Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Rhinitis didefinisikan sebagai suatu kondisi inflamasi yang melibatkan


mukosa hidung. Gejala-gejala rhinitis meliputi sumbatan pada hidung,
hiperirratabilitas dan hipersekresi. Rhinitis bisa disebabkan oleh bermacam-macam
kondisi yang berbeda-beda alergi maupun non-alergi. Insidensi rhinitis terlihat
meningkat di kawasan eropa tepatnya setelah revolusi industri. Satu dari lima orang
Amerika diperkirakan menderita rhinitis.
Rinitis vasomotor adalah suatu inflamasi mukosa hidung yang bukan
merupakan proses alergi, bukan proses infeksi, menyebabkan terjadinya obstruksi
hidung dan rinorea. Etiologi dari rhinitis vasomotor masih belum diketahui tetapi ada
beberapa teori yang dikemukakan oleh beberapa peneliti Menejemen pengelolaan
pada rinitis vasomotor bervariasi antara lain dengan menghindari penyebab,
psikoterapi, penggunaan medikamentosa, serta terapi bedah, tetapi sampai saat ini
belum memberikan hasil yang optimal.
Prevalensi yang tepat dari subtipe non-alergi yang berbeda rhinitis
juga tidak diketahui. Tiga penelitian terpisah mencoba untuk mengatasi masalah ini
menggunakan pemeriksaan hidung, tes kulit, total IgE, nasal cytology, dan sinus x-
ray. Penelitian ini melibatkan 200 pasien. Rinitis vasomotor adalah diidentifikasi
sebagai subtipe yang paling umum (71%), diikuti oleh rhinitis nonalergik dengan
sindrom eosinofilia. Antara pasien rinitis vasomotor, ada dominasi perempuan (rasio,
2: 1). Usia yang khas saat onset adalah akhir 30-an awal-40-an. Diperkirakan 20 juta
orang Amerika menderitarinitis nonalergi, dengan rhinitis vasomotor untuk 14 juta
dari 20 juta itu.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung


Hidung terdiri dari hidung bagian luar dan rongga hidung beserta dengan
perdarahan, persarafannya. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya
dari atas ke bawah:
a. Pangkal hidung (bridge)
b. Batang hidung (dorsum nasi)
c. Puncak hidung (hip/apeks)
d. Ala nasi
e. Kolumela
f. Lubang hidung ( nares anterior )
Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar

Bagian dorsum nasi berlanjut sampai ke pangkal hidung (bridge) dan menyatu
pada dahi. Bagian yang disebut kolumela membranosa bermula dari apeks yaitu di
posterior bagian tengah bibir dan terletak disebelah distal dari kartilago septum. Titik
pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasal hidung. Disini bagian
bibir atas membentuk cekungan dangkal yang memanjang dari atas kebawah yang
disebut filtrum.
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
1. Os nasal
2. Processus frontalis os maksila
3. Processus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari:
1. Sepasang cartilage media lateralis superior
2. Sepasang cartilage media lateralis inferior
3. Tepi anterior cartilage septum
Gambar 2. Kerangka Tulang dan Tulang Rawan Hidung

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan
dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior, dan lubang
yang belakang disebut dengan nares posterior (koana) yang menghubungkan cavum
nasi dengan nasopharynx. Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala
nasi tepat dibelakang nares anterior disebut dengan vestibulum. Vestibulum dilapisi
oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar subasea dan rambut panjang yang disebut
vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding lateral,
medial, inferior, dan superior.

1. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2)
vomer, 3) krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os palatine. Bagian
tulang rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2)
kolumela.
Gambar 3. Anatomy Septum Nasi

2. Dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu yang terbesar bagian bawah konka
inferior kemudian lebih kecil adalah konka media dan lebih kecil lagi konka
superior dan yang terkecil disebut konka suprema yang biasanya rudimenter.
Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat meatus nasi yang
jumlahnya tiga buah, yaitu meatus inferior, meatus media, dan meatus
superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung
dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media
dan dinding lateral rongga hidung yang bermuara pada sinus frontalis, sinus
etmoid anterior dan sinus maksilaris. Pada meatus superior yang merupakan
ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sphenoid
Gambar 4. Anatomi Conchae

3. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os


maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari
os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya
serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung
dibentuk oleh os sphenoid
4. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dibentuk oleh lamina
kribriformis yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
kribriformis merupakan lempeng tulang yang berasal dari tulang ethmoid,
tulang ini berlubang lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut
serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior atap rongga hidung dibentuk oelh
tulang sphenoid.
Gambar 5. Batas-batas Cavum Nasi

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa secara histologi dan fungsional dibagi
atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa
olfaktori). Mukosa pernafasan dilapisi oleh epitel pseudokolumnar berlapis yang
mempunyai silia dan terdapat sel-sel goblet. Dalam keadaan normal warna mukosa
adalah merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir. Gangguan pada
fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan
hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara
yang berlebihan, radang, sekret kental, dan obat-obatan. Mukosa penghidu terdapat
pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa
dilapisi oleh epitel pseudostratified columnar tidak bersilia. Daerah mukosa penghidu
berwarna coklat kekuningan.

2.2 Perdarahan Hidung


Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a.ethmoid anterior dan
a.ethmoid posterior yang merupakan cabang dari a.ophtalmica dari a.carotis interna.
Rongga hidung bagian bawah mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris
interna, diantaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.splenopalatina yang keluar
dari foramen sphenopalatina bersama n.sphenopalatina dan memasuki rongga hidung
dibelakang ujung posterior concha media.
Hidung bagian depan mendapat perdarahan dari a.facialis. Pada bagian
anterior septum terdapat anastomosis cabang a.sphenopalatina, a. etmoidalis anterior,
a.palatina mayor, dan a.labialis superior yang membentuk Pleksus Kiesselbach yang
mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis anterior. Pada
bagian posterior septum terdapat anastomosis a.sphenopalatina, a.nasalis posterior,
a.pharyngeal ascendens yang membentuk pleksus Woodruff.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dam struktur luar hidung bermuara ke
v.ophtalmica yang berhubungan dengan sinus cavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi sampai intracranial.

Gambar 6. Pembuluh darah di hidung

2.3 Persarafan Hidung


Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal dari n.
ophtalmicus. Rongga hidung lainnya sebagian lainnya mendapat persarafan sensoris
dari n. maksilaris melalui ganglion spenopalatina. Ganglion spenopalatina selain
memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom
untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n. maksilaris (N
V2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut simpatis
dari n. petrosus profunda.
Ganglion spenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
konka media. N. olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di sepertiga atas hidung

Gambar 7. Persarafan Hidung

2.4 Fisiologi Hidung


Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional. Fungsi
hidung dan sinus paranasal adalah
1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal
2) fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidu
3) fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4) fungsi statis dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma, dan pelindung panas
5) refleks nasal. Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan
dengan saluran cerna, cardiovaskuler, pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan reflex bersin dan napas berhenti. Rangsan bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pancreas.

2.5 Rhinitis Vasomotor


2.5.1 Definisi
Rhinitis vasomotor berasal dari kata “Vaso” yang artinya pembuluh darah
dan “motor” mengacu pada saraf yang menginervasi jaringan hidung dan pembuluh
darah. Rhinitis vasomotor/rhinitis non alergi adalah suatu keadaan idiopatik yang
didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan,
hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin,
klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan).

(https://www.asthmafoundation.org.nz/your-health/other-respiratory-
conditions/vasomotor-rhinitis-vmr DAN BUKU UI)

2.5.2 Epidemiologi
Insiden rhinitis non alergi (NAR) bervariasi dari studi ke studi.
Hampir semua publikasi tentang NAR ditemukan di Amerika Utara dan sastra Eropa.
Dengan demikian, tidak jelas apakah kejadian atau usia dan distribusi seks berlaku
untuk populasi yang belum distudikan di tempat lain di dunia. Salah satu survey
praktek kesehatan US, klasifikasi pasien dengan rhinitis adalah 43% rhinitis alergi,
23% rhinitis non alergi, dan 34% rhinitis campuran. Penelitian di Eropa yang sama
telah ditemukan bahwa sekitar 1 dari 4 pasien mengeluhkan gejala hidung memiliki
rhinitis non alergi. Perkiraan terbaru menunjukkan bahwa 50 juta
Eropa memiliki NAR, dengan prevalensi total lebih besar dari 200 juta penduduk
dunia. Di Amerika Serikat, ada sekitar 60 juta pasien dengan rhinitis alergi dan 30
juta dengan rhinitis vasomotor. Rhinitis nonallergic cenderung onset dewasa, dengan
usia khas presentasi antara 30 dan 60 tahun. Setelah gejala mulai, mereka sering
berlangsung seumur hidup. Pada orang dewasa, kebanyakan studi melaporkan
dominasi perempuan yang jelas, dengan perkiraan mulai dari 58% sampai 71%.

(https://waojournal.biomedcentral.com/track/pdf/10.1097/WAO.0b013e318196ca1e)

Prevalensi yang tepat dari subtipe non-alergi yang berbeda rhinitis juga tidak
diketahui. Tiga penelitian terpisah mencoba untuk mengatasi masalah ini
menggunakan pemeriksaan hidung, tes kulit, total IgE, nasal cytology, dan sinus x-
ray. Penelitian ini melibatkan 200 pasien. Rinitis vasomotor adalah diidentifikasi
sebagai subtipe yang paling umum (71%), diikuti oleh rhinitis nonalergik dengan
sindrom eosinofilia. Antara pasien rinitis vasomotor, ada dominasi perempuan (rasio,
2: 1). Usia yang khas saat onset adalah akhir 30-an awal-40-an. Diperkirakan 20 juta
orang Amerika menderita rinitis nonalergi, dengan akuntansi rhinitis vasomotor untuk
14 dari 20 juta itu

(VASOMOTOR RHINITIS)

2.5.3 Etiologi & Patogenesis


Etiologi dan patofisiologi yang pasti belum diketahui. Beberapa hipotesis
tekah dikemukakan untuk menerangkan patofisiologi rhinitis:
1. Disfungsi nociceptif
Berbagai rangsangan kimia dan mekanik dari mukosa hidung dibawa
oleh ujung saraf sensoris-aferen dan disalurkan pada tingkat kortikal. Sensasi
(misalnya, panas, dingin, dan terbakar) ditransimisikan secara cepat melalui
serat Aδ dan rasa tidak nyaman, paresthesia, dan sentuhan ditransmisikan
melalui serat C. Mereka juga mentransmisikan sensasi peregangan mekanis
ketika ada pembengkakan sel-sel epitel dan pembuluh darah yang
memperdarahi mukosa hidung.
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh
meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di hidung.
Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti dengan
peningkatan pelepasan neuropeptida seperti substansi P dan calcitonin gene-
related protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vascular dan
sekresi kelenjar. Keadaan ini menerangkan terjadinya peningkatan respons
pada hiperaktivitas di hidung.
Mediator seperti bradikinin, histamin, dan amina bertindak pada
reseptor stimulasi. Satu contohnya adalah reseptor capsaicin TRPV1 (TRP
vanilloid-1). TRPV1 diaktifkan oleh capsaicin, etanol, anestesi lokal, dan
suhu lebih dari 42 ° C. Pemberian capsaicin topikal telah terbukti mengurangi
kongesti pada rinitis vasomotor dibandingkan dengan rinitis alergi, yang hal
itu menunjukkan disfungsi saraf nociceptive pada individu dengan rhinitis
nonalergi.
2. Nitrit oksida
Kadar nitrit oksida yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung
dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga
rangsangan nonspesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel. Akibatnya
terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment reflex
vascular dan kelenjar mukosa hidung.
3. Trauma
Rhinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari
trauma hidung melalui mekanisme neurogenik dan atau neuropeptida
4. Entopy: Sintesis IgE Lokal
Entopy mengacu pada alergi lokal di rongga hidung tanpa disertai tes
tusukan kulit yang positif, peningkatan serum IgE, atau serum alergen-
spesifik IgE. Adanya sel-sel alergi di mukosa hidung mendukung produksi
IgE lokal. Studi biopsi hidung yang dilakukan sebelumnya menunjukkan
tidak adanya perbedaan limfosit, antigen-presentasi sel, eosinofil, atau sel
IgE-positif lainnya antara pasien rinitis idiopatik, nonalergi, dan peserta
control
Pemeriksan rhinometri akustik positif pada 50% pasien ini setelah
nasal challenge dengan Der p 1. Cairan lavage hidung pasien rinitis idiopatik
secara signifikan lebih tinggi kadar protein kationik eosinofil dibandingkan
dengan protein peserta kontrol. Produksi IgE lokal dapat terjadi di pasien
dengan rhinitis nonalergi, dan peningkatan jumlah reseptor IgE afinitas tinggi
telah ditemukan di beberapa pasien dengan rinitis non-alergi kronis.
fenomena produksi IgE lokal telah ditunjukkan dalam dua penelitian
ex vivo di mana ada produksi alergen-spesifik IgE dalam hidung pasien
dengan rinitis nonalergi . Sebaliknya, tidak semua studi memiliki menemukan
bukti yang mendukung keberadaan entopy.
(VASOMOTOR RHINITIS NCBI & UI)
5. Neurogenik (Disfungsi saraf otonom)
Sistem saraf otonom mengontrol suplai darah ke dalam mukosa
nasal dan sekresi mukus. Diameter dari arteri hidung dan menghambat sekresi
kelenjar diatur oleh saraf simpatis sedangkan saraf parasimpatis mengontrol
sekresi glandula dan mengurangi tingkat kekentalannya serta menekan efek
dari pembuluh darah (kapiler). Efek dari hipoaktivitas saraf simpatis atau
hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh pada pembuluh darah
tersebut yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial dan
akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi klinis sebagai hidung tersumbat.
Aktivasi dari saraf parasimpatis juga meningkatkan sekresi mukus yang
menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif. Rinitis vasomotor diduga
sebagai akibat dari ketidak-seimbangan impuls saraf otonom di mukosa
hidung yang berupa bertambahnya aktivitas saraf parasimpatis.
(VASOMOTOR RHINITIS NCBI & UI)
Tetapi penelitian terbaru mengatakan bahwa ketika dilakukan
endoscopic viridian neurectomy, yang menghentikan kinerja dari saraf
simpatis dan parasimpatis yang mempengaruhi mukosa hidung menghasilkan
sedikiti perbaikan pada kongesti hidung bahkan tidak menghasilkan perbaikan
pada kongesti hidung. Hal ini sepertinya bertentangan dengan hipotesis
peningkatan aktivitas parasimpatik memainkan peran dalam genesis gangguan
vascular ditemukan di rhinitis vasomotor.
(a deeper view)

2.5.4 Gejala Klinis


Pada rhinitis vasomotor, gejala seing di cetuskan oleh berbagairangsangan
non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman beralkohol,
makanan pedas, udara dingin, pendingin, dan pemanas ruangan, perubahan
kelembapan, perubahan suhu luar, kelelahan, dan stress/emosi. Pada keadaan normal
factor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.
Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi, namun
gejala dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dari kanan, tergantung posisi
pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa. Keluhan ini jarang disertai
dengan gejala mata.Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh
karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap
rokok dan sebagainya. Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan
dalam 3 golongan, yaitu:
1. golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon baik dengan
terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topical
2. golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian anti
kolinergik topical
3. golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya memberikan respon baik
dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan vasokonstriktor oral.

Dalam survei yang dilakukan pada 678 pasien rinitis, hidung tersumbat adalah
gejala yang paling utama pada pasien rhinitis vasomotor, sedangkan pada rhinitis
alergi pasien mengalami lebih banyak rhinorrhea, bersin, dan iritasi mata. Asma lebih
sering terjadi pada kelompok alergi. Togias melaporkan bahwa pasien non alergi
memiliki lebih sedikit bersin dan gejala konjungtiva, tetapi rhinorrhea dan hidung
tersumbat tidak membedakan antara alergi dan kelompok nonalergi. Rinitis
vasomotor umumnya terjadi terus menerus dan tidak diperburuk oleh paparan
allergen.
Namun, eksaserbasi musiman rinitis vasomotor terjadi selama pergeseran
suhu, kelembaban, atau barometric tekanan selama musim semi dan musim gugur
mungkin membingungkan antara rhinitis vasomotor musiman dengan rhinitis alergi
musiman. faktor lingkungan yang tidak berpengaruh pada orang sehat tetapi
berpengaruh pada pasien rhinitis vasomotor adalah bau yang kuat; paparan udara
dingin; perubahan suhu, kelembaban, dan / atau tekanan udara; dan konsumsi
minuman beralkohol.
Berdasarkan faktor yang mempengaruhinya, rhinitis dapat dibedakan dalam:
1. Gustatory rhinitis vasomotor
Merupakan bentuk rhinitis vasomotor dimana rinorrhea terjadi tiba-tiba saat
sedang makan atau saat minum alcohol. Hal ini dapat dicegaj dengan
menggunakan nasratropium hidung sebelum makan
2. Irritant-sensitive rhinitis vasomotor
Pada beberapa pasien, gejala rhinitis vasomotor akut disebabkan oleh bau
yang kuat, asap rokok, polusi udara atau parfum. Saat ditanya kebanyakan
pasien dengan mudah dapat mengidentifikasikan yang mana dari pemicu iritan
yang menyebabkan gejala
3. Rhinitis vasomotor yang sensitive terhadap cuaca atau suhu
Pada beberapa pasien perubahan suhu, kelembapan, atau tekanan barometric
atau paparan udara dingin atau kering dapat menyebabkan gejala. Pemicu ini
seringkali sulit untuk diidentifikasi. Rhinitis vasomotor yang sensitive
terhadap cuaca atau suhu sering keliru untuk rhinitis alergi musiman karena
perubahan cuaca terjadi dalam kaitannya dengan puncak musim semi dan
musim gugur.
4. Faktor pemicu yang lainnya
Pemicu lainnya termasuk olahraga, emosi, dan gairah seksual (rhinitis bulan
madu).
Beberapa pemicu seperti asap tembakau dan parfum mudah dihindari. Pemicu
lainnya, seperti perubahan cuaca tidak dapat dihindari. Jika tindakan untuk
menghindari faktor resiko gagal maka pengobatan dapat digunakan untuk profilaksis
dan pengobatan simptomatik.

(NON ALLERGIC)

2.5.5 Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan
adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesa
dicari faktor yang mempengaruhi timbunya gejala. Rhinitis vasomotor dibuat dengan
menyingkirkan kemungkinan lainnya dengan anamnesa, pemeriksaan fisik pada
hidung dengan rinoskopi anterior didapatkan konka nasalis berwarna merah gelap
atau merah tua, tetapi dapat pula pucat, Mukosa hidung biasanya tampak normal
tetapi mungkin tampak merah dan gemuk tetapi dapat juga ditemukan edema mukosa
hidung dan permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada
rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan
rinore sekret yang ditemukan serosa yang banyak jumlahnya.
Timbulnya gejala pada pasien yang berumur > 35 tahun tanpa riwayat atopi,
variasi musiman, atau gejala terkait paparan alergen spesifik tetapi diinduksi oleh
pemicu nonspesifik (misalnya, parfum) menunjukkan lebih besar dari 99%
kemungkinan diagnosis rinitis vasomotor.Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan
untuk menyingkirkan rhinitis alergik karena dapat ditemukan eosinofil di dalam
sekresi hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negative,
kadar IgE spesifik tidak meningkat. Perubahan foto rontgen, penebalan membrana
mukosa sinus tidaklah spesifik dan tidak bernilai untuk diagnosis. Rhinitis vasomotor
bisa terjadi bersama-sama dengan rhinitis alergik. Pemeriksaan radiologik sinus
memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin tampak gambaran cairan dalam
sinus apabila sinus telah terlibat.

2.5.6 Tatalaksana
Penatalaksanaan yang digunakan pada rhinitis vasomotor bervariasi,
tergantung pada faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar
penatalaksanaan dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Non farmakologik
Menghindari faktor penyebab, jika faktor penyebab tidak dapat dihindari,
maka pasien bisa melakukan profilaksis dengan semprotan hidung sebelum
terpapar. Misalnya, jika gejalanya terjadi saat berada di pesawat, kemudian
steroid intranasal atau semprotan antihistamin harus digunakan sebelum naik ke
pesawat. Terapi terbaik adalah dengan pencegahan dan menghindari.
2. Farmakologik
 Antikolinergik
Agen antimuskarinik, mengurangi sekresi dengan menghambat hidung
kelenjar mukosa parasimpatik Ipratropium sangat ideal untuk pasien yang
hanya menderita rinorrhea. Paling baik digunakan dalam kombinasi jika
pasien datang dengan rhinorrhea dan gejala lain karena ipratropium tidak
memiliki kerja untuk mengobati atau mencegah bersin, gatal, atau hidung
tersumbat. Studi klinis menunjukkan bahwa ipratropium mengurangi durasi
dan tingkat keparahan rhinorrhea sebesar 33% dan 29%, masing-masing,
dibandingkan dengan plasebo. Kurang dari 10% pasien mengalami efek
samping yaitu sakit kepala, epistaksis, faringitis, hidung kering, mual, atau
iritasi hidung
Ipratropium nasal spray dibuat dalam konsentrasi 0,03% dan 0,06%.
Ipratropium intranasal 0,03% seharusnya dianggap first-line jika gejala
dominan adalah rhinorrhea. Dosis tinggi ipratropium 0,06% disetujui untuk
rhinorrhea terkait dengan umum rinitis dingin atau alergi. Setiap aktuasi dari
formulasi 0,03% menghasilkan dosis sebesar 21 mcg. Dosis yang ideal untuk
pasien yang lebih tua dari 6 tahun adalah 168-252 mcg setiap hari atau 2
tindakan untuk setiap lubang hidung 2-3 kali per hari. Dosis untuk anak-anak
yang lebih muda dari 6 tahun belum ditetapkan
 Intranasal steroid spray
Intranasal steroid spray dianggap sebagai lini terapi karena beberapa
studi menunjukkan efektif dalam penatalaksanaan rhinitis non alergi.
Intranasal fluticasone proprionate dan bekolmetasone dipropionate
disetujui oleh US Food and Drug Administration (FDA) untuk mengobati
rhinitis non alergi.
Nasal kortikosteroid bekerja pada jalur yang sama untuk mengurangi
peradangan seperti obat yang diambil secara sistemik, tetapi aktivitas anti-
peradangannya terlokalisasi pada saluran napas bagian atas. Nasal
kortikosteroid diyakini dapat membuat relaksasi otot polos, mengurangi
hyperresponsif saluran napas, dan mengurangi kuantitas dan aktivitas
mediator inflamasi. Kelas obat ini sangat berguna untuk mengelola
rinorrhea, bersin, pruritus, dan kemacetan. Nasal kortikosteroid juga
berguna pada pasien dengan NARES, karena bukti menunjukkan bahwa
mereka menghambat inaktivasi eosinofil dan kaskade yang dihasilkan
mengarah ke peradangan.
Karena aktivitas lokal dari kortikosteroid nasal, efek sampingnya
hanya terbatas pada iritasi hidung dan perdarahan hidung, yang dapat
dikurangi dengan penggunaan formulasi berair. Banyak formasi tersedia,
dan beberapa percobaan mungkin diperlukan untuk menemukan satu
pasien yang akan dengan mudah dipatuhi. Percobaan rutin, penggunaan
sehari-hari untuk setidaknya 1 bulan disarankan, dan pasien harus diberi
konseling bahwa mungkin diperlukan beberapa minggu untuk mencapai
peningkatan yang nyata.
 Antihistamin
Antihistamin berguna dalam meredakan rhinorrhea, bersin, dan hidung
pruritus. Namun, seperti namanya, mereka memblokir histamin, faktor
yang paling umum untuk pasien dengan rinitis alergi. Oleh karena itu,
kecuali gejala-gejala hasil dari pelepasan histamin, antihistamin memiliki
manfaat terbatas. Semua antihistamin secara kompetitif dan reversibel
memblokir reseptor histamin tipe 1 (H1). Selain itu, antihistamin baru
(generasi kedua) dapat menghambat pelepasan mediator inflamasi
tertentu, khususnya sel mast dan basofil.
2 Generasi antihistamin dapat dibedakan mengenai kemampuan penetrasi
lipid mereka. Agen generasi pertama adalah lipofilik dan siap melintasi
penghalang darah-otak, meningkatkan frekuensi efek samping CNS
(misalnya, sedasi). Penurunan afinitas untuk reseptor kolinergik dan 5-
hidroksitriptaminergik dan peningkatan afinitas untuk reseptor H1 perifer
menurunkan efek samping CNS dengan agen generasi kedua relatif
terhadap agen generasi pertama. Dengan pengecualian cetirizine, yang
dibersihkan secara ginjal, antihistamin melewati sistem sitokrom P450. 2
generasi tidak berbeda dalam khasiatnya. Selanjutnya, antihistamin
dipecah menjadi subklasifikasi berdasarkan kesamaan dalam struktur
kimianya.
Intranasal antihistamin
Beberapa antihistamin hidung, seperti azelastine, memiliki indikasi
berlabel untuk pengobatan rinitis vasomotor. Dua uji klinis multicenter
menunjukkan bahwa azelastine lebih efektif daripada plasebo pada
persepsi pasien tentang rhinorrhea, bersin, hidung tersumbat, dan
postnasal drip. Selain tindakan antihistamin, azelastine telah terbukti
memiliki tindakan anti-inflamasi yang mungkin bertanggung jawab untuk
kemanjurannya pada pasien dengan rinitis vasomotor.
Efek samping obat ini adalah rasa pahit di lidah ataupun rasa manis, sakit
kepala dan penurunan kesadaran.
Oral antihistamin
Obat oral antihistamin seperti loratadine, cetirizine dan fexofenadine dapat
membantu mengurangi bersin. Tetapi tidak ada beberapa studi yang
mengatakan adanya efektifitas antihistamin terhadap rhinitis non alergi.
Antihistamin generasi 1 dapat membantu mengobati rinorrhea
 Dekongestan
Dekongestan, baik oral maupun topikal, bisa meringankan gejala kongesti
dan rhinorrhea pada rinitis nonalergi. Mereka harus hanya digunaka
jangka pendek, karena hanya ada sedikit bukti untuk mendukung
penggunaan jangka panjang. Phenylpropanolamine, dekongestan
sebelumnya ditarik dari pasar pada tahun 2000 karena khawatir bahwa
obat itu, khususnya ketika digunakan untuk penekanan berat badan,
dikaitkan dengan stroke hemoragik pada usia muda 26,27 Dekongestan
oral lainnya, yaitu, pseudoephedrine dan phenylephrine, adalah masih
tersedia, tetapi tidak ada yang pasti pedoman untuk penggunaannya. Efek
sampingnya termasuk takikardia, peningkatan tekanan darah, dan
insomnia
 Irigasi hidung
Irigasi salin hidung telah digunakan untuk berabad-abad untuk mengobati
rinitis dan sinusitis, meskipun bukti manfaat terbatas. Ulasan Cochrane
menyimpulkan bahwa irigasi salin baik ditoleransi, memiliki efek samping
ringan, dan bisa memberikan beberapa bantuan gejala rinosinusitis baik
sebagai satu-satunya ukuran terapeutik atau sebagai terapi ajuvan. Larutan
garam hipertonik, sementara mungkin lebih efektif daripada isotonic
saline dalam meningkatkan pembersihan mukosiliar, tetapi tidak
ditoleransi dengan baik karena mereka bisa menyebabkan hidung terbakar
dan iritasi. Manfaat yang didapat dari irigasi hidung adalah untuk
membersihkan sekresi hidung, meningkatkan fungsi nasosiliar, dan
menghilangkan bahan iritan dan serbuk sari dari hidung.

3. Bedah
Terapi secara pembedahan harus dipertimbangkan sebagai adjuvan yang
mungkin untuk terapi medis lanjutan. Pada pasien yang pemeriksaan intranasal
menunjukkan deviasi septum dan / atau hipertrofi konka yang hilang dapat
dilakukan septoplasty dan / atau pengurangan konka inferior untuk mengurangi
obstruksi nasal dan kongesti. Banyak teknik bedah tersedia untuk mengobati
hipertrofi konka inferior, termasuk reseksi submukosa dengan atau tanpa
outfracture, cryotherapy, laser cauterization, electrocauterization, dan / atau
turbinectomy.
Saraf vidian mengandung kontribusi dari saraf petrosus yang lebih besar dan
dalam dan memasok input otonom ke mukosa hidung. Stimulasi listrik dari saraf
vidian menyebabkan vasodilatasi hidung dan peningkatan sekresi. Neurectomy
Vidian telah digunakan di masa lalu untuk menangani rinitis vasomotor berat
sekunder untuk manajemen medis. Karena terapi medis telah membaik selama 2
dekade terakhir, penggunaan prosedur ini telah menurun karena kesulitan dengan
teknik bedah dan hasil jangka panjang tidak memuaskan yang dipublikasikan
sebelumnya. Namun, dengan membaiknya teknik endoskopi, neurectomy vidian
telah ditinjau kembali, dan studi retrospektif dari 14 prosedur menunjukkan
manfaat dalam hal rhinorrhea dan sumbatan hidung.
Gambar 8. Skema Penatalaksanaan Rhinitis Non-allergic
Gambar 9. Obat-obatan Yang di Rekomendasikan Dalam Mengobati Rhinitis Non-
allergic
BAB III

KESIMPULAN

Rhinitis vasomotor adalah suatu inflamasi pada mukosa hidung yang bukan
merupakan proses alergi, non infeksius dan menyebabkan terjadinya obstruksi hidung
dan rhinorea. Etiologinya dipercaya sebagai akibat ketidakseimbangan saraf otonom
pada mukosa hidung sehingga terjadi pelebaran dan pembengkakan pembuluh darah
di hidung.
Rhinitis vasomotor sering ditemukan pada usia > 20 tahun dan terbanyak
diderita oleh perempuan. Diagnosa rhinitis vasomotor ditegakkan berdasarkan gejala
klinis dan hasil pemeriksaan skin test mengingat kemiripan gejala yang juga dimiliki
oleh rhinitis alergika. Rhinitis vasomotor mempunyai hasil skin test yang (-) dan test
allergen yang (-). Rinitis vasomotor merupakan suatu gangguan fisiologik
neurovaskular mukosa hidung dengan gejala hidung tersumbat, rinore yang hebat dan
kadang – kadang dijumpai adanya bersin – bersin. Penyebab pastinya tidak diketahui.
Diduga akibat gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh faktor-
faktor tertentu. Biasanya dijumpai setelah dewasa ( dekade ke – 3 dan 4 ). Rinitis
vasomotor sering tidak terdiagnosis karena gejala klinisnya yang mirip dengan rinitis
alergi, oleh sebab itu sangat diperlukan pemeriksaan - pemeriksaan yang teliti untuk
menyingkirkan kemungkinan rinitis lainnya terutama rinitis alergi dan mencari faktor
pencetus yang memicu terjadinya gangguan vasomotor. Penatalaksanaan dapat
dilakukan secara konservatif dan apabila gagal dapat dilakukan tindakan operatif.
DAFTAR PUSTAKA

(Irawati, Poebonegoro and Kasakeyan, 2007; Soetjipto, Mangunkusumo and


Wardani, 2007; Scarupa and Kaliner, 2009; Sherwood, 2013; American Academy of
Otolaryngology -Head and Neck Surgery, 2018; Ramakrsihman and Cooper,
2018)(Amin et al., 2013; Asthma Respiratory Foundation Nz, 2018)(Sin and Togias,
2011)(Kaliner, 2011; Schroer and Pien, 2012)(Pattanaik and Lieberman, 2010)

1. American Academy of Otolaryngology -Head and Neck Surgery (2018) Rhinitis.


Available at: https://www.enthealth.org/conditions/rhinitis/ (Accessed: 14
November 2018).
2. Amin, H., Sief, E. I., Badee, S., Mohammed, T. and Kadah, S. (2013) ‘A Deeper
View in the Pathogenesis of Vasomotor Rhinitis Hany’, Journal of American
Sciense, 9(10), pp. 115–119.
3. Asthma Respiratory Foundation Nz (2018) vasomotor Rhinitis. Available at:
https://www.asthmafoundation.org.nz/your-health/other-respiratory-
conditions/vasomotor-rhinitis-vmr (Accessed: 14 November 2018).
4. Irawati, N., Poebonegoro, N. L. and Kasakeyan, E. (2007) ‘Rinitis Vasomotor’, in
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., and Restuti, R. D. (eds) Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 6th edn. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp. 135–137.
5. Kaliner, M. A. (2011) ‘Nonallergic Rhinopathy ( Formerly Known as Vasomotor
Rhinitis)’, 31, pp. 441–455. doi: 10.1016/j.iac.2011.05.007.
6. Pattanaik, D. and Lieberman, P. (2010) ‘Vasomotor Rhinitis’, (February), pp. 84–
91. doi: 10.1007/s11882-010-0089-z.
7. Ramakrsihman, V. R. and Cooper, S. (2018) Pharmacotherapy for Nonallergic
Rhinitis, www.emedicine.medscape.com. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/874171-overview#a8 (Accessed: 14
November 2018).
8. Scarupa, M. D. and Kaliner, M. A. (2009) ‘Nonallergic Rhinitis , With a Focus on
Vasomotor Rhinitis’, World Allergy Organization, (March), pp. 20–24. Available
at:
https://waojournal.biomedcentral.com/track/pdf/10.1097/WAO.0b013e318196ca1
e.
9. Schroer, B. and Pien, L. C. (2012) ‘Nonallergic rhinitis: Common problem,
chronic symptoms’, Cleveland Clinic Journal Of Medicine, 79, pp. 20–24. doi:
10.3949/ccjm.79a11099.
10. Sherwood, L. (2013) Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. 6th edn. Edited by N.
Yesdelita. Jakarta: EGC.
11. Sin, B. and Togias, A. (2011) ‘Pathophysiology of Allergic and Nonallergic
Rhinitis’, 8, pp. 106–114. doi: 10.1513/pats.201008-057RN.
12. Soetjipto, D., Mangunkusumo, E. and Wardani, R. S. (2007) ‘Hidung’, in
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., and Restuti, R. D. (eds) Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 6th edn. jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp. 118–122.

Anda mungkin juga menyukai