Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Perikanan merupakan salah satu bidang yang diharapkan mampu menjadi
penopang peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sub sektor perikanan dapat
berperan dalam pemulihan dan pertumbuhan perekonomian bangsa Indonesia
karena potensi sumberdaya ikan yang besar dalam jumlah dan keragamannya.
Selain itu, sumberdaya ikan termasuk sumberdaya yang dapat
diperbaharui (renewable resources) sehingga dengan pengelolaan yang bijaksana,
dapat terus dinikmati manfaatnya.
Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki potensi perikanan laut,
memiliki potensi perikanan laut yang sangat besar. Berbagai jenis ikan bernilai
ekonomis seperti : Udang, Tuna, Cakalang, Kakap, Beronang, Tenggiri, Bawal,
Barakuda, Rajungan, Kepiting, Cumi-cumi, Kerang dan Rumput laut tersebar
hampir di seluruh laut Indonesia. Potensi lestari sumberdaya ikan laut yang dapat
ditangkap sekitar 6,7 juta ton setiap tahunnya, terdiri dari potensi perairan
nusantara, 4,4 juta ton/tahun dan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
sebesar 2,3 juta per tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jateng, 2007).
Permintaan pasar terhadap komoditas hasil laut dari jenis rajungan kian
melejit tanpa mengenal surut. Di beberapa negara Amerika Serikat, Jepang, Korea
Selatan, Taiwan dan Australia, komoditas rajunga tetap menjadi konsumsi penting
sehingga merupakan pangsa pasar ekspor yang strategis dengan nilai jual yang
tinggi. Komoditas rajungan dari dalam negeri hasil penangkapan ikan
mendominasi produk untuk ekspor.
Kegiatan penangkapan rajungan dapat dilakukan dengan berbagai jenis alat
penangkapan yang selama ini telah berkembang, terutama dari kelompok jaring :
Jaring klitik, Trammel-net, dan Gill-net. Selain itu, jenis alat penangkapan dari
kelompok pukat: Cantrang, Dogol, dan Trawl. Cara tersebut disamping kurang
ramah lingkungan (kurang selektif) juga kualitas hasil tangkapanya lelatif rendah
(umumnya mati dan rusak). Berdasarkan aspek sumberdaya, cara tersebut jelas
berdampak pada pemborosan sumberdaya karena rajungan merupakan hasil
sampingan yang sering sia-sia dan yang tertangkap menjadi tidak bernialai meski

1
dalam jumlah besar. Disamping itu metode penangkapan tersebut cenderung akan
merusak habitat dan komunitas rajungan pun menjadi cepat berkurang
Seiring itu telah pula berkembang dikalangan nelayan jenis alat tangkap Bubu
(Traps) yang disebut Wuwu. Alat tangkap ini bersifat pasif, dipasang pada
perairan pantai yang dioprasikan secara berangkai. Menyesuaikan prilaku
rajungan yang cenderung lebih aktif pada malam hari maka pengoprasian bubu
rajungan pun dilakukan pada malam hari. Menurut Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Indonesia No.PER.02/MEN/2011, Bubu termasuk klasifikasi alat
tangkap Perangkap (Traps) kategori stow nets. Trap adalah suatu alat tangkap
menetap yang umumnya berbentuk kurungan (Brandt, 1984).
1.2. Permasalahan
Penangkapan dengan alat tangkap Bubu rajungan atau sering disebut
Wuwu banyak dilakukan oleh nelayan..Tidak itu saja sesuai dengan hasil
pendataan BBPPI (Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan) akhir-akhir ini
komoditas hasil tangkapan Bubu menjadi incaran para pengusaha produksi
(pedagang/tengkulak) rajungan terutama untuk tujuan ekspor, dan semenjak dua
tahun terahir dimana permintaan pasar ekspor daging rajungan semakin
meningkat. sehingga merangsang nelayan mengeksploitasi sumber daya ini.
Apabila hal ini tidak diimbangi dengan tindakan pengelolaan yang tepat maka
dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi rajungan yang disertai dengan
rusaknya habitat rajungan..
Solusi dari permasalahan diatas perlu dilakukan pengamatan berbagai
aspek yang dilakukan nelayan tersebut seperti halnya karakteristik jenis alat
penangkapan (desain, konstruksi dan operasi penangkapan) dan karakteristik jenis
hasil penangkapan ikan (habitat,daerah penyebaran, kebiasaan makan, jenis
olahan, dan daerah penjualan utama) .
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari tugas ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui desain dan konstruksi dari alat tangkap wuwu (Traps) ;
2. Mengetahui cara operasi alat tangkap wuwu (Traps);
3. Mengetahui karakteristik sumberdaya rajungan di perairan.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi dan Klasifikasi Alat Tangkap Bubu


2.1.1. Deskripsi Bubu
Bubu dalam bahasa setempat disebutnya rakkang, merupakan salah satu
alat tangkap yang digunakan nelayan untuk menangkap kepiting. Bubu dirancang
sebagai sebuah perangkap. Bubu dibuat dengan menggunakan bahan baku yang
terdiri dari besi berdiameter 3 inchi (semacam kawat) sebagai rangka, dan tali
nilon yang juga berukuran sama besar dengan besi dirajut menyerupai jaring
dengan ukuran mata jaring sekitar satu inchi. Satu unit bubu berbentuk lingkaran
atau bulat, dengan ukuran besaran lingkaran berdiameter 30 cm dengan panjang
30 cm. Bubu dirancang memiliki klep sehingga kepiting yang masuk ke dalam
perangkap tidak bisa lagi keluar, dan dalamnya diberi kawat kecil sebagai tempat
memasang atau menggantungkan ikan kecil sebagai umpan ( Bahri, 2015).
Teknologi penangkapan menggunakan bubu banyak dilakukan di negara-
negara yang menengah maupun maju .Bubu dalam skala kecil dan menengah
banyak dilakukan di perairan pantai, hampir seluruh negara yang masih belum
maju perikanannya, sedangkan untuk negara dengan sistem perikanan yang maju
pengoperasiannya dilakukan dilepas pantai yang ditujukan untuk menangkap
ikan-ikan dasar, kepiting, udang yang kedalamannya 20 m sampai dengan 700 m.
Bubu skala kecil ditujukan untuk menagkap kepiting, udang, keong, dan ikan
dasar di perairan yang tidak begitu dalam (Martasuganda, 2005).
Bentuk bubu bermacam-macam yaitu bubu berbentuk lipat, sangkar
(cages), silinder (cylindrical), gendang, segitiga memajakkan (kubus), atau segi
banyak, bulat setengah lingkaran dan lain-lainnya. Secara garis besar bubu terdiri
dari badan (body), mulut (funnel) atau pintu. Badan bubu berupa rongga, tempat
dimana ikan-ikan terkurung. Mulut bubu (funnel) berbentuk corong, merupakan
pintu dimana ikan dapat masuk tapi tidak dapat keluar dan pintu bubu merupakan
bagaian temapat pengambilan hasil tangkapan (Subani dan Barus 1989).

3
2.2.2. Klasifikasi Bubu Menurut Cara Operasinya
Alat tangkap Bubu dalam pengoperasiannya, terdiri dari tiga jenis, yaitu :
1. Bubu dasar (Ground Fish Pots).
Bubu yang daerah operasionalnya berada di dasar perairan. Untuk bubu dasar,
ukuran bubu dasar bervariasi, menurut besar kecilnya yang dibuat menurut
kebutuhan. Untuk bubu kecil, umumnya berukuran panjang 1 m, lebar 50-75 cm,
tinggi 25-30 cm. untuk bubu besar dapat mencapai ukuran panjang 3,5 m, lebar 2
m, tinggi 75-100 cm. Hasil tangkapan dengan bubu dasar umumnya terdiri dari
jenis-jenis ikan, udang kualitas baik, seperti Kwe (Caranx spp), Baronang
(Siganus spp), Kerapu (Epinephelus spp), Kakap ( Lutjanus spp), kakatua (Scarus
spp), Ekor kuning (Caeslo spp), Ikan Kaji (Diagramma spp), Lencam (Lethrinus
spp), udang penaeld, udang barong, kepiting, rajungan, dll.
2. Bubu apung (Floating Fish Pots)
Bubu yang dalam operasional penangkapannya diapungkan. Tipe bubu apung
berbeda dengan bubu dasar. Bentuk bubu apung ini bisa silindris, bisa juga
menyerupai kurung-kurung atau kantong yang disebut sero gantung. Bubu apung
dilengkapi dengan pelampung dari bambu atau rakit bambu yang penggunaannya
diletakkan tepat di bagian atasnya. Hasil tangkapan bubu apung adalah jenis-jenis
ikan pelagik, seperti tembang, japuh, julung-julung, torani, kembung, selar, dll.
Pengoperasian Bubu apung dilengkapi pelampung dari bambu atau rakit bambu,
dilabuh melalui tali panjang dan dihubungkan dengan jangkar. Panjang tali
disesuaikan dengan kedalaman air, umumnya 1,5 kali dari kedalaman air.
3. Bubu hanyut (Drifting Fish Pots).
Bubu yang dalam operasional penangkapannya dihanyutkan. Bubu hanyut
atau “pakaja“ termasuk bubu ukuran kecil, berbentuk silindris, panjang 0,75 m,
diameter 0,4-0,5 m. Hasil tangkapan bubu hanyut adalah ikan torani, ikan terbang
(flying fish). Pada waktu penangkapan, bubu hanyut diatur dalam kelompok-
kelompok yang kemudian dirangkaikan dengan kelompok-kelompok berikutnya
sehingga jumlahnya banyak, antara 20-30 buah, tergantung besar kecil
perahu/kapal yang digunakan dalam penangkapan.

4
2.2. Klasifikasi dan Deskripsi Rajungan (Portunus pelagicus)
2.2.1. Klasifikasi rajungan (Portunus pelagicus)
Klasifikasi Rajungan menurut Suwignyo (1989) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Sub Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Sub Famili : Portunninae
Genus : Portunus
Spesies : Portunus pelagicus

Gambar 1. Rajungan (Portunus sp)


(http://www.reef.crc.org.au/research/fishing_fisheries/statusfisheries/crabblueswimmer.htm)
2.2.2. Deskripsi rajungan (Portunus pelagicus)
Rajungan memliki ukuran panjang mencapai 18 cm, capitnya kokoh,
panjang dan berduri-duri. Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh lebih besar
dan capitnya lebih panjang daripada betina. Perbedaan lainnya adalah warna
dasar, rajungan jantan berwarna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang,
sedangkan betina berwarna dasar kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih
agak suram. Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar walaupun
belum dewasa (Suwignyo 1989).
Rajungan memiliki kebiasaan hidup di perairan yang relatif dangkal,
dengan substrat lumpur berpasir. Karakteristik perairan seperti ini dapat ditemui

5
di laut Jawa, terutama perairan pantai utara Jawa (Brebes dan Pati). Siklus hidup
rajungan dimana saat fase juvenil dan remaja hidup di daerah pesisir pantai atau
daerah estuari, dan setelah dewasa rajungan akan ke perairan yang lebih dalam
atau biasa disebut dengan laut dalam yang memiliki salinitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah pesisir pantai. Saat dewasa, rajungan yang siap
memasuki masa perkawinan akan bermigrasi di daerah pantai. Setelah melakukan
perkawinan, rajungan akan kembali ke laut untuk menetaskan telurnya kembali
(Erlinda et.al.,2016).
Umumnya rajungan mengkonsumsi makanan yang bergerak lambat,
seperti plankton, moluska (gastropoda dan bivalvia). Hal ini menunjukan bahwa
secara umum rajungan dikategorikan sebagai omnivora dengan kecenderungan
terhadap karnivora. Bentuk dewasa rajungan merupakan karnivora yang dapat
memangsa berbagai jenis hewan bentik dan invertebrata yang bergerak lamban.
Rajungan memakan beragam jenis makanan yang dapat dibagi menjadi 4
kategori/kelompok yaitu: plankton, moluska, daging, dan material tidak
teridentifikasi (Erlinda et.al.,2016).

6
III. PEMBAHASAN

3.1. Potensi Rajungan


Rajungan (Portunus pelagicus) memegang peranan penting dalam
stabilitas ekologi dan sosial-ekonomi. Secara ekologi rajungan berperan penting
sebagai biota yang menjaga keseimbangan ekologi di perairan pesisir. Hal ini
diperkuat oleh Rusmadi et al., 2014 menyatakan bahwa peran rajungan di
ekosistem perairan adalah mengkonversi nutrien, mempertinggi mineralisasi,
meningkatkan distribusi oksigen di dalam tanah dan membantu daur karbon.
Peran sosial-ekonomi rajungan adalah menyediakan lapangan kerja bagi
masyarakat karena daging rajungan dapat dijual dan diolah menjadi santapan
kuliner masyarakat.
Rajungan (Portunus sp) merupakan kepiting laut yang banyak terdapat di
perairan Indonesia. Rajungan telah lama diminati oleh masyarakat baik di dalam
negeri maupun luar negeri. Daging rajungan ini selain dinikmati di dalam
negeri juga di ekspor ke luar negeri terutama ke negara Jepang, Singapura dan
Amerika. Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011), mencatat nilai ekspor
rajungan tahun 2007 menempati urutan ketiga setelah udang dan tuna yaitu
sejumlah 21.510 ton dengan nilai 170 juta dolar AS. Namun, tahun 2011
mengalami peningkatan 23.661 ton dan mencapai nilai 250 juta dolar AS. Tahun
2010 data statistik perikanan menunjukkan produksi rajungan di Indonesia
sekitar 43.002 ton. Jawa tengah menunjukkan produksi rajungan sekitar 129 ton
tahun 2010. Seiring peningkatan nilai ekspor rajungan dari tahun ke tahun, maka
harga rajungan memiliki harga relatif mahal atau tinggi. Menurut Erlinda et al.,
2016 menyatakan bahwa tingginya kebutuhan rajungan dan produk olahannya di
Indonesia menyebabkan harga produk rajungan terus meningkat. Saat ini harga
rajungan mencapai Rp250.000/kg, sehingga merangsang nelayan mengeksploitasi
sumber daya ini.
Salah satu contoh sistem pendistribusian hasil tangkapan rajungan di Desa
Pajukukang, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan tidak dilakukan seperti
umumnya nelayan kebanyakan, yang mana hasil tangkapannya bisa dijual ke
konsumen sebagai pemakai atau pengkonsumsi langsung, tetapi langsung ke

7
pengusaha. Menurut Bahri, 2015 menyatakan bahwa bagi nelayan pencari
kepiting laut, pendistribusian kepiting hasil tangkapannya langsung ke pengusaha
yang memang bergerak pada sektor pembelian kepiting yang juga merupakan
penduduk Desa Pajukukang. Artinya, penjualan hasil tangkapan langsung ke
pengusaha setiap kali pulang melaut menangkap kepiting, berapa pun banyaknya
hasil tangkapan pengusaha bersangkutan siap membelinya. Kehadiran pengusaha
pembeli kepiting ini pada dasarnya sangat membantu nelayan setempat,
khususnya penangkap kepiting dalam menyalurkan kepiting hasil tangkapan para
nelayan.
Pemanfaatan limbah cangkang rajungan merupakan hasil samping dari
pengolahan rajungan. Satu ekor rajungan dengan bobot tubuh berkisar antara 100-
350 gr, terdapat cangkang sekitar 51-177 gr yang didalamnya memiliki
kandungan nilai gizi untuk kebutuhan tubuh. Hal ini diperkuat berdasarkan
pendapat oleh Yanuar et al.2009 Cangkang rajungan mempunyai kandungan
mineral yang tinggi, terutama kalsium (19,97%) dan fosfor (1,81%) (Multazam
2002). Fungsi kalsium dalam tubuh adalah untuk pertumbuhan dan perkembangan
tulang dan gigi, pengatur reaksi otot dan mineral yang mempengaruhi
pertumbuhan tubuh. Kekurangan asupan kalsium dalam tubuh manusia
menyebabkan abnormalitas metabolisme terutama pada usia dini, gangguan
pertumbuhan seperti tulang kurang kuat, mudah bengkok, dan rapuh. Salah satu
jenis olahan dari cakang rajungan yaitu biskuit crackers. Crackers dipilih sebagai
salah satu jenis makanan yang ditambahkan tepung cangkang rajungan karena
mudah dibuat dalam skala rumah tangga maupun industri dan dengan
pertimbangan penerimaan bagi masyarakat dalam segala usia maupun tingkat
ekonomi. Crackers adalah jenis biskuit yang terbuat dari adonan keras melalui
proses fermentasi, berbentuk pipih yang mengarah pada rasa asin dan relatif
renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis.
3.2. Konstruksi Alat Tangkap Bubu Rajungan
3.2.1. Konstruksi Alat Tankap Bubu Rajungan
Bubu rajungan atau Wuwu adalah sebutan nelayan di daerah setempat
karena sasaran tangkapannya yaitu rajungan (Portunus pelagicus), nama
sebenarnya alat tangkap ini adalah bubu lipat karena bubu ini merupakan

8
perkembangan dari konstruksi wuwu yang awalnya dirancang tetap. Wuwu jenis
ini dibuat dari jaring dengan rangka besi dengan rancangan yang dapat dilipat atau
dikendurkan. Keuntungan dari konstruksi yang dapat dilipat adalah wuwu dapat
diangkut dengan jumlah yang besar di dalam perahu, sehingga pengangkutan
ke fishing ground lebih efisien.
Konstruksi bubu rajungan terdiri dari beberapa bagian antara lain : badan
bubu, kerangka, mulut atau inep-inep, tali utama, tali cabang, pemberat, tali
pemberat.
1. Badan
a. Jaring bagian samping
Bahan : PE
Diameter : 1mm
Panjang : 48 cm
b. Jaring bagian atas
Bahan : PE
Diameter : 1 mm
Panjang : 48 cm
c. Jaring bagian saluran masuk
Bahan : PE
Diameter : 1 mm
Panjang : 17 cm
d. Jaring bagian bawah
Bahan : PE
Diameter : 1 mm
Panjang : 48 cm
2. Kerangka
Bahan : Besi
Diameter : 4 mm
3. Mulut
Bahan : PE
Diameter : 1 mm
Panjang : 17 cm

9
4. Penjepit
Bahan : Besi
Diameter : 3 mm
Panjang : 9 cm
5. Pintu pengambilan hasil tangkapan
6. Penusuk umpan
7. Tali
a. Tali utama
Bahan : PE
Diameter : 8 mm
Panjang : 4 km
b. Tali cabang
Bahan : PE
Diameter : 4 mm
Panjang :3m
Jarak : 10 m
8. Pemberat
a. Besar
Bahan : Batu
Berat : 5 kg
Jumlah : 2 buah
b. Kecil
Bahan : Batu
Berat : 2.5 kg
Jumlah : 11 buah
9. Pelampung
Bahan : Gabus
Jumlah : 11 buah
10 Kayu penegak
Bahan : kayu
Jumlah : 11 buah

10
Ukuran : 1,9 m
11. Penanda
Bahan : kain warna biru
3.3.2. Ukuran Perahu
Perahu yang digunakan untuk melakukan operasi penangkapan adalah
perahu motor tempel atau tipe sopek bermesin diluar (outboard engine) :
a. Pajang kapal (LOA) :9 m
b. Lebar kapal (B) : 2,7 m
c. Tinggi kapal (H) : 1,1 m
d. Mesin kapal : Dongfeng
e. Kekuatan Mesin : 16 HP
f. Bahan Bakar : Solar
3.3. Metode Pengoperasian Alat Tangkap Bubu Rajungan
Penangkapan rajungan dengan alat tangkap wuwu (traps) di perairan
penangkapan one day fishing yaitu melakukan penangkapan hanya satu trip dalam
sehari, yaitu berangkat pagi pulang siang. Jumlah ABK yang dibutuhkan 2-3
orang.
a. Persiapan
Sebelum melakukan operasi penangkapan, nelayan terlebih dahulu
melakukan persiapan semua yang dibutuhkan dalam pengoperasian wuwu
rajungan, dari perbekalan sampai umpan. Bubu yang sudah ada di atas perahu
dipasang umpan yaitu menggunakan kepala ikan mata besar (Lutjanussp) dan ikan
petek (Leiognathus sp). Setiap wuwu dipasang umpan 1-2 ikan tergantung ukuran
ikan. Kepala ikan dikaitkan atau ditusukkan ke pengait yang ada di dalam wuwu
lipat. Wuwu yang sudah terpasang umpan diletakkan atau disusun di bagian
tengah perahu dan sebagian ada juga yang belakang. Untuk pemasangan umpan
menghabiskan waktu ± 1 jam, pemasangan umpan dimulai pukul 16.00 WIB
sampai 17.00 WIB. Setelah pemasangan umpan selesai nelayan beristirahat
dikarenakan pemberangkatan dilakukan pada hari besoknya.
Bubu rajungan (traps) atau bubu lipat dioperasikan dengan cara dirangkai
pada satu tali utama (long line traps), jumlah bubu yang digunakan sebanyak 400

11
buah, tali utama panjangnya 4000 m, tali cabang panjangnya 3 m dan jarak antar
tali cabang 10 m dengan bendera kecil sebagai penanda pada ujungnya.
b. Penurunan Bubu
Perahu berjalan menuju fishing ground dengan kecepatan 6-7.5 knot,
perjalanan membutuhkan waktu 3 jam. Tiba di fishing ground pukul 07.00.
kecepatan perahu diturunkan menjadi 1.5 knot kemudian wuwu diturunkan satu
persatu sampai selesai, penentuan fishing ground hanya menggunakan
pengalaman nelayan sehari-hari. Sebelum melakukan penurunan bubu, nelayan
mencari daerah fishing ground sesuai insting dan data keberadaan tangkapan dari
nelayan yang sudah selesai melakukan penangkapan.
c. Perendaman (Immersing)
Perendaman dilakukan selama 1 hari yaitu dari jam 07.00 WIB sampai
07.00 WIB. Dikarenakan perendaman dilakukan selama 24 jam nelayan langsung
kembali ke fishing base.
d. Penarikan (Hauling)
Penarikan bubu dimulai pukul 07.00 WIB, pada saat penarikan
bubu (Hauling) yang pertama nelayan ditarik adalah pemberat kemudian baru
bubunya. Setelah bubu terangkat keatas perahu bubu dibuka dan diambil hasil
tangkapannya sambil menata bubu pada perahu dengan melakukan langsung
penaruhan unban baru untuk lebih mudah dalam melakukan setting kembali
setelah bubu (traps) terangkat semua. Hasil tangkapan diletak pada basket yang
telah sediakan. Bubu yang sudah terangkat disusun kembali dengan keadaan
terlipat. Penarikan dibantu dengan 1 ABK dan yang 2 ABK yang lain
memasangkan umpan dan menata bubu dan ada yang mengatur kecepatan perahu
dan arah perahu. Penarikan bubu membutuhkan waktu ± 2,5 jam,
pukul 09.30 WIB penarikan bubu selesai. Hasil tangkapan yang berupa rajungan
disimpan di basket kemudian melakukan persiapan untuk kembali ke fishing base.
Sebelum kembali ke fishing base nelayan kembali melakukan setting bubu untuk
dipasang dalam perairan. Setelah setting selesai, dan bubu sudah terpasang
nelayan kembali ke fishing base dan sampai tempat pukul 13.30 WIB, hasil
tangkapan langsung dibawa kerumah atau langsung diserahkanl oleh perusahaan
untuk dijual.

12
IV. KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan
Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang dirancang sebagai sebuah
perangkap. Bentuk bubu bermacam-macam yaitu bubu berbentuk lipat, sangkar
(cages), silinder (cylindrical), gendang, segitiga memanjakan (kubus), atau segi
banyak, bulat setengah lingkaran dan lain-lainnya. Konstruksi alat tangkap wuwu
memiliki kerangka, badan, dan mulut. Metode pengoprasian bubu antara lain
persiapan, setting, immersing, hauling. Bubu digunakan nelayan untuk
menangkap ikan demersal, udang, kepiting dan rajungan.
Rajungan memiliki kebiasaan hidup di perairan yang relatif dangkal,
dengan substrat lumpur berpasir. Karakteristik perairan seperti ini dapat ditemui
di Laut Jawa, terutama perairan pantai utara Jawa (Brebes dan Pati). Umumnya
rajungan mengkonsumsi makanan yang bergerak lambat, seperti plankton,
moluska (gastropoda dan bivalvia). Daging rajungan ini selain dinikmati di
dalam negeri juga di ekspor ke luar negeri terutama ke negara Jepang, Singapura
dan Amerika. Salah satu jenis olahan dari cakang rajungan yaitu biskuit crackers.
Crackers dipilih sebagai salah satu jenis makanan yang ditambahkan tepung
cangkang rajungan. Rajungan (Portunus pelagicus) memegang peranan penting
dalam stabilitas ekologi dan sosial-ekonomi. Peran ekologi rajungan sebagai
penyeimbang ekosistem perairan laut. Peran sosial-ekonomi rajungan adalah
menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat karena daging rajungan dapat dijual
dan diolah menjadi santapan kuliner masyarakat.

13
DAFTAR PUSTAKA

Bahri, S. 2015. Bubu dan Pukat :Teknologi Alat Tangkap Kepiting Laut Oleh
Masyarakat Nelayan di Pajukukang, Kabupaten Maros, Provinsi Sulewesi
Selatan. Walasuji. Vol 6 No.( 2) : pp. 425-438.

Brandt, A.V. 1984. Fishing Cathing Methods of The World. Fishing News Books
Ltd. England.

Erlinda, S., L. Sara. dan N. Irawati. 2016. Makanan Ranjungan (Portunus


pelagicus) di Perairan Lakara Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi
Tenggara. Vol 1 No (1) : pp. 29-38.

Martasuganda. S. 2002. Jaring Insang (Gillnet). Serial Teknologi Penangkapan


Ikan Berwawasan Lingkungan ISBN 979-96923-0-X. Terbitan oleh
Jurusan PSP. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB 65 hal.

Rusmadi, Henky Irawan, Falmi Y. 2014. Studi Biologi Kepiting di Perairan Teluk
dalam Desa Malang Rapat Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Tanjung Pinang.

Subani, W. Dan H.R. Barus. 1989. Alat Penangkap Ikan dan Udang di Laut
Indonesia. Balai Peneliti Perikanan Laut. Departemen Pertanian Jakarta.
Suwignyo. S., B. Widigdo. Y. Wardiatno dan M. Krisanti. 2005. Avertebrata Air
Jilid 2. Jakarta: Penebar Swadaya 188 hlm.
Subani, W. Dan H.R. Barus. 1989. Alat Penangkap Ikan dan Udang Di Laut
Indonesia. Balai Peneliti Perikanan Laut. Departemen Pertanian Jakarta.
Yanuar. V., J. Santoso, dan E. Salamah. 2009. Pemanfaatan Cangkang Rajungan
(Portunus pelagicus) sebagai Sumber Kalsium dan Fosfor dalam
Pembuatan Produk Crackres. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan. Vol 12
No. (1).

14

Anda mungkin juga menyukai