Anda di halaman 1dari 25

TUGAS MATA KULIAH

EPIDEMIOLOGI
“EPIDEMIOLOGI DALAM PELAYANAN KEBIDANAN KESEHATAN
REPRODUKSI’’
Dosen Pembimbing: Dr. Sri Utami, M. Kes

Oleh:

1. Rachel Octaviari A P27824416041 8. Lailatur Rakhmah P27824416064


2. Faridah Maghfiroh P27824416044 9. Nur Rohmatul A. P27824416068
3. Kiftiyah Saadatul F. 10. Dinda Rachmawati R. P27824416072
P27824416045
4. Fitria Nathalia M. K P27824416048 11. Mur Rachmawati P27824416076
5. Anjar Arum Siti M. P27824416049 12. Ummi Faizah P27824416081
6. Sang Ratu A. P. R. P27824416054
7. Rizki Yunita R P27824416059

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN
SUMBER DAYA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI DIV KEBIDANAN
2018/2019

KATA PENGANTAR
i
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat taufik dan hidayah-Nya,
makalah ini dapat diselesaikan.Makalah ini merupakan makalah pengetahuan bagi mahasiswi
akbid maupun para pembaca untuk bidang Ilmu Pengetahuan.

Makalah ini sendiri dibuat guna memenuhi salah satu tugas kuliah dari dosen mata
kuliah Organisasi Manajemen Pelayanan Kebidanan dengan judul “Epidemiologi Dalam
Pelayanan Kebidana Kesehatan Reproduksi”. Dalam penulisan makalah ini penulisan
berusaha menyajikan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.
Penulisan ini menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan.Oleh karenanya, penulis menerima kritik dan saran yang positif dan membangun
dari rekan-rekan pembaca untuk penyempurnaan makalah ini.Penulis juga mengucapkan
banyak terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu dalam penyelesaian makalah
ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua.Aamiin.

Surabaya, 15 September 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………..…………………………..…………….…i
KATA PENGANTAR……………………………….…………………………..…………...ii
DAFTAR ISI……………………..……………………….………………………………….iii
BAB I PENDAHULUAN:
1.1. Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..........................................................................................................1
1.3. Tujuan Makalah…………………………….......….…………………………………..1
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1. Kesehatan Reproduksi dalam Deteksi Dini ……...………….………………..……….2
2.2. Kesehatan Reproduksi Dalam Asuhan Kebidanan ……………………………….…...11
2.3. Sistem Rujukan Dalam Kesehatan Reproduksi …………….………………………....15
2.4. Rehabilitasi Dalam Sistem Rujukan………………….…………………………....….18
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan....................................................................................................................22
3.2. Saran..............................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….………………….….23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan reproduksi menurut WHO (World Health Organization) adalah suatu
keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh. Bukan hanya bebas dari penyakit
atau kekacauan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi
dan prosesnya. Tapi pada saat sekarang ini banyak terdapat masalah-masalah kesehatan
reproduksi yang mengganggu tercapainya tujuan kesehatan reproduksi itu sendiri.
Dewasa ini kesehatan reproduksi (kespro) mendapat perhatian khusus secara
global sejak diangkatnya isu dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan
Pembangunan. Di Indonesia pun kespro mendapat perhatian khusus dari pemerintah,
mengingat banyak masalah-masalah kespro terjadi di masyarakat. Angka kematian ibu
dan bayi yang tinggi, kurangnya pengetahuan remaja tentang kespro yang akibatnya
dapat terjadi kehamilan dan aborsi serta jumlah kasus HIV yang tidak bisa
dihambat.Masalah-masalah kesehatan reproduksi tersebut seperti komplikasi kehamilan
dan persalinan. Untuk memecahkan masalah tersebut perlu dilakukan identifikasi,
analisis, perencanaan dan evaluasi. Sehingga diperlukan metode epidemiologi dalam
kesehatan reproduksi

.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa saja deteksi dini kesehatan reproduksi?
2. Bagaiman asuhan pelayanan kesehatan reproduksi?
3. Bagaiman alur rujukan pada masalah kesehatan reproduksi?
4. Bagaimana rehabilitasi pada masalah kesehatan reproduksi?

1.3 Tujuan
5. Mengetahui deteksi dini kesehatan reproduksi
6. Mengetahui asuhan pelayanan kesehatan reproduksi
7. Mengetahui rujukan pada masalah kesehatan reproduksi
8. Mengetahui rehabilitasi pada masalah kesehatan reproduksi

BAB II
PEMBAHASAN

1
2.1 Kesehatan Reproduksi dalam Deteksi Dini
2.1.1 Pengertian Skrining
Skrining, dalam pengobatan, adalah strategi yang digunakan dalam suatu
populasi untuk mendeteksi suatu penyakit pada individu tanpa tanda-tanda atau
gejala penyakit itu. Tidak seperti apa yang biasanya terjadi dalam kedokteran, tes
skrining yang dilakukan pada orang tanpa tanda-tanda klinis penyakit.
Skrining sama artinya dengan deteksi dini atau pencegahan sekunder,
mencakup pemeriksaan (tes) pada orang-orang yang belum mempunyai simptom-
simptom penyakit untuk menemukan penyakit yang belum terlihat atau pada
stadium praklinik.

2.1.2 Tujuan Skrining


Tujuan dari skrining adalah untuk mengidentifikasi penyakit pada komunitas
awal, sehingga memungkinkan intervensi lebih awal dan manajemen dengan
harapan untuk mengurangi angka kematian dan penderitaan dari penyakit.
Meskipun skrining dapat mengarah ke diagnosis sebelumnya, tidak semua tes
skrining telah terbukti bermanfaat bagi orang yang sedang diputar; overdiagnosis,
misdiagnosis, dan menciptakan rasa aman palsu beberapa efek negatif dari
penyaringan. Untuk alasan ini, tes yang digunakan dalam program skrining,
terutama untuk penyakit dengan insiden rendah, harus memiliki sensitivitas yang
baik selain kekhususan diterima. Beberapa jenis skrining ada: skrining universal
melibatkan skrining semua individu dalam suatu kategori tertentu (misalnya,
semua anak pada usia tertentu). Temuan Kasus melibatkan skrining sekelompok
kecil orang berdasarkan adanya faktor risiko (misalnya, karena anggota keluarga
telah didiagnosis dengan penyakit keturunan)..

2.1.3 Keuntungan dan Kerugian dari Screening.


Skrining memiliki kelebihan dan kekurangan; keputusan apakah ke layar harus
diputuskan dengan menyeimbangkan semua factor.
1) Keuntungan
Skrining dapat mendeteksi kondisi medis pada tahap awal sebelum gejala
menyajikan sedangkan pengobatan lebih efektif daripada untuk nanti deteksi.
Dalam kasus terbaik dari kehidupan diselamatkan.
2) Kekurangan
a. Seperti tes medis, tes yang digunakan dalam penyaringan tidak sempurna.
Hasil pengujian tidak tepat dapat menunjukkan positif untuk mereka yang
tanpa penyakit (false positif), atau negatif bagi orang yang memiliki kondisi
(negatif palsu). Khususnya ketika skrining untuk kondisi probabilitas rendah
jumlah mutlak positif palsu mungkin tinggi walaupun memiliki persentase
2
positif palsu sangat rendah, jika kejadian kondisi adalah satu di 10.000 dan
kemungkinan positif palsu adalah 0,1%, 9 dari 10 hasil positif akan palsu.
b. Penyaringan melibatkan biaya dan penggunaan sumber daya medis pada
sebagian besar orang yang tidak membutuhkan pengobatan.
c. Dampak buruk dari prosedur penyaringan (misalnya stres dan kecemasan,
ketidaknyamanan, paparan radiasi, paparan kimia).
d. Stres dan kecemasan yang disebabkan oleh hasil skrining positif palsu.
e. Tidak Perlu investigasi dan pengobatan hasil positif palsu.
f. Stres dan kecemasan yang disebabkan oleh memperpanjang pengetahuan
tentang penyakit tanpa peningkatan hasil.
g. Rasa aman palsu yang disebabkan oleh negatif palsu, yang dapat menunda
diagnosis akhir.

2.1.4 Jenis Gangguan Kesehatan Reproduksi yang Tepat Untuk Skrining

1. Merupakan penyakit yang serius


2. Pengobatan sebelum gejala muncul harus lebih untung dibandingkan dengan
3. Setelah gejala muncul
4. Prevalens penyakit preklinik harus tinggi pada populasi yang di skrening

2.1.5 Peran Bidan Skrining Untuk Keganasan Dan Penyakit Sistematik

1. Memberikan motivasi pada para wanita untuk melakukan pentingnya


melakukan langkah skrining.
2. Membantu dalam mengidentifikasi orang-orang yang berisikoterkena penyakit
atau masalah kesehatan tertentu. Penegakan diagnosis pasti ditindak lanjuti di
fasilitas kesehatan
3. Membantu mengidentifikasi penyakit pada stadium dini,sehingga terapi dapat
dimulai secepatnya dan prognosa penyakit dapat diperbaiki
4. Membantu melindungi kesehatan individual
5. Membantu dalam pengendalian penyakit infeksi melalui proses identifikasi
carrier penyakit di komunitas
6. Memberikan penyuluhan dalam pemilihan alat kontrasepsi dengan metode
barrier (pelindung) seperti diafragma dan kondom karena dapat memberi
perlindungan terhadap kanker serviks
7. Memberikan fasilitas skrining kanker serviks dengan metodepap smear
kemudian membantu dalam pengiriman hasil pemeriksaan kelaboratorium.

2.1.6 Isi Kebijakan yang Mengatur Pelaksanaan Deteksi Dini IMS

Isi kebijakan yang mengatur pelaksanaan surveilans respons IMS dari kegiatan
pap smear merupakan policy memoranda yang dibuat berdasarkan hasil round table
discussion, studi pustaka dan studi dokumen. Isi kebijakan yang dihasilkan meliputi
issue utama, opsi kebijakan dan rekomendasi:
3
Opsi Kebijakan yang dihasilkan untuk pelaksanaan surveilans IMS adalah: 1)
Fokus upaya pencegahan dan mengatasi penyebaran penyakit IMS diperluas bukan
hanya pada kelompok risiko tinggi saja namun juga memperhatikan kelompok
risiko rendah; 2) Pemanfaatan data dan informasi dari berbagai kegiatan yang
bertujuan untuk deteksi diniIMS dan HIV/AIDS pada kelompok risiko rendah; 3)
Memperkuat sistem surveilans epidemiologi IMS dan HIV/AIDS sebagai upaya
pemantauan terus-menerus pada masalah kesehatan masyarakat; 4) Meningkatkan
kualitas sumber daya surveilans meliputi sumber daya manusia, dana, material dan
metode surveilans; 5) Memperkuat jejaring sistem surveilans yang dapat menjamin
pertukaran informasi tentang IMS dan HIV/AIDS; 6) Melakukan monitoring dan
evaluasi terhadap pelaksanaan surveilans termasuk fungsi kontrol terhadap kualitas
data.

2.1.7 Contoh Penyakit Beserta Skriningnya

1. Kanker Payudara
a) Pengertian
Kanker payudara (Carcinoma mammae) didefinisikan sebagai suatu
penyakit neoplasma yang ganas yang berasal dari parenchyma.Penyakit ini
oleh Word Health Organization (WHO) dimasukkan kedalam International
Classification of Diseases (ICD) dengan kodenomor 17.
Kanker payudara adalah kanker pada jaringan payudara. Ini adalah jenis
kanker paling umum yang diderita kaum wanita. Kaum pria juga dapat
terserang kanker payudara, walaupun kemungkinannyalebih kecil dari 1 di
antara 1000. Pengobatan yang paling lazimadalah dengan pembedahan dan
jika perlu dilanjutkan dengan kemoterapi maupun radiasi.

b) Faktor Risiko Kanker Payudara


Faktor risiko kanker payudara adalah segala sesuatu yang dapat
mempengaruhi kemungkinan seseorang menderita kanker payudara.
Beberapa faktor risiko tidak dapat diubah seperti usia atau riwayat keluarga,
tetapi ada juga faktor risiko yang berhubungan dengan gaya hidup seperti
merokok dan minum alcohol. Berikut adalah faktor risiko yang penting
untuk kanker payudara :
1. Usia.
Risiko menderita kanker payudara akan meningkat seiring dengan
semakin tuanya seseorang. Rata-rata wanita yang didiagnosis kanker
payudara adalah 48 tahun. Wanita yang tidak menikah, tidak

4
memiliki anak, atau memiliki anak pertama setelah usia 30 tahun
juga dapat meningkatkan risiko.
2. Hari Pertama Haid
Haid pertama di usia kurang dari 12 tahun atau menopause (berhenti
haid) di usia lebih dari 55 tahun dapat sedikit meningkatkan risiko
kanker payudara.
3. Riwayat Kontrasepsi
Menggunakan preparat hormonal yang lama seperti KB hormonal
(pil, suntik, susuk) atau terapi hormonal (misalnya terapi sulih
hormon estrogen pada wanita yang menopause) meningkatkan risiko
kanker payudara.
4. Faktor Makanan dan Gaya Hidup
Diet tinggi lemak dan alkohol meningkatkan kemungkinan hingga
1,5 kali untuk menderita kanker payudara dibandingkan wanita yang
tidak banyak makan lemak dan tidak minum alkohol.
5. Faktor Keturunan / Gen
6. Memiliki kerabat wanita dekat (seperti ibu kandung, kakak/adik,
anak) dengan kanker payudara dapat meningkatkan risiko kanker
payudara sampai 2 kali dibandingkan wanita yang tidak memiliki
riwayat keluarga dengan kanker payudara. Diperkirakan 20-30%
wanita dengan kanker payudara memiliki anggota keluarga yang
juga memiliki riwayat kanker payudara.

c) Deteksi Dini Kanker Payudara


Terdapat beberapa cara deteksi dini kanker payudara dengan tingkat
akurasi yang berbeda. Akurasi deteksi dini kanker payudara akan jauh
bertambah bila ketiga tes ini dikombinasi.
Cara deteksi dini kanker payudara adalah :
1. Pemeriksaan Payudara Sendiri (Teknik Sadari)
Sebaiknya dilakukan mulai usia remaja. Dilakukan sebulan sekali,
pada hari ke-7 sampai hari ke-10 dihitung dari hari pertama haid.
Bila wanita telah menopause, SADARI dilakukan pada tanggal yang
sama setiap bulan, misalnya tanggal 10.
2. Pemeriksaan Klinis Payudara oleh Dokter
3. Pemeriksaan Radiologi (Mammografi dan/atau USG)
4. Biopsi tanpa pembedahan (Fine Needle Aspiration Biopsy atau Core
Biopsy).

d) Manfaat Sadari

5
Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk membantu melakukan
deteksi dini adanya kelainan pada payudara (Suddart & Brunner 2003).

e) Siapa Saja yang Dianjurkan Melakukan Sadari :


 Wanita yang telah berusia 20 tahun
 Wanita berusia diatas 40 tahun yang tidak mempunyai anak
 Wanita yang memiliki anak pertama pada usia 35 tahun
 Wanita yang tidak menikah
 Wanita yang haid pertama dini (dibawah 10 tahun)
 Wanita yang menopause lambat
 Pernah mengalami trauma pada payudara
 Wanita di atas 25 tahun yang keluarganya pernah menderita kanker
payudara
 Wanita yang tidak menyusui
 Pernah operasi payudara atau kandungan
 Pernah mendapat obat hormonal yang lama
 Cenderung kelebihan berat badan

2. Kanker Leher Rahim (Kanker Serviks)


a) Pengertian
Karsinoma sel skuamosa invasif mencakup 80% keganasan serviks.
Tidak seperti kanker saluran reproduksi lainnya, yang lebih banyak terjadi di
negara industri, kanker serviks merupakan pembunuh nomor satu pada
wanita di dunia ketiga. Epidemiologi menunjukkan bahwa kanker ini
merupakan penyakit menular seksual. Kanker skuamosa serviks bersifat
unik karena kanker ini dapat dicegah jika dilakukan skrining dan terapi yang
tepat tersedia dan dilakukan.
Kanker leher rahim adalah keganasan yang terjadi pada leher rahim
atau mulut rahim atau serviks. Serviks merupakan bagian terendah/paling
bawah dari rahim yang menonjol ke puncak liang sanggama (vagina).
Berdasarkan hasil penelitian di beberapa kota di Indonesia dan data
dari bagian Patologi Anatomik di 13 Rumah Sakit di Indonesia (tahun 1988
– 2000), diketahui bahwa kanker leher rahim paling sering dan terbanyak
ditemukan pada perempuan dan presentasinya tinggi dibanding semua jenis
kanker lainnya.

b) Penyebab
Infeksi Human Papiloma Virus/HPV atau virus Papiloma Manusia
biasa terjadi pada perempuan usia subur. HPV ditularkan melalui hubungan
seksual dan ditemukan pada 95% kasus kanker leher rahim. Infeksi HPV

6
dapat menetap dan berkembang menjadi displasia atau sembuh secara
sempurna.
Ada ratusan tipe HPV yang digolongkan menjadi dua, yaitu HPV
risiko tinggi (onkogenik), yang utamanya tipe 16, 18, dan 31, 33, 45, 52, 58;
dan HPV risiko rendah (non onkogenik) yaitu HPV tipe 6, 11, 32, dan
sebagainya. Tipe 16 dan 18 sebagai penyebab kanker serviks.
Proses terjadinya kanker leher rahim berhubungan erat degan proses
metaplasia. Masuknya mutagen (bahan-bahan yang dapat mengubah
perangai sel secara genetik) pada saat fase aktif metaplasia dapat berubah
menjadi sel yang berpotensi ganas. Perubahan ini biasanya terjadi di zona
transformasi. Sel yang mengalami mutasi disebut sel displastik dan kelainan
epitelnya disebut displasia (Neoplasia Intra-epitrl Serviks/NIS).
Perkembangan kanker leher rahim dimulai dari displasia (ringan,
sedang dan berat). Lesi displasia sering disebut “lesi pra-kanker”, yaitu
kelainan pertumbuhan sel yang perkembangannya sangat lamban. Displasia
kemudian berkembang menjadi karsinoma in-situ (kanker yang belum
menyebar), dan akhirnya menjadi karsinoma invasif (kanker yang dapat
menyebar). Perkembangan dari displasia menjadi kanker membutuhkan
waktu bertahun-tahun (7-15 tahun).

c) Faktor Risiko
Faktor risiko menyebabkan perempuan terpapar HPV (sebagai
etiologi dari kanker leher rahim) adalah:

a. Menikah atau memulai aktivitas seksual pada usia muda (kurang dari
21 tahun).
b. Berganti-ganti pasangan seksual dan tanpa menggunakan kondom.
c. Berhubungan seks dengan laki-laki yang sering berganti pasangan.
d. Riwayat infeksi di daerah kelamin dan radang panggul. Infeksi
Menular Seksual (IMS) dapat menjadi peluang meningkatnya risiko
terkena kanker leher rahim.
e. Perempuan yang melahirkan banyak anak.
f. Perempuan perokok mempunyai risiko dua setengah kali lebih besar.
g. Perempuan yang menjadi perokok pasif mempunyai risiko 1,4 kali
lebih besar daripada perempuan yang hidup dengan udara bebas.
h. Defisiensi vitamin A, C, dan E.
7
i. Penggunaan pil KB dalam waktu lama (lebih dari 5 tahun). Namun
menurut perhitungan keuntungan pil KB lebih banyak daripada
risikonya. Untuk itu bagi yang ada gen kanker sebaiknya
menggunakan alat kontrasepsi non-hormonal dan/atau minta petunjuk
dokter.

d) Gejala
Kanker leher rahim pada stadium dini sering tidak menunjukkan gejala atau
tanda-tanda yang khas, bahkan kadang-kadang tidak ada gejala sama sekali.
Gejala yang mungkin timbul antara lain:

a. Nyeri pada saat sanggama dan pendarahan sesudah sanggama.


b. Keluar keputihan atau cairan encer dari vagina.
c. Pendarahan sesudah mati haid.
d. Pada tahap lanjut dapat keluar cairan kekuning-kuningan, berbau
dan dapat bercampur dengan darah.
Apabila gejala-gejala tersebut sudah muncul, biasanya kanker sudah
dalam stadium lanjut. Untuk itu perlu segera diperiksakan ke dokter karena
makin dini penyakit didiagnosis dan diobati, makin besar kemungkinan
untuk disembuhkan

e) Penapisan (Skrening) dan Deteksi Dini


Penapisan atau skrening kanker leher rahim ditujukan untuk menemukan
lesi pra-kanker.
a. Kelompok sasaran penapisan :
1) Perempuan yang sudah menikah atau sudah melakukan
sanggama, terutama yang berusia antara 30-50 tahun.
2) Perempuan yang menjadi klien pada klinik IMS.
3) Perempuan yang tidak hamil (perempuan hamil tidak boleh
menjalani pengobatan krioterapi).
4) Perempuan yang mendatangi Puskesmas, klinik IMS atau klinik
KB yang secara khusus meminta penapisan kanker leher rahim.
b. Cara-cara melakukan deteksi dini adalah:
1) Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA)

8
2) Pemeriksaan Pap Smear

f) Skrining Pap Smear pada Neoplasma Serviks


Keberhasilan tes papsmear berdasarkan pada fakta bahwa kelainan
nukleus pada sel serviks displastik ditemukan pada sampel yang dikerok
atau dikelupas dari permukaan serviks. Pap smear juga dapat mendeteksi
kanker, namun terdeteksinya kanker sebenarnya merupakan suatu tanda dari
kegagalan program skrining, yang sebenarnya bertujuan untuk menemukan
dan memungkinkan terapi terhadap lesi intraepitel sebelum berlanjut
menjadi kanker.
Skrining pap smear yang adekuat dapat menurunkan kemungkinan
seorang wanita meninggal akibat kanker serviks hingga 90%. Saat ini,
direkomendasikan bahwa semua wanita yang aktif secara seksual atau telah
mencapai usia 18 tahun untuk melakukan skrining pap smear dan
melakukan pemeriksaaan pelvis setiap tahun. Jika dari tiga kali pemeriksaan
pap smear memberikan hasil normal, interval pemeriksaan dapat
diperpanjang sesuai kebijaksanaan pemeriksa.

g) Keuntungan Pap Smear


 Pap smear mudah dilakukan, tidak menimbulkan rasa sakit dan dapat
dilakukan berulang kali.
 Pemeriksaan pap smear dapat mengurangi risiko terkena kanker
serviks, karena perubahan-perubahan sel yang abnormal akan tampak
pada pemeriksaan mikroskopis dan dapat diobati dan disembuhkan
sebelum berkembang menjadi kanker.
 Biaya pap smear relatif terjangkau dan jauh lebih murah jika
dibandingkan dengan biaya penanggulangan kanker leher rahim.

h) Kapan Melakukan Pap Smear


 Pemeriksaan pap smear dilakukan sekali setahun. Bila 3 kali hasil
pemeriksaan normal, pemeriksaan dapat dijarangkan, misalnya 2
tahun sekali.
 Pada perempuan kelompok risiko tinggi sebaiknya melakukan
pemeriksaan pap smear setahun sekali atau sesuai petunjuk dokter.

9
 Pap smear dapat dilakukan setiap saat kecuali pada masa haid. Dua
hari sebelum pemeriksaan pap smear sebaiknya tidak melakukan
sanggama atau menggunakan obat-obatan yang dimasukkan ke dalam
vagina.

2.2 Kesehatan Reproduksi dalam Asuhan Kebidanan

2.2.1 Kesehatan Reproduksi

Kesehatan Reproduksi menurut WHO adalah kesejahteraan fisik, mental dan


sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecatatan, dalam segala
aspek yang berhubungan dengan system reproduksi, fungsi serta prosesnya.

Ruang lingkup kesehatan reproduksi sebenarnya sangat luas , sesuai dengan


defenisi yang tertera di atas , karena mencakup keseluruhan kehidupan manusia
sejak lahir hingga mati. Dalam uraian tentang ruang lingkup kesehatan reproduksi
yang lebih rinci di gunakan pendekatan siklus haid ( life cycle appooach) , sehingga
di peroleh komponen pelayanan yang nyata dan dapat di laksanakan .

Menurut program kerja WHO ke IX (1996-2001), masalah kesehatan reproduksi


ditinjau dari pendekatan siklus kehidupan keluarga, meliputi :

 Praktek tradisional yang berakibat buruk semasa anak-anak (seperti mutilasi,


genital, deskriminasi nilai anak, dsb);
 Masalah kesehatan reproduksi remaja (kemungkinan besar dimulai sejak masa
kanak-kanak yang seringkali muncul dalam bentuk kehamilan remaja,
kekerasan/pelecehan seksual dan tindakan seksual yang tidak aman);
 Tidak terpenuhinya kebutuhan ber-KB, biasanya terkait dengan isu aborsi tidak
aman;
 Mortalitas dan morbiditas ibu dan anak (sebagai kesatuan) selama kehamilan,
persalian dan masa nifas, yang diikuti dengan malnutrisi, anemia, berat bayi
lahir rendah;
 Infeksi saluran reproduksi, yang berkaitan dengan penyakit menular seksual;
 Kemandulan, yang berkaitan erat dengan infeksi saluran reproduksi dan
penyakit menular seksual;

10
 Sindrom pre dan post menopause dan peningkatan resiko kanker organ
reproduksi;
 Kekurangan hormon yang menyebabkan osteoporosis dan masalah ketuaan
lainnya.

2.2.2 Pelayananan Kesehatan Reproduksi


Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 741/Menkes/Per/VII/2008
menjelaskan SPM(Standar Pelayanan Minimal) untuk wilayah kabupaten/kota.
Tujuannya agar standar yang dibuat daerah sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan serta prioritas daerah masing-masing. Secara umum indikator SPM
mecakup Pelayanan kesehatan dasar, Pelayanan kesehatan rujukan, Penyelidikan
Epidemiologi dan penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB), serta Promosi
kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Sayangnya indikator yang dibangun
hanya merupakan ukuran kuantitatif dengan membandingkan target tahunan atas
kondisi capaian di lapangan. Selain itu, indikator yang dibuat belum memuat
kebutuhan masyarakat secara umum. Dalam Pelayanan kesehatan dasar misalnya,
pemerintah hanya memasukkan kunjungan pemeriksaan kehamilan, persalinan,
bayi, siswa SD dan setingkat serta pelayanan untuk beberapa penyakit. Pelayanan
kesehatan reproduksi yang menjadi kebutuhan masyarakat belum masuk ke dalam
SPM sehingga pelaksanaan di fasilitas kesehatan belum dianggap sebagai prioritas.
Dalam satu dekade ini kebutuhan akan informasi kesehatan reproduksi
semakin menjadi kebutuhan bagi masyarakat dan mendesak untuk segara diberikan.
Karena ada begitu banyak kerugian yang dapat ditimbulkan dengan minimnya
pengetahuan akan kesehatan reproduksi. Dalam Pelayanan kesehatan dasar di SPM,
pemerintah hanya memasukkan satu unsur kesehatan reproduksi, itu pun hanya
sebatas penggunaan KB aktif. Kebutuhan untuk mendapatkan pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi tidak hanya pada pelayanan alat kontrasepsi semata, tetapi
bagaimana masyarakat mengetahui beberapa penyakit atau infeksi menular seksual
yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi mereka. Tidak heran jika angka
penyakit yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi semakin meningkat,
mengingat budaya di masyarakat masih menganggap tabu apabila membicarakan
masalah kesehatan reproduksi.

11
2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Reproduksi
Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang
dapatberdampak buruk bagi keseshatan reproduksi :
a. Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat
pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual
dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil)
b. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak
buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki,
informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja
karena saling berlawanan satu dengan yang lain, dsb)
c. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi
karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria
yang membeli kebebasannya secara materi, dsb);
d. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca
penyakitmenular seksual, dsb).
Pengaruh dari semua faktor diatas dapat dikurangi dengan strategi
intervensi yang tepat guna, terfokus pada penerapan hak reproduksi wanita dan
pria dengan dukungan disemua tingkat administrasi, sehingga dapat
diintegrasikan kedalam berbagai program kesehatan, pendidikan, sosial dam
pelayanan non kesehatan lain yang terkait dalam pencegahan dan
penanggulangan masalah kesehatan reproduksi.

2.2.5 Peningkatan Pelayanan Kesehatan Reproduksi

Upaya peningkatan kesehatan reproduksi ke depannya perlu diprioritaskan


pada perluasan pelayanan kesehatan berkualitas, pelayanan obstetrik yang
komprehensif, peningkatan pelayanan keluarga berencana dan penyebarluasan
komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat. Penyediaan fasilitas
pelayanan obstetrik neonatal emergensi komprehensif (PONEK), pelayanan
obstetrik neonatal emergensi dasar (PONED), posyandu dan unit transfusi darah
yang belum merata dan belum seluruhnya terjangkau oleh seluruh penduduk harus
menjadi prioritas pemerintah sebagai upaya penurunan AKI di Indonesia. Sistem
rujukan dari rumah ke puskesmas dan ke rumah sakit juga belum berjalan optimal.
Ditambah lagi, dengan kendala geografis, hambatan transportasi, dan faktor
budaya. Selain itu pemerintah juga harus merapikan sistem pencatatan terkait upaya
12
penurunan AKI di Indonesia sehingga data yang ditampilkan benar-benar
menggambarkan kondisi kesehatan perempuan Indonesia saat ini.

Mengingat pentingnya AKI sebagai salah satu indikator pembangunan


Negara, maka sudah sewajarnya pemerintah membuat sebuah kebijakan mengenai
anggaran untuk meningkatkan kesehatan perempuan. Tidak hanya menggunakan
indikator angka sebagai target tetapi juga indikator input dan proses seperti
penetapan anggaran kesehatan perempuan, pemerataan jumlah tenaga kesehatan
yang terjangkau, serta pendidikan kesehatan reproduksi untuk perempuan.

2.2.6 Strategi Peningkatan Pelayanan Kesehatan Reproduksi

Pemerintah harus mengambil tindakan untuk segera meningkatkan pelayanan


kesehatan reproduksi perempuan. Kebijakan untuk memberikan fasilitas pelayanan
kesehatan reproduksi bagi perempuan dan remaja harus segera diberikan. Selain itu,
kebijakan anggaran kesehatan, khususnya kesehatan perempuan pun harus menjadi
komitmen pemerintah untuk menjalankan amanah Undang-Undang Kesehatan.
Semakin lambat kebijakan tersebut diberikan dapat dipastikan angka KTD dan AKI
di Indonesia akan terus meningkat. Rekomendasi untuk pelayanan kesehatan pasca
2015 di Indonesia antara lain:

1. Memiliki persepsi bahwa kesehatan merupakan hak asasi setiap warga negara
2. Pemerintah berkomitmen mengalokasikan dana kesehatan 5% APBN 2013
serta memastikan daerah-daerah untuk menganggarkan 10% APBD untuk
kesehatan diluar gaji
3. Memastikan bahwa 2/3 dari total anggaran kesehatan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan bukan untuk insfrastruktur seperti yang selama ini
banyak dilakukan pemerintah daerah
4. Pemerintah membuat kebijakan mengenai anggaran untuk meningkatkan
kesehatan perempuan, misalnya dengan mengharuskan 20% anggaran
kesehatan untuk kegiatan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan memastikan
anggaran tersebut tepat sasaran
5. Penyediaan fasilitas pelayanan obstetrik neonatal emergensi komprehensif
(PONEK), pelayanan obstetrik neonatal emergensi dasar (PONED), posyandu
dan unit transfusi darah yang belum merata dan belum seluruhnya terjangkau
oleh seluruh penduduk

13
6. Menjamin kebutuhan tenaga kesehatan di daerah terpencil, untuk mendukung
kinerja mereka sebagai ujung tombak pemberi pelayanan kesehatan untuk ibu
hamil dan melahirkan
7. Memastikan sistem rujukan dari rumah ke puskesmas dan ke rumah sakit
berjalan optimal
8. Memperbaiki infrastruktur jalan dan fasilitas kesehatan sebagai upaya
multisektor
9. Memperbaiki sistem pencatatan terkait upaya penurunan AKI di Indonesia
sehingga data yang ditampilkan menggambarkan kondisi kesehatan perempuan
Indonesia saat ini.
10. Memasukkan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi (melalui pendidikan
kesehatan reproduksi) untuk remaja dan perempuan ke dalam indikator SPM
serta mengupayakan tersedianya layanan kesehatan reproduksi remaja di
Puskesmas yang secara aktif juga memberikan pendidikan kesehatan
reproduksi di sekolah-sekolah sesuai jenjang pendidikan
11. Membentuk peer conseling untuk remaja terkait kesehatan reproduksi
12. Menyediakan fasilitas konsultasi KTD hingga pelayanan aman untuk
pemulihan haid
13. Menghapus praktik aborsi tidak aman yang berpotensi menyebabkan AKI di
Indonesia
14. Melakukan pendekatan budaya kepada masyarakat untuk mengubah pola pikir
agar permasalahan kesehatan reproduksi, khususnya kesehatan reproduksi
remaja, merupakan masalah bersama dan tidak lagi menganggapnya sebagai
hal yang tabu untuk dibicarakan
15. Pemerintah tidak hanya menggunakan indikator angka sebagai target tetapi
juga indikator input dan proses seperti penetapan anggaran kesehatan
perempuan, pemerataan jumlah tenaga kesehatan yang terjangkau, serta
pendidikan kesehatan reproduksi untuk perempuan.

2.3. Rujukan Pada Pelayanan Kesehatan Reproduksi


A. Sistem Rujukan
Rujukan Pelayanan Kebidanan adalah pelayanan yang dilakukan oleh bidan
dalam rangka rujukan ke sistem pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya yaitu
pelayanan yang dilakukan oleh bidan sewaktu menerima rujukan dari dukun yang
menolong persalinan, juga layanan yang dilakukan oleh bidan ke tempat atau fasilitas
pelayanan kesehatan atau fasilitas kesehatan lain secara horizontal maupun vertical.
Tata laksana rujukan:
1. Internal antas-petugas di satu rumah

14
2. Antara puskesmas pembantu dan puskesmas

3. Antara masyarakat dan puskesmas

4. Antara satu puskesmas dan puskesmas lainnya

5.Antara puskesmas dan rumah sakit, laboratorium atau fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya

6. Internal antar-bagian/unit pelayanan di dalam satu rumah sakit

7. Antar rumah sakit, laboratoruim atau fasilitas pelayanan lain dari rumah sakit
(Kebidanan Komunitas)

 TUJUAN SISTEM RUJUKAN DI PUSKESMAS


Tujuan umum sistem rujukan adalah untuk meningkatkan mutu, cakupan dan
efisiensi pelayanan kesehatan secara terpadu (Kebidanan Komunitas). Tujuan
umum rujukan untuk memberikan petunjuk kepada petugas puskesmas tentang
pelaksanaan rujukan medis dalam rangka menurunkan IMR dan AMR.
 Alur sistem rujukan regional
a) Pelayanan kesehatan rujukan menerapkan pelayanan berjenjang yang dimulai
dari Puskesmas, kemudian kelas C, kelas D selanjutnya RS kelas B dan
akhirnya ke RS kelas A.
b) Pelayanan kesehatan rujukan dapat berupa rujukan rawat jalan dan rawat inap
yang diberikan berdasarkan indikasi medis dari dokter disertai surat rujukan,
dilakukan atas pertimbangan tertentu atau kesepakatan antara rumah sakit
dengan pasien atau keluarga pasien.
c) RS kelas C/D dapat melakukan rujukan ke RS kelas B atau RS kelas A antar
atau lintas kabupaten/kota yang telah ditetapkan . yang dimaksud dengan
“antar kabupaten/ kota” adalah pelayanan ke RS kabupaten/ kota yang masih
dalam satu region yang telah ditetapkan. Sedangkan “lintas kabupaten/kota”
adalah pelayanan ke RS kabupaten/kota di luar wilayah region yang telah
ditetapkan (Kemenkes, 2014).

B. Sistem Rujukan Kasus Ginekologi

Sistem rujukan kasus ginekologi meliputi :

1. Stabilisasi Klien

15
Merupakan hal yang harus diperhatikan dalam memberikan pelayanan kasus
ginekologi yang akan dirujuk, misalnya : pemberian oksigen, pemberian cairan
infus atau transfusi darah, dan pemberian obat-obatan (antibiotik, analgetik, dll).

2. Persiapan Administrasi

Memberikan surat ke tempat rujukan. Surat ini harus berisi identifikasi


mengenai klien. Cantumkan alasan rujukan dan uraikan hasil pemeriksaan, asuhan
atau obat-obatan yang diterima klien tersebut. Sertakan juga kartu klien atau status
yang dipakai untuk membuat keputusan klinik.

3. Melibatkan Keluarga

Beritahui keluarga kondisi terakhir klien dan jelaskan pada mereka alasan
atau tujuan merujuk klien dirujuk ke fasilitas rujukan tersebut. Anggota keluarga
harus menemani klien ke tempat rujukan.

4. Persiapan Keuangan

Ingatkan pada keluarga agar membawa uang dalam jumlah yang cukup untuk
membeli obat-obatan yang diperlukan dan bahan-bahan kesehatan lain yang
diperlukan selama klien tersebut tinggal di fasilitas rujukan.

5. Kerjasama antara pengirim dan penerima rujukan

Hubungan kerjasama antara petugas yang merujuk dan petugas di tempat


rujukan. Petugas yang merujuk perlu menghubungi petugas di tempat rujukan untuk
menyampaikan informasi mengenai kondisi klien. Dengan adanya informasi
tersebut, petugas di tempat rujukan mempunyai cukup waktu untuk menyiapkan
segala kebutuhan, sehingga kasus rujukan langsung dapat ditangani. Setiap tempat
rujukan harus selalu siaga 24 jam untuk menerima kasus rujukan.
Umpan balik rujukan dan tindak lanjut kasus pasca rujukan. Tempat rujukan
mengirim umpan balik mengenai keadaan klien beserta anjuran tindak lanjut pasca
rujukan terhadap klien ke petugas yang merujuk (puskesmas/polindes).

C. Pembinaan Dan Pengawasan Sistem Rujukan Berjenjang

16
1. Ka Dinkes Kab/Kota dan organisasi profesi bertanggung jawab atas pembinaan
dan pengawasan rujukan pada pelayanan kesehatan tingkat pertama.
2. Ka Dinkes provinsi dan organisasi profesi bertanggung jawab atas pembinaan
dan pengawasan rujukan pada pelayanan kesehatan tingkat kedua.
3. Menteri bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan rujukan pada
pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
(Idris, 2014)

2.4 Rehabilitasi Dalam Kespro

2.4.1 Pengertian Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah program untuk membantu memulihkan orang yang


memilki penyakit kronis baik dari fisik ataupun psikologisnya. Program
Rehabilitasi individu adalah program yang mencangkup penilaian awal, pendidikan
pasien, pelatihan, bantuan psikologis, dan pencegahan penyakit.

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Narkotika,


Rehabilitasi Medis adalah “suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu untuk
membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika”.

Pada dasarnya Rehabilitasi yang diatur dalam regulasi tersebut ada 2 yaitu :

1. Rehabilitasi Medis

Rehabilitasi medis adalah suatu bentuk layanan kesehatan terpadu di bawah


naungan rumah sakit yang dikoordinasi dokter spesialis rehabilitasi medis.

2. Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk
memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar
dalam kehidupan masyarakat.

Tim rehabilitasi medik :

1. Dokter spesialis rehabilitasi medik :


2. penanggung jawab tim, coordinator, dokter fungsional dan terapis
rehabilitasi medik.
17
3. Fisioterapis : tindakan terapi fisik.

4. Terapis Wicara.

5. Terapis Okupasi.

6. Ortotis / Prostetis.

7. Petugas sosial medis.

8. Perawat rehabilitasi medik.

2.4.2. Rehabilitasi kanker payudara

Faktor pemicu kanker payudara masih belum diketahui. Kanker ini bisa
terkait dengan riwayat kanker payudara dalam keluarga, menstruasi dini atau
kemungkinan faktor risiko lainnya. Karena sukar dipastikan, maka semua orang
berisiko, khususnya ketika berusia 40 tahun ke atas. Meskipun faktor-faktor
penyebabnya masih belum diketahui, penyembuhan sempurna sudah mungkin
terjadi berkat deteksi dini melalui pemeriksaan payudara yang teratur.

Biasanya pembedahan diikuti dengan terapi sistematis, yang bisa


mencakup rehabilitasi, kemoterapi, radioterapi dan/atau terapi hormon untuk
meningkatkan peluang kesembuhan. Langkah-langkah untuk rehabilitasi:

1. Rehabilitasi fisik

 Latihan bahu setelah pembedahan

 Perawatan lengan atas untuk mencegah pembekakan kerusakan getah


bening.

 Gizi seimbang dan perubahan gaya hidup untuk meningkatkan


kesembuhan

2. Rehabilitasi mental

 Dukungan yang kuat dari pasangan, keluarga, teman & kelompok pendukung

18
 Wanita bisa merasa aman jika dia tahu kemungkinannya untuk sembuh.

 Memeriksakan diri ke dokter secara teratur

2.4.3 Rehabilitasi pada wanita khususnya PSK Terkait Kesehatan Reproduksi

PSK (Pekerja Seks Komersial) adalah profesi yang menjual jasa untuk
memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk
menyewakan tubuhnya. Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang
negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap
sebagai sampah masyarakat.

Masalah prostitusi merupakan masalah yang kompleks karena sangat


berkaitan dengan tatanan nilai, norma agama dan budaya masyarakat.Terdapat
beberapa faktor yang menyebabkan seorang wanita menjadi Pekerja Seks
Komersial (PSK), antara lain: Kemiskinan, kebodohan, lapangan kerja yang
terbatas, dan rendahnya self esteem pada diri seorang wanita. Maka dari itu setiap
individu termasuk pula pada PSK haruslah memiliki rasa optimis dalam
menghadapi masa depannya, karena sikap optimis adalah modal utama bagi
seseorang untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya dan meraih
keberhasilan di masa yang akan datang. Tanpa harapan dan keyakinan akan masa
depan membuat PSK semakin terpuruk dalam kehidupannya.

Pekerja seks yang terjaring dalam lokalisasi hanyalah mereka yang


tergolong kelas menengah ke bawah. Dr. Nafsiah Mboy, DSA, MPH, pemerhati
kesehatan perempuan, memperkirakan jumlah pekerja seks yang berada di
lokalisasi hanya sekitar 10%. Hal ini berarti, jumlah pekerja seks yang berada di
luar lokalisasi masih jauh lebih besar.

Setelah lokalisasi diresmikan, sikap pemerintah terhadap pekerja seks pun


ternyata masih mendua. Di satu sisi, pemerintah mengambil keuntungan dengan
menarik pajak dari mereka. Di pihak lain, belum ada peraturan yang secara
tegas melindungi pekerjaan mereka, karena statusnya yang ilegal. Upaya
rehabilitasi pun dinilai masih banyak memiliki kelemahan.

19
Kelemahan dari rehabilitasi itu adalah karena kurang sesuai dengan
kebutuhan pekerja seks. Selain itu, program yang telah mengeluarkan biaya
yang besar ini juga dianggap tidak tepat sasaran, karena banyak pekerja
seks yang telah menjalani rehabilitasi ternyata tidak menggunakan dan
mengembangkan ketrampilan yang didapatkan. Ketrampilan yang diberikan pun
dianggap mubazir kalau tidak memperhitungkan suara pelaku dan sistem
pemasaran hasil ketrampilan yang diajarkan.

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Metode epidemiologi digunakan untuk mendefinisikan masalah kesehatan
reproduksi, menjelaskan penyebab masalah ini, menguji intervensi dan mengevaluasi
program. Definisi masalah termasuk gambaran populasi yang terpengaruh, etiologi
masalah kesehatan, identifikasi faktor risiko yang bisa diubah/dikendalikan dan
melakukan surveilans untuk mendeteksi tren masalah. Pengurangan faktor risiko melalui
intervensi tergantung pada penilaian yang akurat pada perbandingan safety dan efficacy
intervensi dan treatmen yang diusulkan. Epidmeiologi analitik digunakan untuk menguji
intervensi. Metode epidemiologi dan hasilnya digunakan untuk menilai apakah program
berdasarkan intervensi dan treatmen yang tepat dan apakah program dan treatmen
digunakan secara tepat. Cost-benefit analysis diaplikasikan untuk menentukan apakah
intervensi menggunakan sumber daya terbaik yang tersedia.
Epidemiologi kesehatan reproduksi merupakan aplikasi dari studi epidemiologi
dalam mengkaji risiko perilaku, lingkungan dan perawatan kesehatan terhadap sistem
reproduksi baik pada laki-laki maupun perempuan serta risiko terhadap kesehatan anak
yang dilahirkannya. Jadi, epidemiologi kesehatan reproduksi lebih banyak menjangkau
ranah penelitian.

3.2 Saran
Adapun saran dalam penulisan makalah ini adalah bagi pemerin agar dapat
mendeteksi secara dini permasalahan kesehatan reproduksi di masyarakat melalui metode
epidemiologi dan mampu mengehentikan sebaran penyakit.

DAFTAR PUSTAKA
21
Kumalasari, I., dan Iwan, A. 2012. “Kesehatan Reproduksi” Palembang: Salemba
Medika
Joko Purwanto, D. “Deteksi Dini Kanker Payudara” diakses 10 agustus 2014 :
http://www.omni-hospitals.com/omni_alamsutera/blog_detail.php?id_post=5
Muhimatus. 2011. “Skrining Untuk Keganasan Dan Penyakit Sistemik” diakses 10 agustus
2014 : http://muhimatus.wordpress.com/2011/04/13/skrining-untukkeganasan-dan-
penyakit-sistemik/

Wildyastuti Yani. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Fitramaya

Awalia nur baeti.2010.Wanita di Pusat Rehabilitasi : Jakarta.

Manuaba. 1998. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. EGC : Jakarta

22

Anda mungkin juga menyukai