Anda di halaman 1dari 32

RINGKASAN MATERI KULIAH PERPAJAKAN II

KONSEP DASAR PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)


DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
(PPnBM)
Nama Dosen: Dra. Ni Ketut Lely Aryani Merkusiwati, M.Si, Ak

Diusulkan oleh Kelompok 5:

`Ni Kadek Yuta Paramitha (1515351026)/01

I Made Gilang Jhuniantara (1707532104)/25

Ni Luh Putu Katrin Edelwis (1707532106)/26

I Gusti Ayu Ngurah Pradnyadevi Utami (1707532111)/31

PROGRAM STUDI AKUNTANSI NON REGULER

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN 2018

BALI
A. Konsep Dasar PPN dan PPn BM
A) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai diperkenalkan di Indonesia sejak 1 april
1985 untuk menggantikan Pajak Penjualan (PPn). Hal ini dituangkan dalam UU No 8
tahun 1983. PPN diatur dalam UU No 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM,
selanjutnya diubah dengan UU No.11 tahun 1994, lalu diubah dengan UU No. 18 tahun
2000, terakhir diubah lagi dengan UU No.42 tahun 2009.
PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di
Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi
(Siti Resmi, 2012:1). Dalam Dirjen Pajak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan atas setiap pembelian Barang Kena Pajak
dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak baik di dalam wilayah Indonesia maupun dari luar
daerah Pabean.
Pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak, sehingga
dikenakan PPN, kecuali jenis barang yang diatur dalam Undang Undang PPN.
Misalnya barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya, barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya dan uang, emas batangan, dan surat-surat berharga. Ada juga
barang yang merupakan Barang Kena Pajak tetapi PPNnya dibebaskan, misalnya buku
pelajaran umum dan buku pelajaran agama dan barang-barang tertentunya.
Ekspor BKP berwujud oleh PKP, ekspor BKP dikenakan PPN, hanya jika yang
melakukan adalah pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP. Ekspor BKP tidak
berwujud oleh PKP, pengusaha yang melakukan ekspor BKP tidak berwujud adalah
hanya pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. Ekspor JKP
oleh PKP. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha
atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya diigunakan sendiri atau
digunakan pihak lain. Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva
tersebut tidak untuk diperjual belikan sepanjang pajak masukan yang dibayar pada saat
perolehan menurut ketentuan dapat dikreditkan.

1
B) Dasar Pengenaan PPN
a. Harga Jual
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak.
b. Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa
Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk
PPN yang dipungut menurut Undang- Undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya
dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh
penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
c. Nilai Impor
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea
masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena
Pajak.
Nilai Impor adalah CIF (Cost, Insurance, and Freight) + Bea Masuk.
d. Nilai Ekspor
Nilai Ekspor adalah adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
e. Nilai Lain
Nilai Lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain
Sebagai DPP dan Peraturan Menteri Keuangan No.102/PMK.11/2011 tentang nilai
lain sebagai DPP atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah
pabean, di dalam daerah pabean berupa film cerita impor dan penyerahan film cerita
impor

2
C) Perhitungan PPN
PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
Mekanisme Perhitungan PPN dapat diuraikan sebagai berikut:
a. PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 UU PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak.
b. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran
untuk Masa Pajak yang sama.
c. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak
Masukan tetap dapat dikreditkan.
d. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
e. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih
besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak
yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak
berikutnya.
f. Apabila dalam suatu Masa Pajak, PKP selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak,
sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti
dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
g. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak
terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang
pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan
menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
h. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang
dikenakan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dapat dihitung dengan

3
menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
i. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pemeriksaan.

D) PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah)


PPnBM adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi BKP yang tergolong
mewah didalam daerah pabean.
Dasar Pengenaan PPnBM
a. Perlu adanya keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang
berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi.
b. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah.
c. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional.
d. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara.
PPnBM dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu
impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
BKP yang tergolong mewah adalah:
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi atau apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral serta
mengganggu ketertiban masyarakat.

B. Dasar Hukum PPn dan PPnBM


Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang tetap
dinamakan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

4
Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 jo. Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18
Tahun 2000.
Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa
yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor
12 Tahun 2006.
Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor dan atau
Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak
Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau
Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.

C. Syarat Penyerahan Barang atau Jasa Terutang PPN


A) Penyerahan Barang Kena Pajak
Pengertian penyerahan dimaksudkan sebagai penyerahan hak, pengalihan hak
atas barang, pemakaian sendiri dan penyerahan lainnya seperti penyerahan karena
konsinyasi. Termasuk dalam pengertian penyerahan barang Kena Pajak sesuai dengan
Undang-undang PPN adalah:
1. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak Karena Suatu Perjanjian
Perjanjian yang dimaksudkan meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli
dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.

2. Pengalihan Barang Kena Pajak Karena Satu Perjanjian Sewa Beli Dan Atau
Perjanjian Sewa Guna Usaha (leasing).

5
Penyerahan Barang Kena Pajak juga dapat terjadi karena perjanjian sewa beli
atau perjanjian sewa guna usaha (leasing). Adapun yang dimaksud dengan penyerahan
karena perjanjian sewa guna usaha adalah penyerahan yang disebabkan oleh perjanjian
sewa guna usaha dengan hak opsi. Meskipun pengalihan atau penyerahan hak atas
Barang Kena Pajak belum dilakukan dan pembayaran atas harga jual Barang Kena
Pajak tersebut dilakukan secara bertahap, tetapi karena pengusaan atas Barang Kena
Pajak telah berpindah dari penjual kepada pembeli atau dari lessor kepada lessee, maka
penyerahan Barang Kena Pajak dianggap telah terjadi pada saat perjanjian
ditandatangani, kecuali apabila saatnya berpindahnya pengusaan secara nyata atas
Barang Kena Pajak tersebut terjadi lebIh dahulu daripada saat ditandatanganinya
perjanjian.
3. Penyerahan Barang Kena Pajak Kepada Pedagang Perantara Atau Melalui Juru
Lelang
Pedagang perantara adalah orang pribadi atau badan yang dalam lingkungan
perusahaan atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau
perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas jasa
tertentu, misalnya komisioner. Sedangkan yang dimaksud dengan juru lelang adalah
juru lelang pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.
4. Pemakaian Sendiri Dan Atau Pemberian Cuma-Cuma Atas Barang Kena Pajak.
Pemakaian sendiri diartikan sebagai pemakaian untuk kepentingan pengusaha
sendiri, pengurus, atau karyawannya. Sedangkan pemberian cuma-cuma diartikan
sebagai pemberian yang diberikan tanpa pembayaran, antara lain pemberian contoh
barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan atau aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan.
Persediaan Barang Kena Pajak dan asset yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
disamakan dengan pemakaian sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang
Kena Pajak. Khusus untuk asset yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, hanya dikenakan PPN apabila memenuhi persyaratan, yaitu bahwa
PPN yang dibayar pada saat perolehanya dapat dikreditkan.

6
6. Penyerahan Barang Kena Pajak Dari Pusat Ke Cabang Atau Sebaliknya Dan
Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Antarcabang.
Apabila suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang,
yaitu tempat melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pihak lain, baik
sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, maka undang-undang ini
menganggap bahwa pemindahan Barang Kena Pajak antartempat tersebut merupakan
penyerahan Barang Kena Pajak. Yang dimaksud dengan cabang dalam ketentuan ini
termasuk antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan sejenisnya.
7. Penyerahan Barang Kena Pajak Secara Konsinyasi.
Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, PPN yang sudah dibayar pada waktu
Barang Kena Pajak bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan
dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak
yang dititipkan tersebut.
Sebaliknya jika Barang Kena Pajak titipan tersebut tidak laku dijual dan
diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik Barang Kena Pajak pengusaha yang
menerima titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai pengembalian
Barang Kena Pajak (retur) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A tentang PPN dan
PPn BM. Perlu diketahui bahwa penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi oleh
pengusaha kecil sesuai dengan ketentuan Undang-undang PPN, tidak dikenakan pajak
Pertambahan Nilai.
8. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka
perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah yang
penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak
yang membutuhkan Barang Kena Pajak.

Tidak termasuk dalam penyerahan Barang kena Pajak adalah:


1. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
2. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang.
3. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan
penyerahan Barang Kena Pajak antarcabang, dalam hal Pengusaha Kena Pajak
tersebut telah memperoleh izin pemusatan tempat pajak terutang

7
4. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang
melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena
Pajak.
5. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan
yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan.

B) Penyerahan Jasa Kena Pajak


Pengertian Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan
pemberian JKP, termasuk JKP yang digunakan untuk kepentingan sendiri atau JKP
yang diberikan secara cuma-cuma oleh Pengusaha Jasa Kena Pajak. Pemakaian JKP
untuk kepentingan sendiri atau pemberian JKP secara cuma-cuma termasuk alam
pengertian penyerahan JKP, dengan pertimbangan untuk mempertahankan adanya
perlakuan yang sama sebagaimana halnya pada pemakaian Barang Kena Pajak untuk
kepentingan sendiri atau penyerahan barang secara cuma-cuma oleh Pengusaha Kena
Pajak. Berikut ini akan diuraikan mengenai pengenaan PPN atas beberapa jasa.
1. Jasa Kustodian
Jasa kustodian merupakan jasa yang dilakukan oleh bank yang dapat berupa
jasa penitipan, jasa settlement, jasa aksi korporasi (corporate actions), dan jasa
registrasi. Jasa kustodian yang berupa jasa penitipan adalah jasa yang terutang PPN.
Sedangkan jasa kustodian yang berupa jasa settlement, jasa corporate actions, dan jasa
registrasi merupakan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN.
2. Jasa Consumer Credit, Credit Card, dan Debit Card
Berdasarkan Surat Edaran No. 34/PJ.53/1995 Tanggal 1 Agustus 1995, jasa
consumer credit, credit card, dan debit card merupakan jenis jasa yang tidak dikenakan
PPN, sehingga atas penyerahannya tiak terutang PPN. Atas penyerahan Barang Kena
Pajak atau JKP yang harganya dilunasi dengan menggunakan fasilitas consumer credit
atau credit card atau debit card, tetap terutang PPN dan atau PPnBM sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
3. Jasa Penagihan Listrik dan Telepon oleh Bank

8
Berdasarkan Surat Edaran No. SE. 63/PJ.53/1995 Tanggal 29 Desember 1995,
jasa penagihan rekening listrik dan telepon yang dilakukan oleh bank merupakan jasa
yang tidak dikenakan PPN. Dengan demikian atas penyerahan jasa penagihan listrik
dan telepon tersebut tidak terutang PPN.
4. Jasa Angkutan dan Jasa Ekspedisi Muatan
Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-426/PJ.53/1996 Tanggal 13 Februari 1996
menyatakan bahwa jasa angkutan umum di darat, laut, udara, maupun sungai yang
dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta, dan jasa angkutan udara luar negeri,
termasuk di dalamnya jasa angkutan dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari jasa angkutan umum di laut, danau, sungai adalah dikategorikan
sebagai Jasa Kena Pajak, sehingga penyerahannya terutang PPN. Sebagai contoh, jasa
Ekspedisi Muatan Kapal laut dan Udara (EMKL dan EMKU) adalah Jasa Kena Pajak
sehingga penyerahannya terutang PPN.

C) Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak


Pertambahan Nilai (BKP Tertentu)
a. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat udara di
udara, kendaraan lapis baja, kendaraan angkutan khusus lainnya, dan
komponen atau bahan yang diperlukan dalam pembuatan senjata dan amunisi
oleh PT. PINDAD, untuk keperluan TNI dan POLRI
b. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional
(PIN)
c. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama
d. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkapan ikan, kapal
tongkang dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat
keselamatan manusia yang digunakan untuk kegiatan usaha Perusahaan
Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional
e. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang
digunakan untuk kegiatan usaha Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional

9
f. Kereta api dan suku cadang serta serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan serta prasarana yang digunakan untuk kegiatan usaha PT Kereta
Api Indonesia;
g. Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan photo udara
wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia
(TNI) untuk mendukung pertahanan nasional
h. Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok
boro, asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya yang batasannya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Menteri
Pemukiman dan Prasarana Wilayah

D) Penyerahan Jasa Kena Pajak Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak


Pertambahan Nilai (JKP Tertentu)
a. Jasa yang menerima oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau
perusahaan penangkapan ikan nasional yang meliputi:
1) Jasa persewaan kapal
2) Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa
labuh
3) Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal
b. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang
meliputi:
1) Jasa persewaan pesawat udara
2) Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara
c. Jasa perawatan atau reparasi kerata api yang diterima oleh PT Kereta Api
Indonesia
d. Jasa yang diserahkan oleh kontraktor untuk pemborongan bangunan
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf h dan pembangunan tempat yang
semanta-mata untuk keperluan ibadah
e. Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah sangat
sederhana
f. Jasa yang diserahkan oleh Tentara Nasional Indonesia dalam rangka
tersedianya data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia

10
g. TNI atau POLRI yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu
berupa senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat
angkutan di udara, kendaraan lapis baja, kendaraan angkutan khusus lainnya,
untuk keperluan TNI dan POLRI, wajib mempunyai Surat Keterangan Bebas
Pajak Pertambahan Nilai yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
h. PT. PINDAD yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu berupa
komponen atau bahan yang di perlukan dalam pembuatan senjata dan amunisi
untuk keperluan TNI dan POLRI, wajib mempunyai Surat Keterangan Bebas
Pajak Pertambahan Nilai yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
i. Orang atau badan yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu
wajib mempunyai Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai yang
dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
j. TNI yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu wajib
mempunyai Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai yang
dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
k. Pengusaha yang menyerahkan Jasa Kena Pajak Tertentu wajib melaporkan
usahanya kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak.
l. Orang atau badan yang menerima penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu tidak
diwajibkan mempunyai Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai yang
dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
m. Pengusaha yang melakukan penyerahan wajib menerbitkan Faktur Pajak yang
Pajak Pertambahan Nilainya dibebaskan.

E) Nilai Penyerahan Yang Menggunakan Valuta Asing


Apabila terjadi penyerahan BKP dan atau JKP yang pembayarannya ternyata
dilakukan dengan menggunakan valuta asing, maka sesuai Peraturan Pemerintah No.
50 tahun 1994 diatur:
Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan
menggunakan kurs yang berlaku sesuai Keputusan Menteri Keuangan pada saat Faktur
Pajak dibuat.
Terhadap penyerahan BKP dan atau JKP dilakukan kepada pemungut PPN,
besarnya pajak yang terutang harus dikonversi ke mata uang rupiah dengan kurs yang
11
berlaku sesuai Keputusan Menteri Keuangan pada saat pemungut PPN melakukan
pembayaran.

D. Subjek dan Objek PPN & PPn BM


A) Objek PPN
Pada dasarnya semua barang dan jasa adalah objek PPN. Tetapi oleh karena
adanya pertimbangan ekonomi, sosial dan budaya, maka diatur sendiri oleh Undang-
undang PPN bahwa ada barang dan jasa tertentu yang tidak dipungut serta
dikecualikan dari pengenaan PPN dan dibebaskan dari pungutan PPN.
Objek PPN dapat dikelompokan ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu:
Barang Kena Pajak yaitu barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya
dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud
yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Jasa Kena Pajak yaitu setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu
perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau
kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk
menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk
dari pemesan, yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Apa saja yang menjadi Objek PPN selengkapnya diatur dalam Undang-undang
PPN pasal 4, pasal 16 C, dan pasal 16 D.
1. Pasal 4
PPN dikenakan atas:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
b. Impor Barang Kena Pajak;
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan

12
h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
2. Pasal 16 C
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan
yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata
caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
3. Pasal 16 D
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak
berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh
Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak
dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.”

B) Objek PPnBM
PPnBM terutang hanya pada dua peristiwa yaitu pada saat impor BKP yang
tergolong mewah dan pada saat penyerahan BKP tergolong mewah oleh Pabrikan.
BKP yang tergolong mewah berarti:
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat yang
berpenghasilan tinggi; atau
d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat serta
mengganggu ketertiban masyarakat seperti minuman beralkohol.

C) Subjek PPN
1. Pengusaha kena pajak
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah pengusaha yang melakukan
kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 huruf a yaitu menyerahkan BKP,
Pasal 4 ayat 1 huruf c yaitu menyerahkan JKP, dan Pasal 4 ayat 1 huruf f UU PPN
1984 yaitu mengekspor BKP, serta bentuk kerjasama operasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 3 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012. Sedangkan
pengertian PKP dirumuskan dalam Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984 yaitu pengusaha
yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP atau ekspor BKP.
13
Berdasarkan memori penjelasan Pasal 4 ayat huruf a dan huruf c UU PPN 1984
“pengusaha” yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dalam ketentuan ini
meliputi, baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, maupun pengusaha
yang seharusnya dikukuhkan sebagai PKP, tetapi belum dikukuhkan. Oleh karena itu,
ketika seorang pengusaha atau suatu perusahaan menyerahkan BKP/JKP yang
dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, pad dasarnya sudah dapat dikenai
pPPn tanpa menunggu pengukuhan sebagai PKP.
Berbeda halnya dengan ekspor BKP. Dalam memori penjelasan Pasal 4 ayat 1
huruf f, ekspor BKP dapat dikenai PPN hanya apabila yang melakukan ekspor adalah
pengusaha yang sudah dikukuhkan menjadi PKP. Dalam hal eksportir belum
dikukuhkan menjadi PKP, atas ekspor BKP ini tidak dikenai PPN. Pemahaman yangs
ama berlaku terhadap Pasal 4 ayat 1 huruf g dan huruf h.
2. Pengusaha Tidak Kena Pajak
Pengusaha bukan PKP yang menjadi subjek PPN meliputi pengusaha yang
melakukan kegiatan dimaksud Pasal 4 ayat 1 huruf b, huruf d, dan huruf e serta Pasal
16C UU PPN 1984.pengukuhan pengusaha ini sebagai atau menjadi PKP, bukan faktor
yang menentukam statusnya sebagai subjek pajak.

E. Mekanisme Pemungutan PPN dan PPnBM di Indonesia


Terkait dengan mekanisme pemungutan pajak ini ada tiga konsep yang harus
dipahami terlebih dulu, yaitu:
1. Pajak Keluaran adalah Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh
PKP yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, atau ekspor BKP.
2. Pajak Masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena
perolehan BKP dan atau penerimaan JKP dan atau pemanfaatan BKP tidak
terwujud dari luar daerah pabean dan atau pemanfaatan JKP dari luar daerah
pabean dan atau impor BKP.
3. Faktru Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP yang
melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP, atau bukti pungutan pajak
kena impor BKP yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
(DJCB).

14
Mekanisme pemungutan PPN dan PPnBM ini mencakup dua hal yaitu pengkreditan
pajak masukan dan restitusi.
1. Pengkreditan Pajak Masukan.
Pajak masukan dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan denga pajak
keluaran untuk masa pajak yang sama (Pasal 9 ayat (2) UU PPN). Apabila ketentuan
tersebut tidak dapat dilakukan, misalnya faktur pajak standar terlambat diterima dari
pemasoknya, maka pajak masukan belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada
masa pajak yang sama. Dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya paling lama tiga
bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan sepanjang:
a. Pajak masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau tidak
dikapitalisasikan ke dalam harga perolehan BKP atau JKP yang bersangkutan,
dan;
b. Belum dilakukan pemeriksaan. (Pasal 9 ayat (9) dan Pasal 9 ayat (8) huruf (i)
UU PPN).
Meskipun jangka waktu tiga bulan setelah berakhirnya tahun buku tersebut
telah terlampaui, pengkreditan pajak masukan tersebut masih dapat dilakukan melalui
pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN yang bersangkutan selambat-lambatnya
dalam jangka waktu dua tahun sesudah berakhirnya masa pajak.
2. Restitusi.
Sedangkan dalam mekanisme restitusi PPN dan atau PPnBM, mulai tahun
2001 PKP boleh mengajukan permohonan restitusi pada setiap masa pajak.
Mekanisme restitusi PPN dan/atau PPnBM adalah sebagai berikut.
a. Permohonan restitusi disampaikan kepada Kepala KPP di tempat PKP
dikukuhkan.
b. Permohonan restitusi ditentukan satu permohonan untuk satu masa pajak.
c. Permohonan restitusi dengan cara mengisi kolo yang tersedia dalam SPT Masa
PPN atau dengan surat tersendiri (PPnBM atau atas kelebihan pembayaran
pajak karena pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang) dan dilampiri
faktur pajak masukan dan faktur pajak keluaran, untuk impor BKP harus ada
pemberithuan impor barang, surat setoran pajak atau bukti pungutan pajak dari
DJCB, laporan pemeriksaan surveyor (LPS), untuk ekspor BKP dilampirkan
pemberitahuan ekspor barang (PEB), Bill of Lading atau Airway Bill dan wesel

15
ekspor. Dalam hal penyerahan BKP atau JKP kepada pemungut PPN,
dilampirkan kontrak surat perintah kerja dan suat setoran pajak. Sedangkan
dalam hal permohonan pengembalian yang diajukan meliputi kelebihan
pembayaran akibat kompensasi Masa Pajak sebelumnya, maka yang
dilampirkan meliputi seluruh dokumen yang berkenaan dengan kelebihan
pembayaran PPN Masa Pajak yang bersangkutan.

F. Pengertian Pengusaha Kena Pajak (PKP)


Pengusaha Kena Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan
perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Sedangkan Pengusaha dapat didefinisikan sebagai orang pribadi atau badan
dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan
barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa,
atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
Singkatan PKP juga biasa dipakai untuk menyebut Penghasilan Kena Pajak
dalam konteks Pajak Penghasilan.
Dalam artian bisa dikatakan mengenai Pengertian Pengusaha Kena Pajak (PKP)
adalah:
Orang Pribadi atau Badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya:
a. Menghasilkan Barang Kena Pajak (BKP).
b. Mengimpor Barang Kena Pajak (BKP).
c. Mengekspor Barang Kena Pajak (BKP).
d. Melakukan usaha perdagangan.
e. Memanfaatkan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar daerah
pabean.
f. Melakukan usaha Jasa Kena Pajak (JKP).

16
g. Memanfaatkan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean.
Untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) bagi Orang Pribadi atau Badan
harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan
Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) ke Kantor Pelayanan Pajak dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Setiap Orang Pribadi atau Badan harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan
Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila Peredaran usaha atau
Omzet dalam 1 (satu) tahun lebih dari Rp.4.800.000.000,-.
2. Bagi Orang Pribadi atau Badan yang mempunyai Peredaran usaha atau Omzet
dalam 1 (satu) tahun tidak lebih dari Rp.4.800.000.000,-. dapat mendaftarkan
diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan
disebut Pengusaha Kecil Kena Pajak.
3. Dalam hal Orang Pribadi atau Badan telah dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak (PKP) dan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya
dalam satu tahun buku tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah) dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
Apabila Wajib Pajak sudah menjadi Pengusaha Kena Pajak, maka mempunyai
beberapa kewajiban dalam bidang perpajakan, yaitu antara lain:
a. Menerbitkan Faktur Pajak untuk setiap Penyerahan Barang Kena Pajak dan
atau Jasa Kena Pajak.
b. Menyetorkan PPN yang kurang bayar dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat pada akhir bulan
berikut sebelum melaporkan SPT Masa PPN.
c. Melaporkan Transaksi Penyerahan Barang Kena Pajak, Barang Tidak Kena
Pajak, Jasa Kena Pajak dan Jasa Tidak Kena Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak
dengan menggunakan SPT Masa PPN paling lambat pada akhir bulan berikut.

G. Pengertian Faktur Pajak


Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak Pengusaha Kena Pajak (PKP), yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak
(JKP). Artinya, ketika PKP menjual suatu barang atau jasa kena pajak, ia harus

17
menerbitkan Faktur Pajak sebagai tanda bukti dirinya telah memungut pajak dari orang
yang telah membeli barang/jasa kena pajak tersebut. Perlu diingat bahwa barang/jasa
kena pajak yang diperjualbelikan, telah dikenai biaya pajak selain harga pokoknya.
PKP adalah bisnis/perusahaan/pengusaha yang melakukan penyerahan barang
kena pajak dan/atau JKP yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PKP harus
dikukuhkan terlebih dahulu oleh DJP, dengan beberapa persyaratan tertentu. Faktur
Pajak harus dibuat oleh PKP untuk setiap penyerahan BKP dan/atau JKP, ekspor BKP
tidak berwujud, dan ekspor JKP.
Adapun jenis-jenis faktur pajak:
1. Faktur Pajak Keluaran adalah faktur pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena
Pajak saat melakukan penjualan terhadap barang kena pajak, jasa kena pajak,
dan atau barang kena pajak yang tergolong dalam barang mewah;
2. Faktur Pajak Masukan adalah faktur pajak yang didapatkan oleh PKP ketika
melakukan pembelian terhadap barang kena pajak atau jasa kena pajak dari
PKP lainnya;
3. Faktur Pajak Pengganti adalah penggantian atas faktur pajak yang telah terbit
sebelumnya dikarenakan ada kesalahan pengisian, kecuali kesalahan pengisian
NPWP. Sehingga, harus dilakukan pembetulan agar sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya;
4. Faktur Pajak Gabungan adalah faktur pajak yang dibuat oleh PKP yang
meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli barang kena
pajak atau jasa kena pajak yang sama selama satu bulan kalender;
5. Faktur Pajak Digunggung adalah faktur pajak yang tidak diisi dengan identitas
pembeli, nama, dan tandatangan penjual yang hanya boleh dibuat oleh PKP
Pedagang Eceran;
6. Faktur Pajak Cacat adalah faktur pajak yang tidak diisi secara lengkap, jelas,
benar, dan/atau tidak ditandatangani termasuk juga kesalahan dalam pengisian
kode dan nomor seri. Faktur pajak cacat dapat dibetulkan dengan membuat
faktur pjak pengganti;
7. Faktur Pajak Batal adalah faktur pajak yang dibatalkan dikarenakan adanya
pembatalan transaksi. Pembatalan faktur pajak juga harus dilakukan ketika ada
kesalahan pengisian NPWP dalam faktur pajak.

18
Ada pula dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur
pajak. Yaitu dokumen yang tidak memiliki format sebagaimana faktur pajak pada
umumnya, tetapi tetap dipersamakan kedudukannya dengan faktur pajak. Contohnya
adalah tagihan listrik, tagihan pemakaian air, tagihan telepon selular, dan lain
sebagainya.
Peran penting Faktur Pajak sangat berguna bagi PKP. Dengan adanya faktur
pajak maka PKP memiliki bukti bahwa PKP telah melakukan penyetoran,
pemungutan hingga pelaporan SPT Masa PPN sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Jika tejadi kesalahan dalam mengisi faktur pajak, PKP dapat melakukan
pembetulan faktur pajak tersebut. Jika tidak dilakukan pembetulan sama sekali, maka
hal ini akan merugikan PKP yakni pada saat auditor memeriksa pajak PKP.

H. Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak PPN & PPn BM


Tarif PPN dan PPn BM :
1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen).
2. Tarif PPN sebesar 0% (sepuluh persen) diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud;
b. ekspor BKP Tidak Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.
3. Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi
200% (dua ratus persen).
4. Tarif PPnBM atas ekspor BKP yang tergolong mewah adalah 0% (nol persen).

Dasar Pengenaan Pajak (DPP):


Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak
yang terutang, berupa: Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai
Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
1. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP),
tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

19
2. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak
(JKP),ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang
PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai
berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud.
3. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea
masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP,
tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN.
4. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
5. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan
Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut :
1. untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
2. untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
3. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga
jual rata-rata;
4. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
5. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
6. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar;
7. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok
penjualan atau harga perolehan;
8. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;

20
9. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10 % (sepuluh persen) dari
jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
10. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10%
(sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.

Contoh Cara Menghitung PPN dan PPnBM


1. PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp
25.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
= 10% x Rp25.000.000,00
= Rp2.500.000,00
PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang
dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “A”.
2. PKP “B” melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh
Penggantian sebesar Rp20.000.000,00 PPN yang terutang yang dipungut oleh
PKP “B”
= 10% x Rp20.000.000,00
= Rp 2.000.000,00
PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang
dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “B”.
3. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan
Nilai Impor sebesar Rp15.000.000,00. PPN yang dipungut melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai
= 10% x Rp15.000.000,00
= Rp 1.500.000,00
4. Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong
Mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp5.000.000,00 Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut selain dikenai PPN juga dikenai PPnBM misalnya
dengan tarif 20%. Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah:
a. Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00
b. PPN = 10% x Rp5.000.000,00

21
= Rp500.000,00
c. PPn BM = 20% x Rp5.000.000,00
= Rp1.000.000,00
5. Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian
dari suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM
dengan tarif misalnya 35%. Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP
yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar
Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh
PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya. Misalnya PKP “D” menjual BKP
yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN dan PPn BM yang terutang
adalah :
a. Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00
b. PPN = 10% x Rp50.000.000,00
= Rp5.000.000,00
c. PPn BM = 35% x Rp50.000.000,00
= Rp17.500.000,00
PPN sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak
masukan bagi PKP “D” dan PPN sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak keluaran
bagi PKP “D”. Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan.
Begitu pun dengan PPnBM sebesar Rp17.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP
“X”.

I. PPN Masukan dan PPN Keluaran


1. Pajak Masukan
Pajak masukan adalah PPN yang telah dipungut oleh PKP pada saat pembelian
barang atau jasa kena pajak dalam masa pajak tertentu. Pajak masukan dijadikan kredit
pajak oleh PKP untuk memperhitungkan sisa pajak yang terutang.
a. Karakteristik Pajak Masukan
Tata cara umum PPN adalah PKP mengkreditkan pajak masukan dalam suatu
masa dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang sama. Apabila masa pajak
tersebut lebih besar pajak keluaran maka kelebihan pajak keluaran harus disetorkan ke
kas negara. Sebaliknya, apabila dalam masa pajak tersebut pajak masukan lebih besar

22
dari pajak keluaran, kelebihan pajak masukan dapat dikompensasikan ke masa pajak
berikutnya. Dalam tata cara umum tersebut, jumlah yang harus dibayarkan oleh PKP
berubah-ubah sesuai dengan pajak masukan yang dibayar dan pajak keluaran yang
dipungut dalam suatu masa pajak.
2. Pajak Keluaran
Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak,
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud atau ekspor Jasa Kena Pajak.
a. Karakteristik Pajak Keluaran
Sebagai salah satu jenis pajak, PPN sering disebut pajak objektif. Yang
ditekankan pada PPN adalah objek pajak yang akan dikenakan dan subjek pajak
misalnya, barang-barang mewah, kendaraan mewah dan sebagainya. Yang pertama
dikenakan adalah tarif pada setiap barang tersebut. Kemudian wajib pajak
pengonsumsi barang tersebut yang dikenai beban pajaknya sehingga wajib pajak
tersebut disebut sebagai subjek pajak.
PKP melakukan transaksi jual beli barang artinya, PKP mengambil atau
memungut rupiah yang dihasilkan dari penjualan barang kena pajak (BKP) miliknya
yang dibeli konsumen kemudian nantinya dapat berfungsi menjadi kredit pajak.
Adapun batas waktu untuk melakukan pengkreditan pajak keluaran tersebut
adalah tiga bulan setelah masa pajak berakhir sehingga PKP memiliki waktu yang
cukup leluasa untuk melakukan pengkreditan pajaknya.

J. Wajib Pungut (WAPU) PPN


Wajib Pungut atau Wapu adalah pembeli yang seharusnya dipungut PPN tetapi
malah memungut PPN. Bendahara pemerintah dalam posisi belanja barang, dalam
mekanisme normal pembeli dipungut oleh penjual. Tetapi karena ada ketentuan wajib
pungut, maka walaupun posisinya sebagai pembeli tetapi dia malah memungut PPN.
Dasar Hukum
1. Pasal 1 angka 27 dan Pasal 16A UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 stdtd UU PPN
Nomor 42 Tahun 2009

23
2. KMK-563/KMK.03/2003 (Berlaku sejak 1 Januari 2004) tentang penunjukan
Bendaharawan Pemerintah dan KPKN untuk Memungut, Menyetor, dan
Melaporkan PPN dan PPnBM Beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan
Pelaporannya
3. PMK-73/PMK.03/2010 (berlaku sejak 1 April 2010) tentang penunjukan
Kontraktor kontrak kerja sama pengusahaan minyak dan gas bumi, dan
kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin pengusahaan sumber daya
panas bumi untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan PPN dan
PPnBM Beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya
mencabut mencabut PMK-11/PMK.03/2005 (berlaku sejak 1 Februari 2005
s/d 31 Maret 2010) tentang Penunjukan Kontraktor Perjanjian Kerjasama
Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi untuk Memungut,
Menyetor, dan Melaporkan PPN dan PPnBM Beserta Tata Cara Pemungutan,
Penyetoran, dan Pelaporannya
4. PMK-85/PMK.03/2012 (Berlaku sejak 1 Juli 2012) stdd PMK-
136/PMK.03/2012 (Berlaku sejak 16 Agustus 2012)tentang Penunjukan Badan
Usaha Milik Negara Untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah, Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya
Yang Menjadi Wajib Pungut (WAPU) PPN, adalah:
1. Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
2. Kontraktor kontrak kerja sama pengusahaan minyak dan gas bumi; dan kontraktor
atau pemegang kuasa/pemegang izin pengusahaan sumber daya panas bumi
3. Badan Usaha Milik Negara

K. Tata Cara Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan PPN & PPnBM


A) Tarif Pajak
1. Tarif PPN
Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 10%. Sedangkan tarif PPN sebesar 0%
diterapkan atas:
a) Ekspor BKP Berwujud
b) Ekspor BKP Tidak Berwujud

24
c) Ekspor JKP
Pengenaan tarif 0% tidak berarti pembebasan dari pengenaan PPN. Dengan
demikian, Pajak Masukan yang terlah dibayar untuk perolehan BKP/JKP yang
berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau pemingkatan
kebutuhan dana untuk pembangunan, pemerintah diberi wewenang mengubah tarif
PPN menjadi paling rendah 5% dari paling tinggi 15% dengan tetap memakai prinsip
tarif tunggal. Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh
pemerintah kepada DPR dalam rangka pembahasan dan penyusunan RAPBN.
2. Tarif PPnBM
Tarif PPnBM dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu tarif
paling rendah 10% dan paling tinggi 200%. Ketentuan mengenai tarif kelompok BKP
yang tergolong mewah yang dikenai PPnBM dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan ketentuan mengenai jenis Barang yang dikenai PPnBM diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Atas ekspor PPnBM dikenai pajak dengan tarif 0%. PPnBM yang telah dibayar
atas perolehan BKP yang tergolong mewah yang diekspor dapat diminta kembali.
B) Cara Menghitung PPN
Cara menghitung PPN yaitu:
PPN = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak “A” menjual tunai BKP kepada Pengusaha Kena Pajak “B”
dengan harga jual Rp25.000.000,00. PPN yang terutang:
10% x Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00
PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “A”. Sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak “B”, PPN tersebut
merupakan Pajak Masukan.
C) Cara Menghitung PPnBM
Cara menghitung PPnBM, yaitu:
PPnBM = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
Contoh:

25
PKP “ABC” sebagai pabrikan menyerahkan barang hasil produksinya dngan harga jual
Rp10.000.000,00. Barang tersebut merupakan BKP yang tergolong mewah dengan
tarif PPnBM sebesar 40%. Penghitungan pajak yang harus dipungut:
PPN = 10% x Rp10.000.000,00 =Rp 1.000.000,00
PPnBM = 40% x Rp10.000.000,00 = Rp4.000.000,00
D) Yang Wajib Membayar/Menyetor dan Melapor PPN/PPnBM
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
2. Pemungut PPN/PPnBM, adalah:
a) Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
b) Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah
c) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
d) Pertamina
e) BUMN/ BUMD
f) Kontraktor Bagi Hasil dan Kontrak Karya bidang Migas dan
Pertambangan Umum lainnya
g) Bank Pemerintah
h) Bank Pembangunan Daerah
i) Perusahaan Operator Telepon Selular.
E) Yang Wajib Disetor
1. Oleh PKP adalah:
a) PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan
Pajak Keluaran. Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak
Keluaran, bila Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran.
b) PPnBM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP)
yang tergolong mewah.
c) PPN/PPnBM yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP).
2. Oleh Pemungut PPN/PPnBM adalah PPN/PPnBM yang dipungut oleh
Pemungut PPN/PPnBM
F) Tempat Pembayaran/ Penyetoran Pajak
1. Kantor Pos dan Giro

26
2. Bank Pemerintah, Kecuali BTN
3. Bank Pembangunan Daerah
4. Bank Devisa
5. Bank bank lain penerima setoran pajak
6. Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Khusus untuk impor tanpa
LKP
G) Saat Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM
1. PPn dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling
lambat 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak.
Contoh : Masa Pajak Januari 2002, penyetoran paling lambat tanggal 15
pebruari 2002.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP
harus dibayar/ disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB,
SKPKBT, dan STP tersebut.
3. PPN/PPnBM atas impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/
dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen impor.
4. PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh:
a) Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat tanggal (tujuh)
bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b) Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling
lambat 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
c) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM atas
impor, harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan
pajak dilakukan
5. PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik
(BULOG), harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah
Pengeluaran Barang (D.O) ditebus
Catatan:
Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka
pembayaran harus dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.

27
H) Sarana Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM
1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir Surat
Setoran Pajak (SSP) yang tersedia di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan
Kantor-kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) di
seluruh Indonesia.
2. Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah bila jumlah
PPN/PPnBM yang disetorkan telah sesuai dengan yang tercantum di
dalam Daftar Nominatif Wajib Pajak (DNWP) yang dibuat oleh: Bank
penerima pembayaran, Kantor Pos dan Giro, atau Kantor Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai penerima setoran.

I) Pelaporan SPT Masa PPN


Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib
menghitung dan melaporkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) yang terutang.
1. Fungsi dan Tujuan
Sebagai sarana bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk melaporkan dan
mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang sebenarnya terutang.
2. Pelaporan
a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau
melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Bagi Pemotong atau Pemungut, untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan
disetorkannya.
3. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak dalam pengisian SPT Masa PPN
1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang
rupiah, dan menandatangani serta menyampaikan ke kantor Direktorat
Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak dikukuhkan.

28
2) Bagi Wajib Pajak yang menggunakan bahasa asing dan mata uang selain
Rupiah dalam penyelenggaraan Pembukuannya, wajib menyampaikan
Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah
yang diizinkan.
3) Mengambil sendiri Surat Pemberitahuan PPN Masa beserta petunjuk
pengisiannya di Kantor Pelayanan Pajak.
4) Pengisian SPT Masa PPN harus dilakukan dengan lengkap, benar dan
ditandatangani oleh;
a) Pengurus atau direksi untuk Wajib Pajak Badan;
b) Wajib Pajak yang namanya tercantum dalam Kartu NPWP dan SK
PKP bagi Wajib Pajak orang Pribadi;
c) Dalam hal ditanda tangani oleh pihak lain selain tersebut di atas maka
harus dilampiri Surat Kuasa Khusus (per masa pajak dengan
menyebut bulan yang bersangkutan).
5) SPT Masa PPN harus disampaikan dengan lengkap, disertai lampiran
yang telah ditetapkan, SPT yang tidak lengkap dianggap tidak pernah
disampaikan.
6) Bagi PKP Badan-badan tertentu yang ditunjuk sebagai Badan Pemungut,
selain menyampaikan SPT Masa PPN sebagaimana di atas, juga wajib
menyampaikan SPT Masa Pemungut PPN.
4. Penyampaian SPT Masa PPN
Tempat pengambilan SPT Masa PPN
1. Kantor Pelayanan Pajak;
2. Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan;
3. Tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Tempat penyampaian SPT Masa PPN
1. Kantor Pelayanan Pajak ditempat Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP,
atau;
2. Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan setempat.
Cara penyampaian SPT Masa PPN

29
1. Disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak ditempat Pengusaha
dikukuhkan sebagai PKP/Kantor Penyuluhan Pajak setempat, PKP akan
menerima catatan tanda terima pada lembar kedua SPT Masa PPN.
2. Disampaikan melalui Kantor Pos secara tercatat dan tanggal Cap Pos dari
Kantor Pos penerima SPT berfungsi sebagai tanggal penerimaan SPT
Masa PPN.

5. Saat Pelaporan PPN/PPnBM


1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam
SPT Masa dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat
paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang
telah dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
3. PPN dan PPnBM yang pemungutnya dilakukan oleh:
a) Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan paling lambat 14 (empat
belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.
b) Pemungut Pajak Pertambahan Nilai selain Bendaharawan Pemerintah
harus dilaporkan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
c) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan secara
mingguan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah batas waktu
penyetoran pajak berakhir.
4. Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM
dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan
disampaikan kepada KPP setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari
setelah Masa Pajak berakhir.
Catatan:
Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka pelaporan
harus dilaksanakan pada hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo.

30
Referensi:
Mardiasmo. 2018. Perpajakan Edisi Revisi 2018. Yogyakarta: Andi Yogyakarta

Resmi, Siti. 2014. Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8 Buku 1. Yogyakarta: Salemba
Empat

Waluyo. 2009. Akuntansi Pajak Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat.

31

Anda mungkin juga menyukai

  • Jenis Standar Dan Selisih
    Jenis Standar Dan Selisih
    Dokumen2 halaman
    Jenis Standar Dan Selisih
    Dwi Widyani Agung
    Belum ada peringkat
  • Etika Bisnis Di Indonesia
    Etika Bisnis Di Indonesia
    Dokumen14 halaman
    Etika Bisnis Di Indonesia
    haris_setiana
    100% (3)
  • Pajak Materi 9
    Pajak Materi 9
    Dokumen15 halaman
    Pajak Materi 9
    Dwi Widyani Agung
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen1 halaman
    Untitled
    Dwi Widyani Agung
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen1 halaman
    Untitled
    Dwi Widyani Agung
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen1 halaman
    Untitled
    Dwi Widyani Agung
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen1 halaman
    Untitled
    Dwi Widyani Agung
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen1 halaman
    Untitled
    Dwi Widyani Agung
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen1 halaman
    Untitled
    Dwi Widyani Agung
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen1 halaman
    Untitled
    Dwi Widyani Agung
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen1 halaman
    Untitled
    Dwi Widyani Agung
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen1 halaman
    Untitled
    Dwi Widyani Agung
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen1 halaman
    Untitled
    Dwi Widyani Agung
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen1 halaman
    Untitled
    Dwi Widyani Agung
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen1 halaman
    Untitled
    Dwi Widyani Agung
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen1 halaman
    Untitled
    Dwi Widyani Agung
    Belum ada peringkat