Anda di halaman 1dari 54

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PADA TN. “S” DENGAN DIAGNOSA MEDIS GAGAL GINJAL KRONIS

DI RUANG HEMODIALISA RSUD SLEMAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan IV (Medikal


Bedah)

Disusun Oleh :

Veni Rachmatunisa (P07120215040)

Yuni Apriliani Istiqamah (P07120215045)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
YOGYAKARTA

JURUSAN D IV KEPERAWATAN

2017

LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PADA TN. “S” DENGAN DIAGNOSA MEDIS GAGAL GINJAL KRONIS


DI RUANG HEMODIALISA RSUD SLEMAN

Telah disetujui dan disahkan pada tanggal 2017

Mahasiswi Praktikan Mahasiswi Praktikan

Veni Rachmatunisa Yuni Apriliani Istiqamah


NIM. P07120215040 NIM. P07120215045

Menyetujui,
Pembimbing Akademik Pembimbing Lapangan

Sapta Rahayu N, S.Kep, Ns Yustina Erna, S.ST


NIP. 1967110619912001 NIP.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan
Asuhan Keperawatan yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL
BEDAH PADA TN. “S” DENGAN DIAGNOSA MEDIS GAGAL GINJAL
KRONIS ” ini.

Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas Praktik Klinik Keperawatan IV


(Keperawatan Medikal Bedah) Prodi D IV Keperawatan Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta. Dalam peyusunannya kami mengucapkan banyak terimakasih kepada
Ibu Sapta Rahayu N, S.Kep, Ns selaku pembimbing akademik kami dan Ibu
Yustina Erna, S.ST selaku pembimbing lapangan kami di Ruang Hemodialisa
RSUD Sleman.

Makalah ini kami susun berdasarkan data-data yang telah kami dapatkan
melalui metode observasi, wawancara, pemeriksaan fisik dan studi
dokumen. Selesainya makalah ini tentunya tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak. Dalam penyusunan makalah ini penulis juga memberi kesempatan kepada
pembaca, kiranya berkenan memberi kritikan dan saran yang bersifat membangun
dengan maksud meningkatkan pengetahuan penulis agar lebih baik dalam karya
selanjutnya.
Yogyakarta, 09 Oktober 2017

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Prevalensi gagal ginjal kronik menurut United State Renal Data
System (USRDDS) pada tahun 2009 adalah sekitar 10-13 % didunia. Dalam
Kartika (2013), berdasakan survei dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(PERNEFRI) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan
prevalensi penyakit gagal ginjal kronik yang cukup tinggi, yaitu sekitar 30,7
juta penduduk. Menurut data PT Askes, ada sekitar 14,3 juta orang penderita
gagal ginjal tahap akhir saat ini menjalani pengobatan yaitu dengan prevalensi
433 perjumlah penduduk, Jumlah ini akan meningkat hingga melebihi 200
juta pada tahun 2025 ( Febrian, 2009 ).

Data yang didapatkan di RSUD Tugurejo Semarang, pada arsip


Rekam Medik bulan Januari 2012- Februari 2013 menunjukkan bahwa
sebanyak 100.368 pasien yang menjalani rawat jalan diataranya adalah pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa yaitu sebanyak 4901 pasien
( Rekam Medik, 2012).
Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana ginjal tidak mampu
mengangkut sampah metabolic tubuh atau melakukan fungsi regulernya.
Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh
akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin
dan metabolic, cairan, elektrolit, serta asam basa. Gagal ginjal merupakan
penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai
penyakit traktus urinarius dan ginjal ( Yusuf Fikri, 2012 ).

Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah destruksi
struktur ginjal yang progresif dan terus- menerus. Fungsi ginjal yang tidak
dapat pulih dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan
metabolic, dan cairan elektrolit mengalami kegagalan, yang menyebabkan
uremia ( Elizabeth, 2009 ).

Menurut kresnawan (2005), Terapi pengganti yang paling banyak


dilakukan di Indonesia adalah Hemodialisa. Prosedur Hemodialisa dapat
menyebabkan kehilangan zat gizi, seperti protein, sehingga asupan harian
protein seharusnya juga ditingkatkan sebagai kompensasi kehilangan protein,
yaitu 1,2 g/kg BB ideal/ hari. Lima puluh persen protein hendaknya bernilai
biologi tinggi Protein seringkali dibatasi sampai 0,6/ kg/ hari bila GFR turun
sampai dibawah 50 ml/ menit untuk memperlambat progresi menuju gagal
ginjal Rubenstein, (2005).

Pembatasan protein dilakukan karena terjadinya disfungsi ginjal


dengan salah satu cirinya adalah terjadinya uremia. Pada keadaan normal
ginjal akan mengeluarkan produk sisa metabolisme protein (ureum) yang
berlebihan didalam tubuh dalam bentuk urin namun sebaliknya apabila terjadi
kerusakan pada ginjal maka akan terjadi penumpukan ureum didalam darah
sehingga ginjal tidak mampu mengeluarkannya dan menjadikannya semakin
tinggi (Bastiansyah,2008).

Penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa juga


dapat mengalami anemia. Anemia muncul ketika kreatinin turun kirakira 40
ml/ mnt. Anemia akan menjadi lebih berat lagi apabila fungsi ginjal
memburuk. pada umumnya anemia pada penderita gagal ginjal kronik
disebabkan oleh berkurangnya hemoglobin dalam darah akibat pengambilan
darah untuk pemeriksaan laboratorium atau darah yang terperangkap atau
tertinggal di alat Hemodialisa sehingga produksi eritroprotein juga berkurang
selain itu, asupan pasien yang kurang juga dapat menyebabkan anemia
menjadi lebih buruk ( Lewis, 2005 ).

Diet tinggi protein dapat menimbulkan keseimbangan nitrogen positif


atau netral, namun kadang-kadang diet tinggi protein dengan nilai biologi
rendah menimbulkan keseimbangan nitrogen negatif. Berdasarkan hasil
penelitian William, et al., (2004), terdapat hubungan antara asupan energi dan
protein yang rendah dengan menurunnya serum kreatinin, albumin, dan berat
badan pada sekelompok pasien HD

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan laporan ini adalah : mahasiswa/i diharapkan
mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien “Gagal Ginjal Kronik
on Hemodialisa” yang dirawat di Unit Hemodialisa RSUD Sleman.
2. Tujuan Khusus
a. Setelah Praktek mahasiswa/i mampu melakukan
1) Pengkajian pada Tn. S dengan Gagal Ginjal Kronik
2) Menegakkan diagnosa keperawatan pada Tn. S dengan Gagal Ginjal Kronik
3) Perencanaan keperawatan pada pasien Tn. S dengan Gagal Ginjal Kronik
4) Implementasi dan evaluasi keperawatan pada Tn. S dengan Gagal Ginjal
Kronik
b. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang asuhan keperawatan
pada pasien Gagal Ginjal Kronik
c. Sebagai salah satu metode pembelajaran untuk mata kuliah Keperawatan
Ginjal Intensif II

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

I. GAGAL GINJAL KRONIS

A. PENGERTIAN

Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan


penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan
cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min.
(Suyono, et al, 2001)
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif
dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia.
(Smeltzer & Bare, 2001)
Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron)
yang berlangsung pelahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan
menetap yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksik
uremik)sehingga ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan
menimbulkan gejala sakit ( Hudak & Gallo, 1996 ).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448).

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari
3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal
kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60
ml/menit/1,73m², sebagai berikut:

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

a. Kelainan patologik

b. Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada


pemeriksaan pencitraan

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan


dengan atau tanpa kerusakan ginjal

(Sumber: Chonchol, 2005)

B. KLASIFIKASI

Pada tahun 2002, KDOQI menerbitkan klasifikasi tahapan penyakit


gagal ginjal kronis, sebagai berikut:
1. Tahap 1: Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (> 90
mL/min/1.73 m2)
2. Tahap 2: penurunan ringan pada GFR (60-89 mL/min/1.73 m2)
3. Tahap 3: penurunan moderat pada GFR (30-59 mL/min/1.73 m2)
4. Tahap 4: penurunan berat pada GFR (15-29 mL/min/1.73 m2)
5. Tahap 5: Gagal ginjal (GFR <15 mL/min/1.73 m2 atau dialisis)

Stadium 1

Seseorang yang berada pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK)


biasanya belum merasakan gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan
pada ginjalnya. Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal
meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi 100 persen, sehingga banyak
penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium 1.
Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri
untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.

Stadium 2

Sama seperti pada stadium awal, tanda – tanda seseorang berada pada
stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap
dapat berfungsi dengan baik. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat
penderita memeriksakan diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan
hipertensi.

Stadium 3

Seseorang yang menderita GGK stadium 3 mengalami penurunan GFR


moderat yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. dengan penurunan pada tingkat ini
akumulasi sisa – sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut
uremia. Pada stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi
(hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang. Gejala- gejala juga terkadang
mulai dirasakan seperti :
a. Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.

b. Kelebihan cairan : Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat


ginjal tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam
tubuh. Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar
kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat
mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam
tubuh.

c. Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur
dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan
terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah
malam.

d. Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada
dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal
seperti polikistik dan infeksi.

e. Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur


disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.

f. Penderita GGK stadium 3 disarankan untuk memeriksakan diri ke


seorang ahli ginjal hipertensi (nephrolog). Dokter akan memberikan
rekomendasi terbaik serta terapi – terapi yang bertujuan untuk
memperlambat laju penurunan fungsi ginjal. Selain itu sangat disarankan
juga untuk meminta bantuan ahli gizi untuk mendapatkan perencanaan
diet yang tepat. Penderita GGK pada stadium ini biasanya akan diminta
untuk menjaga kecukupan protein namun tetap mewaspadai kadar fosfor
yang ada dalam makanan tersebut, karena menjaga kadar fosfor dalam
darah tetap rendah penting bagi kelangsungan fungsi ginjal. Selain itu
penderita juga harus membatasi asupan kalsium apabila kandungan dalam
darah terlalu tinggi. Tidak ada pembatasan kalium kecuali didapati kadar
dalam darah diatas normal. Membatasi karbohidrat biasanya juga
dianjurkan bagi penderita yang juga mempunyai diabetes. Mengontrol
minuman diperlukan selain pembatasan sodium untuk penderita
hipertensi.

Stadium 4

Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15 – 30 persen saja dan
apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu
dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau melakukan
transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau
uremia biasanya muncul pada stadium ini. Selain itu besar kemungkinan
muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia, penyakit
tulang, masalah pada jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya.

Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah :

a. Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.

b. Kelebihan cairan : Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat


ginjal tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam
tubuh. Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar
kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat
mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam
tubuh.

c. Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur
dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan
terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah
malam.
d. Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada
dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal
seperti polikistik dan infeksi.

e. Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur


disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.

f. Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.

g. Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang


dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.

h. Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi
melalui bau pernafasan yang tidak enak.

i. Sulit berkonsentrasi

Stadium 5 (gagal ginjal terminal)

Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja
secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis)
atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.

Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :

a. Kehilangan napsu makan

b. Nausea.

c. Sakit kepala.

d. Merasa lelah.

e. Tidak mampu berkonsentrasi.

f. Gatal – gatal.

g. Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.

h. Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.


i. Keram otot

j. Perubahan warna kulit

C. ETIOLOGI

Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh


Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan
etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus
(23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).

a. Glomerulonefritis

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal


yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan
gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998).
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya
berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila
kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes
melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).

Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan


ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan
ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi
pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).

b. Diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo


(2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena


penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan
berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus
dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan
adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air
kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut
dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang
tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji,
1996).

Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah


pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan
direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan
dengan efek insulin (eksogen pada IDDM dan endogen pada NIDDM)
yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan menyebabkan volume
ekstrasel meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada diabetes, arteriole eferen,
lebih sensitive terhadap pengaruh angiotensin II dibanding arteriole
aferen,dan mungkin inilah yang dapat menerangkan mengapa pada
diabetes yang tidak terkendali tekanan intraglomeruler naik dan ada
hiperfiltrasi glomerus.

Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes militus tipe I (IDDM)


dapat dibedakan dalam 5 tahap:

1) Stadium I (Hyperfiltration-Hypertropy Stage)

Secara klinik pada tahap ini akan dijumpai: Hiperfiltrasi:


meningkatnya laju filtrasi glomerules mencapai 20- 50% diatas niali
normal menurut usia. Hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melaui foto
sinar x. Glukosuria disertai poliuria. Mikroalbuminuria lebih dari 20
dan kurang dari 200 ug/min.
2) Stadium II (Silent Stage)

Ditandai dengan: Mikroalbuminuria normal atau mendekati


normal (<20ug/min) Sebagian penderita menunjukkan penurunan laju
filtrasi glomerulus ke normal. Awal kerusakan strukturr ginjal.

3) Stadium III (Incipient Nephropathy Stage)

Stadium ini ditandai dengan: Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang


menetap yang selanjutnya mulai menurun Mikroalbuminuria 20
sampai 200ug/min yang setara dengan eksresi protein 30-300mg/24j.
Awal Hipertensi.

4) Stadium IV (Overt Nephroathy Stage)

Stadium ini ditandai dengan: Proteinuria menetap(>0,5gr/24j).


Hipertensi Penurunan laju filtrasi glomerulus.

5) Stadium V (End Stage Renal Failure)

Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan
dijumpai fibrosis ginjal.Rata-rata dibutuhkan waktu15-17 tahun untuk
sampai pada stadium IV dan5-7tahun kemudian akan sampai
stadiumV.

Salah satu penyebab gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus,


suatu kondisi yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah,
seiring waktu tingginya kadar gula dalam darah aka merusak jutaan
unit penyaringan kecil dalam setiap ginjal.Pada DM yang tidak
terkontrol akan terjadi komplikasi, komplikasi yang terjadi adalah
nefropati diabetikum. Nefropati diabetikum sendiri terjadi akibat
terdapat gangguan pada fungsi ginjal akibat terdapatnya kebocoran
yang memungkinkan protein lolos dan bercampur dengan air seni.
Kondisi ini menyebabkan fungsi penyaringan, pembuangan, dan
hormonal ginjal terganggu. Pada DM juga bisa terjadi penyumbatan
pada pembuluh darah halus (glomerulus) ginjal akibat kadar glukosa
darah yang tinggi sedangkan kepekaan sel terhadap insulin menurun,
hal ini menyebabkan secara otomatis tubuh akan langsung membuang
kelebihan glukosa dalam darah melalui urine. Kemudian ginjal harus
menyaring glukosa dalam darah untuk selanjutnya dibuang
bersamaan dengan urine tersebut. Ketika pembuluh darah halus
mengalami penyumbatan maka fungsi ginjal dapat terhambat
mengingat fungsi pembuluh darah tersebut adalah menyaring zat-zat
racun dari dalam tubuh.

Telah diperkirakan bahwa 30-40% pasien DM tipe 1 akan


berkembang menjadi gagal ginjal kronik dalam waktu 15-25 tahun
setelah awitan diabetes. Sedangkan untuk DM tipe 2 akan lebih
sedikit insidennya. DM menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam
berbagai bentuk dan dapat dibagi menjadi 5 stadium, yaitu :

1) STADIUM 1

Terjadi apabila kadar gula tidak terkontrol, maka glukosa akan


dikeluarkan lewat ginjal secara berlebihan. Keadaan ini membuat
ginjal hipertrofi dan hiperfiltrasi. Pasien akan mengalami poliuria.
Perubahan ini diyakini dapat menyebabkan glomerulusklerosis fokal,
yang terdiri dari penebalan difus matriks masangeal dengan bahan
eosinofilik disertai penebalan membrane basalis kapiler. Bila
penebalan semakin meningkat GFR juga akan semakin meningkat,
maka anak masuk pada stadium 2.

2) STADIUM 2

Ekskresi albumin relative normal (<30mg/24 jam) pada beberapa


penderita mungkin masih terdpat hiperfiltrasi yang mempunyai resiko
lebih tinggi dalam berkembang menjadi nefropati diabetic.

3) STADIUM 3
Pada stadium 3 glomerulus dan tubulus sudah mengalami
beberapa kerusakan. Tanda khas stadium ini adalah mikroalbuminuria
yang menetap dan terjadi hipertensi. Pada stadium 3 terdapat
mikroalbuminuria (30-300mg/24 jam).

4) STADIUM 4

Stadium 4 diatandai dengan proteinuria dan penurunan GFR.


Retinopati dan hipertensi hamper selalu ditemui. Stdium 4 difstick
positif proteinuria, ekskresi albumin >300mg/24 jam.

5) STADIUM 5

Stadium 5 adalah stadium akhir ditandai dengan peningkatan


BUN dan Creatinin plasma yang disebabkan oleh penurunan GFR
yang cepat. Dialisa biasanya dimulai ketika GFRnya sudah turun
sampai 15ml/mnt.

Mekanisme gagal ginjal kronik akibat DM ada 3 yaitu :

1) Penderita DM memiliki sistem imun yang rendah sehingga


mudah terjadi infeksi pada ginjal.

2) Pada DM terjadi peningkatan VLDL dan kecenderungan


pembekuan darah sehingga akan mendorong terbentuknya
makroangiopati yang akan merusak ginjal.

3) Peningkatan asam amino akibat proteolisis yang akan meningkat


akan menyebebkan hiperfiltrasi pada ginjal sehingga
menyebabkan glomerulosklerosis (Silberngl, 2006).

Mekanisme diabetes dalam merusak ginjal diawali dengan tingginya


kadar gula darah dalam tubuh sehingga bereaksi dengan protein yang
pada akhirnya mengubah struktur dan fungsi sel, termasuk membrane
basal glomerulus. Akibatnya, penghalang protein rusak dan terjadi
kebocoran protein ke urine (albuminuria).

Gejala nefropati diabetikbaru terasa jika kerusakan ginjal sudah parah


yakni ditandai dengan bengkak pada kaki dan wajah, mual, muntah, lesu,
sakit kepala, gatal, sering cegukan dan mengalami penurunan berat badan.
Walaupun gejala komplikasi yang timbul seringkali tidak khas terdapat
cara untuk melakukan deteksi dini yaitu dengan cara memeriksa urine.

c. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan


darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi
(Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi
dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak
diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau
disebut juga hipertensi renal.

d. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan
atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada
keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal,
baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik,
kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal
polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan.
Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik
dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan
autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik
dewasa.

Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50
tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi,
dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).

D. PATOFISIOLOGI

Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat
dari penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang
normalnya diekresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi
uremia yang mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah, maka setiap gejala semakin meningkat, sehingga menyebabkan
gangguan kliren renal. Banyak masalah pada ginjal sebagai akibat dari
penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi, sehingga menyebabkan
penurunan klirens subtsansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya
filtrasi glomelurus atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin.
Sehingga kadar kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen
urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator
paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan
oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal tahap akhir,
tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti
steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi
cairan dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan
ginjal tidak mampu untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara
normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap
perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Natrium dan
cairan sering tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko terjadinya
oedema, gagal jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi
akibat aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan
sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan
garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan
diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk
status uremik.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat
ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresi amonia (NH3) dan
mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan asam
organik lain juga terjadi.
Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin
menurun dan anemia terjadi disertai sesak napas, angina dan keletihan.
Eritropoetin yang tidak adekuat dapat memendekkan usia sel darah merah,
defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan karena
status pasien, terutama dari saluran gastrointestinal sehingga terjadi anemia
berat atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi normal yang diproduksi
oleh ginjal untuk menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah
merah.
Abnormalitas utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare
(2001) adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki
hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat yang lain
menurun. Penurunan LFG menyebabkan peningkatan kadar fosfat serum dan
sebaliknya penurunan kadar serum menyebabkan penurunan sekresi
parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak berespon
secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon, dan akibatnya
kalsium di tulang menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan
menyebabkan penyakit tulang, selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25
dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat didalam ginjal menurun,
seiring dengan berkembangnya CKD terjadi penyakit tulang uremik dan
sering disebut Osteodistrofienal. Osteodistrofienal terjadi dari perubahan
komplek kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan
fungsi ginjal juga berkaitan dengan gangguan yang mendasari ekresi protein
dan urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang mengekresikan secara signifikan
sejumlah protein atau mengalami peningkatan tekanan darah cenderung akan
cepat memburuk dari pada mereka yang tidak mengalimi kondisi ini.

Pathway
E. MANIFESTASI KLINIK
1. Kardiovaskuler
a) Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
b) Pitting edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital
c) Friction rub pericardial, pembesaran vena leher
2. Dermatologi
a) Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering bersisik
b) Pruritus, ekimosis
c) Kuku tipis dan rapuh
d) Rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner
a) Krekels, Sputum kental dan liat
b) Pernafasan kusmaul
4. Gastrointestinal
a) Anoreksia, mual, muntah, cegukan
b) Nafas berbau ammonia
c) Ulserasi dan perdarahan mulut
d) Konstipasi dan diare
e) Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
a) Tidak mampu konsentrasi
b) Kelemahan dan keletihan
c) Konfusi/ perubahan tingkat kesadaran
d) Disorientasi
e) Kejang, Rasa panas pada telapak kaki
f) Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
a) Kram otot, kekuatan otot hilang
b) Kelemahan pada tungkai
c) Fraktur tulang, foot drop
7. Reproduktif : amenore, atrofi testekuler
(Smeltzer& Bare, 2001)
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Urine

a. Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine
tak keluar (anuria)

b. Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus


bakteri, lemak, partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor,
kecoklatan menunjukan adanya darah, HB, mioglobin.

c. Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan


kerusakan ginjal berat).

d. Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan


tubular, dan rasio urine/serum sering 1:1

e. Klirens keratin : Mungkin agak menurun

f. Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu


mereabsorbsi natrium.

g. Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan


kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.

2. Darah

a. BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi


kadar kreatinin 16 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu
5)

b. Hitung darah lengkap : Ht : Menurun pada adanya anemia


Hb:biasanya kurang ari 78 g/dL

c. SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada


azotemia.
d. GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi
karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen
dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun,
PCO2 menurun .

e. Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium”


atas normal (menunjukan status dilusi hipernatremia).

f. Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan


perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap
akhir, perubahan

g. EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.

h. Magnesium/Fosfat : Meningkat

i. Kalsium : Menurun

j. Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat


menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan,
penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam
amino esensial.

k. Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama


dengan urine.

3. Piolegram Intravena

a. Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan


ureter.

b. Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi


ekstravaskular massa.

4. Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks


ke dalam ureter, terensi.
5. Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.

6. Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan


sel jaringan untuk diagnosis histoligis.

7. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis


ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.

EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan


asam/basa.

Foto Kaki, Tengkorak, Kolmna Spiral dan Tangan : Dapat menunjukan


demineralisasi.

H. PENATALAKSANAAN

1. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal


ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi
toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan
memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).

a. Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah


atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

b. Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus


adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan
positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

d. Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual


tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease).

2. Terapi simtomatik

a. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum


kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis
metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium
bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum
bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

b. Anemia

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah


satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak.

c. Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang


sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal
yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus.
Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat
dan obat-obatan simtomatik.

d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan
kulit.

e. Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi


hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi
subtotal paratiroidektomi.

f. Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi.

g. Kelainan sistem kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular


yang diderita.

h. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik


stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut
dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal
(Suwitra, 2006).

1) Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk


mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi
dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum
tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi
tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan
cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN)> 120 mg%
dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan
8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat
(Sukandar, 2006).

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan


sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit
rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang
kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang
diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai
sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal
(Rahardjo, 2006).

a) Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous


Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal
di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD,
yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari
65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit
sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung
akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien
dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati
diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality.
Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri,
tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri
(mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2006).

b) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal
(anatomi dan faal). Pertimbangan program
transplantasi ginjal, yaitu:

- Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil


alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis
hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.

- Kualitas hidup normal kembali

- Masa hidup (survival rate) lebih lama

- Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama


berhubungan dengan obat imunosupresif untuk
mencegah reaksi penolakan

- Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

I. KOMPLIKASI

Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :

1. Hiperkalemia

2. Perikarditis

3. Hipertensi

4. Anemia

5. Penyakit tulang

(Smeltzer & Bare, 2001)

J. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan
mengacu pada Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :

a. Demografi.

Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada


juga yang mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan
oleh berbagai hal seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan
dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan
lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian
CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama
dan lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum /
mengandung banyak senyawa / zat logam dan pola makan yang tidak
sehat.

b. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti


DM,glomerulonefri tis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme,
obstruksi saluran kemih, dan traktus urinarius bagian bawah juga dapat
memicu kemungkinan terjadinya CKD.

c. Pengkajian pola fungsional Gordon

1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien

Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini


sedang sakit parah. Pasien juga mengungkapkan telah menghindari
larangan dari dokter. Tandanya adalah pasien terlihat lesu dan
khawatir, pasien terlihat bingung kenapa kondisinya seprti ini meski
segala hal yang telah dilarang telah dihindari.

2) Pola nutrisi dan metabolik.

Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB


dalam kurun waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual,
muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
3) Pola eliminasi

Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan


input. Tandanya adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi,
terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak singkronnya
antara tekanan darah dan suhu.

4) Aktifitas dan latian.

Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah,


serta pasien tidak dapat menolong diri sendiri. Tandanya adalah
aktifitas dibantu.

5) Pola istirahat dan tidur.

Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat


kantung mata. Tandanya adalah pasien terliat sering menguap.

6) Pola persepsi dan kognitif.

Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah


penurunan kesadaran seperti ngomong nglantur dan tidak dapat
berkomunikasi dengan jelas.

7) Pola hubungan dengan orang lain.

Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga


diri sampai terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih
menyendiri, tertutup, komunikasi tidak jelas.

8) Pola reproduksi

Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya


penurunan kepuasan dalam hubungan. Tandanya terjadi penurunan
libido, keletihan saat berhubungan, penurunan kualitas hubungan.

9) Pola persepsi diri.


Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki
menjadi edema, citra diri jauh dari keinginan, terjadinya perubahan
fisik, perubahan peran, dan percaya diri.

10) Pola mekanisme koping.

Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil


keputusan dengan tepat, mudah terpancing emosi.

11) Pola kepercayaan

Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa


bersalah meninggalkan perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat
melakukan kegiatan agama seperti biasanya.

d. Pengkajian fisik

1) Penampilan / keadaan umum

Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri.


Kesadaran pasien dari compos mentis sampai coma.

2) Tanda-tanda vital.

TD naik, respirasi naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan


reguler.

3) Antropometri.

Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan


nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.

4) Kepala

Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat


kotoran telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau
ureum, bibir kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah
kotor.
5) Leher dan tenggorok : peningkatan kelenjar tiroid, terdapat
pembesaran tiroid pada leher.

6) Dada

Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar.


Terdapat otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar
suara tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran
jantung, terdapat suara tambahan pada jantung.

7) Abdomen : terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik,


turgor jelek, perut buncit.

8) Genital : kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini,


impotensi, terdapat ulkus.

9) Ekstremitas.

Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema,


pengeroposan tulang, dan Capillary Refil lebih dari 1 detik.

10) Kulit : turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik
dan mengkilat / uremia, dan terjadi perikarditis.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:

a. Intoleransi aktivitas b.d keletihan/kelemahan, anemia, retensi


produk sampah dan prosedur dialysis.

b. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluan urin, retensi


cairan dan natrium.

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d


intake makanan yang inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).

d. Ketidak efektifan pola nafas b/d hiperventilasi


e. Risiko infeksi b.d penurunan daya tahan tubuh primer, tindakan
invasive

f. Gangguan perfusi jaringan b/d suplai O2 jaringan menurun

g. Penurunan Curah Jantung b/d penurunan COP

h. Kerusakan integritas kulit b/d peningkatan ureum

i. Nyeri akut b/d insisi pada lengan

j. Resiko perdarahan

k. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d akumulasi secret pada


tindakan anestesi (transplantasi ginjal)

l. Kerusakan integritas jaringan b/d tindakan hecting

3. Intervensi Keperawatan

N Diagnosa Tujuan/KH Intervensi


o

1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan Manajemen jalan nafas


bersihan jalan nafas askep ... jam risiko infeksi 1. Berikan O2 ……l/m
terkontrol dg KH:
2. Posisikan klien untuk
 Menunjukkan jalan nafas memaksimalkan
yang paten ventilasi
3. Auskultasi suara
nafas, catat adanya
suara tambahan
4. Monitor status
hemodinamik
5. Monitor respirasi dan
dan statu O2

2 Pola nafas tidak Setelah dilakukan askep ..... Monitor Pernafasan:


efektif b.d jam pola nafas klien
1. Monitor irama,
hiperventilasi, menunjukkan ventilasi yg
kedalaman dan
penurunan energi, adekuat dg kriteria :
frekuensi pernafasan.
kelemahan  Tidak ada dispnea 2. Perhatikan
 Kedalaman nafas pergerakan dada.
normal 3. Auskultasi bunyi
 Tidak ada retraksi nafas
dada / penggunaan otot 4. Monitor peningkatan
bantuan pernafasan ketidakmampuan
istirahat, kecemasan
dan sesak nafas.

Pengelolaan Jalan
Nafas
5. Atur posisi tidur klien
untuk maximalkan
ventilasi
6. Lakukan fisioterapi
dada jika perlu
7. Monitor status
pernafasan dan
oksigenasi sesuai
kebutuhan
8. Auskultasi bunyi
nafas
9. Bersihhkan skret jika
ada dengan batuk
efektif / suction jika
perlu.
3 Kelebihan volume Setelah dilakukan askep ..... Fluit manajemen:
cairan b.d. jam pasien mengalami
1. Monitor status hidrasi
mekanisme keseimbangan cairan dan
(kelembaban membran
pengaturan elektrolit.
mukosa, nadi adekuat)
melemah
Kriteria hasil: 2. Monitor tnada vital
 Bebas dari edema 3. Monitor adanya
anasarka, efusi indikasi
overload/retraksi
 Suara paru bersih
4. Kaji daerah edema
 Tanda vital dalam
jika ada
batas normal
Fluit monitoring:
5. Monitor intake/output
cairan
6. Monitor serum
albumin dan protein
total
7. Monitor RR, HR
8. Monitor turgor kulit
dan adanya kehausan
9. Monitor warna,
kualitas dan BJ urine
4 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
nutrisi kurang dari askep …..jam klien
1. kaji pola makan klien
kebutuhan tubuh menunjukan status nutrisi
adekuat dibuktikan dengan 2. Kaji adanya alergi
kriteria hasil makanan.
3. Kaji makanan yang
 BB stabil disukai oleh klien.
 Tidak terjadi 4. Kolaborasi dg ahli gizi
malnutrisi, untuk penyediaan
 Tingkat energi nutrisi terpilih sesuai
adekuat dengan kebutuhan
 Masukan nutrisi klien.
adekuat 5. Anjurkan klien untuk
meningkatkan asupan
nutrisinya.
6. Yakinkan diet yang
dikonsumsi
mengandung cukup
serat untuk mencegah
konstipasi.
7. Berikan informasi
tentang kebutuhan
nutrisi dan pentingnya
bagi tubuh klien

Monitor Nutrisi
8. Monitor BB setiap hari
jika memungkinkan.
9. Monitor respon klien
terhadap situasi yang
mengharuskan klien
makan.
10. Monitor lingkungan
selama makan.
11. Jadwalkan
pengobatan dan
tindakan tidak
bersamaan dengan
waktu klien makan.
12. Monitor adanya mual
muntah.
13. Monitor adanya
gangguan dalam
proses mastikasi/input
makanan misalnya
perdarahan, bengkak
dsb.
14. Monitor intake nutrisi
dan kalori
6 Resiko infeksi b/d Setelah dilakukan askep ... Kontrol infeksi
tindakan invasive, jam risiko infeksi terkontrol
1. Ajarkan tehnik
penurunan daya dg KH:
mencuci tangan
tahan tubuh primer
 Bebas dari 2. Ajarkan tanda-tanda
tanda-tanda infeksi infeksi
 Angka leukosit normal 3. laporkan dokter
 Pasien mengatakan segera bila ada tanda
tahu tentang tanda-tanda infeksi
dan gejala infeksi 4. Batasi pengunjung
5. Cuci tangan sebelum
dan sesudah merawat
ps
6. Tingkatkan masukan
gizi yang cukup
7. Anjurkan istirahat
cukup
8. Pastikan penanganan
aseptic daerah IV
9. Berikan PEN-KES
tentang risk infeksi
Proteksi infeksi:
10. Monitor tanda dan
gejala infeksi
11. Pantau hasil
laboratorium
12. Amati faktor-faktor
yang bisa
meningkatkan infeksi
13. Monitor Vital Sign
Intoleransi aktivitas b.d Setelah dilakukan askep ... NIC: Toleransi
ketidakseimbangan jam Klien dapat aktivitas
suplai & kebutuhan O2 menoleransi aktivitas &
1. Tentukan
melakukan ADL dgn baik
penyebab
Kriteria Hasil: intoleransi
aktivitas &
 Berpartisipasi dalam
tentukan apakah
aktivitas fisik dgn TD, penyebab dari
HR, RR yang sesuai fisik,
 Warna kulit psikis/motivasi
normal,hangat&kering 2. Kaji kesesuaian
 Memverbalisasikan aktivitas&istirahat
pentingnya aktivitas klien sehari-hari
secara bertahap 3. Peningkatan
 Mengekspresikan aktivitas secara
pengertian pentingnya bertahap, biarkan
keseimbangan latihan & klien
istirahat berpartisipasi
 Peningkatan toleransi dapat perubahan
aktivitas posisi,
berpindah&peraw
atan diri
4. Pastikan klien
mengubah posisi
secara bertahap.
Monitor gejala
intoleransi
aktivitas
5. Ketika
membantu klien
berdiri, observasi
gejala intoleransi
spt mual, pucat,
pusing, gangguan
kesadaran&tanda
vital
6. Lakukan latihan
ROM jika klien
tidak dapat
menoleransi
aktivitas
Nyeri Akut Setelah dilakukan askep ... Pain Managemen
jam Klien dapat 1. Lakukan
menoleransi aktivitas & pengkajian secara
melakukan ADL dgn baik komperhensive
Kriteria Hasil: 2. Pobservasi reaksi
 Mampu mengontrol non verbal dari
nyeri ketidaknyamanan
 Melaporkan bahwa 3. Kurangi factor
nyeri berkurang prsipitasi nyeri
 Mampu mengenali 4. Kaji tipe dan
nyeri sumber nyeri untuk
 Menyatukan rasa melakukan
nyaman setelah nyeri intervensi
berkurang
5. Tingkatkan
 TTV dalam rentang istirahat
normal
6. Monitor TTV
 Tidak mengalami
gangguan tidur

Resiko Perdarahan Setelah dilakukan askep ... Bleeding reduction


jam Klien dapat 1. Mengkaji
menoleransi aktivitas & kehilangan darah
melakukan ADL dgn baik
2. Melakukan
Kriteria Hasil: tindakan
1. Tidak terjadi perdarahan penghentian
perdarahan
3. Menghitung
jumlah kassa yang
telah digunakan
4. Monitor TTV
Kerusakan integritas Setelah dilakukan askep ... Wound Care
jaringan jam Klien dapat 1. Monitor kulit
menoleransi aktivitas & adanya kemerahan
melakukan ADL dgn baik
2. Observasi luka :
Kriteria Hasil:
a. Lokasi
Tissue integrity skin and
mucous membrane b. Dimensi
c. Warna
d. Karakteristik
e. Tanda-tanda
infeksi local
3. Mempertahankan
teknik aseptic
salama tindakan
4. Memberikan
dressing yang
sesuai dengan luka
5. Monitor TTV
6. Kolaborasi diet
untuk klien

II. HEMODIALISA

A. PENGERTIAN
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan
cairan dan produk limbah dari dalam tubuh. Suatu proses pembuatan zat
terlarut dan cairan dari darah melewati membrane semi permeable. Ini
berdasarkan pada prinsip difusi; osmosis dan ultra filtrasi.

Pada Hemodialisis, darah adalah salah satu kompartemen dan dialisat


adalah bagian yang lain. Membran semipermeabel adalah lembar tipis,
berpori-pori terbuat dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori-pori
membran memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti
urea, kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan
bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma,
bakteri, dan sel-sel darah terlalu besar untuk melewati pori-pori membran.
Perbedaan konsentrasi zat pada dua kompartemen disebut gradien
konsentrasi.

B. FUNGSI

1. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan


asam urat.

2. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding


antara darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif
dalam arus darah dan tekanan negatif (penghisap) dalam
kompartemen dialisat (proses ultrafiltrasi).

3. Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.

4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

Ada 2 metode dialisa, yaitu hemodialisa dan dialisa peritoneal.


Pada hemodialisa, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan
dipompa ke dalam mesin yang akan menyaring zat-zat racun keluar
dari darah dan kemudian darah yang sudah bersih dikembalikan lagi
ke dalam tubuh penderita. Jumlah total cairan yang dikembalikan
dapat disesuaikan.

Pada dialisa peritoneal, cairan yang mengandung campuran gula


dan garam khusus dimasukkan ke dalam rongga perut dan akan
menyerap zat-zat racun dari jaringan. Cairan tersebut kemudian
dikeluarkan lagi dan dibuang.

C. INDIKASI

1. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA


untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih.

2. Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila


terdapat indikasi:

a. Hiperkalemia

b. Asidosis

c. Kegagalan terapi konservatif

d. Kadar ureum / kreatinin tinggi dalam darah

e. Kelebihan cairan

f. Mual dan muntah hebat

D. PRINSIP HEMODIALISA

1. Akses Vaskuler :

Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien.


Kronik biasanya memiliki akses permanent seperti fistula atau graf
sementara. Akut memiliki akses temporer seperti vascoth.

2. Membran semi permeable


Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk
mengadakan kontak diantara darah dan dialisat sehingga dialysis
dapat terjadi.

3. Difusi

Dalam dialisat yang konvensional, prinsip mayor yang


menyebabkan pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi.
Berpindah dari area yang konsentrasi tinggi ke area dengan
konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi tercipta antara darah dan
dialisat yang menyebabkan pemindahan zat pelarut yang diinginkan.
Mencegah kehilangan zat yang dibutuhkan.

4. Konveksi

Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang


dipindahkan akan mengambil bersama dengan zat terlarut yang
tercampur dalam cairan tersebut.

5. Ultrafiltrasi

Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai


ultrafiltrasi artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa
bentuk tekanan. Tiga tipe dari tekanan dapat terjadi pada membrane :

a. Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat


cairan dalam membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh
tekanan dialiser dan resisten vena terhadap darah yang mengalir
balik ke fistula tekanan positip “mendorong” cairan
menyeberangi membrane.

b. Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar


membrane oleh pompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan
negative “menarik” cairan keluar darah.
c. Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam
larutan yang berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam
larutan tersebut. Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi
akan menarik cairan dari larutan lain dengan konsentrasi yang
rendah yang menyebabkan membrane permeable terhadap air.

E. PERALATAN

1. Dialiser atau Ginjal Buatan

Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan


kompartemen darah dan dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran,
struktur fisik dan tipe membran yang digunakan untuk membentuk
kompartemen darah. Semua factor ini menentukan potensi efisiensi
dialiser, yang mengacu pada kemampuannya untuk membuang air
(ultrafiltrasi) dan produk-produk sisa (klirens).

2. Dialisat atau Cairan dialysis

Dialisat atau “bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan
elektrolit utama dari serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system
bersih dengan air keran dan bahan kimia disaring. Bukan merupakan
system yang steril, karena bakteri terlalu besar untuk melewati
membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien minimal.
Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi
pirogenik, khususnya pada membran permeable yang besar, air untuk
dialisat harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya
disediakan oleh pabrik komersial. Bath standar umumnya digunakan
pada unit kronis, namun dapat dibuat variasinya untuk memenuhi
kebutuhan pasien tertentu.

3. Sistem Pemberian Dialisat

Unit pemberian tunggal memberikan dialisat untuk satu pasien:


system pemberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk 20 unit
pasien. Pada kedua system, suatu alat pembagian proporsi otomatis
dan alat pengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol
rasio konsentrat-air.

4. Asesori Peralatan

Piranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis


meliputi pompa darah, pompa infus untuk pemberian heparin, alat
monitor untuk pendeteksi suhu tubuh bila terjadi ketidakamanan,
konsentrasi dialisat, perubahan tekanan, udaara, dan kebocoran darah.

5. Komponen manusia

6. Pengkajian dan penatalaksanaan

F. PROSEDUR HEMODIALISA

Setelah pengkajian pradialisis, mengembangkan tujuan dan


memeriksa keamanan peralatan, perawat sudah siap untuk memulai
hemodialisis. Akses ke system sirkulasi dicapai melalui salah satu dari
beberapa pilihan: fistula atau tandur arteriovenosa (AV) atau kateter
hemodialisis dua lumen. Dua jarum berlubang besar (diameter 15 atau 16)
dibutuhkan untuk mengkanulasi fistula atau tandur AV. Kateter dua
lumen yang dipasang baik pada vena subklavikula, jugularis interna, atau
femoralis, harus dibuka dalam kondisi aseptic sesuai dengan kebijakan
institusi.

Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu


oleh pompa darah. Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser
diperuntukkan sebagai aliran “arterial”, keduanya untuk membedakan
darah yang masuk ke dalamnya sebagai darah yang belum mencapai
dialiser dan dalam acuan untuk meletakkan jarum: jarum “arterial”
diletakkan paling dekat dengan anastomosis AV pada vistula atau tandur
untuk memaksimalkan aliran darah. Kantong cairan normal salin yang di
klep selalu disambungkan ke sirkuit tepat sebelum pompa darah. Pada
kejadian hipotensi, darah yang mengalir dari pasien dapat diklem
sementara cairan normal salin yang diklem dibuka dan memungkinkan
dengan cepat menginfus untuk memperbaiki tekanan darah. Tranfusi
darah dan plasma ekspander juga dapat disambungkan ke sirkuit pada
keadaan ini dan dibiarkan untuk menetes, dibantu dengan pompa darah.
Infus heparin dapat diletakkan baik sebelum atau sesudah pompa darah,
tergantung peralatan yang digunakan.

Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah


mengalir ke dalam kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya
pertukaran cairan dan zat sisa. Darah yang meninggalkan dialiser
melewati detector udara dan foam yang mengklem dan menghentikan
pompa darah bila terdeteksi adanya udara. Pada kondisi seperti ini, setiap
obat-obat yang akan diberikan pada dialysis diberikan melalui port
obat-obatan. Penting untuk diingat, bagaimanapun bahwa kebanyakan
obat-obatan ditunda pemberiannya sampai dialysis selesai kecuali
memang diperintahkan.
Darah yang telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui
“venosa” atau selang postdialiser. Setelah waktu tindakan yang
diresepkan, dialysis diakhiri dengan mengklem darah dari pasien,
membuka selang aliran normal salin, dan membilas sirkuit untuk
mengembalikan darah pasien. Selang dan dialiser dibuang kedalam
perangkat akut, meskipun program dialisis kronik sering membeli
peralatan untuk membersihkan dan menggunakan ulang dialiser.

Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti dengan teliti sepanjang


tindakan dialysis karena pemajanan terhadap darah. Masker pelindung
wajah dan sarung tangan wajib untuk digunakan oleh perawat yang
melakukan hemodialisis.

G. PEDOMAN PENGGUNAAN HEMODIALISA

1. Perawatan sebelum hemodialisa

a. Sambungkan selang air dengan mesin hemodialisa

b. Kran air dibuka

c. Pastikan selang pembuang air dan mesin hemodialisis sudah masuk


kelubang atau saluran pembuangan

d. Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak

e. Hidupkan mesin

f. Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit

g. Matikan mesin hemodialisis

h. Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat

i. Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin


hemodialisis

j. Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap)


2. Menyiapkan sirkulasi darah

a. Bukalah alat-alat dialysis dari set nya

b. Tempatkan dializer pada tempatnya dan posisi “inset” (tanda


merah) diatas dan posisi “outset” (tanda biru) di bawah.

c. Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung “inset”dari


dializer.

d. Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung “out set” dari
dializer dan tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah..

e. Set infus ke botol NaCl 0,9% - 500 cc

f. Hubungkan set infus ke slang arteri

g. Bukalah klem NaCl 0,9%, isi slang arteri sampai ke ujung slang
lalu diklem.

h. Memutarkan letak dializer dengan posisi “inset” di bawah dan


“out set” di atas, tujuannya agar dializer bebas dari udara.

i. Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin

j. Buka klem dari infus set ABL, VBL

k. Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/menit,


kemudian naikkan secara bertahap sampai dengan 200 ml/menit.

l. Isi bable-trap dengan NaCl 0,9% sampai ¾ cairan

m. Berikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengalirkan


udara dari dalam dializer, dilakukan sampai dengan dializer bebas
udara (tekanan lebih dari 200 mmHg).
n. Lakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak
500 cc yang terdapat pada botol (kalf) sisanya ditampung pada gelas
ukur.

o. Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru

p. Sambungkan ujung biru VBL dengan ujung merah ABL dengan


menggunakan konektor.

q. Hidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dializer baru 15-20


menit untuk dializer reuse dengan aliran 200-250 ml/menit.

r. Kembalikan posisi dializer ke posisi semula di mana “inlet” di atas


dan “outlet” di bawah.

s. Hubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10


menit, siap untuk dihubungkan dengan pasien )soaking.

3. Persiapan pasien

a. Menimbang berat badan

b. Mengatur posisi pasien

c. Observasi keadaan umum

d. Observasi tanda-tanda vital

e. Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi,


biasanya mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti
di bawah ini:

1) Dengan interval A-V shunt / fistula simino

2) Dengan external A-V shunt / schungula

3) Tanpa 1 – 2 (vena pulmonalis)


H. INTREPRETASI HASIL

Hasil dari tindakan dialysis harus diintrepretasikan dengan mengkaji


jumlah cairan yang dibuang dan koreksi gangguan elektrolit dan asam
basa. Darah yang diambil segera setelah dialysis dapat menunjukkan
kadar elektrolit, nitrogen urea, dan kreatinin rendah palsu. Proses
penyeimbangan berlangsung terus menerus setelah dialysis, sejalan
perpindahan zat dari dalam sel ke plasma.

I. KOMPLIKASI

1. Ketidakseimbangan cairan

a. Hipervolemia

b. Ultrafiltrasi

c. Rangkaian Ultrafiltrasi (Diafiltrasi)

d. Hipovolemia

e. Hipotensi

f. Hipertensi

g. Sindrom disequilibrium dialysis

2. Ketidakseimbangan Elektrolit

a. Natrium serum

b. Kalium

c. Bikarbonat

d. Kalsium

e. Fosfor

f. Magnesium
3. Infeksi

4. Perdarahan dan Heparinisasi

5. Troubleshooting

a. Masalah-masalah peralatan

b. Aliran dialisat

c. Konsentrat Dialisat

d. Suhu

e. Aliran Darah

f. Kebocoran Darah

g. Emboli Udara

6. Akses ke sirkulasi

a. Fistula Arteriovenosa

b. Ototandur

c. Tandur Sintetik

d. Kateter Vena Sentral Berlumen Ganda


DAFTAR PUSTAKA

Blackwell, Wiley. 2014. Nursing Diagnoses definitions and classification


2015-2017. United Kingdom: Blackwell.
Dochterman, J. M. & Bulecheck, G. N. 2004. Nursing Intervention Classification
(NIC) fourth edition. Missouri: Mosby
Jevuska. 2012. Gagal Ginjal Kronik atau CKD: Pengertian dan klasifikasi,
diakses pada 09 Oktober 2017, (Online),
http://www.jevuska.com/2012/10/27/gagal-ginjal-kronik-atau-ckd/.
Kidney Disease Outcomes Quality Iniatiative of The National Kidney Foundation.
Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification. 2002.
Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M.L. & Swanson, E. 2008. Nursing Outcomes
Classification (NOC) fourth edition. Missouri: Mosby
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati. 2006. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.

Anda mungkin juga menyukai