NIM : 1720525320013
Tugas : Ekonomi Sumber Daya Alam
Dosen : Prof. Dr. Ir. H. Luthfi Fatah, M.S
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Kehutanan, penyelenggaran dan
pemanfaaatn kehutanan ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
Indonesia. Adapun penyelenggaran kehutanan yang berkeadilan dan berkelanjutan
dengan:
1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang
proporsional.
2. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi
lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkugan, sosial,
budaya, dan ekonomi yang seimbang dan lestari.
3. Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai.
4. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan
keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan
lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi
serta ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat
perubahan eksternal.
5. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Menurut data Kementerian Kehutanan tahun 2009, sekitar 25.000 desa berada
di dalam dan di sekitar hutan-hhutan-hutan Indonesia dan dari 48,8 juta orang
yang tinggal di desa-desa tersebut, 10,2 juta di antaranya dikategorikan sebagai
desa “miskin” (CIFOR). Selama empat dasawarsa terakhir, pola eksploitasi hutan
yang paling menonjol adalah melalui pemberian hak pemanfaatan oleh
pemerintah pusat kepada perusahaan swasta atau badan usaha milik negara
sedangkan masyarakat sekitar hutan hanya kebagian sedikit manfaat dan hanya
dapat menyaksikan sumber-sumber daya alam tempat mereka menggantungkan
mata pencaharian mereka menghilang.
Sejak 10 tahun terakhir telah disadari bahwa laju degradasi hutan cukup
tinggi yakni laju kerusakan 1,08 juta Ha/th dan lahan kritis 30,197 juta ha.
Persoalan mendesak di sektor kehutanan saat ini cukup kompleks seperti; (a)
semakin kurang berkembangnya investasi; (b) rendahnya kemajuan pembangunan
hutan tanaman; (c) minimnya pengendalian pembalakan dan perdagangan kayu
liar, (d) meningkatnya luas kawasan hutan yang tidak terkelola dengan baik (e)
merosotnya perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang
diindikasikan dengan masih tingginya tingkat kemiskinan masyarakat di sekitar
hutan. Tingginya tingkat deforestasi dan degradasi hutan dan semakin kuatnya
dorongan untuk memberikan pengakuan pada hak-hak masyarakat atas sumber
daya alam - seiring dengan kisah keberhasilan pengelolaan hutan berbasis
masyarakat - telah menciptakan kesadaran baru tentang perlunya keterlibatan
masyarakat secara lebih intensif dalam pengelolaan hutan.
Pelimpahan kendali atas sumber daya alam kepada masyarakat melalui
skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) diharapkan dapat
membantu meningkatkan kelestarian hutan di masa mendatang serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks inilah, pada tanggal 16
Mei 2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengeluarkan putusan
bersejarah bagi masyarakat adat karena putusan ini secara efektif mengembalikan
yurisdiksi dan kepemilikan hutan adat kepada masyarakat adat (MK 35/2012).
Strategi PHBM bertujuan untuk meningkatkan pemberdayaan dan
kepemilikan masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan lestari. Kebijakan
pemerintah dewasa ini tentang berbagai skema PHBM mengakomodasi kearifan
lokal dalam mengelola dan melestarikan sumber daya hutan, mendukung
peningkatan mata pencaharian dalam kerangka sasaran pembangunan nasional
yang berpihak pada penduduk miskin, berpihak pada penyediaan lapangan kerja,
berpihak pada pertumbuhan dan berpihak pada lingkungan (pro-poor, pro-
job, pro-growth and pro-environment).
Visi PHBM adalah agar masyarakat setempat dapat secara aktif mengelola
hutan mereka secara berkelanjutan, mampu memenuhi kebutuhan mereka sehari-
hari sekaligus mendiversifikasi sumber-sumber pendapatan yang dihasilkan
melalui pemasaran sumber daya hutan dan hasil hutan olahan. Oleh karena itu,
PHBM akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan masyarakat yang
berkelanjutan dan peningkatan mata pencaharian serta konservasi
keanekaragaman hayati dan pengurangan dampak negatif dari dan adaptasi
terhadap perubahan iklim.
Kementerian Kehutanan mendorong pengembangan program PHBM melalui
Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD) dan kemitraan dengan Hutan
Rakyat (HR). HKm dan HD dapat dikembangkan pada hutan lindung dan hutan
produksi yang belum dibebani hak dan diperuntukkan bagi masyarakat yang
punya ketergantungan dengan hutan. Ijin diberikan kepada kelompok atau
lembaga desa selama 35 tahun dan dapat diperpanjang. Sementara itu
pengembangan kemitraan Hutan Rakyat dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan
pengembangan industri kayu yang berubah orientasi dari memanfaatkan kayu
hutan alam ke Hutan Rakyat.
Keadilan distribusi pengelolaan hutan dapat dicermati dari dokumen Rencana
Kehutanan Nasional (RKN) 2011–2030 dari Kementerian Kehutanan. Dari luas
hutan efektif sebesar 112,34 juta hektar 43,62 juta hektar (39 persen) dialokasikan
untuk ijin pengelolaan bagi korporasi, sementara kawasan hutan yang
diperuntukkan bagi rakyat hanya sebesar 5,57 juta hektar (5 persen) dari kawasan
hutan efektif. Sementara itu dari jumlah total 88.361 desa di Indonesia, 33.957
(36,17 persen) berada di dalam, di tepi atau di sekitar kawasan hutan.
Ketimpangan distribusi pengelolaan hutan antara masyarakat dan kelompok usaha
sangat jelas terlihat.
Adapun beberapa tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dalam
pengelolaan PHBM adalah sebagai berikut:
1. Pemasaran produk hasil hutan masih didominasi oleh para tengkulak.
2. Tidak ada pengawasan dan penialaian dai pemerintah daerah setelah
pemberian ijin usaha.
3. Petani rehabilitasi belum mendapatkan ijin resmi dari pihak Taman Nasional.
4. Kemiskinan dan kapasitas sumberdaya manusia masih rendah.
5. Akses permodalan kurang.
6. Sebagian besar lahan masih dikuasai pemerintah dan perusahaan.
7. Kesinambungan pendampingan dalam mengelola hutan setelah perijinan
masih kurang.
8. Proses fasilitasi yang terlalu panjang dan susah.
9. Status legal atas lahan yang dikelola masyarakat belum mantap
Adapun untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka ada beberapa hal yang
dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut:
1. Pelatihan penguatan kelembagaan
a. Pelatihan manajemen kelompok dan penyusunan AD/ART.
b. Pelatihan budidaya dan pengolahan hasil hutan kayu dan non-kayu.
c. Studi banding pengolahan hasil hutan kayu dan non-kayu.
2. Membangun pemasaran hasil hutan kayu dan non kayu
a. Membangun jaringan pemasaran hasil hutan (kayu dan non-kayu) melalui
koperasi.
b. Membentuk jaringan nasional dengan pertemuan rutin di tingkat provinsi.
3. Monitoring dan evaluasi rutin
4. Menyediakan pendamping dan fasilitator PHMB
5. Peningkatan kapasitas pendamping dan masyarakat
6. Advokasi revisi PP, Permenhut tentang HD, HKm, dan kawasan konservasi