah sistolik, menurunkan kadar

katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadar kolesterol dan

lemak darah, meningkatkan kadar HDL lipoprotein,

memperbaiki sirkulasi koroner dan meningkatkan percaya

diri.

Diperkirakan sepertiga laki-laki dan dua per tiga

perempuan tidak dapat mempertahankan irama langkah

yang normal pada kemiringan gradual (3 mph pada gradient

5 %). Olah raga yang teratur berkaitan dengan penurunan

insiden PJK sebesar 20 – 40 %. (31) Dengan berolah raga

secara teratur sangat bermanfaat untuk menurunkan faktor

risiko seperti kenaikan HDL-kolesterol dan sensitivitas insulin

serta menurunkan berat badan dan kadar LDL-kolesterol.

(Sumiati, 2010)

2.2 Berbagai Penelitian Terkait Penyakit Jantung Koroner

Sebelumnya telah ada beberapa penelitian luar dan

dalam negeri yang dilakukan mengenai faktor-faktor resiko

jantung koroner namun untuk memastikan keaslian dari

penelitian ini peneliti menjamin terdapatnya kecenderungan

perbedaan secara substansial diantara dan didalam populasi

penelitian dalam hal morbiditas dan mortalitas akibat PJK.


31

Beberapa penelitian terdahulu tentang faktor risiko PJK

antara lain :

Penelitian yang dilakukan oleh Fiscella dan Franks

(2004) di Amerika Serikat dengan judul penelitian “Should

Years of Schooling Be Used to Guide Treatment of Coronary

Risk Factors?” dalam penelitian ini diperoleh bahwa jenis

kelamin angka kejadian lebih tinggi pada laki-laki (RR 1,4,

95% CI, 1,2-1,6) dan pasien yang riwayat merokok (RR 1,4,

95% CI, 1,1-1,6), kolesterol total lebih besar dari 280 mg / dL

(RR 1,6, 95% CI, 0,9-2,7), dan tekanan darah darah sistolik

130 -139 mm Hg (RR 1,6, 95% CI, 1,0-2,4) memiliki resiko

yang besar untuk menderita PJK (Fiscella , 2004)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kuklina (2006) dan

beberapa temannya tahun 2006 di Amerika Serikat dengan

judul penelitian “Prevalence of Coronary Heart Disease Risk

Factors and Screening for High Cholesterol Levels Among

Young Adults, United States, 1999–2006 dan mendapatkan

hasil 59% orang dewasa muda itu menderita PJK dengan

memiliki satu faktor risiko atau lebih.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Yusnidar tahun

2007 di RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan judul penelitian

“Faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner Pada wanita

usia > 45 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa


32

faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian PJK dan faktor

risiko pada wanita usia> 45 y adalah menopause (OR = 7,2,

95% CI 2,1-24,8), penuaan (≥ 66 y) (OR = 6,0, 95% CI 2,1-

17,2); aktivitas fisik (duduk waktu ≥ 3,25 jam / d) (OR = 4,1,

95% CI 1,7-9,9), riwayat diabetes mellitus (OR = 3,9, 95% CI

1,6-9,6), riwayat hipertensi (OR = 3,5, 95% CI 1,6-7,8); dan

pengetahuan tentang penyakit jantung (OR = 2,4, 95% CI

1,1-5,3) (Yusnidar, 2007).

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Supriyono

Supriyono tahun 2008 di RSUP DR. Kariadi Dan RS

Telogorejo Semarang dengan judul penelitian “Faktor-faktor

risiko yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit jantung

koroner pada kelompok Usia < 45 tahun. hasil penelitian

yang dilihat dari analisa multivariate menunjukkan bahwa

faktor-faktor yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian

PJK dan merupakan faktor risiko PJK pada kelompok usia <

45 tahun adalah: dislipidemia (p=0,006 dan OR=2,8 ; 95%

CI=1,3-6,0), kebiasaan merokok (p=0,011 dan OR=2,4 ; 95%

CI=1,2-4,8), adanya penyakit DM (p=0,026 dan OR=2,4; 95%

CI=1,2-5,9) dan penyakit DM dalam keluarga (p=0,018 dan

OR=2,3 ; 95% CI=1,1-4,5) (Supriyono, 2008)

Dan penelitian yang dilakukan oleh Zainal Abidin pada

tahun 2008 di cardiovascular care unit (CVCU) Cardiac


33

Centre RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dengan

judul penelitian “Faktor risiko penyakit jantung koroner pada

pasien rawat inap di cardiovascular care unit (cvcu) cardiac

centre RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo makassar periode

januari – juli 2008. Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa

distribusi penderita penyakit jantung koroner menurut jenis

kelamin adalah laki-laki tiga kali lebih banyak dibanding

perempuan (Abidin, 2008).

Adapun distribusi penderita penyakit jantung koroner

pada penelitian Zainal yang terbanyak berada pada rentang

umur antara 46 tahun – 65 tahun yaitu sebanyak 87 kasus

(65,9%). Umur termuda adalah subyek yang berumur 35

tahun, sedangkan yang tertua adalah 88 tahun. Sedangkan,

distribusi penderitapenyakit jantung koroner menurut riwayat

merokok, tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Distribusi

jumlah penderita PJK yang memiliki riwayat hipertensi, dua

kali lebih banyak dibandingkan penderita PJK yang tidak

memiliki riwayat hipertensi. Distribusi penderita PJK menurut

riwayat DM adalah jumlah penderita PJK yang tidak memiliki

riwayat DM, tiga kali lebih banyak dibanding penderita PJK

yang memiliki DM. Distribusi penderita PJK menurut riwayat

PJK dalam keluarga adalah jumlah penderita PJK yang tidak

memiliki keterangan anamnesis mengenai riwayat keluarga


34

menderita PJK sepuluh kali lebih banyak dibanding penderita

PJK yang memiliki atau tidak memiliki riwayat keluarga PJK,

dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara

penderita PJK yang memiliki riwayat keluarga menderita PJK

dengan penderita PJK yang tidak memiliki riwayat keluarga

menderita PJK. (Abidin, 2008).

Distribusi penderita PJK menurut riwayat Dislipidemia

adalah jumlah penderita PJK yang memiliki riwayat

Dislipidemia tiga kali lebih banyak di banding penderita PJK

tanpa riwayat dislipidemia. Distribusi penderita PJK menurut

obesitas adalah jumlah penderita PJK yang tidak obesitas

delapan kali lebih banyak di banding penderita PJK yang

obesitas. Distribusi penderita PJK menurut jumlah faktor

risiko, diperoleh delapan puluh persen yang memiliki 3-5

faktor risiko, sedangkan yang paling sedikit adalah penderita

dengan 1 dan 7 faktor risiko sebanyak 1 kasus. (Abidin,

2008).
35

2.3 Kerangka Konsep Penelitian

2.4 Hipotesis

a. Hipotesis Mayor

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang

tidak dapat dimodifikasi berpengaruh terhadap angka kejadian PJK

pada kelompok usia ≥ 45 tahun.

b. Hipotesis Minor

1. Kebiasaan merokok memiliki keeratan hubungan terhadap

kejadian PJK pada usia ≥ 45 tahun.

2. Dislipidemia memiliki keeratan hubungan terhadap kejadian PJK

pada usia ≥ 45 tahun.

3. Usia ≥45 tahun memiliki keeratan hubungan terhadap kejadian

PJK
36

4. Jenis kelamin merupakan memiliki keeratan hubungan terhadap

kejadian PJK pada usia ≥45 tahun

Anda mungkin juga menyukai