Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN PUSTAKA

Susu Pasteurisasi

Susu pasteurisasi merupakan minuman bergizi tinggi, khususnya karena


mengandung protein tinggi serta mempunyai aroma yang spesifik susu. Aroma
dan cita rasa susu sangat dipengaruhi oleh kadar laktosa susu (Syarief dan Halid
1997). Susu merupakan hasil utama pada usaha budidaya ternak perah. Hidayat
(2010) menyatakan, susu yang dihasilkan harus memenuhi syarat aman, sehat,
utuh, dan halal (ASUH). Untuk mendapatkan susu yang ASUH dibutuhkan
penanganan susu yang khusus karena zat gizi yang terkandung dalam susu
mendukung pertumbuhan mikroorganisme patogen dan apatogen. Akibat
tercemarnya oleh mikroorganisme, maka susu mudah rusak dan menjadi sumber
terjadinya foodborne disease. Foodborne disease adalah penyakit yang
disebabkan karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar oleh
mikroorganisme atau bahan kimia termasuk antibiotika (Gustiani 2009).
Susu pasteurisasi adalah susu yang telah mengalami proses pemanasan
sehingga mempunyai daya simpan lebih lama dibanding susu mentah disertai
musnahnya mikroorganisme patogen yang dapat mengganggu kesehatan
konsumen. Proses pasteurisasi berdasarkan rekomendasi Public Health Services
(PHS) Amerika Serikat tahun 1978 adalah proses pemanasan pada suhu dan waktu
tertentu seperti terlihat pada Tabel 1.
Menurut Food and Drug Assosiation (FDA 2011) susu pasteurisasi sesuai
ketentuan Pasteurization Marketing Ordinance (PMO) adalah pemanasan susu
dengan menggunakan suhu rendah-waktu lama (LTLT) yaitu pada suhu 63 °C
(145 °F) selama 30 menit atau dengan menggunakan suhu tinggi-waktu singkat
(HTST) yaitu pada suhu 72 °C (161 °F) selama 15 detik. Pasteurisasi merupakan
salah satu cara pengolahan susu dengan cara pemanasan untuk mempertahankan
mutu dan keamanan susu. Suhu pemanasan yang tidak terlalu tinggi menyebabkan
produk tetap mempunyai komposisi dan keadaan yang hampir sama dengan susu
segar namun daya tahannya lebih panjang (Silva dan Bibbs 2010).
4

Tabel 1 Suhu dan waktu pada proses pasteurisasi (Hubbert dan


Hagstad 1991)
Suhu Waktu
°C °F (detik) Istilah umum
63 145 1800 long time holding
72 161 15 high temperature short time (HTST)
89 191 1
90 194 0.5
94 201 0.1
96 204 0.05
100 212 0.01
138 286 2 ultra high temperatur (UHT)

Tujuan pasteurisasi selain untuk membunuh bakteri patogen dan non


patogen (Hobbs dan Robert 1987; Fardiaz 1989; Gaman dan Sherrington 1992),
juga untuk memperpanjang daya simpan susu. Kay (1962) menyatakan bahwa
penggunaan panas pada pasteurisasi tidak begitu menimbulkan perubahan pada
komposisi dan rasa susu sehingga masih seperti susu segar. Perbandingan
komposisi antara susu segar dan susu pasteurisasi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Perbandingan komposisi susu segar dan susu pasteurisasi


(Muchtadi dan Sugiyono 1992)
Komposisi Susu segar (%) Susu pasteurisasi (%)
Air 87.25 87.31 – 88.61
Protein 3.50 2.73 – 2.90
Lemak 3.80 3.00 – 3.40
Laktosa 4.80 4.80 – 4.91
Mineral 0.65 0.16 – 0.18

Proses pasteurisasi yang diikuti langsung dengan pendinginan, daya simpan


produk akan lebih lama dengan mutu yang lebih baik (Frazier dan Westhoff
1988). Misalnya pada pemanasan 72 °C selama 15 detik dengan suhu
penyimpanan 1 sampai 2 °C, daya simpannya dapat mencapai 3 minggu,
sedangkan pada suhu penyimpanan 4 sampai 7 °C daya simpan susu pasteurisasi
hanya 1 sampai 2 minggu. Menurut Badan Standarisasi Nasional (BSN) pada SNI
tahun 1995 nomor 01-3951, proses pasteurisasi yang digunakan adalah minimum
5

pemanasan pada temperatur 63 oC – 66 oC selama 30 menit atau pada pemanasan


72 oC minimum selama 15 detik, kemudian segera didinginkan sampai 10 oC,
selanjutnya diperlakukan secara aseptis dan disimpan pada suhu maksimum 4 oC.
Tabel 3 memperlihatkan persyaratan susu segar berdasarkan Standar Nasional
Indonesia (SNI) nomor 3141.1:2011.

Tabel 3 Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011

No. Karakteristik Syarat


1. Berat jenis (pada suhu 27.5 °C) minimum 1.0270
2. Kadar lemak minimum 3.0%
3. Kadar bahan kering tanpa lemak minimum 7.8%
4. Kadar protein minimum 2.8%
5. Warna, bau, rasa dan kekentalan tidak ada perubahan
6. Derajat asam 6 - 7.5 °SH
7. Uji alkohol (70%) negatif
8. Potensial hydrogen (pH) 6.3 - 6.75
9. Cemaran mikroba maksimum:
- Total kuman 1 x 106 CFU/mL
- Salmonella negatif
- E. coli (patogen) negatif
- Koliform 1 x 103 CFU/mL
10. Jumlah sel somatis maksimum 4 x 105 sel/mL
11. Cemaran logam berbahaya, maksimum:
- Timbal (Pb) 0.02 ppm
- Merkuri (Hg) 0.03 ppm
- Arsen (As) 0.1 ppm
12. Residu antibiotika (golongan laktam, negatif
tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida)
13. Uji pemalsuan negatif
14. Titik beku -0.520 °C s/d -0.560 °C
15. Uji peroksidase positif

Cemaran mikroorganisme berbahaya dalam produk hewan asal ternak


dapat ditularkan ke manusia. Cemaran atau residu kimia seperti residu obat
(antibiotika dan hormon), residu pestisida, dan mikotoksin perlu juga diwaspadai.
6

Keberadaan residu antibiotika dalam produk hewan perlu mendapat perhatian


karena dapat menyebabkan terjadinya resistensi antibiotika (Bahri et al. 2002).

Antibiotika

Antibiotika merupakan suatu bahan atau zat yang diproduksi oleh bakteri
atau cendawan tertentu yang dapat digunakan untuk pengobatan terhadap infeksi
mikroorganisme terutama yang disebabkan oleh bakteri. Senyawa ini mampu
menghentikan proses pertumbuhan dari bakteri bahkan dapat membunuh bakteri
yang secara umum dikenal sebagai efek bakteriostatik dan bakterisidal (Bezoen
et al. 2000). Menurut Giguere (2006) antibiotika merupakan hasil intermediet atau
hasil akhir dari metabolisme mikroba. Antibiotika dapat diklasifikasikan atas
beberapa kategori. Secara umum dapat dibagi berdasarkan empat kategori yaitu
berdasarkan target mikroorganisme, aktifitas bakteri, kemampuan bakterisidal
atau bakteriostatik, serta waktu dan konsentrasi obat.

1) Target mikroorganisme
Antibiotika digambarkan sebagai spektrum sempit jika hanya menghambat
bakteri saja atau dikatakan berspektrum luas jika dapat menghambat mikoplasma,
riketsia dan klamidia. Spektrum aktifitas terhadap target mikroorganisme
dijelaskan pada Tabel 4.

Tabel 4 Spektrum aktifitas antibiotika (Giguere 2006)


Antibiotika Kelas Mikroorganisme
Bakteri Cendawan Mikoplasma Riketsia Klamidia Protozoa
Aminoglikosida + - + - - -
Beta laktam + - - - - -
Kloramfenicol + - + + + -
Fluoroquinolon + - + + + -
Linkosamid + - + - - +/-
Makrolida + - + - + +/-
Oksazolidion + - + - - -
Pleuromutilin + - + - + -
Tetrasiklin + - + + + +/-
Streptogramin + - + - + +/-
Sulfonamid + - + - + +
Trimetoprim + - - - - +
+/- : melawan beberapa protozoa
7

2) Aktifitas antibakteri
Beberapa antibiotika dapat menghambat bakteri Gram negatif atau Gram
positif saja sehingga disebut memiliki aktifitas yang sempit, sedangkan antibiotika
dengan aktifitas spektrum luas memiliki kemampuan menghambat atau bekerja
pada bakteri Gram negatif dan positif. Definisi ini tidak sepenuhnya mutlak
karena beberapa jenis antibiotika dapat bekerja terhadap kedua kelompok bakteri
baik Gram positif maupun Gram negatif tetapi hanya menghambat beberapa jenis
bakteri dari keduanya. Aktifitas beberapa jenis antibiotika terhadap kelompok
dijelaskan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Aktifitas beberapa antibiotika (Giguere 2006)


Spektrum Bakteri aerob Bakteri anaerob
Contoh
Gram + Gram - Gram + Gram -
Sangat karbapenem, kloramfenikol, generasi
+ + + +
luas ke 3 fluoroquinolon, glisilsilin
+ + + (+) generasi ke 3 dan ke 4 sefalosporin
Cukup
luas + (+) + (+) generasi ke 2 sefalosporin
(+) (+) (+) (+) Tetrasiklin
Sempit + +/- + (+) ampisilin, amoksisilin, generasi 1
sephalosporin
+ - + (+) ampisilin, linkosamid, glikopeptida,
streptogramin, oksazolidion
+ +/- + (+) makrolida
+/- + - - monobaktam, aminoglikosida
(+) + - - generasi 2 fluoroquinolon
(+) (+) - - trimetroprim sulfa
- + + + nitromidazol
+ - (+) (+) rifamisin
+ aktifitas sangat baik
(+) aktifitas cukup
+/- aktifitas terbatas
- tidak ada aktifitas atau diabaikan

3) Kemampuan bakterisidal dan bakteriostatik


Beberapa jenis antibiotika menghambat pertumbuhan bakteri pada suatu
konsentrasi, atau disebut konsentrasi penghambatan minimun ‘minimum
inhibitory concentration’ (MIC), namun membutuhkan konsentrasi yang lebih
tinggi untuk membunuh atau konsentrasi pembunuh minimum ‘minimum
bactericidal concentration’ (MBC). Pengelompokan antibiotika berdasarkan
kemampuannya menghambat atau membunuh bakteri dibagi menjadi dua yaitu
8

bakteriostatik dan bakteriosidal. Bakteriostatik adalah antibiotika yang dapat


menghambat pertumbuhan bakteri (kloramfenikol, tetrasiklin), sedangkan
bakteriostatik adalah antibiotika yang dapat membunuh bakteri (beta laktam,
aminoglikosida), hal ini tidak berlaku mutlak karena tergantung juga pada
konsentrasi obat dan jenis mikroba target. Salah satu contohnya adalah bennzyl
penicillin dari kelompok bakterisidal namun pada konsentrasi rendah bekerja
sebagai bakteriostatik.

4) Waktu dan konsentrasi obat


Antibiotika sering diklasifikasikan berdasarkan waktu aktifitas dan
konsentrasi obat yang tergantung pada farmakodinamika. Farmakodinamika obat
menggambarkan efek obat terhadap mikroorganisme. Farmakokinetika obat
menggambarkan konsentrasi obat dalam serum setelah proses absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi. Ketika digabungkan dengan nilai MIC dapat
diprediksi kemungkinan pemusnahan bakteri dan keberhasilan pengobatan.
Beberapa jenis antibiotika mampu meningkatkan efek bakterisidal jika dilakukan
penambahan konsentrasi. Beberapa jenis antibiotika juga membutuhkan waktu
cukup lama dan konsentrasi tinggi untuk dapat bekerja efektif seperti
fluoroquinolon dan aminoglikosida.

Antibiotika betalaktam

Gambar 1 Struktur kimia penisilin (ampisilin dan amoksisilin) dan


sefalosporin (sefadroxil).
9

Beta laktam adalah antibiotika tertua dan banyak digunakan di masyarakat


(Ghinidi et al. 2002). Antibiotika beta laktam seperti penisilin dan sefalosporin
banyak digunakan di lapangan (Shammipur et al. 2002), seperti pengobatan
mastitis (Riediker et al. 2004). Gambar 1 memperlihatkan cincin beta laktam dari
penisilin dan sefalosporin (Fagerquist dan Lightfield 2003).
Penisillin merupakan antibiotika yang efektif untuk bakteri Gram positif.
Senyawa ini sering digunakan sebagai obat pilihan utama untuk semua jenis
infeksi karena tidak menimbulkan efek samping yang toksik dan bersifat
bakterisidal (Olsom 2003). Menurut Gustavsson et al. (2002) walaupun terdapat
banyak jenis antibiotika dan kemoterapi yang digunakan untuk pengobatan infeksi
pada sapi perah, namun masalah utama industri susu adalah penisilin. Penisilin
tidak beracun tetapi untuk individu yang sensitif dapat menyebabkan alergi
(Grunwald dan Petz 2003).
Menurut Admin (2007), absorbsi penisilin bisa melalui peroral,
intramuskular, intravena, intratrakheal, intrauteri dan intramammari. Pada keadaan
normal penisilin didistribusikan dengan cepat dari plasma darah ke dalam jaringan
tubuh. Pengukuran presentasi volume distribusi (apparent volume distribution/
AVD) sebesar 50% memperlihatkan cepat dan mudahnya distribusi penisilin ke
dalam jaringan. Melalui ginjal, penisilin diekskresikan dengan cepat yaitu
mencapai 60-80% dari obat yang dikonsumsi, sedangkan ekskresi melalui kelenjar
susu 16% dari yang ada di dalam plasma, hal ini menunjukkan bahwa penisilin
lebih banyak dieliminasi tubuh melalui ginjal daripada melalui susu.

Penggunaaan Antibiotika di Peternakan

Secara umum, diperkirakan 50% dari seluruh antibiotika digunakan untuk


keperluan di bidang kedokteran hewan (Teuber 2001). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika dalam dunia peternakan berkisar
antara 80% pada perunggasan, 75% pada peternakan babi, 60% pada peternakan
sapi potong, dan 75% antibiotika digunakan pada peternakan sapi perah
(Crawford dan Franco 1996). Aplikasi antibiotika pada sapi perah dapat dilakukan
melalui berbagai rute yang berbeda yaitu mulut (peroral), intravena,
intramuskular, subkutaneus, intrauteri, dan intramamamari. Semua aplikasi
10

tersebut dapat memicu terjadinya residu antibiotika dalam susu (Mitchell et al.
1998). Sampai sekarang masih terdapat dilema, di satu sisi penggunaan antibiotika
sangat perlu akan tetapi di sisi lain berakibat buruk bagi kesehatan masyarakat
(Crawford dan Franco 1996).
Antibiotika sebagai obat yang paling banyak digunakan dalam peternakan,
secara umum diketahui mempunyai dua target tujuan dalam penggunaannya yaitu
sebagai agen terapeutik dan sebagai agen subterapeutik. Penggunaan antibiotika
sebagai agen terapeutik berfungsi untuk melakukan terapi terhadap kejadian
penyakit sedangkan penggunaan sebagai subterapeutik bertujuan untuk
meningkatkan produksi ternak dengan cara meningkatkan efisiensi makanan
untuk pertumbuhan dan melakukan modifikasi terhadap komposisi nutrisi dari
produk yang dihasilkan oleh ternak tersebut (CDUFA 1999).
Penggunaan antibiotika pada sapi laktasi akan menghasilkan residu di dalam
susu (NRA 2000). Antibiotika secara komersial banyak digunakan dalam industri
peternakan sebagai zat yang ditambahkan pada pakan hewan yang bertindak
sebagai agents growth promotors (AGPs) dan juga sebagai suatu zat yang
digunakan untuk kontrol dan pencegahan terjadinya penyakit. Cara kerja dari
AGPs ini belum diketahui secara pasti, akan tetapi secara umum diketahui bahwa
antibiotika yang berfungsi sebagai AGPs akan mengurangi keberadaan organisme
patogen dan mengurangi jumlah mikroorganisme yang bersaing dengan inang
dalam mendapatkan nutrisi. Fungsi lain antibiotika sebagai AGPs ialah
merangsang atau menghambat secara selektif pertumbuhan dari mikroorganisme
yang banyak menggunakan nutrisi inang untuk pertumbuhannya, namun menurut
Bambeke et al. (2000) penggunaan antibiotika sebagai bahan tambahan pakan
atau pangan akan menghasilkan masalah yang sulit dikendalikan.
Penggunaan antibiotika secara rasional seharusnya didasarkan atas
pengetahuan tentang struktur dan biokimia dari bakteri serta farmakodinamika dan
farmakokinetika dari obat-obatan tersebut. Suatu obat yang kurang efektif apabila
dipenetrasikan dengan baik dibandingkan dengan obat yang efektif tapi dengan
penetrasi yang kurang baik maka keduanya akan sama-sama gagal dalam upaya
pengobatan penyakit dan kemungkinan akan memicu perkembangan strain-strain
yang resisten terhadap obat tersebut (Abadi dan Less 2000).
11

Residu Antibiotika dalam Susu

Residu antibiotika adalah senyawa asal dan/atau metabolitnya yang terdapat


dalam jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari
antibiotika tersebut. Residu dalam bahan pangan meliputi senyawa asal yang tidak
berubah, metabolit dan/atau konjugat lain. Beberapa metabolit obat diketahui
bersifat kurang atau tidak toksik dibandingkan dengan senyawa asalnya, namun
beberapa metabolit bersifat lebih toksik (Lukman 2010).
Menurut Rahayu (2010), senyawa yang masuk ke dalam tubuh, akan
mengalami berbagai proses yang terdiri dari penyerapan (absorbsi), distribusi,
metabolisme, dan eliminasi. Kecepatan proses biologis tersebut tergantung pada
jenis, bentuk, cara masuk, dan metabolisme dari senyawa tersebut. Penyerapan
terjadi di dalam saluran pencernaan yang sebagian besar dilakukan oleh usus,
apabila bahan tersebut masuk melalui mulut. Senyawa asli maupun hasil
metabolismenya akan dibawa oleh darah dan akan didistribusikan ke seluruh
bagian tubuh setelah terjadi penyerapan. Metabolisme akan terjadi di dalam
organ-organ tubuh, kemudian dieliminasi oleh alat-alat ekskresi, terutama ginjal
dalam bentuk urin dan usus dalam bentuk feses.
Senyawa-senyawa dalam bentuk murni maupun metabolitnya akan
tertinggal atau tertahan di dalam jaringan untuk waktu tertentu tergantung pada
waktu henti senyawa tersebut atau metabolitnya. Kecepatan eliminasi obat pada
ternak yang sehat akan jauh lebih cepat daripada pada ternak yang sakit. Saat
keadaan tubuh lemah atau terdapat gangguan metabolisme, maka proses eliminasi
obat akan terganggu. Timbunan senyawa atau metabolitnya di dalam tubuh akan
terjadi apabila senyawa-senyawa tersebut diberikan dalam waktu yang lama
(Rahayu 2010).
Bishop (2005) menyatakan bahwa penggunaan obat-obatan dalam
menangani berbagai permasalahan kesehatan di peternakan dapat menyebabkan
terjadinya residu dalam susu dan mempengaruhi kualitas susu tersebut. Kehadiran
substansi antimikrobial dalam susu seperti residu antibiotika dapat mengakibatkan
masalah kesehatan yang serius. Hadirnya residu antibiotika dalam susu dapat
diakibatkan tidak diperhatikannya waktu henti obat (withdrawal time) dari
12

antibiotika tersebut. Waktu henti obat beberapa antibiotika disajikan dalam


Tabel 6.

Tabel 6 Waktu henti obat beberapa jenis antibiotika (Bishop 2005)


Jenis antibiotika Withdrawal time (jam)

Penisilin G 96
Eritromisin 36
Tetrasiklin 72
Streptomisin 48

Dampak Residu Antibiotika

Residu antibiotika yang terdapat pada produk pangan asal hewan dapat
menyebabkan masalah kesehatan dalam tubuh manusia antara lain dapat
menimbulkan reaksi baik yang bersifat akut atau kronis (CDUFA 1999). Residu
antibiotika dalam pangan dapat menimbulkan dampak terhadap kesehatan
masyarakat bila dikonsumsi dalam waktu yang lama. Dampak tersebut dapat
berupa toksikologis (residu antibiotika bersifat racun terhadap hati, ginjal dan
pusat pembentukan darah), mikrobiologis (residu antibiotika akan mengganggu
keseimbangan mikroflora didalam saluran pencernaan sehingga dapat
mengganggu metabolisme tubuh), imunopatologis (yaitu residu antibiotika dapat
menjadi faktor pemicu timbulnya reaksi alergi dari yang bersifat ringan sampai
dengan berat dan bersifat fatal), dan menimbulkan gangguan pada sistem syaraf
serta kerusakan jaringan (Donkor et al. 2011). Batas maksimum residu antibiotika
dalam susu menurut SNI 01-6366-2000 (BSN 2000) disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Batas maksimum residu antibiotika dalam susu (SNI 01-6366-2000)


Jenis antibiotika Batas maksimum residu
Penisilin G 0.10 IU/kg
Eritromisin 0.05 mg/kg
Tetrasiklin 0.10 mg/kg
Streptomisin 0.10 mg/kg
13

Metode Pengujian Residu Antibiotika

Metode pengujian residu antibiotika dapat berupa uji cepat (rapid test kit),
uji tapis/ screening test (bioassay dan ELISA) dan uji konfirmasi (HPLC). Begitu
banyak jenis uji yang ada, namun tidak ada satupun uji yang menjamin hasilnya
paling baik (Wehr dan Frank 2004).
Uji cepat merupakan metode pengujian residu antibiotika yang tidak
memakan waktu banyak dan mudah penggunaannya. Uji tapis pada umumnya
merupakan uji kualitatif dan semi kuantitatif yang berfungsi untuk
mengidentifikasi adanya residu antibiotika dengan cepat, mudah digunakan, dan
relatif tidak mahal.
Bioassay merupakan pengujian yang menggunakan mikroorganisme untuk
mendeteksi senyawa antibiotika yang masih aktif (BSN 2008). Menurut
Eenennaam et al. (1993), spesifisitas bioassay ditunjukkan dari tipe golongan
antibiotika yang dapat dideteksi dengan melihat hambatan pertumbuhan bakteri.
Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan uji tapis yang
memiliki sensitifitas tinggi, sederhana, dan mampu menguji banyak sampel hanya
dengan volume sampel yang sedikit (Wang et al. 2009).
High performance liquid chromatography (HPLC) adalah metode yang
sangat membantu dalam konfirmasi keberadaan residu antibiotika dalam pangan
asal hewan. Metode HPLC didasarkan pada reserved-phase chromatography dan
multisignal UV-visiblediode array detection (UV-VAD). Spektrum UV berperan
sebagai alat identifikasi tambahan (Husgen dan Schuster 2001). Metode HPLC
mampu mengkonfirmasi kehadiran dan mengidentifikasi jenis antibiotika dalam
susu.

Anda mungkin juga menyukai