Anda di halaman 1dari 6

4.

Aksis GH-IGF (Growth Hormone-Insulin Growth Factor)

Meskipun steroid seks sangat penting untuk pelestarian densitas mineral tulang (bone mineral
density, BMD) selama masa remaja dan dewasa, faktor pertumbuhan insulin/insulin growth
factors (IGFs) dan GH memainkan peran penting pada pembentukan tulang selama masa kanak-
kanak dan pemeliharaan tulang di kemudian hari. Sejumlah studi klinis telah menunjukkan bukti
efek potensial sistem GH / IGF pada massa tulang. Namun, pemahaman saat ini tentang regulasi
produksi dan kerja sistem GH / IGF pada tulang masih belum lengkap. Efek anabolik GH dan
IGF-1 dalam tulang penting untuk massa tulang selama masa remaja dan mungkin untuk
pemeliharaan struktur skeletal selama masa dewasa. Perubahan sekresi GH dan IGF-I yang
terjadi dengan penuaan linier dengan hilangnya massa otot dan kekuatan secara progresif,
penurunan kinerja fisik, peningkatan lemak tubuh, dan penurunan BMD [31]. Efek skeletal dari
GH dan IGF dimodulasi oleh interaksi kompleks antara IGF-I dan protein pengikat IGF yang
beredar (IGF-binding proteins, IGFBPs) dan IGF-1 dan IGFBPs yang diproduksi secara lokal.

Hormon pertumbuhan (GH) merangsang proliferasi sel-sel turunan osteoblastik [32] meskipun
IGF-1 juga diperlukan untuk efek anabolik pilihan dari GH di osteoblas [33]. Secara khusus, GH
mempengaruhi nasib prekursor mesenkimal yang mendukung osteoblastogenesis dan
kondrogenesis namun tidak mendukung adipogenesis [33]. Selain itu, GH merangsang ekspresi
protein morfogenetik tulang, yang penting untuk diferensiasi osteoblas pembentukan tulang [34]
dan produksi OPG (osteoprotegerin) dan akumulasinya dalam matriks tulang [35]. Melalui
mekanisme ini, GH menstimulasi pertumbuhan tulang secara longitudinal, baik langsung atau
melalui efek yang dimediasi oleh IGF-1 lokal [35].

Peran dasar IGF-1 adalah stimulasi fungsi osteoblastik dan pembentukan tulang. IGF-1 memiliki
efek sederhana pada proliferasi sel-sel turunan osteoblas dan meningkatkan fungsi osteoblas
dewasa [36]. Selain itu, IGF-1 mengkategulasi sintesis kolagen dan menurunkan degradasi, yang
penting untuk mempertahankan tingkat matriks tulang dan massa tulang yang sesuai. Fungsi
IGF-1 pada osteoklas masih belum jelas. Osteoklas mengekspresikan reseptor IGF-1 dan IGF-1
memiliki efek langsung pada fungsinya [37].

Gangguan sekresi GH tidak jarang terjadi pada orang dewasa dengan thalasemia, yang
berkontribusi terhadap kejadian osteopenia dan osteoporosis. Namun, seperti yang terbukti pada
sebagian besar pasien thalassemia mayor pada masa lampau, mereka memiliki sekresi GH yang
sama seperti pada populasi normal [38]. Beberapa penelitian menunjukkan gangguan respon GH
terhadap tes GH-challenge pada pasien thalassemia mayor berusia 10-23 tahun [39, 40]. Studi
lain telah melaporkan 3,1% dari pasien thalasemia memiliki disfungsi aksis GHRH-GH-IGF-1
[41], yang dikaitkan dengan beberapa mekanisme seperti disfungsi neurosekretorik, hipotalamus,
defisiensi GH-releasing hormone (GHRH), dan peningkatan aktivitas somatostatin [42, 43].
Selain itu, pasien thalasemia dengan pubertas tertunda tidak menunjukkan percepatan
pertumbuhan normal; amplitudo puncak GH serta tingkat GH nokturnal mereka berkurang [42,
44]. Pasien thalasemia mayor juga terbukti (dalam prevalensi tinggi) memiliki kadar IGF-1 yang
rendah terlepas dari sekresi GH yang normal atau di bawah normal [45]. Baru-baru ini, telah
dilaporkan bahwa sekresi GH yang terganggu dan kadar serum IGF-1 yang berkurang dapat
berkontribusi terhadap demineralisasi femur pada pasien thalasemia [45]. Dalam mendukung
penyelidikan lebih lanjut, sangat penting bahwa status GH harus dites kembali pada pasien
thalasemia dengan GHD (defisiensi GH) onset dini [46]. Jika diagnosis GHD dewasa ditegakkan,
terapi GH layak dipertimbangkan karena dapat berkontribusi untuk meningkatkan kepadatan
mineral tulang.

Tidak ada data mengenai pengobatan GH pada orang dewasa dengan thalasemia dan bagaimana
pengobatan ini dapat berkontribusi pada peningkatan BMD dari pasien-pasien ini. Dalam sebuah
penelitian Sartorio et al., satu tahun pengobatan GH pada anak thalasemia mampu meningkat,
tetapi tidak menormalkan, bone turnover; namun itu tidak cukup untuk meningkatkan nilai BMD
[47]. Periode terapi GH yang berkepanjangan mungkin dibutuhkan untuk secara positif
mempengaruhi baik turnover tulang dan nilai BMD pada pasien thalassemia dengan defisiensi
GH, seperti yang terjadi pada anak-anak dan orang dewasa dengan defisiensi GH.

5. Hipoparatiroidisme dan Defisiensi Vitamin D

Hipoparatiroidisme adalah komplikasi endokrin lain pada talasemia, yang dapat berkembang
pada masa remaja akhir dan berkontribusi terhadap osteopenia dan kemudian osteoporosis.
Sebuah penelitian baru-baru ini melaporkan prevalensinya mencapai 13,5% tanpa perbedaan
jenis kelamin [48]. Kelebihan zat besi dengan deposisi pada sel-sel paratiroid dan fibrosis
jaringan adalah penyebab utama hipoparatiroidisme sementara anemia kronis merupakan faktor
tambahan yang menyebabkan disfungsi paratiroid [49]. Kondisi ini menyajikan gambaran
biokimia khas hipoparatiroidisme dengan kadar kalsium rendah dan fosfat tinggi. PTH
(parathyroid hormone) mungkin normal atau rendah dan kadar vitamin D rendah. Kalsium dan
fosfor rendah ditemukan dalam urin 24 jam. X-ray tulang adalah karakteristik untuk
osteoporosis. Temuan CT-Scan otak abnormal dilaporkan terkait dengan hipoparatiroidisme pada
pasien talasemia [48, 49].

Defisiensi vitamin D dapat dimulai sejak dini pada pasien talasemia, sebelum muncul
hipoparatiroidisme. Defisiensi vitamin D berkontribusi terhadap massa tulang yang rendah pada
talasemia. Khususnya, pasien talasemia mayor (TM) secara progresif memiliki kelebihan zat
besi, dan ada kemungkinan terjadinya kekurangan hidroksilasi vitamin D pada hepar, atau dalam
penyerapan vitamin D, muncul pada pasien talasemia yang lebih tua. Namun, penelitian pada
anak-anak [50, 51] dan pada pasien talasemia dewasa [52, 53] telah menunjukkan hasil yang
kontradiktif. Voskaridou et al. mengevaluasi 45 pasien TM dewasa dan melaporkan bahwa kadar
serum vitamin D (25-OH dan 1,25-OH-vitamin D) berada dalam batas normal di hampir semua
pasien [8]. Sebaliknya, Praticò et al. [53] mengamati bahwa 32 dari 113 pasien talasemia
(termasuk anak-anak dan orang dewasa) memiliki tingkat serum 25-OH-vitamin D yang rendah.
Penelitian lain telah membuktikan gangguan pada tingkat sirkulasi 25-OHD pada pasien
thalasemia yang diperburuk dengan peningkatan umur [54]. Sulit untuk menjelaskan perbedaan
ini karena beberapa faktor yang terlibat dalam mekanisme defisiensi vitamin D. Selain itu di
negara-negara dengan sinar matahari yang buruk, kekurangan vitamin D lebih umum bahkan
pada populasi normal. Namun demikian, penting untuk mempertimbangkan iradiasi matahari
sebagai faktor penting yang berperan dalam metabolisme vitamin D.

Selain vitamin D, vitamin C dan elemen seperti seng dan tembaga terlibat dalam metabolisme
tulang. Vitamin dan penumpukan mineral terbukti dihambat oleh desferrioxamine pada pasien
talasemia yang menerima dosis tinggi dari chelating agent ini. Penipisan mineral dapat
mengakibatkan penurunan aktivitas alkalin fosfatase, enzim yang tergantung pada seng.
Toksisitas langsung desferrioxamine dengan menghambat proliferasi sel, sintesis DNA, dan
pembentukan kolagen menyebabkan kerusakan tulang yang mengakibatkan platyspondylosis
dengan perataan vertebral dan mengakibatkan pemendekan dari tinggi tulang belakang [5].

Di sisi lain, penumpukan besi dalam tulang dapat merusak pematangan osteoid dan menghambat
mineralisasi secara lokal, yang mengakibatkan osteomalasia fokal. Zat besi mengganggu
pematangan dan mineralisasi osteoid dengan penggabungannya ke kristal kalsium hidroksiapatit
yang akibatnya mempengaruhi pertumbuhan kalsium kristal hidroksiapatit dan meningkatkan
osteoid dalam jaringan tulang [28]. Tulang yang rusak dengan ukuran kecil dapat berkontribusi
pada BMD rendah yang terlihat pada pasien thalasemia.

6. Perbedaan Jenis Kelamin pada Penyakit Tulang Pasien Talasemia Mayor

Dampak insufisiensi gonad pada integritas skeletal telah secara luas diakui pada kedua jenis
kelamin. Tidak jelas apakah ada perbedaan jenis kelamin terkait penyakit tulang pada TM.
Beberapa penelitian mendukung bahwa terdapat perbedaan jenis kelamin tidak hanya dalam
prevalensi tetapi juga dalam keparahan sindrom osteoporosis di TM. Sebuah penelitian terbaru
oleh institusi kami menunjukkan bahwa pasien laki-laki lebih sering dan lebih parah dalam
mengalami osteopenik / osteoporotik dibandingkan perempuan (Gambar 1) [55]. Penelitian lain
juga menunjukkan dominasi laki-laki pada osteoporosis meskipun beberapa lainnya melaporkan
tidak ada variasi jenis kelamin [56-60]. Di sisi lain, amenore primer dan, lebih lanjut,
hipogonadisme terbukti memiliki dampak yang lebih besar pada osteoporosis pada wanita
daripada pada pria [56]. Selain itu, perempuan eugonad lebih tidak terpengaruh pada tulang
belakang, dibandingkan dengan laki-laki eugonad; kemungkinan besar karena efek
menguntungkan dari HRT pada wanita dengan TM (Gambar 2) [55]. Atau, tulang pasien laki-
laki lebih rentan terhadap efek buruk dari faktor-faktor lain yang berkontribusi, yang beroperasi
dengan mekanisme yang rumit dan masih belum diketahui. Namun, beberapa penelitian
menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin pada pasien hipogonad dengan TM [59, 60].
Gambar 1: Prevalensi (%) sindrom osteopenia osteoporosis pada pasien pria dan wanita
hipogonadal dengan TM.

Gambar 2: Nilai BMD (tulang belakang) rata-rata pada pasien pria dan wanita non-hipogonadal
dengan TM.

7. Metode Diagnostik Sindrom Osteoporosis di TM

BMD umumnya diukur dengan metode Dual Energy X-ray Absorption (DEXA). Namun,
diketahui bahwa pasien TM mengalami perubahan skeletal degeneratif pada tulang belakang,
yang hanya dapat dideteksi oleh MRI dan lebih mungkin mengganggu nilai BMD, menghasilkan
diagnosis penyakit tulang (bone disease, BD) yang keliru. Oleh karena itu, DEXA mungkin
gagal untuk memberikan informasi akurat dan tepat mengenai osteoporosis pada pasien
thalasemia. Ini mungkin menjelaskan perbedaan antara temuan osteoporosis pada TM dalam
studi yang berbeda. Misalnya dalam studi Iran baru-baru ini oleh Shamshirsaz et al. Prevalensi
osteoporosis ditemukan pada 44% pasien dengan menggunakan metode DEXA sedangkan hanya
6% dari populasi yang sama yang osteoporotik berdasarkan Quantitative Computed Tomography
(QCT) [59]

Salah satu faktor tambahan yang mengganggu pembacaan BMD dalam metode DEXA adalah
perawakan pendek penderita thalasemia, yang sebagian besar disebabkan oleh pemendekan
tulang belakang. Alasannya adalah bahwa pengukuran DEXA dipengaruhi oleh ukuran dan
bahwa BMD mewakili pengukuran luas tulang daripada volume, yang menyebabkan
pengurkuran kepadatan tulang yang lebih rendah pada individu tersebut. Singkatnya, karena
DEXA mungkin gagal untuk memberikan informasi yang akurat dari BD pada thalassemia,
metode lain, seperti QCT, computed tomography resolusi tinggi dan single energy quantitative
computed Topography (SEQCT) harus dianggap lebih sensitif dan dapat diandalkan untuk
mendeteksi penyakit tulang di keadaan ini.

8. Aspek Umum dalam Penatalaksanaan Osteoporosis pada Pasien TM

Kunci penting dalam tatalaksana osteoporosis pada pasien dengan TM, yang mengalami
hilangnya massa tulang sejak dini, adalah pencegahan. Pengobatan anemia dengan transfusi
teratur dan pengelolaan kelebihan zat besi dengan agen kelasi yang cepat adalah wajib bagi
setiap pasien dengan talasemia untuk menghindari efek samping penyakit pada tulang. Gaya
hidup sehat harus digalakkan, seperti aktivitas fisik dan berhenti merokok. Asupan kalsium dan
vitamin D yang memadai selama perkembangan skeletal dapat meningkatkan massa tulang
sewaktu dewasa dengan tujuan akhir untuk mencegah keroposnya tulang dan patah tulang.
Pengenalan dini dan manajemen komplikasi endokrin pada thalassemia sangat penting untuk
menghilangkan risiko BD. Induksi pubertas pada usia yang tepat dan pengobatan hipogonadisme
dengan HRT (hormone replacement therapy) tampaknya menjadi cara paling efektif untuk
mencegah osteoporosis dan kelainan bentuk tulang lainnya pada talasemia [17]. Calcitonin,
penghambat kuat osteoklas, juga telah dicoba dikombinasikan dengan kalsium dan vitamin D
[60]. Bifosfonat digunakan di seluruh dunia pada pasien dengan osteoporosis pascamenopause
untuk meningkatkan BMD dan mencegah fraktur tulang [61]. Pengurangan fraktur mungkin
berhubungan tidak hanya dengan peningkatan massa tulang yang timbul dari penghambatan
resorpsi tulang dan mengurangi frekuensi aktivasi unit remodeling tulang tetapi juga untuk
meningkatkan osteomineralisasi. Alendronat, pamidronat, dan asam zoledronat tampaknya
memiliki efikasi yang lebih besar pada pasien osteoporosis dengan TM baik dengan fungsi gonad
normal atau terganggu [8, 9, 62, 63]. Karena asal mula penyakit tulang pada TM bersifat
multifaktorial dan beberapa mekanisme patogenik yang mendasarinya masih belum jelas,
penelitian lebih lanjut dalam uji terapeutik dengan bifosfonat diperlukan untuk memungkinkan
kesimpulan yang pasti.

9. Kesimpulan

Jelas bahwa osteoporosis pada thalassemia memiliki etiologi multifaktorial dan mekanisme
kompleks yang perlu diklarifikasi. Komplikasi endokrin yang disebutkan dalam studi ini sebagai
tambahan dari ekspansi sumsum progresif, toksisitas zat besi dan desferrioxamine pada tulang,
serta penyakit hepar yang berkontribusi pada mekanisme kompleks osteoporosis pada pasien
talasemia. Dengan demikian, osteoporosis di TM merupakan entitas klinis yang unik, yang
mempengaruhi harapan hidup pasien dengan TM. Masih dipertanyakan apakah kriteria
internasional untuk mendefinisikan osteopenia dan osteoporosis masih relevan untuk pasien
dengan TM; juga muncul pertanyaan untuk metode diagnostik dan manajemen osteoporosis pada
pasien thalasemia karena banyak faktor terlibat dalam patogenesisnya. Pengenalan dini
osteopenia, serta manajemen yang tepat sangat penting untuk setiap pasien thalassemia,
memberinya hak untuk menjalani kehidupan yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai