Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyetaraan Gender di dalam sebuah profesi, khusunya untuk duduk dalam suatu
kepemimpinan organisasi, pria masih mendominasi.
Inimenunjukan bahwa peran wanita masih terbatasi dalam persoalan memimpin.
Soekarno lahir dari rahim seorang wanita,Tan Malaka lahir dari rahim seorang
wanita, Karl Marx seorang pemikir dari ‘kiri’ pun terlahir dari rahim seorang wanita.
Berdasarkan fungsi biologis, wanita mengandung – melahirkan – menyusui seorang
anak, baik itu perempuan ataupun laki-laki. Tidak secara langsung wanita telah
berperan penting dalam lahirnya seorang laki-laki, dan bahkan seorang pemimpin.

Ketidaksetaraan hak dan kewajiban pada wanita telah terjadi pada abad ke-19
yakni pada saat R.A Kartini terlahir di Mayong, Jepara. Di masa itu perempuan
memang tidak diperbolehkan sekolah dan memperoleh pendidikan.“Kartini percaya
bahwa perempuan berhak mendapatkan pendidikan yang layak sehingga perempuan
dapat mendidik anak-anaknya dengan baik dan benar” (Wicaksana, 2018 : 11)
Kartini pun memutuskan untuk memperjuangkan niatnya membebaskan wanita
di pulau Jawa dari keterbatasan pendidikan. Dimulai dengan belajar melalui buku-
buku yang dikirim kakak laki-lakinya di Eropa, berkorespondensi dengan teman-
temannya dari Belanda, hingga bersedia menikah dengan seorang bupati yang telah
beristri tiga hanya agar dapat memanfaatkan jabatannya untuk Kartini membuat
kebijakan-kebijakan agar didengar dan dilaksanakan oleh rakyatnya. Hingga pada
akhirnya banyak sekolah wanita yang didirikan di Jepara oleh yayasan Kartini.
Terekam jejak wanita dalam kancah politik, yakni Benazir Bhutto adalah
perdana menteri wanita pertama dalam sebuah negara islam yaitu Pakistan, pada tahun
1988.Di indonesia, Megawati Soekarno Putri adalah wanita pertama yang pernah
menduduki posisi RI 1 pada masa reformasi yakni sejak 23 Juli 2001-20 Oktober
2004. Kemudian Tri Rismaharini walikota Surabaya, wanita pertama yang menjabat
untuk periode 2010-2015. Tak lupa Susi Pudjiastuti seorang wanita pertama yang
bukan berasal dari elit politik, dipilih oleh presiden Joko Widodo menjadi menteri
kelautan dan perikanan.
Namun pencapaian wanita dalam kancah politik tak pernah berjalan mulus,
pada hasil suara pencalonan legislatif bagi calon wanita seringkali rendah. Meskipun
dalam UU No.12 Tahun 2003 Pasal 65 (1) menyebutkan bahwa “Setiap Partai Politik
Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR,DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memerhatikan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30%”.
Pada Pileg 2014 jumlah calon legislatif wanita yang terpilih menjadi anggota
DPR periode 2014-2019 sebanyak 97 orang, atau setara dengan 17,32 persen, tidak
sesuai dengan konstitusi. Datamenunjukan bahwa ruang gerak wanita untuk bisa
duduk sebagai pengambil kebijakan politik di lembaga politik formal maupun
informal masih sangat sempit.

Penulis berasumsi bahwa, seringkali terdapat paradigma miring mengenai


pencalonan seorang wanita dalam parlemen. Masyarakat kerap kali tak percaya akan
kemampuan yang dimiliki, sebab wanita menghabiskan sebagian hidupnya di rumah,
di dapur, di dalam pengawasan seorang ayah ataupun suami. Berbeda dengan laki-laki
yang jangkauannya dianggap luas, karena banyak berpergian, mencari pekerjaan, dan
mengikuti kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
Tidak secara langsung masyarakat telah meragukan kemampuan akademik serta
nalar politik seorang wanita.
“Saat awal-awal memimpin, Risma dinilai tidak mampu merangkul elemen-
elemen kekuasaan yang ada di sekitarnya. Ia kerap terlibat konflik dengan PDIP.
Selain itu risma dinilai terlalu banyak melakukan pendekatan otoritas. Hasilnya,
partisipasi publik jadi menurun” (Pitasari, 2018:23)

Mengapa wanita begitu dipandang buruk kemampuannya, atau wanita tidak


layak untuk memimpin rakyat perempuan dan laki-laki? Melihat realitas tersebut,
maka penulis memberikan judul makalah Upaya Meningkatkan Partisipasi Wanita
di Kursi Parlemen Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan maka, penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Apa kendala-kendala yang dihadapi perempuan dalam memasuki parlemen?
2. Bagaiman upaya yan ditempuh untuk membangun citra baik wanita berpolitik pada
pemilih?
1.3. Tujuan Makalah
1. Untuk dapat mengetahui kendala yang dialami oleh caleg wanita.
2. Untuk dapat mengetahui upaya yang sebaiknya ditempuh dalam membangun citra
baik wanita berpolitik.
1.4. Kegunaan Makalah
1. Bagi Penulis
Dari hasi penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis
mengenai wanita dalam berpolitik
2. Bagi Pembaca
Dapat mengetahui bagaimana membangun paradigma yang baik mengenai wanita
berpolitik

BAB II
ISI
A. Landasan Teoretis
a. “Partisipasi sejajar perempuan dalam pengambilan keputusan bukanlah
semata-mata sebuah tuntutan akan keadilan demokrasi, namun juga dapat dilihat
sebagai syarat penting agar kepentingan kaum perempuan dapat
diperhitungkan.”Platform Aksi Beijing, (Ballington, 2002:11)
b. “Al-Quran hanya mengenal satu kriterium yang menjadikan seseorang lebih tinggi
dari yang lain, yaitu kelebihan taqwanya. Perbedaan atas dasar keturunan,
kesukuan, warna kulit, atau tanah air tidak relevan” (Budriadjo, 2017:240 – 241)
c. UU No. 68 Tahun 1958 Pasal 2 “Perempuan dapat dipilih untuk semua badan elektif
yang diatur dengan hukum nasional, dengan status sama dengan pria tanpa
diskriminasi”
d. Montesquieu, (Saputra, 2018:12) “perempuan terlalu rendah jika hanya untuk
memegang kendali di rumah, tetapi mereka mempunyai ketenangan dan
kelembutan yang akan menjadi kualitas untuk membantu dalam mengambil
keputusan di pemerintahan (Montesquieu argued that women were to weak to be in
control at home, but that there calmness and gentleness would be helpful qualities
in making decisions in government)”

Berdasarkan pada teori yang dikemukakan para ahli, penulis berasumsi bahwa
wanita berhak untuk dapat masuk dan ikut berpartisipasi dalam mengambilan kebijakan
pemerintah dengan tidak menggumamkan stigma buruk mengenai wanita. Namun,
dalam beberapa kasus, kepemimpinan wanita masih saja diragukan masyarakat dan
bahkan digulingkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.

Anda mungkin juga menyukai