Anda di halaman 1dari 10

DAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI

DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL

OLEH :
GRIZELDA (13/354131/PHK/7794)

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perwujudan atau realisasi hubungan-hubungan internasional dalam bentuk
perjanjian-perjanjian internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh Negara-negara
di dunia ini. Perjanjian-perjanjian tersebut merupakan hukum yang harus dihormati
dan ditaati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Selama masih berlangsungnya
hubungan-hubungan antara bangsa-bangsa didunia ini, selama itu pula masih tetap
akan selalu muncul perjanjian-perjanjian internasional. Pasang surutnya perjanjian-
perjanjian internasional itu tergantung dari pasang surutnya hubungan-hubungan antar
bangsa atau negara.
Semakin besarnya dan semakin meningkatnya kesalingtegantungan antara
umat manusia didunia ini, mendorong diadakannya kerjasama internasional yang
dalam banyak hal dirumuskan dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional.
Perbedaan falsafah dan pandangan hidup, kebudayaan, ras, agama, atau kepercayaan,
dan lain-lainnya, tidak lagi merupakan faktor penghalang dalam mengadakan
hubungan dan kerjasama. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan segala dampak positif maupun negatifnya, mendorong perlunya pengaturan-
pengaturannya secara lebih tegas dan pasti yang dirumuskan dalam bentuk perjanjian-
perjanjian internasional. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika dewasa ini dan
bahkan pada masa-masa yang akan datang akan semakin pesat pertumbuhan
perjanjian-perjanjian internasional.
Hingga saat ini, hukum internasional sebagian besar terdiri dari perjanjian-
perjanjian internasional. Bahkan bisa dikatakan jika perjanjian internasional telah
mendesak kedudukan dan peranan hukum kebiasaan internasional yang pada awal
sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional menduduki tempat yang
utama. Mengingat demikian pentingnya kedudukan perjanjian internasional dinilai
perlunya pengkodifikasian yang progresif dari hukum internasional. Dengan adanya

1
kodifikasi ini, diharapkan nilai-nilai dan kaidah hukum internasional dapat terpelihara
dan terus terjaga dan menjadi keseragaman bentuk hukum perjanjian internasional.
Secara garis besar bentuk perjanjian internasional dibedakan menjadi
perjanjian internasional tertulis dan perjanjian internasional tidak tertulis. Perjanjian
internasional tertulis memiliki beberapa keunggulan dibanding bentuk perjanjian yang
tidak tertulis, seperti ketegasan, kejelasan, dan kepastian hukumnya bagi para pihak.
Sehingga bentuk perjanjian tertulis ini lebih dominan penggunaannya dibanding
hukum perjanjian yang tidak tertulis.
Namun, dalam beberapa kasus perjanjian tidak tertulis ini masih di akui
keberadaannya dan dijadikan pertimbangan oleh Permanent Court of International
Justice (PCIJ) atau Internatonal Court Of Justice (ICJ) sebagai dasar dalam memutus
suatu perkara, sebagai contoh dalam kasus eastern Greenland yang diputuskan pada
tahun 1933, dimana mahkamah mempertimbangkan pengakuan dari Menteri Luar
Negeri Norwegia bahwa Norwegia tidak akan mempersulit Denmark mengenai
Greenland. Selain itu, pada tahun 1973 dalam kasus Nuclear Test Case. Saat itu
Prancis mendapat kecaman dari berbagai negara mengenai uji coba nuklir yang di
lakukan di Samudra Pasifik dan Presiden prancis saat itu berjanji untuk tidak
melakukan uji coba nuklir lagi. Namun setahun kemudian Prancis kembali hendak
melakukan uji coba nuklir. Australia dan Selandia Baru langsung membawa maslah
ini untuk diselesaikan di ICJ.
2. Rumusan Masalah
Dari paparan penjelasan diatas, dapat ditarik suatu permasalahan bahwa :
a) Bagaimanakah daya ikat dari adanya sebuah perjanjian internasional tidak
tertulis berupa perjanjian lisan dalam beracara di ICJ?

B. PEMBAHASAN
2
1. Kronologis Kasus Eastern Greenland (Denmark V. Norwegia)
Dalam kasus ini yang terkenal dengan sebutan Ihlen Case, terjadi
persengketaan antara Norwegia dan Denmark. Persengketaan itu muncul didahului
dengan adanya konferensi perdamaian di Paris 1919 yang menghasilkan sebuah
komisi yang antara lain bertugas menyelesaikan klaim-klaim beberapa negara
terhadap kepulauan Spitzbergen. Diantara negara-negara yang mengkalim, Norwegia
adalah yang paling berambisi untuk mempertahankan Spitzbergen sebagai bagian dari
wilayahnya. Di lain pihak Denmark yang telah lama menguasai wilayah Greenland
dibagian utara Eropa, mempunyai perhitungan lain. Denmark menginginkan
Norwegia tidak mengutik-utik kedaulatannya atas Greenland, dan sebagai imbalannya
Denmark tidak akan ikut mengkalim kepulauan Spitzbergen dan tidak keberatan
bahkan mendukung kedaulatan Norwegia atas Sptizbergen, maksud ini disampaikan
seorang Menteri Denmark atas Instruksi Menteri Luar Negeri Denmark kepada
Menteri Luar Negeri Norwegia yang pada waktu itu adalah Mr. M. Ilhen. Pada saat
itu juga, yaitu pada tanggal 14 Juli 1919, Mr. M. Ilhen menyatakan hendak
mempertimbangkan maksud dari Denmark tersebut.
Usaha Denmark rupanya tidak sia-sia, karena pada tanggal 22 Juli 1919 Mr.
M. Ihlen sebagai Menteri Luar Negeri Norwegia mengeluarkan sebuah pertanyaan
yang disampaikan kepada Menteri Denmark tersebut, yang isinya menyatakan bahwa
pemerintahan Norwegia tidak akan mempersulit masalah Greenland yang diajukan
oleh Denmark. Pernyataan ini dicatat dalam sebuah nota oleh Mr. M. Ihlen yang
kemudian disampaikan kepada pemerintah Denmark melalui menteri yang
mewakilinya.
Tentu saja Denmark menganggap bahwa pernyataan Mr. M. Ihlen itu sebagi
pernyataan resmi pemerintah Norwegia sebagai dukungan atas kedaulatan Denmark
di Greenland, sehingga ia pun memberikan dukungan atas kedaulatan Norwegia atas
kepulauan Spitzbergen. Namun tak lama kemudian, pemerintah Norwegia justru
mengeluarkan pernyataan bahwa Norwegia juga berdaulat atas bagian timur
Greenland. Denmark tentu saja memprotes dan tidak mengakui tindakan Norwegia
itu. Akhirnya sengketa ini disampaikan ke hadapan Permanent Court of International
Justice (PCIJ) yang berkedudukan di Den Haag.
Dalam salah satu pertimbangannya mahkamah internasional permanen
menyatakan bahwa Norwegia terikat pada janji atau deklarasi yang dinyatakan oleh
3
menteri luar negerinya, yakni Mr. M Ihlen. Selain itu mahkamah juga menganggap
adanya perkaitan, atau interdependen di antara kedua belah pihak, sehingga
pernyataan itu melahirkan perjanjian internasional bilateral. Berdasarkan
pertimbangan ini Permanent Court of International Justice (PCIJ) pada akhirnya
memenagkan Denmark.

2. Kronologis Kasus Nuclear Test case (1974)


Kasus ini diawali dengan tindakan Prancis dalam mempersiapkan bom
nuklirnya yang pertama di Atol Aruroa di Samudra Pasifik pada tahun 1973.
Kehendak Prancis ini banyak yang menentang dan memprotesnya. Namun Prancis
tetap menjalankan maksudnya dan meledakkan bom nuklir Prancis di Atol Aruroa.
Setelah percobaan ini selesai presiden Prancis, pada waktu itu George
Pompidou, mengeluarkan pernyataan dalam konferensi pers bahwa percobaan
peledakan bom nuklir oleh perancis adalah untuk pertama dan terakhir kalinya.
Pernyataan ini tidak ditujukan kepada negara-negara tertentu, melainkan kepada
semua negara terutama negara-negara yang sangat menentang percobaan nuklir
tersebut.
Namun beberpa waktu kemudian Perancis kembali hendak meledakkan
nuklirnya di Samudra Pasifik. Hal ini mendapat protes keras dari Australia dan
Selandia Baru. Kemudian masalah ini diajukan ke Mahkamah Internasional oleh
Prancis dan Australia.
Mahkamah Internasional akhirnya mengeluarkan putusan melarang Perancis
untuk mengadakan percobaan nuklir lagi. Artinya dalam kasus ini Australia
dimenangkan oleh Mahkamah Internasional.

3. Pengertian Perjanjian Tidak Tertulis


Dalam hukum perjanjian internasional, bentuk perjanjian dibedakan menjadi
dua, yaitu perjanjian internasional lisan atau perjanjian internasional tidak tertulis
(unwritten agreement atau oral agreement), dan perjanjian internasional yang
berbentuk tertulis (written agreement). Perjanjian internasional tidak tertulis adalah
pernyataan secara bersama atau timbal balik yang diucapkan oleh kepala negara,
kepala pemerintahan ataupun menteri luar negeri, atas nama negaranya mengenai
masalah tertentu yang menyangkut kepentingan para pihak yang dalam pembuatannya

4
tidak melalui atau membutuhkan prosedur tertentu, dan dapat berupa pernyataan
sepihak yang dikemukakan oleh para pejabat sebagai persetujuannya.
Perjanjian Internasional tidak tertulis ini tidak memerlukan prosedur tertentu yang
baku seperti perjanjian internasional tertulis dan memiliki beberapa bentuk, yaitu :

a) Perjanjian Internasional Lisan


Dari segi proses pembentukannya perjanjian internasional lisan memiliki
persamaan dengan perjanjian internasional tertulis, yaitu pembentukan kedua jenis
perjanjian tersebut diawali dengan perundingan. Namun perjanjian internasional
lisan dilakukan secara lisan, artinya yang diperjanjikan adalah hal-hal yang
disepakati secara lisan meskipun seringkali perjanjian internasional lisan ini
dilengkapi dengan instrument tertulis, namun instrument ini hanya sebagai
pencatatan atau notulen, yang mencatat hal-hal yang diperjanjikan dengan tidak
mendetail. Notulen inipun seringkali membutuhkan penandatanganan sebagai
konfirmasi kebenaran dari pencatatan dan sebagai tanda bahwa apa yang telah di
perjanjikan mulai berlaku.
Biasanya hal-hal yang diatur dalam perjanjian internasional lisan bukanlah
hal-hal yang rumit, namun merupakan materi umum (secara garis besar) ataupun
hal-hal yang bersifat teknis, sehingga pengaturannya pun bersifat sederhana. Pada
umumnya perjanjian internasional lisan pun dibentuk oleh pihak-pihak yang tidak
terlalu banyak atau dibentuk secara bilateral.

b) Deklarasi Unilateral atau Deklarasi Sepihak


Deklarasi unilateral merupakan pernyataan dari suatu Negara yang
disampaikan oleh wakil Negara yang bersangkutan dan ditujukan kepada Negara
lain. Pernyataan atau deklarasi unilateral dapat menimbulkan suatu perjanjian,
apabila didalamnya memang terkandung maksud untuk berjanji. Dengan kata lain,
Negara melalui deklarasi unilateralnya dapat mengkonsensuskan sesuatu kepada
Negara lain, sehingga terbentuklah hukum internasional. Kewajiban dalam hukum
internasional muncul bagi pihak yang menjanjikan sesuatu, yaitu pihak yang
mengeluarkan deklarasi, sedangkan pada pihak yang menjadi tujuan deklarasi
muncullah hakuntuk menuntut di tepatinya janji tersebut, kecuali apabila pihak ini
menolak hak yang muncul tersebut secara tegas.

5
Terdapat kemungkina bahwa dua negara atau lebih mendeklarasikan suatu
janji yang interdependen, sehingga akan timbul perjanjian internasional yang
timbal balik. Perjanjian timbal balik ini dianggap ada setelah terdapat janji yang
dinyatakan oleh negara lain sebagai timbal balik dari janji yang pertama. Dengan
demikian janji atau deklarasi yang interdependen ini menimbulkan kewajiban
untuk berprestasi bagi masing-masing pihak, sehingga pelaksaan prestasinya pun
harus bertimbal balik.

c) Persetujuan Diam-Diam
Persetujuan diam-diam disebut pula sebgai persetujuan tersimpul (implied
agreement) merupakan perjanjian internasional yang dibentuk atau dibuat secara
tidak tegas. Artinya keberadaan perjanjian itu dapat diketahui hanya melalui
penyimpulan suatu tingkah laku, baik aktif maupun pasif,dari suatu negara atau
subjek hukum internasional lainnya. Walaupun persetujuan diam-diam ini
merupakan perjanjian internasional tidak tertulis, namun Konvensi Wina 1969
mengatur pula salah satu proses terbentuknya persetujuan diam-diam.
Dalam pasal 36 ayat 1, treaties providing for rights for third states, menentukan :

“A right arises for third state from a provision of a treaty if the parties to the
treaty intend the provision to accord that right either to the third state, or to a
group of states to which it belongs, or to all states, and the third state assents
there to. Its assent shall be presumed so long as the contrary is not indicated,
unless the treaty otherwise provides”.

Jadi persetujuan diam-diam dapat muncul berdasarkan pemberian hak oleh suatu
perjanjian internasional tertulis kepada pihak ketiga (pihak yang tidak turut serta
dalam perjanjian) sejauh pihak ketiga ini menyatakan setuju atas hak yang
diperoleh tersebut dan demikian terbentuklah konsensus (hukum) antara pihak
ketiga dengan para pihak yang ada dalam perjanjian.

4. Daya Ikat Perjanjian Internasional Tidak Tertulis sebagi Bukti dalam


Penyelesaian Sengketa di Mahkamah Internasional

Dalam contoh kasus mengenai Eastern Greenland antara Norwegia dan


Denmark ini dapat diberi kesimpulan bahwa perjanjian tidak tertulis yang digunakan
adalah deklarasi unilateral dimana kedua belah pihak menyatakan akan tunduk pada
6
kesepakatan yang telah dibuat masing-masing. Sehingga menimbulkan hubungan
konsensus dan timbal balik yang mengakibatkan lahirnya hukum internasional yang
mengikat diantara keduanya. Hubungan timbal balik ini muncul begitu terdapat janji
yang dideklarasikan, kecuali salah satu negara tersebut menolak dengan tegas
deklarasi tersebut, maka hubungan timbal balik tidak akan tercipta diantara keduanya.
Dengan adanya deklarasi dari kedua belah pihak tersebut, hubungan hukum antara
kedua pihak tersebut mengikat, seperti halnya terikat dengan suatu perjanjian tertulis.

Begitupula dengan kasus kedua yaitu Nuclear Test Case bahwa Prancis telah
mendeklarasikan melalui Presiden George bahwa tidak akan ada lagi percobaan
nuklir. Namun, setahun setelah deklarasi tersebut Perancis hendak melakukan uji coba
kembali, hal ini tentu saja ditentang keras oleh negara-negara lainnya. Walaupun
deklarasi ini merupakan perjanjian satu pihak, hubungan interdependen muncul begitu
terdapat janji yang dideklarasikan walaupun hanya oleh satu negara, sehingga muncul
kewajiban bagi negara yang mendeklarasikan.

The Eastern Greenland Case dan Nuclear Test Case ini berkaitan dengan pasal 47
dari Vienna Conventions 1969. Dalam pasal 47 Vienna Conventions 1969 dijelaskan
bahwa :

“if the authotiry of a representative to express the consent of a state to be


bound by a particular treaty has been made subject to a specific restriction,
his omission to observe that restriction may not be invoked as invalidating the
consent expressed by him unless the restriction was notified to the other
negotiating states prior to his expressing such consent”.

Dari pasal tersebut dapat dipahami jika wakil dari suatu negara melaksanakan
kewenangannya untuk menyatakan keterikatan negaranya terhadap suatu perjanjian
tertentu dengan membuat pembatasan-pembatasan khusus maka pembatasan itu harus
diberitahukan kepada pihak negara lain yang terkait dalam perjanjian tersebut.
Sehingga berdasarkan pasal tersebut tidak mengherankan jika Mahkamah
mengabulkan tuntutan Denmark dan Australia.

Salah satu prinsip dasar mengenai pembuatan dan pelaksanaan kewajiban hukum,
apapun sumbernya adalah prinsip itikad baik. Kepercayaan sangat penting dalam

7
hubungan internasional khususnya pada masa sekarang di mana kerja sama
internasional menjadi sangat esensial. Sama halnya seperti asas pacta sund servanda
dalam hukum perjanjian internasional yang berdasarkan pada itikad baik, begitu juga
dengan kekuatan mengikat dari kewajiban internasional yang timbul dari deklarasi
unilateral. Negara-negara yang berkepentingan mungkin saja memperhatikan
deklarasi unilateral tersebut dan menaruh kepercayaan padanya dan berhak menuntut
agar kewajiban yang timbul dari deklarasi tersebut dipenuhi oleh negara yang
mendeklarasikannya. Dengan demikian maka dapat disimpulkan sudah ada
persetujuan atau perjanjian lisan atau tidak tertulis antara para pihak yang
bersangkutan. Bentuk perjanjian ini memang dapat mengurangi kepastian hukum bagi
para pihak namun tidak mengurangi kekuatan mengikatnya sebagai perjanjian
internasional. Berdasarkan putusan Mahkamah tersebut maka ada dua hal yang harus
dipenuhi agar suatu tindakan unilateral dapat memiliki kekuatan mengikat secara
hukum yaitu deklarasi tersebut harus diumumkan kepada publik dan dibuat dengan
maksud untuk mengikat.

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dalam hukum perjanjian internasional, bentuk perjanjian dibedakan menjadi dua,
yaitu perjanjian internasional lisan atau perjanjian internasional tidak tertulis
(unwritten agreement atau oral agreement), dan perjanjian internasional yang
berbentuk tertulis (written agreement). Perjanjian internasional tidak tertulis adalah
pernyataan secara bersama atau timbal balik yang diucapkan oleh kepala negara,
kepala pemerintahan ataupun menteri luar negeri, atas nama negaranya mengenai
masalah tertentu yang menyangkut kepentingan para pihak yang dalam pembuatannya
8
tidak melalui atau membutuhkan prosedur tertentu, dan dapat berupa pernyataan
sepihak yang dikemukakan oleh para pejabat sebagai persetujuannya.
Perjanjian Internasional tidak tertulis ini tidak memerlukan prosedur tertentu yang
baku seperti perjanjian internasional tertulis dan memiliki beberapa bentuk, yaitu :
a. Perjanjian lisan
b. Deklasrasi unilateral
c. Perjanjian diam-diam
The Eastern Greenland Case dan Nuclear Test Case ini berkaitan dengan pasal
47 dari Vienna Conventions 1969. Dalam pasal 47 Vienna Conventions 1969
dijelaskan bahwa jika wakil dari suatu negara melaksanakan kewenangannya untuk
menyatakan keterikatan negaranya terhadap suatu perjanjian tertentu dengan membuat
pembatasan-pembatasan khusus maka pembatasan itu harus diberitahukan kepada
pihak negara lain yang terkait dalam perjanjian tersebut. Sehingga berdasarkan pasal
tersebut tidak mengherankan jika Mahkamah mengabulkan tuntutan Denmark dan
Australia meskipun dalam bentuk tidak tertulis, namun deklarasi ini secara otomatis
mengikat para pihak.

2. Saran
Salah satu prinsip dasar mengenai pembuatan dan pelaksanaan kewajiban hukum,
apapun sumbernya adalah prinsip itikad baik. Kepercayaan sangat penting dalam
hubungan internasional khususnya pada masa sekarang di mana kerja sama
internasional menjadi sangat esensial. Sama halnya seperti asas pacta sund servanda
dalam hukum perjanjian internasional yang berdasarkan pada itikad baik, begitu juga
dengan kekuatan mengikat dari kewajiban internasional yang timbul dari deklarasi
unilateral.

DAFTAR PUSTAKA

Shaw, Malcolm. 2008. Hukum Intenasional (International Law). Nusa Media.


Bandung.
Parthiana, I Wayan. 2005. Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1 dan 2. Mandar
Maju. Bandung.
Starke, JG. 2012. Pengantar Hukum Internasional. Edisi kesepuluh. Sinar Grafika.
Jakarta.

9
Situni, F. A. Whisnu. 1989. Identifikasi Dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum
Internasional. Mandar Maju. Bandung

10

Anda mungkin juga menyukai