Anda di halaman 1dari 40

MINI CLINICAL EXAMINATION

PERI ANESTESI PADA ELECTRIC COMBUTIO GRADE II (25%-30%)


DENGAN HIPOALBUMINEMIA

Pembimbing :
dr. Dudik Haryadi, Sp. An
NIP. 19570423 198410 1 003

Disusun Oleh:
Faqih Alam Ruqmana G4A017017

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi Mini Clinical Examination dengan


judul :

Peri Anestesi Pada Electric Combutio Grade II (25%) Dengan


Hipoalbuminemia.

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian


di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Program Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :
Faqih Alam Ruqmana G4A017017

Purwokerto, Juni 2017

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Dudik Haryadi, Sp.An


NIP. 19570423 198410 1 003
I. LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AD
Umur : 39 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Pekerjaan : Teknisi listrik
Pendidikan terakhir : Sekolah Menengah Kejuruan
Alamat : Grendeng, 07/08 Purwokerto Utara
Status : Menikah
DPJP Anestesi : dr. Dudik Haryadi, Sp. An
No. CM : 02054130
Tanggal masuk RSMS : 18 Mei 2018
Tanggal Operasi : 24 Mei 2018

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Tersengat listrik
2. Keluhan Tambahan :-
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSMS pada sore hari 4 April 2018
rujukan dari RSUD Ajibarang dengan keluhan tersengat listrik ketika
sedang instalasi rangkaian listrik di tempat kerja pagi harinya. Pasien
mengeluh nyeri di sekujur tubuh seperti terbakar, pasien sempat tidak
sadarkan diri sesaat setelah tersengat namun sadar setelah sampai
rumah sakit. Pasien tidak merasakan adanya kesulitan bernapas.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat Hipertensi : disangkal
b. Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
c. Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
d. Riwayat Riwayat Penyakit Paru : disangkal
e. Riwayat Alergi obat atau makanan : disangkal
f. Riwayat Asma : disangkal
g. Riwayat Operasi : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat Hipertensi : disangkal
b. Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
c. Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
d. Riwayat Riwayat Penyakit Paru : disangkal
e. Riwayat Alergi obat atau makanan : disangkal
f. Riwayat Asma : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Lemah
2. Kesadaran/GCS : Compos Mentis, E4V5M6
3. TB/ BB : 170 cm / 70 kg
4. Tanda Vital :
 Tekanan Darah : 120/73 mmHg
 Nadi : 54 kali/menit
 Laju Pernafasan : 22 kali/menit
 Suhu : 35,4ºC
5. Kepala : Mesocephal, rambut (+)
6. Mata : Sklera Ikterik (-/-), Conjungtiva Anemis (-/-),
Pupil isokor 3mm/3mm isokor, Reflek Cahaya
(+/+), Bulu mata (+)
7. Telinga : Bloody Otorhea (-/-), discharge (-/-)
8. Hidung : Rambut hidung (+), Bloody rhinorhea (-/-),
discharge (-/-)
9. Mulut : luka bakar (-), Sianosis (-/-), Mayo (-)
10. Leher : luka bakar (+), deviasi trakea (-), neck collar (-)
11. Thoraks
 Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba
Perkusi : redup
Auskultasi : Suara I > Suara II, Murmur (-), Gallop (-)
 Paru
Inspeksi : Luka bakar (+), Simetris, jejas (-/-)
Palpasi : VF simetris, krepitasi (-/-), gerak nafas simetris
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara dasar Vesikuler (+/+), Ronki Basah Kasar
(-/+), Wheezing) (-/-)
12. Abdomen
Inspeksi : Luka abakar (+), datar, jejas (-)
Auskultasi : Bising Usus (+)
Perkusi : Timpani
Palpasi : supel, distensi (-)
13. Punggung : Luka bakar (+)
14. Ekstremitas
 Superior
Luka Bakar : (-/+)
Akral Hangat : (+/+)
Edema : (-/-)
 Inferior :
Luka Bakar : (-/+)
Akral Hangat : (+/+)
Edema : (-/-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik RSUD Ajibarang 18
Mei 2018 pre operatif:

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Darah Lengkap
Hemoglobin 16.5 11.2 – 17.3 g/dL
Leukosit 114800 H 3.600–10.600 U/L
Hematokrit 49.9 35–47 %
Eritrosit 5.97 4.4–5.9 ^6/uL
Trombosit 344000 150.000– 440.000 /uL
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0 0–1%
Eosinofil 4 2–4%
Batang 0.0 L 3–5%
Segmen 42.2 50 – 70 %
Limfosit 46 H 25 – 40 %
Monosit 8 2–8%
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 190 H < 200
Natrium 144 134 – 146
SGOT 419 H < 40
SGPT 301 H < 40
Kalium 4.0 3.4 – 4.5
Klorida 103 96 – 108
Kalsium 7.8 8.5 – 10.1

Hasil pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik RSUD Prof. dr.


Margono Soekarjo 22 Mei 2018 pre operasi:
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Kimia klinik
Total protein 4.62 L 6.40-820
Albumin 1.46 L 3.40-5.00
Globulin 3.16
Sero imunologi 2.70-3.20
HbsAg Non reaktif

E. DIAGNOSA
Electric Combutio Grade II (25%-30%) Dengan Hipoalbuminemia
Assesment : ASA III
Rencana Operasi : Debridement
Rencana Anestesi : General Anestesi

F. LAPORAN DURANTE OPERASI


1. Tanggal operasi : 24 Mei 2018
2. Jam mulai anestesi : 11.20 WIB
3. Jam selesai anestesi : 12.15 WIB
4. Kondisi prainduksi
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 76 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36.6oC

G. TEKNIK ANESTESI
General anestesi
Premedikasi : Ondancentron 4 mg
Preemptive analgesia : Fentanil 100 µg
Induksi : IV Propofol 100 mg
Relaksan : Rocuronium 50 mg
Maintenance : Inhalasi Sevoflurane
Airway : LMA no 3
Intubasi : Tidak dipasang ET
Breathing System :-
Posisi : Supine

H. MONITORING DURANTE OPERASI


1. Tekanan darah, SpO2 dan HR

Tabel 1.2. Monitoring TD, SpO2 dan HR


Waktu TD (mmHg) SpO2 HR (x/min)
11.05 115/80 100% 100
11.20 98/77 100% 98
11.35 100/70 100% 95
11.50 102/60 100% 90
12.05 104/62 100% 90
12.15 105/62 100% 90

2. Obat yang diberikan : Propofol 100 mg


Ketorolac 30 mg
3. Cairan yang diberikan : RL 700 ml
4. Perdarahan : Sekitar 50 ml
5. Urine Output : 50 ml

I. TERAPI CAIRAN
Rumus :
Maintenance : 4cc x kgBB/ jam x Luas luka bakar (%)
Pengganti Puasa (PP) : Puasa (jam) x M
Stres Operasi (SO) : 6cc/kgBB (operasi sedang)
Jam I : ½ PP + M + SO
EBV : 70 x BB

Perhitungan kebutuhan cairan (BB= 70 Kg) :


Maintenance (M) : 4 x 70 kg x 25 70 cc
Stress Operasi (SO) : 6 x 70 kg 420 cc
Pengganti puasa : 6 x 70 cc 420 cc
EBV : 70 x 70 4900 cc
Input cairan durante operasi (lama operasi 50 menit)
Jam I : ½ 420 + 70 + 420 700 cc

Output durante operasi


Jumlah perdarahan : 50 cc
Urin output : 50 cc
Total output durante operasi : 100 cc

Tabel 1.3. Keseimbangan Cairan Durante Operasi


Output Cairan Input Cairan
Perdarahan + urin output Durante operasi = 1500 cc
= 50 + 50 cc
Output cairan D.O. = 100 cc Input cairan D.O. = 700 cc

Kebutuhan durante operasi


50 menit = 700 cc

Total Cairan Output Total Cairan Input


110 + 1125 cc 700 cc
= 800 cc = 700cc
Balance Cairan: - 100 cc

J. PERKEMBANGAN PASIEN POST OPERASI


25 Mei 2018 di Bangsal Kenanga RSMS
SO A P
Keadaan Umum : Lemah Post - Infus D5% + 2
Kesadaran/GCS : Compos Mentis, Debridement amp tramadol 30
E4V5M6 tpm
TB/ BB : 170 cm / 70 kg
Tanda Vital :
 Tekanan Darah : 105/70
mmHg
 Nadi : 76 kali/menit
 Laju Pernafasan : 20
kali/menit
 Suhu : 36ºC
Kepala : Mesocephal,
rambut (+)
Mata : Sklera Ikterik (-/-),
Conjungtiva Anemis (-/-),
Pupil isokor 3mm/3mm isokor, Reflek
Cahaya (+/+), Bulu mata (+)
Telinga : Bloody Otorhea (-
/-), discharge (-/-)
Hidung : Rambut hidung
(+), Bloody rhinorhea (-/-), discharge
(-/-)
Mulut : luka bakar (-),
Sianosis (-/-), Mayo (-)
Leher : Bekas luka
terpasang kasa, deviasi trakea (-), neck
collar (-)
Thoraks
 Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tak
terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba
Perkusi : redup
Auskultasi : Suara I > Suara II,
Murmur (-), Gallop (-)
 Paru
Inspeksi : Luka bakar (+),
Simetris, jejas (-/-)
Palpasi : VF simetris,
krepitasi (-/-), gerak nafas simetris
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara dasar
Vesikuler (+/+), Ronki Basah Kasar
(-/+), Wheezing) (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Bekas luka
terpasang kasa, datar, jejas (-)
Auskultasi : Bising Usus
(+)
Perkusi : Timpani
Palpasi : supel, distensi (-)
Punggung : Bekas luka
terpasang kasa
Ekstremitas
 Superior
Bekas luka + kasa : (-/+)
Akral Hangat : (+/+)
Edema : (-/-)
 Inferior :
Bekas luka + kasa : (-/+)
Akral Hangat : (+/+)
Edema : (-/-)

26 Mei 2018 di ICU RSMS


Keadaan Umum : Lemah Post - Infus D5% + 2
Kesadaran/GCS : Compos Mentis, Debridement amp tramadol 30
E4V5M6 tpm
TB/ BB : 170 cm / 70 kg
Tanda Vital :
 Tekanan Darah : 105/70
mmHg
 Nadi : 76 kali/menit
 Laju Pernafasan : 20
kali/menit
 Suhu : 36ºC
Kepala : Mesocephal,
rambut (+)
Mata : Sklera Ikterik (-/-),
Conjungtiva Anemis (-/-),
Pupil isokor 3mm/3mm isokor, Reflek
Cahaya (+/+), Bulu mata (+)
Telinga : Bloody Otorhea (-
/-), discharge (-/-)
Hidung : Rambut hidung
(+), Bloody rhinorhea (-/-), discharge
(-/-)
Mulut : luka bakar (-),
Sianosis (-/-), Mayo (-)
Leher : Bekas luka
terpasang kasa, deviasi trakea (-), neck
collar (-)
Thoraks
 Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tak
terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba
Perkusi : redup
Auskultasi : Suara I > Suara II,
Murmur (-), Gallop (-)
 Paru
Inspeksi : Luka bakar (+),
Simetris, jejas (-/-)
Palpasi : VF simetris,
krepitasi (-/-), gerak nafas simetris
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara dasar
Vesikuler (+/+), Ronki Basah Kasar
(-/+), Wheezing) (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Bekas luka
terpasang kasa, datar, jejas (-)
Auskultasi : Bising Usus
(+)
Perkusi : Timpani
Palpasi : supel, distensi (-)
Punggung : Bekas luka
terpasang kasa
Ekstremitas
 Superior
Bekas luka + kasa : (-/+)
Akral Hangat : (+/+)
Edema : (-/-)
 Inferior :
Bekas luka + kasa : (-/+)
Akral Hangat : (+/+)
Edema : (-/-)
II. PEMBAHASAN

A. Anestesi pada debridement combutio


1. Latar belakang
Inovasi dalam perawatan luka bakar sejak Perang Dunia II menghasilkan
peningkatan dalam tingkat kelangsungan hidup pasca luka bakar yang besar.1
Perbaikan ini telah dikaitkan dengan resusitasi cairan yang agresif, eksisi dini
dan pencangkokan luka bakar, serta antimikroba yang lebih efektif, kemajuan
dalam dukungan nutrisi, dan pengembangan pusat luka bakar. Hari ini,
kebanyakan pasien dengan total luas permukaan tubuh lebih dari 80%
(TBSA) akan bertahan jika segera dirawat di unit luka bakar modern dengan
sumber daya yang memadai. Dalam penelitian mereka tentang faktor risiko
kematian akibat luka bakar Ryan et al. mengidentifikasi tiga variabel yang
dapat digunakan untuk memperkirakan kemungkinan kematian: usia lebih
dari 60 tahun, luas bakar lebih dari 40% dari total luas permukaan tubuh, dan
adanya cedera inhalasi.. O’Keefe et al., mengamati sekitar dua kali lipat
risiko kematian lebih tinggi pada wanita usia 30 hingga 59 tahun
dibandingkan dengan laki-laki dengan luka bakar dan usia yang sama.3
Beberapa pasien luka bakar berkembang menjadi syok refraktori segera
setelah cedera dan tidak bisa diresusitasi. Luka bakar menghasilkan
perubahan patofisiologi di hampir semua sistem organ. Sebagai tambahannya
tantangan yang dapat diprediksi berkaitan dengan manajemen saluran napas,
pemantauan, dan akses vaskular, pemosisian pasien membutuhkan
komunikasi yang erat dan kerja tim. Luka bakar yang melibatkan posterior
area mungkin mengharuskan pasien untuk kembali ke posisi tengkurapuntuk
akses optimal. Kateter vaskular dan endotrakeal tube harus diamankan
dengan kerahasiaan dan karena perawatan diberikan garis hidup ini selama
pasien berputar. Beberapa ulasan yang sangat informatif tentang manajemen
anestesi untuk luka bakar operasi telah ditulis selama dekade terakhir,
masing-masing dengan area-area khusus tersendiri dari konsentrasi.5–7
Pasien yang menderita luka bakar sering membutuhkan perawatan bedah
selama bertahun-tahun setelah cedera awal untuk memperbaiki sequelae
fungsional dan kosmetik. Manajemen anestesi untuk Bedah pembedahan
rekonstruktif menyajikan banyak masalah khusus tetapi bab ini akan
berkonsentrasi pada perawatan luka bakar akut pasien. Fase akut cedera bakar
didefinisikan sebagai periode dari cedera sampai luka telah dipotong,
dicangkokkan, dan disembuhkan. Perawatan luka bakar modern bergantung
pada koordinasi multidisiplin tim termasuk ahli bedah, intensivist, perawat
dokter, ahli gizi, terapis rehabilitasi, perawatan paru terapis, dan penyedia
anestesi. Rasional dan efektif manajemen anestesi pasien luka bakar akut
membutuhkan suatu pemahaman tentang pendekatan multi-disiplin ini
sehingga perioperatif perawatan sesuai dengan tujuan pengobatan secara
keseluruhan untuk pasien. Standar panggilan perawatan bedah saat ini untuk
eksisi dini dan mencangkok luka bakar yang tidak bisa sembuh, yang
mungkin menyimpan patogen dan menghasilkan mediator inflamasi dengan
efek sistemik yang menghasilkan masalah kardiopulmonal. Setelah luka bakar
yang luas, efek sistemik mediator inflamasi pada metabolisme dan
cardiopulmonary berfungsi mengurangi cadangan fisiologis dan toleransi
pasien terhadap stres operasi memburuk seiring berjalannya waktu. Dengan
asumsi resusitasi yang memadai, operasi ekstensif adalah yang terbaik
ditoleransi segera setelah cedera ketika pasien paling sering. Namun, harus
diakui bahwa resusitasi awal pasien dengan luka bakar besar menghasilkan
pergeseran cairan yang besar dan mungkin dikaitkan dengan ketidakstabilan
hemodinamik dan gangguan pernapasan. Reynolds et al. melaporkan bahwa
lebih dari setengah kematian setelah luka bakar terjadi karena resusitasi yang
gagal. Manajemen anestesi yang efektif pada pasien dengan luas luka bakar
membutuhkan pemahaman tentang patofisiologi perubahan yang terkait
dengan luka bakar besar dan pra-hati evaluasi operasi untuk memastikan
bahwa resusitasi telah dilakukan optimal dan rencana anestesi yang tepat
telah dirumuskan.
Perawatan awal pasien dengan luka bakar serius menghadirkan tantangan
dalam manajemen saluran napas, akses vaskular dan dukungan hemodinamik
dan paru. Anestesiologis adalah spesialis di bidang ini. Akibatnya, ahli
anestesi yang mempekerjakan rumah sakit ini dengan ruang gawat darurat
harus terbiasa dengan patofisiologi cedera dan resusitasi luka bakar mayor.
Dalam fasilitas perawatan luka bakar, ahli anestesi harus akrab dengan fitur
unik manajemen perioperatif pasien luka bakar. Ulasan ini akan fokus pada
evaluasi awal dan manajemen perioperatif pasien yang terbakar pada fase
akut (non-rekonstruktif) saja.
2. Cedera elektrik
Luka bakar karena kejutan listrik menunjukkan patologi yang unik.
Kerusakan jaringan lunak akibat luka bakar listrik dapat secara dramatis
meningkatkan kebutuhan cairan. Korban sengatan listrik berat sering
mengalami beberapa bentuk aritmia (10% sampai 46%). Pasien tanpa
perubahan elektrokardiografi pada presentasi tidak mungkin mengalami
aritmia yang mengancam jiwa. Kerusakan miokardium dapat terjadi setelah
terpapar baik arus tegangan tinggi atau rendah. Cedera miokard lebih mirip
kontusio jantung daripada infark miokard, dengan konsekuensi hemodinamik
minimal.
Tulang mengalami akumulasi panas tertinggi selama aliran arus tegangan
tinggi karena memiliki ketahanan tertinggi terhadap aliran listrik. Panas tinggi
yang dihasilkan oleh tulang melukai otot-otot yang mengelilingi tulang ke
tingkat yang lebih besar, dengan lebih banyak area otot yang terlindung.
Jaringan subkutan dan kulit juga memiliki lebih sedikit kerusakan karena
konduktornya lebih baik daripada tulang. Cedera electrothermal pada otot
dapat bermanifestasi sebagai pembentukan edema dan nekrosis jaringan dan
dapat menyebabkan sindrom kompartemen dan rhabdomyolysis. Untuk
pengobatan komplikasi ini, pasien dapat datang ke ruang operasi dalam 24
jam setelah cedera. Mioglobinuria sebagai akibat dari kerusakan otot
menimbulkan risiko gagal ginjal akut dan membutuhkan perawatan yang
cepat dengan pembebanan kristaloid ke output urin target 2 mL / kg / jam.
Perawatan tambahan dengan sodium bikarbonat, manitol dan furosemid
memfasilitasi ekskresi mioglobin dan melindungi cedera tubulus ginjal.
B. Anestesi
1. Patofisiologi dan Evaluasi pre operatif
a. Saluran napas
Perhatian khusus harus diberikan pada jalan nafas dan paru-paru
berfungsi selama evaluasi pra operasi. Membakar cedera pada wajah dan
leher dapat merusak anatomi dan mengurangi rentang mobilitas dengan
cara yang membuat laringoskopi langsung sulit atau tidak mungkin.
Perubahan spesifik termasuk gangguan pembukaan mulut, edema lidah,
orofaring, dan laring, serta penurunan jangkauan gerak leher. Cedera
jaringan dan sloughing hadir setelah luka bakar wajah yang parah dapat
membuat topeng ventilasi yang sulit. Cedera inhalasi dapat merusak
pertukaran gas paru dan menyebabkan insufisiensi atau kegagalan
pernapasan. Tingkat dukungan pernapasan juga harus dinilai. Itu tingkat
dukungan yang diperlukan dapat berkisar dari blowby tambahan atau
masker oksigen ke intubasi dan ventilasi dengan tinggi tekanan ekspirasi
akhir positif (PEEP) dan FIO2
. Adanya cedera inhalasi secara signifikan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas yang terkait dengan luka bakar. Kebutuhan cairan resusitasi
meningkat hingga 50% .5-7 Dada radiografi biasanya normal sampai
menjadi komplikasi sekunder yaitu peradangan, infeksi atau atelektasis
menjadi berkembang. Mekanisme cedera inhalasi terdiri dari kombinasi (a)
cedera langsung pada wajah dan saluran napas bagian atas dari menghirup
uap dan / atau gas panas, (b) cedera kimia pada trakea dan bronkus, dan
alveolar dan endotelial. lapisan karena menghirup produk beracun dari api
(c) gangguan proses transportasi oksigen atau pemanfaatan oksigen oleh
inhalasi karbon monoksida dan sianida. Panas langsung dan cedera uap
pada saluran napas bagian atas dapat menyebabkan pembengkakan wajah,
lidah, epiglotis, dan pembukaan glotis yang menyebabkan obstruksi
saluran napas. Karena pembengkakan saluran napas tidak segera terjadi
tetapi dapat berkembang selama beberapa jam (terutama dengan resusitasi
cairan bersamaan), indeks kecurigaan yang tinggi dan seringnya evaluasi
ulang dari status pernafasan sangat penting. Edema saluran nafas atas akan
memiliki konsekuensi lebih langsung pada anak-anak yang lebih kecil.
Cedera melepuh epiglotis meniru gejala epiglotis. Edema saluran nafas
atas biasanya hilang dalam 3-6 hari dan difasilitasi oleh elevasi kepala
tempat tidur dan menghindari pemberian cairan berlebihan. Ventilasi
tekanan positif dapat meningkatkan kebutuhan cairan resusitasi

Cedera trakeobronkial disebabkan oleh inhalasi bahan kimia dalam asap.


Asap dari api rumah mengandung produk pembakaran yang beracun dan
merusak saluran udara dan alveoli. Berkurangnya transport mukosiliar
mengganggu pembebasan bakteri dan debris mukosa.8 Keruntuhan
alveolar dan atelektasis dapat terjadi karena hilangnya produksi surfaktan
atau dari penyumbatan saluran udara kecil oleh puing mukosa. Selama
periode waktu tertentu, perubahan ini mengakibatkan penyumbatan saluran
udara, bronkospasme, dan atelektasis yang menyebabkan ketidakcocokan
perfusi ventilasi, shunt, gangguan pertukaran gas dan penurunan kepatuhan
paru. Cedera pada saluran udara dan paru-paru juga dapat terjadi dengan
luka bakar kulit yang parah tanpa cedera inhalasi. Mekanisme termasuk
mediator inflamasi dari area luka bakar, efek resusitasi cairan, dan infeksi.
Sebagai contoh, cedera paru akut dapat terjadi pada pasien dengan cedera
luka bakar tanpa paparan asap. Dua sampai tiga hari setelah cedera
melepuh, fitur bronkoskopik menyerupai cedera saluran napas 5,8,9 karena
paparan asap.
. Manifestasi klinis dari cedera inhalasi dapat tertunda hingga beberapa
hari pasca-eksposur. Nebulisasi antikoagulan, antioksidan dan agen
antiinflamasi sedang diselidiki tetapi bukan bagian dari manajemen rutin
saat ini.15-17 Pemberian antibiotik dan steroid profilaksis tidak dianjurkan
secara rutin.

b. Sirkulasi
Cedera termal memiliki efek mendalam pada sirkulasi sistemik,
dan manajemen hemodinamik merupakan komponen utama perawatan
perioperatif. Sangat penting bagi ahli anestesi untuk menilai kecukupan
resusitasi cairan paska mekar dan status hemodinamik pasien. Variabel
penting termasuk tekanan darah, denyut jantung, output urin, tekanan vena
sentral memberikan informasi penting mengenai status hemodinamik
pasien luka bakar. Selain itu, penentuan kadar hemoglobin darah, cairan
persyaratan, dan kebutuhan untuk pressors atau inotrop adalah penting
untuk mengembangkan rencana anestesi yang efektif. Setelah cedera
termal besar, keadaan shock bakar berkembang karena hipovolemia
intravaskular dan, dalam beberapa kasus, miokardial depresi. Keadaan
shock bakar ini ditandai oleh penurunan curah jantung, peningkatan
resistensi vaskular sistemik, dan hipoperfusi jaringan. Hipovolemia
intravaskuler hasil dari perubahan dalam mikrosirkulasi di keduanya
jaringan terbakar dan tidak terbakar, yang menyebabkan perkembangan
akumulasi cairan interstisial interstitial masif.
Penyebab paling umum adalah hipotensi dan mioglobinuria. GGA
terjadi setelah 5 hari cedera didefinisikan sebagai terlambat. Di sini, sepsis
adalah penyebab paling umum dengan sejumlah kecil kasus yang
dihasilkan dari administrasi obat nefrotoksik. Faktor yang akan
menurunkan kejadian ARF dan, jika terjadi, kematian terkait termasuk
memadai resusitasi cairan, eksisi luka awal, dan pencegahan Infeksi.
Terlepas dari penyebabnya, sangat penting untuk menilai ginjal berfungsi
pada pasien luka bakar agar berkembang secara komprehensif rencana
anestesi. Area analisis penting termasuk urin output, ketergantungan
dialisis, status volume, dan elektrolit; terapi diuretik juga harus
diperhatikan. Dosis terjadwal diuretik mungkin perlu dilanjutkan selama
perioperatif periode untuk mempertahankan output urin.
c. Sistem renal
Gagal ginjal akut (GGA) adalah komplikasi yang relatif umum
pada luka bakar. Insiden ARF karena luka bakar telah dilaporkan berkisar
0,5 hingga 30% dan sangat tergantung pada tingkat keparahan luka bakar
dan adanya cedera inhalasi.87–89 Perkembangan GGA dilaporkan oleh
beberapa peneliti memiliki sedikit indikator prognostik dengan tingkat
kematian setinggi 100%.90 Namun, Jeschke dan rekannya telah
menunjukkan penurunan angka kematian pada luka bakar anak pasien
dengan GGA menjadi 56% sejak 1984, Holm dan rekannya mengamati
bahwa ARF dapat dibagi menjadi kategori awal dan akhir. Awal GGA
didefinisikan sebagai terjadi dalam 5 hari dari luka bakar. Penyebab yang
paling umum adalah hipotensi dan mioglobinuria. GGA terjadi setelah 5
hari cedera didefinisikan sebagai terlambat. Di sini, sepsis adalah
penyebab paling umum dengan sejumlah kecil kasus yang dihasilkan dari
administrasi obat nefrotoksik. Faktor yang akan menurunkan kejadian
ARF dan, jika terjadi, kematian terkait termasuk memadai resusitasi
cairan, eksisi luka awal, dan pencegahan Infeksi. Terlepas dari
penyebabnya, sangat penting untuk menilai ginjal berfungsi pada pasien
luka bakar agar berkembang secara komprehensif rencana anestesi. Area
analisis penting termasuk urin output, ketergantungan dialisis, status
volume, dan elektrolit; terapi diuretik juga harus diperhatikan. Dosis
terjadwal diuretik mungkin perlu dilanjutkan selama perioperatif periode
untuk mempertahankan output urin.

d. Metabolik
Peningkatan tingkat metabolisme adalah ciri khas dari perubahan
metabolisme yang terjadi setelah cedera termal. Besarnya
hipermetabolisme dipengaruhi oleh ukuran luka bakar luka, bagaimana
pasien luka bakar dirawat dan ambien suhu pasien. Dalam kisaran 30–70%
TBSA membakar luka hipermetabolisme cenderung proporsional seukuran
luka bakar. Dengan luka bakar di balik ini kisaran hipermetabolisme
muncul ke dataran tinggi dan hanya meningkat dalam peningkatan yang
lebih kecil. Komplikasi septik adalah suatu faktor penting yang dapat
meningkatkan respon metabolik dan demikian pula tekanan fisiologis rasa
sakit. Telah diamati pengobatan hari modern dari luka bakar dengan eksisi
dini dan perawatan luka tertutup memperbaiki hipermetabolisme. Seperti
disebutkan sebelumnya, pasien luka bakar meningkat tingkat metabolisme
dalam upaya menghasilkan panas sesuai dengan yang baru ambang batas
yang ditetapkan untuk suhu tubuh yang dipengaruhi oleh ukuran luka
bakar (lihat di bawah: Termoregulasi pada luka bakar pasien). Pengakuan
fakta ini telah menyebabkan peningkatan kesadaran akan pentingnya suhu
lingkungan dalam modulasi hypermetabolism dari pasien luka bakar.
Menggunakan kalorimetri tidak langsung pada pasien akut dengan luka
bakar besar yang diperlakukan sesuai dengan standar istirahat energi saat
ini pengeluaran yang 110-150% di atas nilai yang diprediksi adalah sering
diukur. Akibat dari respon hypermetabolic pada pasien luka bakar
memiliki konsumsi O2 yang meningkat bersama dengan peningkatan
produksi CO2 yang secara kolektif menuntut lebih tinggi usaha
pernapasan. Perawatan anestesi akut terbakar pasien harus
mengakomodasi perubahan ini dan sering kali ini harus dilakukan pada
pasien dengan fungsi paru yang terganggu karena luka bakar. Menurut
hypermetabolism kebutuhan kalori dari Pasien luka bakar juga meningkat.
Lebih jauh lagi, banyak penelitian telah menunjukkan bahwa perawatan
nutrisi yang optimal tidak hanya dapat memperbaiki kondisi luka bakar
katabolisme dan penekanan kekebalan tetapi juga meningkatkan
penyembuhan luka. Oral atau makan enteral diakui sebagai rute makan
yang optimal dari pasien yang terbakar. Seringkali pasien luka bakar akut
untuk diberi makan terus menerus selama periode waktu yang
diperpanjang. Ini bukan hanya karena kebutuhan kalori yang meningkat
tetapi juga karena pengosongan lambung dikompromikan dan penurunan
usus motilitas yang memerlukan tingkat pemberian makan yang lebih
lambat dari sakit kritis pasien. Jika pedoman standar untuk puasa
perioperatif adalah menerapkan prosedur operasi berulang dapat secara
signifikan menimpa kebutuhan nutrisi pasien dan akhirnya menyebabkan
defisit ion kalori. Untuk mengakomodasi kebutuhan nutrisi dari pasien
merupakan kelanjutan dari nutrisi duodenum perioperatif telah diadvokasi.
Studi menunjukkan bahwa tidak hanya ini prosedur aman tetapi mungkin
juga menyediakan usus yang menguntungkan keseimbangan oksigen.99
Pada saat penarikan dukungan ventilator dan ekstubasi kondisi metabolik
pasien luka bakar seharusnya dipertimbangkan. Kondisi katabolik
karakteristik luka bakar utama tidak ada cedera pada otot-otot dan otot-
otot pernafasan terpengaruh. Seiring dengan menurunnya kekuatan otot,
sering terjadi penurunan kepatuhan paru bukan hanya karena pembentukan
jaringan parut dan perubahan interstisial pulmonal, tetapi juga karena
peningkatan kandungan intra-abdomen. Terbakar terkait hepatomegali
bersama dengan retensi gastrointestinal dapat menandakan - gampang
menusuk pada cadangan pernafasan. Resistensi insulin berat dengan
hiperglikemia dan bersamaan hiperinsulinemia adalah fitur kunci dari
perubahan metabolik dari luka bakar.95 Telah diketahui dengan baik
bahwa sakit kritis pasien dengan resistensi insulin yang menguntungkan
dari glikemik yang ketat kontrol di ICU dan temuan ini telah diperluas ke
populasi pasien luka bakar. Selama intraoperatif periode pertanyaannya
kurang dipelajari. Meskipun manfaatnya kontrol glikemik intraoperatif
yang ketat telah didokumentasikan dalam populasi pasien lainnya, risiko
dibandingkan manfaat selama anestesi belum diteliti secara spesifik pada
pasien luka bakar.
e. Akses vaskular
Mengelola akses vaskular pada pasien luka bakar sulit karena
tantangan teknis (edema) dan karena peningkatan risiko untuk infeksi
aliran darah. Mungkin perlu menempatkan kateter vaskular melalui luka
bakar. Kadang-kadang, alternatifnya adalah meminta ahli bedah
meniadakan situs penyisipan tepat sebelum penempatan kateter vaskular.
Selain vena jugularis subklavia dan internal, vena femoralis dapat
digunakan. Jika tidak ada akses intravena tersedia, kanulasi intraoseous
sementara dapat dengan aman ditempatkan pada pasien dari segala usia.
Lokalisasi pembuluh darah menggunakan panduan ultrasonografi dapat
berguna dalam menempatkan kateter perifer dan sentral pada pasien ketika
akses sulit.
Oksimeter denyut dapat tidak dapat diandalkan baik dari luka
bakar, penurunan ekstremitas perfusi, atau hipotermia dan mungkin perlu
ditempatkan di cuping telinga, buccal mukosa, atau lidah. Tekanan darah
noninvasif dapat diganti dengan invasif pemantauan tekanan darah..

f. Cairan
Selama perawatan bedah dari luka bakar akut, kehilangan cairan yang
tidak dapat dirasakan dan kehilangan darah biasanya lebih besar dari yang
diantisipasi dan sulit untuk dihitung. Namun, kehilangan darah prediksi harus
didasarkan pada persentase BSA yang akan dipotong dan prosedur
pembedahan. Hal ini berguna untuk memeriksa tingkat hemoglobin pada
interval yang sering selama eksisi ekstensif. Jika kehilangan evaporatif tidak
cukup diisi ulang, hemoglobin mungkin meningkat secara artifisial. Biasanya,
tanda pertama ini adalah hipotensi dan kebutuhan yang meningkat untuk
vasopressor. Ada beberapa rumus untuk menghitung kebutuhan cairan pada
pasien luka bakar tetapi mereka sering melebih-lebihkan persyaratan.
Administrasi cairan harus dititrasi ke output urin dari 1 hingga 2 mL / kg /
jam Tren tekanan vena sentral, variasi tekanan nadi tekanan darah arteri,
output urin, pH serum, dan tingkat laktat dapat digunakan sebagai panduan
untuk volume pasien status. Tingkat hemoglobin yang dapat diterima
terendah harus ditentukan sebelum operasi. Dalam banyak situasi, operasi
pembakaran berlangsung bersamaan dengan resusitasi cairan bakar awal.
Tutup kolaborasi antara unit perawatan intensif dan tim OR sangat penting
g. Suhu
Pemeliharaan suhu tubuh yang tepat adalah penting faktor dalam
perawatan pasien yang luka bakar parah. Termoregula sisistem
dikendalikan oleh tiga komponen utama. Ini termasuk sistem aferen yang
merasakan perubahan dalam inti suhu tubuh dan mengirimkan informasi
ini ke otak, mekanisme pengaturan pusat yang terletak terutama di
hipotalamus yang memproses input dan inisiasi aferen tanggapan, dan
dahan eferen yang memediasi spesifik c tanggapan biologis dan perilaku
terhadap perubahan dalam tubuh inti suhu.
Mekanisme ini pelestarian panas hilang dengan hilangnya area kulit
yang luas, terutama jika jaringan kulit dipotong ke fasia tingkat. Hilangnya
kulit memfasilitasi hilangnya inti panas tubuh ke dalam lingkungan dan
menempatkan pasien luka bakar yang berisiko untuk inti hipotermia.
Mekanisme lain kehilangan panas pada pasien luka bakar adalah
penguapan. Pasien luka bakar bisa kehilangan sebanyak 4000 mL / m2
terbakar / hari cairan flu melalui kerugian menguap. Mekanisme produksi
panas nonshivering, dan menggigil tetap utuh pada pasien luka bakar.
Namun, Menggigil meningkatkan metabolisme persyaratan dan
kemungkinan merusak. Induksi anestesi menghasilkan ablasi relatif
mekanisme termoregulasi dan menempatkan pasien lebih lanjut risiko
untuk mengembangkan hipotermia. Pasien dengan anestesi umum
menunjukkan ambang batas yang sangat menurun untuk merespons
hipotermia. Ini sangat penting pada pasien luka bakar diberi titik set suhu
tinggi dan efek merusak dari respon stres lebih lanjut dan
hipermetabolisme dalam populasi pasien ini. Kebanyakan anestesi
menurun tanggapan non-perilaku untuk hipotermia seperti vasokonstriksi,
termogenesis nonshivering, dan menggigil. Tentu saja, respon perilaku
yang ablated selama anestesi umum. Oleh karena itu, itu adalah tanggung
jawab pengasuh intraoperatif untuk memonitor dan mempertahankan suhu
pasien. Tindakan seperti mempertahankan suhu udara ambien yang lebih
tinggi, meliputi ekstremitas dan kepala, menerapkan selimut hangat,
memanfaatkan pemanas berseri-seri dan alat pemanas udara paksa,
pemanasan cairan dan darah, dan gas pemanas biasanya efektif
mempertahankan suhu inti jika diterapkan secara agresif. Idealnya,
hipotermia harus dikoreksi sebelum transportasi k kamar operasi.
Hipotermia terungkap dalam pra operasi evaluasi mungkin karena
resusitasi atau metabolisme yang tidak memadai ketidakstabilan. Kedua
situasi dapat mempengaruhi pasien luka bakar intoleransi obat anestesi
atau stres operasi
Seperti yang disebutkan sebelumnya, penting untuk memantau
pasien suhu. Entah suhu esofagus atau rektal biasanya dapat dinilai.
Penggunaan stetoskop prekordial atau esofagus harus dipertimbangkan

h. Transport pasien
Pengangkutan yang aman dari pasien luka bakar yang sakit parah
ke dan dari ruang operasi bisa menjadi tugas yang berat. Sebuah metodis
pendekatan akan membantu untuk memastikan keselamatan pasien dan
pastikan pernapasan, hemodinamik, dan dukungan umum yang baik.
Status hemodinamik harus dioptimalkan sebelum transportasi pasien;
dukungan farmakologis mungkin diperlukan. Standar American Society of
Anesthesiologists mandat evaluasi, perawatan, pemantauan, dan peralatan
yang sesuai kondisi medis pasien untuk transportasi apa pun. Tergantung
pada kondisi pasien, observasi sederhana mungkin tepat. Pasien yang
membutuhkan oksigen tambahan harus dipantau oleh pulse oximetry.
Pemantauan hemodinamik adalah dipandu oleh status hemodinamik
pasien. Baterai yang mencukupi daya harus tersedia untuk monitor dan
infus tanpa gangguan fungsi pompa selama transportasi. Persediaan
saluran udara harus tersedia termasuk yang lengkap tabung oksigen,
sebuah self-inflating tas Ambu dengan topeng, dan peralatan intubasi.
Saluran napas dan ventilasi pasien sebagai serta kondisi keseluruhan harus
terus diamati oleh tim perawatan anestesi. Obat untuk resusitasi harus
menyertai pasien pada transportasi apa pun. Sebagaimana dibahas di
bawah ini, hipotermia kurang ditoleransi oleh pasien dengan luka bakar
akut cedera. Sangat penting bahwa pasien tetap hangat selama transportasi
untuk menghindari peningkatan konsumsi oksigen dan memajaki cadangan
metabolik yang terbatas.
2. Hipoalbuminemia
Albumin serum manusia (HSA), yang merupakan protein plasma darah
yang paling melimpah, memiliki banyak fungsi fisiologis yang penting.
Diantaranya, HSA mengatur tekanan osmotik koloid, dan pengangkutan
banyak senyawa endogen seperti asam lemak (FA), hormon, asam empedu,
asam amino, logam dan metabolit beracun. Selain itu, ada berbagai macam
obat yang dikirim ke organ penargetan mereka / jaringan dengan mengikat
dengan HSA [1,7-9]. Oleh karena itu, HSA tidak hanya melindungi obat
terikat terhadap oksidasi dan mempengaruhi distribusi obat in vivo, tetapi
juga mengubah sifat farmakokinetik dan farmakodinamik obat.
Area terbakar dengan luas lebih dari 25% berpengaruh terhadap turunnya
level serum albumin. Luas lesi bakar yang lebih dari 20% cenderung banyak
membuang cairan ekstraseluler, yang dapat menginduksi adanya syok karena
meningkatnya permeabilitas vaskuler dan membuang serum plasma dari area
luka. Tentang tata cara penatalaksanaan hipoalbumin pada luka bakar masih
menjadi perdebatan.
Hipoalbumin merupakan kondisi di mana kadar albumin yang beredar di
dalam serum lebih rendah dari nilai normal. Nilai rujukan normal kadar
albumin dalam serum orang dewasa berkisar antara 3.5 – 5 mg/dL (Ganong,
2003). Keadaan hipoalbumin sering ditemukan pada pasien praoperatif.
Sebagai contoh, hipoalbumin ditemukan pada 21% pasien usia di atas 40
tahun yang dirawat di rumah sakit (Hermann,1992).
Hipoalbumin diakibatkan dari kombinasi efek antara inflamasi baik akut
maupun kronis dengan rendahnya asupan kalori dan protein, umumnya
karena penyakit kronik (Don and Kaysen, 2004). Keadaan tersebut dapat
menurunkan laju sintesis albumin dan meningkatkan laju katabolik. Penyakit
renal kronis merupakan kondisi paling sering penyebab hipoalbumin.
Hipoalbumin juga diakibatkan oleh rendahnya pembentukan albumin akibat
penyakit hepar dan peningkatan kehilangan albumin melalui renal akibat
sindrom nefrotik (Ganong, 2003).
Albumin merupakan protein pembawa utama untuk obat-obat yang
bersifat asam, sementara glikoprotein-α untuk obat bersifat basa (Goodman
and Gillman, 2010). Albumin memiliki empat tapak pengikatan yang berbeda
(Margarson,1998). Berdasar pengikatannya terhadap protein, obat di dalam
plasma ada dalam bentuk terikat dan tak terikat. Fungsi konsentrasi obat tak
terikat saat kondisi tunak akan menentukan efek farmakologis baik yang
bersifat efikasi maupun toksik karena hanya obat yang tak terikat protein lah
yang mampu menembus membran dan mencapai tapak target (Goodman and
Gillman, 2010). Pada keadaan hipoalbumin, fraksi obat tak terikat secara
umum akan meningkat.
Pada studi in vitro, desfluran memiliki tingkat pengikatan terhadap
albumin paling tinggi dibanding agen lain, sementara sevofluran paling
rendah dengan urutan desfluran > isofluran = enfluran > halothan >atau =
sevofluran (Sawas et al, 2004). Meskipun secara struktur bersifat isomerik,
isofluran memiliki afinitas terhadap albumin yang lebih tinggi dibandingkan
dengan enfluran, namun, hanya berikatan hanya pada satu tapak (Liu and
Eckenhoff, 2005).
Ketamin berikatan dengan protein serum pada suhu 30 derajat celcius
sebanyak 60%, sementara metabolitnya seperti norketamin sebesar 75% dan
dehidronorketamin sebesar 75% (Hijazi et al 2002). Pengikatan ini tidak
bergantung pada konsentrasi obat.
Propofol terikat dengan albumin sekitar 47%, sementara 50% terikat
dengan eritrosit, 1.5% dengan glikoprotein-α dan 1.2-1.7% dalam keadaan tak
terikat (Mazoit dan Samii, 1999).
3. Seleksi obat (pharmacological consideration)
Luka bakar dan perawatannya menghasilkan perubahan fisiologis yang
mungkin sangat mengubah respons terhadap obat-obatan. Perubahan ini
mengubah determinan farmakokinetik dan farmakodinamik tanggapan obat.
Tanggapan obat yang berubah dalam dibakar pasien mungkin memerlukan
penyimpangan dari dosis biasa untuk dihindari toksisitas atau penurunan efek.
Sifat kompleks dari perubahan patofisiologi, variasi pasien rawat inap di sifat
dan tingkat luka bakar, serta dinamis sifat dari perubahan ini selama
penyembuhan dan pemulihan membuatnya sulit untuk merumuskan pedoman
dos is yang tepat untuk luka bakar pasien. Namun, pemahaman tentang
respon sistemik untuk luka bakar besar dapat membantu memprediksi ketika
obat diubah respons dapat diharapkan dan cara mengompensasi. Dua fase
berbeda dari respon kardiovaskular cedera termal dapat mempengaruhi
parameter farmakokinetik yang berbeda cara. Selama fase akut atau resusitasi
berlangsung cepat hilangnya cairan dari ruang vaskular karena pembentukan
edema menghasilkan penurunan curah jantung dan perfusi jaringan.
Resusitasi volume selama fase ini mengencerkan protein plasma dan
memperluas ruang fluida ekstraseluler terutama, tetapi tidak secara eksklusif,
di sekitar luka bakar itu sendiri. Penurunan ginjal dan aliran darah hepatik
selama fase resusitasi mengurangi obat eliminasi oleh organ-organ ini. Juga,
penurunan curah jantung akan mempercepat laju akumulasi alveolar dari
inhalasi agen, yang dapat menyebabkan hipotensi berlebihan respon selama
induksi anestesi umum. Setelah kira-kira 48 jam, hipermetabolik dan fase
sirkulasi hyperdynamic didirikan dengan peningkatan curah jantung,
konsumsi oksigen dan suhu inti. Selama fase ini, peningkatan aliran darah ke
ginjal dan hati dapat meningkatkan pembersihan beberapa obat ke titik di
mana diperlukan peningkatan dosis. Banyak obat sangat terikat dengan
protein. Efek obat dan eliminasi sering dikaitkan dengan fraksi tak terikat dari
obat yang tersedia untuk interaksi reseptor, glomerulus filtrasi, atau
metabolisme enzimatik. Dua ikatan obat utama protein memiliki respon yang
berbeda terhadap luka bakar. Albumin mengikat sebagian besar obat asam
dan netral (diazepam atau thiopental) dan menurun pada pasien luka bakar.
Obat-obatan dasar (pKa> 8, propranolol, lidocaine, atau imipramine)
mengikat ke # -acid glikoprotein (AAG). AAG dianggap sebagai protein fase
akut dan konsentrasinya mungkin berlipat ganda setelah luka bakar. Karena
ini protein pengikat obat bereaksi dengan cara yang berlawanan dengan panas
cedera dapat diharapkan bahwa perubahan dalam pengikatan obat dan fungsi
akan bergantung pada protein mana yang memiliki yang tertinggi affi nity
untuk obat yang dimaksud. Martyn dkk. diamatipenurunan konsentrasi
albumin plasma dan peningkatan plasma tion) tampaknya relatif
dilestarikan.115 Namun, generalisasi ini tidak selalu menghasilkan perubahan
yang dapat diprediksi dalam parameter farmakokinetik. Misalnya,
kontradiktif pengamatan izin morfin pada pasien luka bakar telah dilaporkan.
Metabolisme morfin adalah dengan glukuronidasi. Ini adalah Reaksi fase II
yang biasanya ditahan secara termal pasien yang terluka. Akibatnya, izin
morfin telah dilaporkan tidak berubah sebagaimana diprediksi atau
diturunkan. Dengan demikian banyak variabel yang terlibat, seperti aliran
darah hepar, Vd, plasma protein, paparan banyak obat, dan variasi cedera
bakar, Inkonsistensi ini tidak mengejutkan. Kunci untuk obat yang efektif
terapi pada pasien luka bakar adalah untuk memantau efek obat dan dengan
hati-hati titrasi dosis ke efek yang diinginkan
a. Relaksan otot
Farmakologi relaksan otot secara signifikan dan konsisten diubah
setelah luka bakar. Pada pasien luka bakar, paparan suksinilkolin dapat
menghasilkan respon hiperkalemik berlebihan, yang dapat menyebabkan
henti jantung. Rekomendasi saat ini adalah untuk menghindari pemberian
suksinilkolin pada pasien 48 jam setelah luka bakar. Peningkatan jumlah
reseptor asetilkolin ekstrajunction yang melepaskan kalium selama
depolarisasi dengan suksinilkolin adalah penyebab peningkatan
hiperkalemia. Martyn dan Ritchfield telah mengkaji topik hiperkalemia
yang diinduksi suksinilkolin. Hampir menyejajarkan hiperkalemia dengan
suksinilkolin, ada penurunan sensitivitas secara bersamaan terhadap efek
neuromuskular relaksan otot non depolarisasi (NDMRs). Karena
suksinilkolin merupakan kontraindikasi, pengobatan laringospasme pada
pasien yang terbakar dapat mencakup NDMR dosis tinggi, ventilasi
tekanan positif, atau pendalaman anestesi dengan rute intravena (dan
inhalasi, jika memungkinkan). Sekitar 3-7 hari setelah luka bakar, dosis
NDMR yang diperlukan untuk mencapai kelumpuhan efektif dapat
meningkat secara substansial. Etiologi respon yang diubah terhadap
NDMRs adalah multifaktorial: (a) peningkatan reseptor asetilkolin,
termasuk peningkatan reseptor asetilkolin janin dan α7 (neuronal tipe)
pada membran otot, (b) peningkatan pengikatan pada AAG dan
peningkatan eliminasi ginjal dan hepatik dari NDMR. Peran penting dari
ekspresi de novo dari α7AChRs di persimpangan neuromuskular dalam
resistensi terhadap NDMRs baru-baru ini telah dikarakterisasi.
Peningkatan dosis rocuronium 1,2 hingga 1,5 mg / kg untuk
induksi cepat-urutan telah direkomendasikan pada pasien dengan luka
bakar besar.64 Namun, harus dicatat bahwa bahkan dengan dosis 1,5 mg /
kg rocuronium, waktu onset hingga kelumpuhan efektif mendekati 90
detik pada pasien yang terbakar dibandingkan dengan <60 detik pada
pasien yang tidak terbakar dengan dosis 0,9 mg / kg..Atracurium, dipecah
oleh jalur organ-independen (misalnya eliminasi Hofmann), juga
menunjukkan penurunan efektivitas setelah luka bakar. Hal ini
menunjukkan bahwa komponen utama terhadap resistansi terhadap
NDMRs bersifat farmakodinamik.
b. Agen induksi
Kebanyakan pasien yang datang dengan luka bakar akut adalah
hipovolemik. Fakta ini harus diperhitungkan ketika memilih agen induksi
dan dosis. Tanpa agen merupakan kontraindikasi. Jadi, propofol dapat
digunakan, tetapi penting untuk dipahami bahwa tekanan darah akan
menurunkan postinduksi dari penurunan gabungan dalam SVR dan
mengarahkan depresi miokard. Seperti kebanyakan induksi pediatrik,
setelah ditimbang risiko dan manfaat, induksi inhalasi dapat dilakukan
juga. Sekali lagi, ini penting untuk memahami bahwa pasien anak dengan
luka bakar mungkin khususnya risiko hipotensi setelah induksi inhalasi
sekunder terhadap penurunan SVR dan depresi miokard. Namun,
kebanyakan pasien luka bakar pediatrik memiliki beberapa komorbiditas
dan akan mentoleransi ini. Ketamin adalah pilihan menarik untuk agen
induksi karena itu hasil stimulasi simpatis CNS dan pelepasan langsung
katekolamin. Tekanan darah dan detak jantung harus meningkat dengan
induksi ketamin. Namun demikian, ketamine memang memiliki efek
depresan miokardial langsung yang biasanya jauh lebih sedikit daripada
stimulasi simpatik sentral dan dari pelepasan katekolamin. Ini penting
untuk menjadi sadar akan hal ini pada pasien yang sakit kritis yang
mungkin memiliki supresi adrenal dan katekolamin kelelahan. Etomidate
hampir tidak berpengaruh pada variabel hemodinamik setelahnya induksi.
Dengan demikian, tampaknya menjadi agen yang menarik. Namun,
mengingat risiko penekanan adrenal dan hubungan antara peningkatan
mortalitas dan penggunaan etomidate pada pasien dewasa yang sakit kritis,
harus dihindari pada kebanyakan pasien dengan luka bakar yang signifikan
c. Transfusi
Kebutuhan transfusi darah biasanya bukan menjadi perhatian
utama selama fase resusitasi langsung pada luka bakar akut pasien kecuali
ada trauma lainnya. Namun, Penurunan konsentrasi hemoglobin plasma
dapat terjadi selama fase resusitasi akut karena hemodilusi dan darah
kehilangan dari escharotomies dan prosedur invasif lainnya Namun,
kehilangan darah besar adalah umum ketika pasien diambil ke ruang
operasi untuk eksisi dan pencangkokan luka bakar. Desai dan rekannya
melaporkan bahwa jumlah kehilangan darah selama eksisi luka bakar
ditentukan oleh usia, area permukaan tubuh yang terlibat dan apakah
terdapat infeksi. Secara umum, lebih banyak kehilangan darah diamati
sebagai waktu dari cedera awal meningkat dan jika luka terinfeksi.
Kebutuhan transfusi mulai dari 0,45 hingga 1,25 mL packed red blood
cells (PRBCs) per cm2 area luka bakar dilaporkan. Dalam penelitian lain,
Criswell dan Gamelli2 melaporkan tingkat transfusi rata-rata 0,89 mL
PRBC / cm2 membakar area dalam kelompo pasien luka bakar dewasa.
SEBUAH studi oleh O’Mara dan rekan menunjukkan transfusi rata-rata
tingkat 0,65 mL PRBC / cm2 dalam kelompok heterogen membakar
pasien.208 Kontroversi ada terkait pemicu transfusi dan target. Beberapa
penulis menganjurkan agar hematokrit menurun 15-20% sebelum transfusi
pada pasien yang sehat menjalani eksisi terbatas dan transfusi pada
hematocrit 25% pada pasien dengan penyakit kardiovaskular yang sudah
ada.209 Kelompok yang sama mengusulkan mempertahankan hematokrit
dekat 25% pada pasien dengan luka bakar yang lebih luas, dan mendekati
30% jika pasien memiliki penyakit kardiovaskular yang sudah ada
sebelumnya. Kecil studi oleh Sittig dan Deitch menunjukkan unit transfusi
lebih sedikit dan tidak ada peningkatan efek hemodinamik atau metabolik
yang merugikan pasien ditransfusi pada hemoglobin 6–6,5 g / dL
dibandingkan kepada pasien yang dirawat di hemoglobin dekat 10 g /
dL.210 Namun, secara umum, sedikit data hasil ada mengenai pemicu
transfusi optimal untuk transfusi darah selama luka bakar pengangkatan
luka. Penilaian kebutuhan transfusi darah adalah yang terbaik ditentukan
dengan mengevaluasi status klinis pasien. Spesifik, penilaian kehilangan
darah yang sedang berlangsung, pra operasi kadar hemoglobin, tanda-
tanda vital, dan bukti tidak adekuat pengiriman oksigen seperti hipotensi,
takikardia, asidosis, dan mengurangi ketegangan oksigen vena campuran
penting informasi mengenai keseimbangan oksigen pada pasien. Selain itu,
penentuan kadar oksigen pasien kebutuhan penting dalam menentukan
pemicu transfusi untuk seorang pasien individu. Pasien dengan jantung
bersama dan Penyakit paru umumnya membutuhka pengangkutan oksigen
yang lebih tinggi kapasitas. Kebutuhan oksigen akan ditentukan oleh tipe
dan tingkat keparahan kondisi hidup bersama. Secara keseluruhan, orang
Amerika Pedoman Society of Anesthesiologists menunjukkan bahwa
darah transfusi jarang diperlukan pada hemoglobin 10 g / dL atau di atas
dan hampir selalu ditunjukkan pada hemoglobin kurang dari 6 g / dL.211
Untuk setiap pasien, oleh karena itu, darah yang dapat diterima kehilangan
dapat ditentuka berdasarkan penyakit yang sudah ada sebelumnya, pra
operasi hematokrit (Hct), dan pasien memperkirakan darah volume (EBV).
Perkiraan volume darah untuk pasien yang berbeda populasi ditunjukkan
pada Tabel 14.13. Selama eksisi luka bakar besar, pasien akan sering
membutuhkan satu atau lebih volume darah transfusi darah mengganti
kehilangan darah intraoperatif. Transfusi darah masif dapat dikaitkan
dengan berbagai komplikasi dan penggunaan produk darah dikaitkan
dengan biaya finansial yang signifikan.212 Beberapa cara untuk
mengurangi kehilangan darah pembedahan selama luka bakar eksisi luka
dapat digunakan seperti penggunaan torniket pada tungkai dan dressing
kompresi di situs luka bakar pemotongan luka atau panen cangkok
kulit.213 Turniquets punya terbukti menjadi strategi efektif untuk
menurunkan darah kehilangan selama eksisi luka bakar.
Kekurangan tourniquet penggunaannya adalah bahwa efektivitas
mereka terbatas pada operasi pada ekstremitas dan torniket dapat
mengganggu operasi bidang. Intervensi farmakologis yang mungkin
menurun Kehilangan darah termasuk penggunaan dressing yang dibasahi
epinefrin, atau semprotan epinefrin topikal untuk menginduksi
vasokonstriksi lokal. Atau, jaringan subkutan mungkin infus berfluktuasi
cairan yang mengandung epinefrin. Penggunaan epinefrin mungkin terkait
dengan takikardia dan hipertensi jika signifikan jumlah yang diserap ke
dalam sirkulasi sistemik. Namun, beberapa penelitian telah melaporkan
bahwa penggunaan topikal atau subkutan epinefrin pad pasien luka bakar
tidak terkait dengan peningkatan insidensi efek samping atau komplikasi.
Namun, efektivitas pendekatan ini tidak jelas. Sebuah Studi terbaru
menunjukkan bahwa penggunaan semprotan epinefrin topikal atau
infiltrasi epinefrin subkutan tidak terjadi penurunan kehilangan darah
selama eksisi luka bakar. Namun, datanya cukup bervariasi dan pasien
juga menerima trombin topikal. Sebuah penelitian yang lebih besar
meneliti efek epinefrin subkutan dan trombin topikal mungkin
memperjelas masalah ini. Dalam penelitian yang lebih baru, Mzezewa dan
rekannya melaporkan bahwa pengobatan dengan terlipressin sistemik,
vasopresin analog, penurunan kehilangan darah dan persyaratan transfusi
dalam kelompok pasien luka bakar pediatrik dan dewasa. Para penulis
tidak melaporkan komplikasi signifikan yang terkait dengan ini
pendekatan.
4. Maintenance
Tidak ada agen tunggal yang terbukti terbaik untuk anestesi intraoperatif
pemeliharaan. Perawatan anestesi dapat dilakukan dengan inhalasi, intravena,
atau campuran agen. Jika agen inhalasi digunakan, mungkin nitro oksida
kurang efek pada tekanan darah dari agen volatil lainnya. Pasien dengan luka
bakar dengan luas yang signifikan dan mengakibatkan myoglobinuria dan
hipovolemia berisiko cedera ginjal. Sevoflurane digunakan dengan penyerap
CO2 dengan basa kuat (KOH dan NaOH) menghasilkan Compound Formasi.
Senyawa A telah ditunjukkan dalam penelitian pada hewan untuk
menyebabkan ginjal cedera. Namun, tidak ada satu pun kasus cedera yang
dilaporkan pada manusia. Meskipun Kesimpulannya bukan untuk
menghindari penggunaan sevoflurane pada pasien luka bakar, itu perlu
disebutkan. Penting untuk dicatat farmakokinetik dan farmakodinamik agen
yang berubah di pasien luka bakar pediatrik saat menentukan agen
pemeliharaan. Volume distribusi lebih besar mungkin berarti tingkat infus
yang lebih tinggi dari obat intravena. Persyaratan opioid seringkali lebih besar
untuk alasan yang sama secara akut dan kemudian karena toleransi.
Demikian, agen harus dititrasi hingga berefek
a. Kehilangan darah selama operasi
Sulit untuk memperkirakan kehilangan darah selama eksisi karena
darah yang dicucurkan tidak dapat secara efisien dikumpulkan dalam
tabung hisap, spons bedah juga dapat mengandung cairan irigasi, darah
dapat disembunyikan di bawah pasien dan perdarahan substansial dapat
terus teramati di bawah perban besar. Perhatian yang waspada terhadap
beberapa variabel fisiologis diperlukan untuk secara efektif
mempertahankan volume intravaskular selama eksisi luka bakar.
Menerbitkan perkiraan jumlah kehilangan darah selama operasi eksisi luka
bakar berada di kisaran 2,6-3,4% dari volume darah untuk setiap 1%
TBSA dipotong. Beberapa teknik telah digunakan untuk meminimalkan
perdarahan intraoperatif, seperti aplikasi topikal trombin, prosedur
bertahap, dan kecepatan operasi cepat dan aplikasi topikal atau injeksi
subkutan vasokonstriktor (epinefrin, analog vasopresin, atau fenilefrin).
Tidak ada studi prospektif yang membandingkan efisiensi atau keunggulan
satu obat di atas obat lain untuk menurunkan perdarahan.
b. Cairan dan darah
Jika pasien menerima nutrisi parenteral, penting agar infusnya
tidak dihentikan karena bahaya hipoglikemia. Setelah resusitasi cairan
besar awal untuk luka bakar besar, banyak upaya dilakukan membatasi
cairan dan pemberian diuretik untuk mempercepat penghapusan edema ini.
Pada periode perioperatif penting untuk menghindari pemberian cairan
lebih dari yang diperlukan. Penggunaan koloid dapat membantu
membatasi jumlah cairan yang dibutuhkan untuk mempertahankan
preload. Ahli bedah dapat menyuntikkan sejumlah besar cairan subkutan
untuk memfasilitasi debridemen luka dan panen donor. Cairan ini juga
harus dibatasi. Seperti resusitasi awal tidak ada titik akhir fisiologis
tunggal untuk bergantung pada titrasi penggantian cairan. Kewaspadaan
konstan dan perhatian terhadap semua informasi yang tersedia
(hemodinamik, metabolisme, dan output urin) diperlukan. Titik di mana
transfusi sel darah bermanfaat sangat bervariasi antara pasien. Daripada
memusatkan perhatian pada hemoglobin atau hematokrit, yang terbaik
adalah berusaha untuk mempertahankan preload yang adekuat dan
mengikuti status metabolik. Terapi komponen darah harus disediakan
untuk pasien dengan kebutuhan fisiologis yang ditunjukkan tetapi
antisipasi kehilangan darah lanjutan dapat menunjukkan transfusi untuk
mencegah anemia yang signifikan daripada menunggu untuk
mengobatinya ketika itu terjadi.
Di masa lalu, administrasi fresh frozen plasma (FFP) dipandu oleh
American Society of Anesthesiologists Task Force pada rekomendasi
Terapi Transfusi Darah dan Adjuvant Perioperatif yang hanya diberikan
FFP ketika pendarahan mikrovaskular hadir dan defisiensi faktor koagulasi
ditunjukkan. Pengalaman baru-baru ini dengan trauma sipil dan militer
telah menunjukkan bahwa mortalitas menurun dengan pemberian FFP
yang lebih awal dan lebih agresif dengan perdarahan masif. Ada sejumlah
definisi transfusi masif seperti kehilangan volume darah total dalam 24
jam, kebutuhan 4 unit eritrosit dalam satu jam, atau kehilangan lebih dari
150 ml darah per menit. Ini tidak biasa untuk pasien dengan luka bakar
besar untuk memenuhi kriteria ini selama eksisi luka bakar. Pengalaman
klinis dengan pasien luka bakar dengan perdarahan masif tidak sama
dengan syok hemoragik pada pasien trauma tidak terbakar yang datang
dengan syok hipovolemik, asidemia, hipotermia, dan koagulopati. Selama
eksisi luka bakar, perdarahan secara bersamaan diterapi dengan
penggantian cairan dan tindakan diambil untuk mendukung sirkulasi dan
mencegah hipotermia. Namun, logis untuk mengasumsikan bahwa
penggunaan FFP yang lebih agresif untuk mencegah perkembangan
koagulopati juga dapat bermanfaat bagi pasien luka bakar yang mengalami
pendarahan masif.
c. Temperatur
Mempertahankan suhu tubuh pada pasien yang terbakar ini sangat
penting dan menantang. Respons inflamasi terhadap luka bakar besar
menyebabkan peningkatan titik setel suhu inti hipotalamus. Tingkat
metabolisme meningkat untuk mempertahankan suhu tinggi ini.
Hipotermia pada pasien ini kurang ditoleransi karena menyebabkan
peningkatan yang berlebihan dalam konsumsi oksigen dan memperburuk
respon katabolik terhadap cedera.86 Penurunan suhu tubuh selama eksisi
luka bakar juga dapat meningkatkan kehilangan darah dan memperburuk
morbiditas dan mortalitas.87 Beberapa strategi digunakan untuk
mempertahankan tubuh suhu di ruang operasi, termasuk penggunaan
selimut pemanasan, penghangat berseri, penghangat darah / cairan,
meminimalkan paparan permukaan kulit, dan membungkus kepala dan
ekstremitas dengan isolasi plastik atau termal. Suhu di ruang operasi
umumnya dipertahankan pada 80-100 ° F (27 - 38 ° C), tergantung pada
usia dan tingkat keparahan luka bakar.
5. Post operasi
Keputusan tentang manajemen jalan nafas pasca operasi dan dukungan
ventilasi bergantung pada beberapa faktor. Ekstubasi diinginkan secepat
mungkin tetapi pada pasien luka bakar untuk sejumlah alasan sering tidak di
ekstubasi karena merupakan kontraindikasi. Jika pasien datang ke ruang
operasi diintubasi indikasi untuk intubasi harus ditentukan. Jika indikasi awal
telah memberi keputusan untuk ekstubasi tergantung pada kejadian
perioperatif. Beberapa pasien dengan luka bakar leher dan wajah diintubasi
untuk melindungi saluran napas dari obstruksi oleh edema. Jalan napas harus
diperiksa untuk memastikan jaringan edematous tidak akan menyebabkan
obstruksi ketika tabung endotrakeal dicabut. Kebocoran udara disekitar
tabung manset endotrakeal defled pada saat tekanan positif ventilasi adalah
tanda yang menggembirakan bahwa jalan napas bisa tetap paten setelah
ekstubasi. Saluran napas bagian atas juga bisa diperiksa dengan laringoskopi
langsung atau dengan endoskopi. Di kasus marjinal tabung endotrakeal dapat
dilepas sementara penukar yang tersisa di trakea. Teknik lainnya adalah
ekstubasi di bawah penglihatan langsung dengan bronkoskop dengan tabung
endotrakeal sudah dimuat di bronkoskop.
6. Manajemen nyeri
Semua aspek cedera bakar (misalnya, perubahan rias, prosedur eksisi dan
pencangkokan, terapi fisik, dan pemasangan jalur) berhubungan dengan
nyeri.. Nyeri diperburuk oleh adanya kecemasan, jika nyeri tidak terkontrol
dengan obat penenang dan analgesik. Nyeri luka bakar mengalami
hiperalgesik (peningkatan respons terhadap rangsangan yang menyakitkan,
misalnya debridemen luka) dan komponen allodynic (respons nyeri terhadap
rangsangan tidak nyeri, misalnya, sentuhan). Gangguan stres pasca trauma
telah dilaporkan terjadi pada hingga 30% pasien. dengan luka bakar yang
parah, sering berkembang dalam pengaturan pengobatan kecemasan dan nyeri
yang tidak adekuat. Analgesia yang mengontrol pasien telah terbukti menjadi
metode yang aman dan efektif dari pemberian opioid untuk nyeri akut atau
prosedur terkait pada anak-anak dan orang dewasa dengan luka bakar
Sensitivitas terhadap analgesik bervariasi dengan waktu setelah cedera
luka bakar dari peningkatan sensitivitas dan toleransi. Pemberian analgesik
secara terus-menerus dengan sendirinya dapat menyebabkan hiperalgesia
yang diinduksi opioid dan menekankan perlunya dosis opioid yang lebih
tinggi. Untuk memberikan kenyamanan pasien yang konsisten dan sesuai,
standar nyeri dan panduan kontrol kecemasan digunakan di banyak pusat luka
bakar. Karakteristik ideal dari pedoman tersebut meliputi (a) keamanan dan
kemanjuran pada rentang usia yang luas dan tingkat keparahan luka bakar, (b)
rekomendasi eksplisit untuk pemilihan obat, dosis, dan peningkatan dosis, (c)
formularium terbatas untuk mempromosikan staf keakraban dengan obat-
obatan yang digunakan, dan (d) penilaian tingkat nyeri dan kecemasan secara
teratur dengan panduan untuk intervensi melalui pemberian dosis obat yang
disesuaikan.96,97 Pengobatan toleransi opioid termasuk pengalihan opioid
(morfin-> fentanil-> metadon) dan penggunaan obat yang bekerja pada
reseptor nonopioid (ketamin-NMDA [obat anti-inflamasi nonsteroid]
antagonis, dexmedetomidine- atau clonidine-α2-agonist dan gabapentin-like
drugs) .
Acetaminophen dan NSAIDS adalah analgesik lini pertama yang berguna
untuk luka bakar ringan. Namun, NSAID oral dan acetaminophen
menunjukkan efek langit-langit dalam hubungan dosis-respons mereka,
membuat mereka tidak cocok untuk pengobatan nyeri bakar yang parah.98
NSAID juga dapat memiliki efek merusak pada mukosa lambung dan fungsi
ginjal. NSAID dan benzodiazepin umumnya dikombinasikan dengan opioid
untuk mengurangi nyeri prosedural. Nyeri diperburuk oleh kecemasan yang
dapat dikurangi oleh benzodiazepin. Antidepresan muncul untuk
meningkatkan analgesia opiat, terutama pada pasien dengan nyeri kronis
(neuropatik). Toleransi terhadap opiat tampaknya dibesar-besarkan oleh
administrasi jangka panjang dari benzodiazepine, midazolam.99
Anticonvulsants mungkin berguna setelah luka bakar tetapi belum diuji secara
memadai. Clonidine, atau dexmedetomidine (agonis α2-adenoceptor) dapat
menjadi tambahan yang berguna dalam mengurangi nyeri tanpa menyebabkan
pruritus (gatal) atau depresi pernafasan. Namun, dapat menyebabkan
hipotensi dalam dosis yang lebih tinggi dan dengan adanya hipovolemia, oleh
karena itu tidak boleh diberikan kepada pasien yang tidak stabil secara
hemodinamik. Dexmedetomidine telah digunakan untuk memberikan sedasi-
analgesia untuk pasien yang terbakar dan untuk mengurangi kebutuhan
opioid.
III. KESIMPULAN

Pasien dengan luka bakar memiliki patofisiologi hampir di seluruh organ


ditambah dengan cedera elektrik yang memiliki patofisiologi yang unik yaitu
adanya aritmia. Patofisiologi terutama di hemodinamik dan gangguan saluran
napas sehingga banyak melibatkan disiplin ilmu termasuk anestesi.
Dipandang dari sisi anestesi, pelaksanaan debridemen harus melalui tahap-
tahap perioperatif seperti evaluasi pre operasi terutama kelayakan jantung dan
jalan napas, durante operasi dan penanganan post operasi seperti manajemen nyeri
sehingga pasien dengan luka bakar akut dapat tertangani dengan baik sehingga
mengurangi angka morbiditas dan mortalitas
DAFTAR PUSTAKA

Demling RH. 2008. Smoke inhalation lung injury: an update. Eplasty.

Fidkowski CW, Fuzaylov G, Sheridan RL, et al. 2009Inhalation burn injury in


children [review]. Padiatric Aneshetic ;19(Suppl 1):147–54

Fuzaylov G, Fidkowski CW. 2009. Anesthetic considerations for major burn


injury in pediatric patients. Pediatric Anesthetic ;19(3):202–11.

Ganong, WF. Review of Medical Physiology, 21st Ed. McGraw-Hill Companies;


2003.
Hijazi, Ydan Bulieu, R. Protein binding of ketamine and its active metabolites to
human serum. European Journal Clinical Pharmacology. 2002; 58:37–40.
Miller, RD. Miller’s Anesthesia, 8th Ed. Churcill Livingstone; 2015.
Lee C. Woodson, Edward R. Sherwood, Asle Aarsland, Mark Talon, Michael P.
Kinsky and Elise M. Morvant. 2006. Anesthesia for burned patients.

Anda mungkin juga menyukai