Anda di halaman 1dari 21

Kelompok etnik di indonesia

Pendapat Para Ahli Mengenai Kehidupan Awal

Keberadaan masyarakat awal di Kepulauan Indonesia diketahui dan didukung oleh beberapa teori dan
pendapat yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh ahli. Beberapa petunjuk tentang keberadaan masyarakat
awal di Kepulauan Indonesia antara lain dikemukakan oleh tokoh-tokoh di bawah ini :

 Max Muller menyatakan bahwa asal dari bangsa Indonesia adalah daerah Asia Tenggara.

 Prof. Dr. H. Kern menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Campa, Kochin Cina,
Kamboja. Kern juga menyatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mempergunakan
perahu-perahu bercadik menuju kepulauan Indonesia.

 Van Heine Geldern berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Asia.

 Willem Smith menyatakan dalam penelitiannya tentang asal-usul bangsa Indonesia melalui
penggunaan bahasa oleh bangsa Indonesia.

 Hogen menyatakan bahwa bangsa yang mendiami daerah pesisir Melayu berasal dari Sumatera.

 Drs. Moh. Ali menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunan.

 Prof. Dr. Kroom menyatakan bahwa asal-usul bangsa Indonesia dari daerah Cina Tengah, karena
pada daerah Cina Tengah terdapat sumber-sumber sungai besar. Mereka menyebar ke wilayah
Indonesia sekitar tahun 2000 SM sampai tahun 1500 SM

 Prof. Moh. Yamin menentang semua pendapat yang dikemukakan oleh para ahli. Dia
berpendapat bahwa asal bangsa Indonesia dari daerah Indonesia sendiri.

 Dr. Brandes yang dikirim ke Indonesia pada tahun 1884 menyatakan bahwa bangsa yang
bermukim di kepulauan Indonesia memiliki banyak persamaan dengan bangsa-bangsa pada
daerah-daerah yang membentang dari sebelah utara pulau Formosa, sebelah barat daerah
Madagaskar, sebelah selatan yaitu tanah Jawa; Bali, sebelah timur sampai ke tepi pantai barat
Amerika.

 Mayundar menyatakan bahwa bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia berasal dari India,
kemudian menyebar ke Indo-China terus ke daerah Indonesia dan Pasifik.

 pendapat dari beberapa ahli menyebutkan bahwa masyarakat awal yang menempati wilayah
Indonesia termasuk rumpun bangsa Melayu. Bangsa Melayu langsung jadi nenek moyang
bangsa Indonesia sekarang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1) Proto Melayu

Proto Melayu ini diyakini sebagai nenek moyang orang-orang Melayu Polinesia yang mana
mereka tersebar dari Madagaskar hingga pulau-pulau yang berada di paling timur pada kawasan
Pasifik. Diperkirakan, orang-orang Proto Melayu ini datang dari Cina bagian selatan. Ciri-ciri
Proto Melayu :
1. Rambut yang lurus
2. Kulit berwarna kuning kecokelat-cokelatan
3. Memiliki mata yang sipit
 Dari Cina bagian selatan (Yunan) mereka lantas melakukan migrasi ke Indocina dan Siam, yang
selanjutnya sampailah ke Kepulauan Indonesia. Mula-mula, mereka menempati pantai di
Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan Sulawesi Barat. Ras Proto Melayu ini mampu membawa
peradaban batu di Kepulauan Indonesia.

 Saat datang imigran baru, yakni Deutero Melayu (Ras Melayu Muda), mereka berpindah masuk
ke pedalaman dan selanjutnya mencari tempat yang baru ke hutan-hutan sebagai tempat
hunian mereka.

 Selanjutnya, ras Proto Melayu ini kemudian mendesak keberadaan dari penduduk asli.
Kehidupan yang terjadi di dalam hutan ini menjadikan mereka terisolasi dari dunia luar,
sehingga mampu memudarkan peradaban mereka.

 Pada akhirnya, penduduk asli dan ras Proto Melayu itu selanjutnya melebur dan mereka itu
selanjutnya menjadi suku bangsa Batak, Dayak, Toraja, Alas dan Gayo.

2. Deutro Melayu

 Deutro Melayu merupakan ras yang datang atau berasal dari Indocina dari bagian utara. Mereka
sendiri membawa kebudayaan baru yang berupa perkakas dan senjata besi di Kepulauan
Indonesia atau Kebudayaan Dongson. Seringkali, mereka juga disebut dengan orang-orang
Dongson.

 Ciri-ciri Deutero Melayu :

-Berkulit sawo matang agak kuning

-Tubuh yang tak terlalu tinggi

-Memiliki rambut yang lurus

 Peradaban :

- keahlian untuk mengerjakan logam dengan sempurna

- membuat irigasi di tanah-tanah pertanian yang berhasil mereka ciptakan, dengan cara
membabat hutan terlebih dahulu.

- Pelaut, penguasaan miliki terhadap ilmu perbintangan yang sudah dipelajari dan ditanamkan.

- Kedatangan dari ras Deutero Melayu yang ada di Kepulauan Indonesia ini kian lama kian
bertambah banyak. Mereka selanjutnya berpindah untuk mencari tempat baru ke hutan-hutan
sebagai salah satu tempat tinggal atau tempat hunian yang baru.
- Pada akhirnya, Proto Melayu dengan Deutero Melayu saling membaur satu sama lain dan
selanjutnya menjadi penduduk di Kepulauan Indonesia. Sementara itu, di masa yang akan
datang, mereka berdua bahkan sangat sulit untuk bisa dibedakan.

- Proto Melayu itu sendiri meliputi penduduk yang ada di Gayo dan Alas di Sumatera bagian utara,
serta Toraja yang ada di Sulawesi. Sementara itu, untuk semua penduduk di Kepulauan
Indonesia, terkecuali penduduk Papua yang tinggal di sekitar pulau-pulau Papua merupakan ras
Deutero Melayu.

Dalam perkembangan selanjutnya, berbagai bangsa yang mendiami wilayah Indonesia telah membentuk
komunitas sendiri sehingga mendapat sebutan tersendiri, seperti di daerah Aceh disebut dengan suku
bangsa Aceh, di Jawa Barat disebut dengan suku bangsa Sunda, dan lain-lain.

Suku Bangsa Indonesia


 Nenek moyang atau induk suku bangsa Indonesia menurut
penelitian dan kajian sejarah berasal dari wilayah Asia.
Percampurannya tersebut menghasilkan keturunan
beberapa suku bangsa di Indonesia, yaitu ras Melanesoid
dan Melayu.
 Munculnya keragaman suku bangsa tidak seharusnya
menjadi faktor pemicu adanya perpecahan di masyarakat
yang diakibatkan perselisihan antarsuku bangsa. Bangsa
Indonesia harus hidup tenteram, rukun, aman, dan damai
di tengah-tengah perbedaan yang ada. Suku bangsa adalah
satu kelompok atau kesatuan masyarakat yang terikat
secara sadar dalam suatu sistem aturan budaya
masyarakat setempat.
1) Pola Persebaran Suku Bangsa di Indonesia
Suku bangsa yang terdapat di Indonesia secara umum
dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu suku
bangsa asli Indonesia, suku bangsa nonpribumi (asing), dan
suku bangsa pedalaman.
 Suku Polahi, Gorontalo

 Suku Kubu, Jambi

2) Kondisi Lingkungan Geografis Indonesia


Faktor geografis yang menunjang adanya keragaman tatanan
kehidupan sosial kemasyarakatan, antara lain sebagai berikut.
a) Letak geografis kepulauan Indonesia berada pada jalur
persilangan dunia. Hal ini memungkinkan masuk dan
berkembangnya budaya luar dengan leluasa.
b) Wilayah Wawasan Nusantara yang kita cintai ini terdiri atas
beribu-ribu pulau yang tersebar luas dari Sabang sampai
Merauke.
c) Setiap wilayah di Indonesia memiliki potensi dan persebaran
kekayaan alam yang berbeda-beda.
d) Pengembangan Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan
Nasional, Pada dasarnya suatu kebudayaan yang lahir dan
berkembang di masyarakat meliputi kebudayaan yang bersifat
daerah dan nasional.

 Masyarakat Indonesia yang majemuk terdiri atas beberapa


suku bangsa (etnis) yang masing-masing memiliki bahasa
dan adat istiadat serta budaya yang berbeda. Menurut
hasil penelitian Hilderd Geertz, Indonesia terdiri dari 300
etnis / suku bangsa yang berbeda-beda. Adapun menurut
penelitian MA Jaspan, masyarakat Indonesia terdiri atas
366 suku bangsa / etnis dengan kriteria pada bahasa
daerah, kebudayaan serta susunan masyarakatnya. Lain
lagi menurut penelitian Van Vollenhoven yang
menyatakan bahwa masyarakat Indonesia terbagi menjadi
19 lingkaran hukum adat dengan berbagai suku bangsa
(etnis) yang ada di dalamnya.
 Robertson pada tahun 1977 mengemukakan pendapatnya
bahwa kelompok etnik adalah sejumlah besar orang yang
memandang diri dan dipandang oleh kelompok lain
memiliki kesatuan budaya yang berbeda. Hal ini terjadi
sebagai akibat dari sifat-sifat budaya bersama dan
interaksi timbal balik yang terus menerus.
 Secara rinci dapat kita uraikan tentang perbedaan antara
suku bangsa yang satu dan lainya, dalam hal:
a. Perbedaan bahasa daerah.
b. Perbedaan tata susunan kekerabatan
c. Perbedaan adat istiadat
d. Perbedaan sistem mata pencaharian.
e. Perbedaan teknologi
f. Perbedaan kesenian daerah.

Daftar pustaka :
https://www.academia.edu/35073386/Pen
genalan_Tentang_Kelompok_Etnik_dan_M
ultikulturalisme

Pola Pengasuhan Anak


by Asmanadia Hidayat - 4:28:00 AM
Pengasuhan berasal dari kata asuh yang berarti menjaga, merawat, serta mendidik anak yang masih
kecil (Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta) .

Pengasuhan anak (child rearing) adalah bagian dari SOSIALISASI tata pergaulan keluarga yang
mengarah pada tata kehidupan keluarga yang menuju tercapainya kondisi kedewasaan dan
kemandirian anggota keluarga tersebut.

Pola pengasuhan anak sebagai khasanah budaya bangsa adalah wujud kebudayaan ideal dan
kelakuan, menyangkut pewarisan sistem norma, perilaku, dan nilai-nilai luhur yang telah disepakati,
ditaati dan dihormati.

Perbedaan pola pengasuhan anak :

• Keadaan alam, misal : masyarakat pantai dengan pegunungan


• Latar belakang pendidikan, misal : pendidikan tinggi dan rendah
• Mata pencaharian hidup, misal : masy. petani dan nelayan
• Kondisi sosial ekonomi : kaya - miskin
• Adat istiadat : Minang dengan di Sunda, dan lain-lain

Individu-individu yang hidup di dalam masyarakat tertentu akan mengalami proses


pendewasaan diri yang berbeda dengan individu yang hidup dalam masyarakat lain, karena
proses sosialisasi dan enkulturasi ditentukan oleh susunan kebudayaan dan lingkungan
sosial dari individu yang bersangkutan.
Hasil proses sosialisasi dan enkulturasi akan berpengaruh terhadap pembentukan
kepribadian atau watak pada diri seseorang, yang akan tampak dalam bentuk tingkah laku,
ide-ide dan cara menanggapi rangsangan yang datang dari luar.
Sistem sosial dan sistem nilai budaya sangat menentukan corak dari pola pengasuhan anak,
karena proses yang diterima pada awal kehidupan bermasyarakat akan terus melekat pada
sifat yang akan dibawa untuk seterusnya.

Orangtua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak.

Menurut KOENTJARANINGRAT, keluarga batih merupakan kelompok di mana individu,


waktu masih kanak-kanak, masih belum berdaya, mendapat pengasuhan dan permulaan dari
pendidikannya.

Di masyarakat manapun, keluarga merupakan jembatan antara individu dengan


budayanya.

Hildred Geertz : Melalui keluarga, anak belajar mengenal nilai-nilai, peran sosial, norma
norma serta adat istiadat yang ditanamkan orang tua.

Fungsi utama pengasuhan anak adalah mempersiapkan seorang anak untuk menjadi warga
masyarakat. Dalam arti, berusaha mengarahkan agar anak bertingkah laku sesuai dengan
norma-norma serta nilai-nilai kebudayaan yang berlaku pada masyarakat di mana anak
yang bersangkutan tinggal.

Pola pengasuhan anak pada hakekatnya berfungsi sebagai cara untuk melestarikan
kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat tertentu.

 menurut Balson ada dua dimensi secara garis besar dalam pengasuhan anak yang membentuk empat
bentuk dasar pengasuhan yaitu saling memberi dan saling menerima. Memberi dalam artian
mendukung anak dan responsif terhadap pemenuhan kebutuhan,keinginan dan harapan anak.
Sementara menerima dalam artian menuntut adanya kedisiplinan dari anak untuk mengikuti segala
bentuk aturan dan batasan yang diberikan/ditentukan orang tua. Balson membagikan empat bentuk
pola asuh dari dimensi arahan atau disiplin di dalam keluarga, yaitu pola asuh authoritarian (otoritatif),
pola asuh authoritative (demokratis), pola asuh permisif (serba membolehkan), dan pola asuh
penelantar (dalam Fitria, 2016). Berikut penjelasannya:

a.Pola asuh otoritatif

Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak yang harus dituruti biasanya disertai dengan
ancaman-ancaman dan ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua. Kebebasan anak
sangat dibatasi dan orang tua memaksa anak untuk berperilaku seperti yang diinginkan. Hal ini dapat
menyebabkan si anak akan kehilangan kepercayaan diri dan tidak mampu untuk mengambil keputusan
serta cenderung sulit untuk mempercayai orang-orang disekitarnya. Adapun ciri-ciri dari pengasuhan
otoritatif ini seperti cenderung akan menetapkan peraturan dan tata tertib yang kaku dan dibuat hanya
sepihak orang tua, memperlakukan anak dengan kasar, komunikasi dengan anak serta anggota keluarga
yang bersifat searah, menjaga jarak dengan anak dan tidak adanya keramahan dalam keluarga. Sehingga
anak-anak tidak mampu dalam proses pemupukan/pembentukan pengekspresian dan kepercayaan diri si
anak dalam lingkungan keluarga. anak tidak memperoleh kesempatan untuk mengendalikan perbutan-
perbuatannya. Perilaku orangtua dalam berinteraksi dengan anak bercirikan tegas, suka menghukum,
anak dipaksa untuk patuh terhadap aturan-aturan yang diberikan oleh orangtua tanpa merasa perlu
menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan dibalik aturan tersebut, serta cenderung mengekang
keinginan anaknya. Pola asuh otoriter dapat berdampak buruk pada anak, yaitu anak merasa tidak
bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif (kurang berinisiatif), selalu tegang, cenderung ragu,
tidak mampu menyelesaikan masalah (kemampuan problem solvingnya buruk), kemampuan
komunikasinya buruk serta mudah gugup, akibat seringnya mendapat hukuman dari orangtua. Anak
menjadi tidak disiplin dan nakal, pola asuh seperti ini anak diharuskan untuk berdisiplin karena keputusan
dan peraturan ada ditangan orangtua.

b. Pola asuh demokrasi

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang bercirikan adanya hak dan kewajiban orangtua dan anak adalah
sama dalam arti saling melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab dan menentukan perilakunya
sendiri agar dapat berdiplin. Orangtua yang menerapkan pola asuh demokratis banyak memberikan
kesempatan kepada anak untuk berbuat keputusan secara bebas, berkomunikasi dengan lebih baik,
mendukung anak untuk memiliki kebebasan sehingga anak mempunyai kepuasan sedikit menggunakan
hukuman badan untuk mengembangkan disiplin. Orangtua menggunakan diskusi, penjelasan, dan alasan-
alasan yang membantu anak agar mengerti mengapa ia diminta untuk mematuhi semua aturan. Orangtua
lebih menekankan aspek penididikan ketimbang aspek hukuman. Hukuman hanya diberikan ketika
anakanak menolak perbuatan yang harus dilakukan secara sengaja namun tidak menggunakan kekerasan
dan ketika anak melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang patut ia laksanakan maka anak tersebut
akan memperoleh pujian dari orangtua. Orangtua demokratis adalah orangtua yang berusaha untuk
menumbuhkan kontrol dari dalam diri sendiri. Pola asuh demokratis dihubungkan dengan tingkah laku
anakanak yang memperlihatkan emosional positif, sosial, dan pengembangan kognitif. Orang tua dengan
tipe ini akan lebih bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang
melampaui kemampuan anak, dan akan menghargai hak-hak anak seperti pendidikan, mendapatkan kasih
sayang dan kebutuhan dasarnya. Orang tua yang mendidik anak dengan pola pengasuhan ini juga
memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya
kepada anak bersifat hangat.

c. Pola asuh permisif

Pola ini ditandai oleh sikap orangtua yang membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tata cara yang
memberikan batasan-batasan dari tingkah lakunya. Pada saat terjadi hal yang berlebihan barulah
orangtua bertindak. Orangtua bersikap membiarkan atau mengizinkan setiap tingkah laku anak, dan tidak
memberikan hukuman kepada anak. Pada pola asuh ini pengawasan menjadi sangat longgar.Pola
pengasuhan permisif ini sangat bertolakbelakang sekali dengan pola pengasuhan otoritatif
(authoritarian). Dalam pola pengasuhan permisif, anak diberikan kebebasan sepenuhnya untuk
melakukan apapun yang dia inginkan dimana orang tua cenderung untuk mendukung tindakan si anak
serta memanjakannya secara berlebihan. Orang tua dengan pola pengasuhan ini cenderung takut
menasehati anak jika melakukan kesalahan sehingga membentuk anak menjadi pribadi yang manja, tidak
disiplin, malas dan egois.

d. Pola asuh penelantar


Pola pengasuhan ini mempunyai indikator bahwasanya orang tua cenderung kurang memberikan perhatian
kepada anaknya, sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan menganggap anak sebagai beban dalam
hidupnya. Pola pengasuhan ini lebih mengarahkan kepada tidak mempedulikan anak sama sekali, dimana
orangtua sudah pada taraf apatis terhadap tanggungjawabnya sebagai orangtua. Pola pengasuhan
orangtua pada anak akan sangat menentukan bentuk kepribadian si anak. Namun, ada masa dimana
lingkungan pergaulan anak akan sangat mempengaruhi diri si anak secara signifikan. Pada saat itulah
pengawasan terhadap lingkungan masing-masing dan menganggap anak sebagai beban dalam hidupnya.
Pola pengasuhan ini lebih mengarahkan kepada tidak mempedulikan anak sama sekali, dimana orangtua
sudah pada taraf apatis terhadap tanggungjawabnya sebagai orangtua. Pola pengasuhan orangtua pada
anak akan sangat menentukan bentuk kepribadian si anak. Namun, ada masa dimana lingkungan
pergaulan anak akan sangat mempengaruhi diri si anak secara signifikan. Pada saat itulah pengawasan
terhadap lingkungan pergaulan anak dan pendekatan pada anak secara intensif serta bersahabat
sangatlah diperluka agar anak tetap bisa terbuka pada orang tua dan tidak terbawa arus pergaulan
terutama dalam hal penyalahgunaan narkoba. Adanya keterbukaan dan hubungan yang lebih bersifat
bersahabat antara anak dan orangtua akan memudahkan bagi orangtua untuk dapat berkomunikasi
dengan anak terutama pada anak usia remaja muda secara terbuka.

 Berbicara pola asuh, tipe pola asuh menurut Hersey dan Blanchard (dalam Fitria, 2016), ada empat tipe
yaitu:
a. Telling Perilaku orang tua yang directivenya tinggi dan supportive rendah disebut dengan telling,
karena dikarakteristikkan dengan komunikasi satu arah antara orangtua dengan anak. Di mana orang
tua menentukan peran anak dan mengatakan apa, bagaimana, kapan dan di mana anak harus
melakukan berbagai tugas.
b. Selling Perilaku orang tua yang directive dan supportive tinggi disebut dengan selling, karena
sebahagian besar araha yang ada diberikan oleh orang tua. Orang tua juga berusaha melalui komunikasi
dua arah yang membolehkan anak untuk mengajukan pertanyaan dan memberikan dukungan serta
dorongan.
c. Participating Perilaku orangtua yang directivenya rendah dan supportive tinggi disebut participating,
karena orangtua dan anak saling berbagi dalam membuat keputusan melalui komunikasi dua arah. Anak
memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk berbagi ide tentang bagaimana suatu masalah itu
dipecahkan dan membuat kesepakatan dengan orangtua apa yang harus dilakukan.
d. Delegating Perilaku orangtua yang directive dan supportive rendah disebut dengan delegating, karena
meskipun orang tua tetap menetapkan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi suatu masalah,
namun anak diperbolehkan untuk menjalankan apa yang diinginkannya dan memutuskan kapan, di
mana dan bagaimana mereka melakukan satu hal.

Daftar pustaka : Fitria. 2016. POLA ASUH ORANG TUA DALAM MENDIDIK ANAK USIA
PRASEKOLAH DITINJAU DARI ASPEK BUDAYA LAMPUNG. Jurnal Fokus Konseling. 2(2). Hlm. 99-115.
Retrieved from (11 November 2018) :
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=511033&val=63
66&title=POLA%20ASUH%20ORANG%20TUA%20DALAM%20MENDIDI
K%20ANAK%20USIA%20PRASEKOLAH%20DITINJAU%20DARI%20ASPE
K%20BUDAYA%20LAMPUNG

Tipe pola asuh menurut Hoffman, 1970 terdiri dari tiga tipe yaitu :

1. a. Induction (pola asuh bina kasih)

Adalah suatu teknik disiplin dimana orang tua memberi penjelasan atau alasan
mengapa anak harus mengubah perilakunya. Pada tipe pola asuh seperti ini
dijumpai perilaku orang tua yang directive dan supportive tinggi.

1. b. Power assertion (pola asuh unjuk rasa)

Adalah perilaku orang tua tertentu yang menghasilkan tekanan-tekanan eksternal


pada anak agar mereka berperilaku sesuai dengan keinginan orang tua. Pada tipe
pola asuh ini dijumpai perilaku orang tua yang directive nya tinggi dan supportive
rendah.

1. c. Love withdrawal (pola asuh lepas kasih)

Adalah pernyataan-pernyataan non fisik dari rasa dan sikap tidak setuju orang tua
terhadap perilaku anak dengan implikasi tidak diberikannya lagi kasih saying
sampai anak merubah perilakunya. Pada tipe pola asuh ini dijumpai perilaku orang
tua yang directive dan supportive rendah.

1. POLA ASUH ORANG TUA PADA BUDAYA JAWA DAN SUMATERA


 BUDAYA JAWA

Di kalangan jawa pola asuh anak yang diterapkan bukan menurut kehendak atau
kemauan sendiri, tetapi senantiasa mengikuti nilai- nilai budaya dan tradisi jawa.
Pola asuh anak di kalangan budaya jawa ada variasinya yang dipengaruhi oleh usia
orangtua, keterlibatan anggota orangtua seperti keluarga besar orangtua,
pendidikan orangtua, pengalaman mengasuh sebelumnya, dan keharmonisan suami
istri. Pola asuh orangtua dalam budaya jawa lebih dominan pada pola asuh yang
otoriter dan power assertion, orangtua memiliki peranan yang dominan dalam
mendidik anak dan menentukan keinginan anak, orangtua juga membatasi perilaku
anak agar tingkahlaku anak tidak keluar dari batasan nilai- nilai budaya jawa yang
sangat dijunjung tinggi oleh para masyarakat. Akibatnya anak menjadi kaku dan
kurang bisa bebas berekspresi dikarenakan segala tingkah laku anak dibatasi oleh
budaya yang ada. Aspek perubahan pola asuh di kalangan masyarakat jawa akan
dilihat dari sistem nilai budaya jawa yang didasarkan pada masalah- masalah
pokok kehidupan manusia yang meliputi hubungan manusia dengan hidup,
hubungan manusia dengan karya, hubungan manusia dengan waktu, hubungan
manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan sesamanya.

 BUDAYA SUMATERA

Kebudayaan asal orangtua mempengaruhi pola asuh orangtua kepada anaknya,


walaupun sebenarnya lingkungannya bukan berasal dari lingkungan tersebut
namun terkadang bahasa dan pola asuh lainnya masih digunakan dari budaya
asalnya. Begitu juga dengan masyarakat sumatera yang berasal dari suku jawa,
rata- rata pola asuh mereka masih menggunakan pola asuh orangtua pada budaya
jawa yakni pola asuh otoriter dan power assertion. Pola asuh dikalangan budaya
sumatera yang diterapkan menggunakan pola asuh demokratis dan permisif,
orangtua lebih memberikan kebebasan terhadap anak dalam menentukan pilihan
sehingga anak menjadi lebih bebas dalam menentukkan sikapnya. Orangtua tidak
terpaku pada nilai- nilai budaya yang ada dalam mendidik anak, yang terpenting
adalah sikap orangtua sebagai figur dalam mebimbing dan mendidik anak. Seperti
halnya dalam budaya jawa, pola asuh dalam budaya sumatera juga dipengaruhi
oleh latar belakang pendidikan orangtua, status ekonomi, usia orangtua,
keterlibatan anggota orangtua, pendidikan orangtua, pengalaman mengasuh
sebelumnya, dan keharmonisan suami istri.

Parenting and Families


1. Penelitian Whiting and Whiting
– Children of Six Culture mengumpulkan data dari Mexico, India, Kenya, Amerika Serikat,
Okinawa dan Fillipina. Mereka berfokus pada sebuah project yaitu untuk mengerti
bagaimana anak dibesarkan dan perilaku anak di kultur yang memiliki konteks berbeda.
Dari observasi mereka mendapatkan hasil bahwa perilaku social anak dapat
dideskripsikan dalam beberapa dimensi mulai dari Nurturant Responsible (peduli dan
berbagi) ke Dependent - Dominant (mencari pertolongan dan menegaskan dominansi)
dan Sociable-Intimate (bersikap ramah) serta AuthoritarianAggressive (bersikap agresif).
Contohnya, pada keluarga dimana kedua orang tua bekerja sama untuk membesarkan
anak akan lebih mudah bersosialisasi sedangkan jika kedua orang tunya terpisah dalam
pengasuhan, maka anak akan lebih agresif nantinya. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa variasi dalam lingkungan budaya (ekonomi atau pekerjaan wanita) berhubungan
dengan adanya variasi dalam pola pengasuhan anak dan tumbuh kembang anak 2.
Parenting Goals and Belief
a. Tujuan pengasuhan yang dimiliki orang tua Parenting memiliki banyak dimensi yaitu
tujuan dan keyakinan bahwa orang tua memegang anak-anak mereka, gaya umum dari
pengasuhan orang tua yang dipilih, dan perilaku tertentu yang mereka gunakan untuk
mewujudkan tujuan mereka. Tujuan yang dimiliki orang tua untuk perkembangan anak
mereka didasarkan pada konteks pengasuhan dan perilaku dari masing-masing nilai-nilai
budaya tertentu
\b. Keyakinan orang tua mengenai peran mereka sebagai pengasuh Rentang keyakinan
orangtua akan tercermin dalam jenis dan tingkat keterlibatan dalam pengasuhan anak-
anak, seperti apakah atau tidak ibu akan mengirimkan pengetahuan budaya oleh
verbalisasi atau pengharapkan anaknya untuk belajar terutama oleh observasi dan
imitasi.

Daftar pustaka :
https://batukarang91.wordpress.com/2012/12/30/pola-asuh-
orang-tua-dalam-budaya-jawa-dan-sumatera/

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/e36d66
e0a57205d8c2502cce3da45300.pdf

nilai dan ekpetasi prenatal dalam budaya di Indonesia

setiap budaya memiliki penialian dan ekspetasi yang berbeda-


beda dengan tujuan, maksud dan latar belakang yang berbeda
pula seperti
a. pada etnis tionghoa
ekpetasi prenatal yaitu dengan mendapatkan anak laki-
laki maka akan jauh lebih baik jika mendapatkan anak
perempuan hal ini di latar belakangai oleh
kepercayaan kuno bahwa kaum laki-laki jauh lebih
mendatangkan keuntungan bagi pihak keluarga seperti
memperluas marga dan sebagai lambing kekuasaan

ada beberapa pantangan atau larangan yang perlu dipatuhi semasa


mengandung yang harus diperhatikan dalam tingkah laku sehari-hari yang masih
berlaku hingga saat ini, yaitu :

1. Sebaiknya didalam tas atau baju ditaruh pisau lipat atau silet untuk berjaga-
jaga dari gangguan mahluk halus. Ini buat menolak sha qi, atau hawa buruk. Ada
juga baiknya menggunakan An Tai Fu alias Fu atau jimat pelindung janin, selain
menjaga agar ibu hamil tidak keguguran juga jimat itu bisa menolak segala
macam jenis setan yang hendak mengganggu si janin. Boleh juga kertas yang
dibentuk seperti gunting digantungkan di tirai kasur dan kulit macan di gantung
diatas kasur.

2. Tidak boleh pulang lebih dari jam 9 malam, karena tidak baik buat janin bayi.
Hal ini karena setelah lewat jam 6 sore maka unsur Yin menguat artinya
menjelang malam, sedangkan manusia ini sifatnya Yang! Bayi dalam
kandungan mesti dijaga dari serangan hawa YIN. Yang dimaksud Yin disini
bukanlah Setan dan sejenisnya tapi hawa dingin, sifat dingin dari perubahan
cuaca.

3. Tidak boleh pergi ke tempat-tempat kotor seperti tempat yang mengandung


mistik, rumah duka dan sejenisnya, karena hal ini masih dipercaya dapat
mempengaruhi Po alias anasir tubuh si janin yang bersifat Yin.

4. Tidak boleh sembarangan memaku di sana sini. Dalam arti seperti


memperbaiki rumah atau memaku sesuatu di dinding terutama dalam kamar
tidur, karena bisa mengakibatkan anak yang di dalam kandungan mengalami
kebutaan atau mengakibatkan keguguran. Hal ini berkaitan dengan Po Qi,
mendobrak Qi dalam rumah jadi tidak baik untuk dilakukan.

5. Tidak boleh mandi lebih dari jam 9 malam, karena hal ini masih berkaitan
dengan perubahan Yin - Zi (jam 23 - 01 ) ini saat Yin melemah dan Yang
menguat. Wu (jam 11-13) ini saat Yin menguat dan Yang melemah. Jam 5-7 pagi
itu saat puncak Yang menuju melemah dan jam 5-7 sore adalah sebaliknya. Jadi
semua larangan itu ada kaitannya dengan perubahan Qi atau energi. Bisa juga
dikaitkan dengan bioritme tubuh.

6. Tidak boleh menyiksa, memukul atau membunuh hewan, karena bisa


mengakibatkan nanti janin bayi terkena penyakit kulit sejak lahir. Hal ini
berkaitan dengan konsep hun dan po dan digabung dengan ajaran Buddhisme.

7. Tidak boleh memindahkan / menggeser lemari, ranjang atau barang-barang


yang ada di dalam kamar, karena akan mengakibatkan janin bayi menjadi
keguguran.

8. Tidak boleh memegang atau menggunakan benda tajam seperti gunting,


pisau, atau jarum terutama diatas tempat tidur, karena akan mengakibatkan bibir
janin bayi menjadi sumbing.

9. Tidak boleh menjahit baju, karena bisa mengakibatkan janin bayi lahir tanpa
anus.

10. Tidak boleh tertawa keras, marah-marah, membenci atau menghina orang
yang cacad atau menggunjingkan orang karena bisa membuat si bayi
berperilaku atau wajahnya mirip dengan orang yang digunjingkan atau dihina.

11. Menghindari konflik atau perselisihan dengan orang yang lebih tua, karena
bisa mengakibatkan kesulitan saat proses kelahiran bayi.

12. Tidak boleh menonton atau melihat yang seram karena dapat mempengaruhi
janin bayi.

13. Tidak boleh sering menggosok perut, karena bayi yang lahir kelak akan
mempunyai sifat yang manja.

14. Tidak boleh duduk di tempat duduk yang sudah rusak, karena dapat
mempengaruhi janin bayi.

Pantangan dari segi makanan yang harus dijaga

Ada banyak hal-hal tabu mengenai makanan untuk istri yang sedang hamil.
Dipercaya bila istri yang sedang hamil makan makanan yang tidak dipotong
dengan baik atau dihaluskan, anaknya akan cacat. Atau bila dia memakan
makanan yang warnanya terang-terang, anaknya akan berkulit terang juga.

Wanita yang hamil dilarang sama sekali makan makanan yang tajam seperti
nenas dan mangga serta tidak disarankan makan banyak kerana ditakuti bayi
akan menjadi besar yang akan membuat sang ibu sukar untuk bersalin.

Wanita Tionghua juga harus kuat dalam menghadapi proses persalinan,


sehingga selama masa hamil wanita Tionghua juga akan mengkomsumsi
beberapa minuman herbal untuk membantu menguatkan fisiknya saat
melahirkan.

Anjuran semasa hamil

Seorang istri yang hamil harus melindungi pikirannya. Dipercaya bahwa semua
yang istri lakukan dan lihat akan mempengaruhi anaknya yang belum
lahir. Menurut tradisi China kuno, apa yang mempengaruhi pikiran istri akan juga
mempengaruhi hatinya dan juga anak yang dikandungnya.

Seorang istri yang sedang hamil, sebaiknya agar sering berdoa, membaca puisi-
puisi atau buku atau cerita yang bijak atau bagus-bagus, dan berujar agar
anaknya menjadi orang baik. Karena hal ini akan mempengaruhi perilaku janin
bayi.

Dengan serta sering memainkan atau mendengar alat musik yang bersifat
tenang, dipercaya bahwa nantinya anak yang lahir akan menjadi cerdas. Musik -
musik yang bersifat menggelora dipercaya akan membuat janin menjadi aktif dan
bergerak.

Untuk menentukan apakah kandungan itu lelaki atau perempuan

Dalam tradisi budaya Tionghua, masyarakat Tionghua bisa melihat dari bentuk
perut wanita yang hamil, terutama apabila kandungan sudah berusia empat
bulan ke atas. Jika perut ibu agak bulat, maka kemungkinan bayi yang
dikandung adalah perempuan dan sebaliknya lelaki, jika perutnya kelihatan
tajam.

Percaya atau tidak beberapa pantangan diatas masih saja berlaku saat ini di
masyarakat, walaupun hal ini tentunya terpulang pada diri masing-masing. Yang
penting harus diingat dalam hal ini adalah seburuk apa pun kondisi anak yang
lahir, tetap harus bisa kita terima dengan lapang dada. Salam kebajikan (Penulis
: Amoy)

b. pada masyarakat jawa

Pembahasan
1. Tradisi Mitoni
a. Pengertian Tradisi Mitoni
Tradisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah adat kebiasaan turun-
temurun, atau bisa diartikan penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan
yang paling baik dan benar.[10]Bagi orang Jawa, kehamilan adalah bagian dari siklus hidup
seorang manusia. Oleh karena itu keberadaan jabang bayi selalu dirayakan oleh masyarakat Jawa
dengan tradisi yang bernama mitoni.
Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Semua sarana yang disajikan dalam
selamatan dibuat masing-masing sebanyak tujuh buah, bahkan orang yang memandikan pun
dipilih sebanyak tujuh orang. Hal ini karena mitoni diadakan ketika usia kandungan masuk tujuh
bulan. Disebut juga tingkeban. Tingkeb berarti tutup, ada yang memaknai tingkeban ini sebagai
upacara atau selamatan penutup, karena setelah usia kandungan tujuh bulan istri tak boleh
dicampuri oleh suaminya sampai nifas berakhir.[11]
Dalam buku Tradisi Islami disebutkan, mitoni yaitu bersedekah dan diisi pembacaan doa, dengan
harapan bayi dalam kandungan diberikan keselamatan serta ditakdirkan selalu dalam kebaikan kelak
di dunia. [12]Upacara tersebut dilaksanakan pada saat usia kehamilan sekitar tujuh bulan, karena
pada saat itu sempurnalah janin dalam bentuk manusia yang mulai siap dilahirkan di dunia.
Hakikat dari mitoni adalah mendoakan calon bayi dan ibu yang sedang mengandungnya agar
selamat sampai saat kelahiran nanti. Sehingga, kenduri pada upacara mitoni ini bertujuan agar bayi
selalu selamat dalam kandungan dan kelak bisa lahir secara normal. Begitu pun calon ibu yang
sedang mengandung supaya diberi keselamatan dan terhindar dari bahaya apa pun.[13]

b. Amalan-amalan Tradisi Mitoni Menurut Budaya Jawa


Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, penciptaan fisik bayi tersebut sudah sempurna pada
saat berusia tujuh bulan dalam kandungan. Berikut ini urutan-urutan acara mitoni, yaitu: [14]
1) Siraman pada calon Ibu dan calon Ayah.
2) Memasukan telur ayam kampung ke dalam kain calon ibu yang dilakukan oleh calon Ayah.
3) Berganti pakaian.
4) Brojolan atau memasukan kelapa gading muda ke dalam kain calon ibu
5) Memutus janur yang melipat perut calon Ibu.
6) Memecah gayung dan wajan yang terbuat dari gerabah.
7) Mengambil telur.
8) Kenduri

Ada tiga tahap pelaksanaan upacara adat mitoni. Yang pertama siraman, dilanjutkan
dengan brojolan, dan yang ketiga pemakaian busana.[15]Siraman artinya memandikan, dengan
maksud untuk mensucikan calon ibu dan anaknya yang masih dalam kandunngan, baik lahir dan
batinnya. Air yang dipergunakan untuk memandikan diambil dari tujuh (pitu) sumber, lalu ditaruh
dalam jambangan (sejenis ember dari tanah liat atau tembaga) dan ditambahi dengan
bunga telon (tiga), seperti mawar, melati, dan kenanga. Sedangkan yang memandikan dipilih tujuh
orang yang sudah berumah tangga, yang bisa dijadikan teladan bagi calon ibu yang akan
dimandikan. Gayung untuk memandikan dibuat dari batok kelapa yang masih ada lapisan
dagingnya.
Dengan menggunakan kain batik (lilitan jarit) dan tidak diperkenakan mengenakan segala
jenis perhiasan, calon ibu dibawa ke tempat siraman oleh seorang ibu (biasanya dukun wanita)
yang telah ditugasi. Pelaksanaan siraman diawali oleh calon kakeknya dan dilanjutkan oleh calon
neneknya yang selanjutnya diteruskan oleh ibu-ibu yang telah diberi bunga tadi ke tubuh calon
ibu.
Setelah selesai memandikan, dukun yang tadi ditugasi, memberikan air terakhir untuk
membersihkan diri dari kendhi (sejenis teko dari tembikar). Selesai membersihkan diri, kendhi lalu
dibanting ke lantai oleh calon ibu. Ada kepercayaan dikalangan orang Jawa, jika paruh atau pucuk
kendhi ikut pecah berantakan, maka anaknya akan lahir perempuan. Tapi jika tidak ikut pecah
tandanya bayi akan lahir laki-laki. Tetapi itu zaman dulu, ketika dokter belum ada, dan teknologi
pemindaian (scanning) belum canggih seperti sekarang.[16]
Setelah dikeringkan dengan handuk, calon ibu diberi busana dengan lilitan kain (jarit) yang
diikat (secara longgar) dengan letrek (sejenis benang berwarna merah, putih dan hitam). Merah
melambangkan rasa kasih sayang calon ibu, putih melambangkan rasa tanggung jawab calon bapak
bagi kesejahtraan keluarganya nanti, sedangkan hitam adalah lambang kekuasaan Yang Maha
Kuasa, yang mempersatukan cinta kasih kedua orang tuanya.Calon nenek laluk
memasukan tropong (alat tenun) ke dalam lilitan kain tadi, kemudian dijatuhkan ke bawah. Acara
ini mengandung doa bagi seluruh keluarga agar kelak proses kelahiran dapat berjalan dengan
lancar dan selamat.
Acara dilanjutkan dengan memasukkan dua buah kelapa gading yang telah digambari
(lewat lilitan jarit yang dikenakan calon ibu). Gambarnya bisa memilih Kamajaya dan Dewi Ratih
atau Harjuna dan Sembadra. Acara ini disebut brojolan yang merupakan visualisasi doa orang
Jawa agar kelahirannya nanti jika laki-laki bisa setampan Kamajaya atau Harjuna, jika perempuan
secantik Dewi Ratih atau Sembadra.
Tugas calon bapak adalah memotong letrek yang mengikat calon ibu tadi dengan
menggunakan keris yang ujungnya ditutupi kunyit, atau dapat juga dengan menggunakan parang
yang telah diberi untaian bunga melati. Apa yang dikerjakan calon bapak adalah menggambarkan
kewajiaan suami untuk memutus segala rintangan dalam keluarga nanti.
Calon bapak melanjutkan tugasnya dengan memecahkan buah kelapa yang telah digambari
tadi, dengan sekali tebas. Jika buah kelapa bisa terbelah menjadi dua bagian, maka seluruh hadirin
akan berteriak: “perempuan!”. Namun jika tidak bisa terbelah dan hanya menyemburkan air isinya
saja, maka hadirin akan berteriak: “laki-laki!”.
Setelah dikeringkan dengan handuk, calon ibu dibawa keruang tengah untuk diberi busana
dengan menggunakan jarit berbagai motif. Motif Sidaluhur, Sida Asih, Sida Mukti, Gandasuli,
Semen Raja, Parang, Lurik dengan motif Lasem. Motif lurik lasem melambangkan cinta kasih
antara calon bapak dan ibunya.
Keenam kain yang dianggap kurang pantas tadi akhirnya menumpuk di bawah ibu yang
hamil, lalu dijadikan alas untuk duduk calon ibu dan calon bapaknya. Acara ini
disebut angkreman. Angkremanmenggambarkan seperti ayam yang mengerami telurnya. Calon
orang tua tadi duduk bersama di tumpukan kain tadi.[17]
Ada beberapa rangkaian upacara yang dilakukan dalam mitoni, yaitu siraman,
memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami, ganti busana,
memasukkan kelapa gading muda, memutus lilitan benang atau janur, memecahkan periuk,
mencuri telur dan minum jamu. Rangkaian upacara itu dipercaya sebagai prosesi pengusiran
marabahaya dan petaka dari ibu dan calon bayinya.[18]
Siraman dilakukan oleh sesepuh sebanyak tujuh orang, bermakna memohon doa restu supaya
suci lahir dan batin. Setelah upacara siraman selesai, air kendi tujuh mata air dipergunakan untuk
mencuci muka, setelah air dalam kendi habis, kendi dipecah.Sedangkan memasukkan telur ayam
kampung ke dalam kain calon ibu adalah perwujudan dari harapan agar bayi bisa dilahirkan tanpa
hambatan yang berarti. Hal ini dilakukan oleh suami. Ia memasukkan telur ayam kampung ke
dalam kain calon ibu melalui perut sampai pecah, hal ini merupakan simbol harapan supaya bayi
lahir dengan lancar, tanpa suatu halangan.Memasukkan kelapa gading muda ke dalam sarung dari
perut atas calon ibu ke bawah adalah simbolisasi agar tidak ada aral melintang yang menghalangi
kelahiran bayi.
Setelah itu calon ibu akan berganti pakain dengan kain 7 motif, kemudian para tamu
diminta untuk memilih salah satu dari tujuh kain tersebut yang cocok untuk sang ibu. Sedangkan
pemutusan lilitan benang atau janur yang dilakukan setelah pergantian kain, masih bermakna agar
kelahiran bayi berjalan dengan lancar. Lilitan itu harus diputus oleh suami. Pemecahan periuk
mengandung makna agar nanti sang ibu mengandung lagi, dan diharapkan kehamilannya berjalan
dengan lancar. Sedangkan minum jamu berarti bayi bisa lahir dengan cepat. Dan yang terakhir,
mencuri telur, merupakan perwujudan atas keinginan calon bapak agar proses kelahiran berjalan
dengan cepat, secepat maling yang mencuri.[19]
Untuk melakukan mitoni, harus dipilih hari yang benar-benar bagus dan membawa berkah.
Orang Jawa memiliki perhitungan khusus dalam menentukan hari baik dan hari yang dianggap
kurang baik. Hari yang dianggap baik adalah Senin siang sampai malam dan Jum’at siang sampai
malam.Mitoni diselenggarakan sebaiknya pada tanggal tujuh (penanggalan Jawa) sesuai usia
kandunngan. Lebih baik lagi kalau tanggal tujuh jatuh pada Sabtu Wage disingkat Tu
Ge artinya Metu Gage, atau keluar segera. Selain hari Sabtu, hari yang dianjurkan adalah hari
Rabu.
Setelah melakukan serangkaian upacara, para tamu yang hadir diajak untuk memanjatkan
doa bersama-sama demi keselamatan ibu dan calon bayinya. Tak lupa setelah itu, mereka akan
diberi berkat untuk dibawa pulang.
c. Do’a Tradisi Mitoni
Berikut ini adalah bacaan dan doa yang biasanya dibaca dalam upacara mitoni:
1) Membaca al-fatihah
2) Membaca surat al-Ikhlas tujuh kali , surat al-Falaq satu kali, surat an-Naas satu kali, surat al-
Fatihah satu kali, dan ayat Kursi tiga kali.
3) Membaca surat Yasin tiga kali, surat al-Rahman tiga kali, surat Waqi’ah tiga kali, dan surat al-
Mulk tiga kali.

Anda mungkin juga menyukai