Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gigi impaksi merupakan gigi yang menghalangi jalan normalnya erupsi
pada lengkung gigi karena kurangnya ruang pada lengkung atau obstruksi pada
jalannya erupsi gigi. Gigi molar ke tiga maksila dan mandibula, kaninus maksila
dan insisif sentral maksila merupakan gigi yang paling sering terjadi impaksi.
Kebanyakan masalah impaksi terjadi pada gigi molar ke tiga. Hal tersebut karena
gigi molar ketiga adalah gigi yang terakhir tumbuh, sehingga sering mengalami
impaksi karena tidak ada atau kurangnya ruang yang memadai. (Anwar, dkk,
2008).
Menurut penelitian Naosherwan dkk, (2008) yang dilakukan di Poli Gigi
Rumah Sakit Penang di Malaysia pada tahun 2000 sampai 2005 dengan jumlah
pasien yang dirawat sebanyak 15.076 orang, terdapat 261 kasus impaksi molar ke
tiga mandibular sedangkan pada kasus impaksi molar ke tiga maksila hanya
ditemukan 11 kasus. Pada kasus yang didapat, impaksi gigi lebih banyak terjadi
pada laki-laki daripada perempuan. Sebanyak 137 kasus terdapat pada usia
dibawah 25 tahun, 102 kasus terdapat diantara usia 25 tahun sampai 35 tahun, dan
25 kasus terdapat pada usia diatas 35 tahun.
Komplikasi yang terjadi dapat berupa resorbsi patologi gigi yang
berdekatan, terbentuknya kista folikular, rasa sakit neuralgik, perikoronitis,
bahaya fraktur rahang akibat lemahnya rahang dan berdesakan gigi anterior akibat
tekanan gigi impaksi ke anterior. Akibat lainnya adalah terjadi periostitis,
neoplasma, perikoronitis dan komplikasi lainnya (Dwipayanti, Andriatnoko,
Rochim, 2009)
Chandha dkk (2007) melakukan penelitian pada suku Bugis dan suku
Toraja, menyimpulkan bahwa impaksi yang terjadi dilihat secara genetic
disebabkan faktor lingkungan dan faktor keturunan. Yang dimaksud dengan faktor
lingkungan itu sendiri adalah jenis makanan. Secara umum, makanan suku Toraja

1
memerlukan kekuatan kunyah yang lebih besar. Secara factor keturunan, Suku
Toraja yang menikah dengan suku lain yang secara genetik memiliki rahang yang
kecil, sehingga menghasilkan keturunan yang mengalami impaksi gigi. Suku
Banjar memiliki kebiasaan memakan makanan yang tidak keras dan memasak
makanannya dengan cara merebus dan berkuah sehingga lengkung rahang tidak
berkembang secara maksimal. Hal-hal tersebut menyebabkan molar ke tiga
kekurangan ruang untuk erupsi sehingga terjadi gigi impaksi.
Berdasarkan prevalensi impaksi molar ketiga yang masih tinggi serta
komplikasi yang ditimbulkan, maka penulis ingin menjelaskan tentang definisi,
etiologi, klasifikasi, komplikasi impaksi gigi, dan indikasi odontektomi. Dalam
referat ini penulis juga akan menjelaskan tentang fraktur dentoalveolar.
Menurut American Dental Association (ADA), fraktur dentoalveolar
adalah fraktur yang mengenai gigi dan tulang alveolar pendukungnya baik pada
maksila maupun mandibular. Fraktur dentoalveolar sering terjadi di daerah gigi
anterior anak-anak terutama maksila. Jejas ini sering terjadi karena adanya trauma
pada gigi lain atau trauma langsung maupun tidak langsung pada wajah. Anak-
anak dengan gigi anterior protusif adalah predisposisi terjadinya trauma ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana klasifikasi Impaksi dan Fraktur Dentoalveolar?
2. Bagaimana penegakan diagnosis Impaksi dan Fraktur Dentoalveolar?
3. Bagaimana penatalaksanaan Impaksi dan Fraktur Dentoalveolar?

C. Tujuan
1. Mengetahui klasifikasi Impaksi dan Fraktur Dentoalveolar.
2. Mengetahui penegakan diagnosis Impaksi dan Fraktur Dentoalveolar.
3. Mengetahui penatalaksanaan Impaksi dan Fraktur Dentoalveolar.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. IMPAKSI GIGI
1. Perkembangan Gigi Permanen
Molar ketiga merupakan gigi permanen yang paling terakhir erupsi, sehingga
sering terjadi impaksi oleh karena kurangnya ruang/ terhalangnya gigi untuk
erupsi. Berikut adalah tabel perkembangan gigi menurut Angus, 2013:

Tabel 1.1 Perkembangan Gigi Permanen (Angus, 2013)


Mahkota
Mulai Erupsi
Gigi Inisiasi lengkap
Kalsifikasi (tahun)
(tahun)
Mandibula
Insisivus 1 5–5.25 bdk 3–4 bulan 4–5 6–7
Insisivus 2 5–5.25 bdk 3–4 bulan 4–5 7–8
Kaninus 5.5–6 bdk 4–5 bulan 6–7 9–11
Premolar 1 Saat lahir 1.75–2 tahun 5–6 10–12
2.25–2.5
Premolar 2 7.5–8 bulan 6–7 11–12
tahun
Molar 1 3.5–4 bdk Saat lahir 2.5–3 6–7
Molar 2 8.5–9 bulan 2.5–3 tahun 7–8 11–13
Molar 3 3.5–4 tahun 8–10 12–16 17–21
Maksila
Insisivus 1 5–5.25 bdk 3–4 bulan 4–5 7–8
Insisivus 2 5–5.25 bdk 11 bulan 4–5 8–9
Kaninus 5.5–6 bdk 4–5 bulan 6–7 11–12
1.25–1.75
Premolar 1 Saat lahir 5–6 10–11
tahun
Premolar 2 7.25–8 bulan 2–2.5 tahun 6–7 10–12
Molar 1 3.5–4 bdk Saat lahir 2.5–3 6–7
3
Molar 2 8.5–9 bulan 2.5–3 tahun 7–8 12–13
Molar 3 3.5–4 tahun 7–9 tahun 12–16 17–25
*bdk = bulan dalam kandung

Kronologi pertumbuhan gigi molar ketiga yaitu :


a) Tahap inisiasi, terjadi pada umur 3.5 – 4 tahun. Tahap inisiasi
adalah permulaan pembentukan kuntum gigi (bud) dari jaringan epitel
mulut.
b) Kalsifikasi dimulai, pada umur 8-10 tahun
c) Pembentukan mahkota, pada umur 12-16 tahun.
d) Tahap erupsi, pada umur 17-21 tahun.
e) Pembentukan akar selesai, terjadi pada umur 18-25 tahun.
Rata-rata gigi molar ketiga bawah mengalami kalsifikasi pada usia 9 tahun
dan erupsi penuh pada usia 20 tahun. Proses pembentukan akar sempurna
terjadi pada usia 22 tahun. Dengan keluarnya gigi molar ketiga, maka
selesailah proses erupsi aktif gigi tetap.

2. Definisi Impaksi Gigi


Gigi Impaksi adalah gigi yang gagal erupsi secara utuh pada posisi
yang seharusnya. Hal ini dapat terjadi karena tidak tersedianya ruangan yang
cukup pada rahang untuk tumbuhnya gigi dan angulasi yang tidak benar dari
gigi tersebut (Chanda, 2007).
Gigi impaksi merupakan gigi yang menghalangi jalan normalnya
erupsi pada lengkung gigi karena kurangnya ruang pada lengkung atau
obstruksi pada jalannya erupsi gigi (Anwar, dkk, 2008)

3. Prevalensi Impaksi Gigi


Menurut Chu dkk yang dikutip oleh Alamsyah dan Situmorang
(2005), 28.3% dari 7468 pasien mengalami impaksi, dan gigi molar ketiga
mandibula yang paling sering mengalami impaksi (82.5%). Adapun sumber

4
lain yang menyebutkan bahwa erupsi gigi molar ketiga rahang bawah banyak
ditemukan pada pasien berusia 16 sampai dengan 21 tahun.
Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh RSGM Sam Ratulanggi
2011 mendapatkan subjek penelitian sebanyak 304 responden Impaksi lebih
banyak terjadi pada perempuan yaitu sebanyak 189 dibandingkan pada laki-
laki sebanyak 115. Impaksi gigi paling banyak terjadi pada gigi molar ketiga
maksila dengan jumlah gigi impaksi sebanyak 367 (50,34%) impaksi gigi
molar ketiga mandibula sebanyak 337 (46,22%).

4. Etiologi Impaksi Gigi


Istilah impaksi biasanya diartikan untuk gigi yang erupsi oleh sesuatu
sebab terhalang, sehingga gigi tersebut tidak keluar dengan sempurna
mencapai oklusi yang normal di dalam deretan susunan gigi geligi. Selain
dipengaruhi oleh genetic bentuk rahang dan susunan gigi, factor pola diet, dan
penggunaan otot mastika, dapat juga terjadi hambatan dari sekitar gigi atau
hambatan dari gigi itu sendiri (Tjiptono, dkk, 1989).
Hambatan dari sekitar gigi dapat terjadi karena :
1. Tulang yang tebal serta padat
2. Tempat untuk gigi tersebut kurang
3. Gigi tetangga menghalangi erupsi gigi tersebut
4. Adanya gigi desidui yang persistensi
5. Jaringan lunak yang menutupi gigi tersebut kenyal atau liat

Hambatan dari gigi itu sendiri dapat terjadi oleh


karena :
1. Letak benih abnormal, horizontal, vertikal, distal dan lain-lain.
2. Daya erupsi gigi tersebut kurang

5. Klasifikasi Impaksi Gigi


Klasifikasi impaksi gigi molar ketiga yang umum digunakan adalah
menurut Pell Gregory dan Winter. Pell dan Gregory menghubungkan
kedalaman impaksi terhadap bidang oklusal dan garis servikal gigi molar
5
kedua mandibula dalam sebuah pendekatan dan diameter mesiodistal gigi
impaksi terhadap ruang yang tersedia antara permukaan distal gigi molar
kedua dan ramus ascendens mandibula dalam pendekatan lain.

Gambar II.1 Klasifikasi impaksi molar ketiga rahang bawah


menurutPell dan Gregory.
Sumber : Monaco G, Montevecchi M, Bonetti GA, Gatto
MRA, Checchi L. Reliability of panoramic radiographyin
evaluating the topographic relationship between the
mandibular canal and impacted third molars. JADA American
Dental Association 2004;135:315

A. Berdasarkan relasi molar ketiga bawah dengan ramus mandibula:


a. Klas I : jarak antara distal molar dua bawah dengan ramus
mandibula cukup lebar mesiodistal molar tiga bawah
b. Klas II : jarak antara distal molar dua bawah dengan ramus
mandibula lebih kecil dari lebar mesiodistal molar tiga bawah
c. Klas III : gigi molar tiga bawah terletak di dalam ramus mandibula

B. Komponen kedua dalam sistem klasifikasi ini didasarkan pada jumlah


tulang yang menutupi gigi impaksi berdasarkan kedalamannya, dalam

6
hubungannya terhadap garis servikal Molar kedua disebelahnya.
a. Posisi A : permukaan oklusal gigi impaksi sama tinggi atau
sedikit lebih tinggi dari gigi molar kedua.
b. Posisi B : permukaan oklusal dari gigi impaksi berada pada
pertengahan mahkota gigi molar kedua atau sama tinggi dari garis
servikal
c. Posisi C : permukaan oklusal dari gigi impaksi berada di bawah
garis servikal molar kedua.

Gambar II.2 Klasifikasi impaksi molar ketiga menurut Pell dan


Gregory.
Sumber : Fragiskos D. Oral surgery. Editor: Schroder GM,
Heidelberg. Alih Bahasa: Tsitsogianis H. Berlin: Springer;
2007,p. 126

Klasifikasi Winter menghubungkan impaksi gigi molar ketiga


mandibula berdasarkan hubungan gigi impaksi terhadap panjang aksis gigi
molar kedua mandibular. Dalam penelitian mereka, angulasi dideterminasikan
menggunakan sudut yang dibentuk antara pertemuan panjang aksis gigi molar
kedua dan ketiga. Adapun klasifikasi Winter adalah sebagai berikut:

1. Vertikal: Axis panjang gigi impaksi berada pada arah yang sama dengan
axis panjang gigi molar kedua

7
Gambar II.3 Sebuah impaksi dengan posisi vertikal
Sumber : Pedlar J, Frame JW. Oral and maxillofacial surgery. New
York:Churchill Livingstone;2001,p.53

2. Horisontal: Axis panjang gigi impaksi horisontal

Gambar II.4 Sebuah impaksi dengan posisi horizontal

3. Mesioangular: Gigi impaksi mengalami tilting terhadap molar kedua


dalam arah mesial.

Gambar II.5 Sebuah impaksi dengan posisi mesioangular

8
4. Distoangular: Axis panjang molar ketiga mengarah ke distal atau ke
posterior menjauhi molar kedua.

Gambar II.6 Sebuah impaksi dengan posisi distoangular

5. Bukal atau lingual: Sebagai kombinasi impaksi yang dideskripsikan di


atas, gigi juga dapat mengalami impaksi secara bukal atau secara lingual

Gambar II.7 Sebuah impaksi dengan posisi secara bukal

6. Transversal: Gigi secara utuh mengalami impaksi pada arah bukolingual

7. Penegakan Diagnosis Impaksi Gigi


Pada umumnya gigi yang erupsi tidak menimbulkan suatau gejala
signifikan, namun pada kasus impaksi pasien sering datang dengan keluhan
gigi belakang tidak bisa tumbuh (erupsi). Bila terjadi infeksi pada gigi yang
mengalami impaksi, pasien sering mengeluh nyeri saat mengunyah disertai

9
jaringan tipis yang menyelimuti mahkota gigi yang impaksi yang sering
disebut perikoronitis.
Dalam membantu penegakkan diagnosis impaksi, perlu dilakukan
pemeriksaan radiologi yaitu foto panoramik. Dalam foto panoramik akan
terlihat seluruh jaringan gigi dalam satu film sehingga akan terlihat posisi gigi
yang mengalami impaksi untuk menentukan penatalaksanaan yang tepat.

8. Komplikasi Impaksi Gigi


Hampir satu abad lalu, gigi impaksi kadang-kadang menimbulkan
keluhan baik akut atau kronis maupun akut eksaserbasi, gejala simptomatik
tersebut mula-mula terjadi di daerah retromolar rahang bawah maupun rahang
atas bahkan bila menjalar dapat menyebabkan timbulnya keluhan umum yang
bisa pula mengganggu aktivitas penderita.
Berikut adalah komplikasi yang ditimbulkan oleh gigi impaksi:
a) Inflamasi
Inflamasi merupakan suatu perikoronitis yang lanjutannya menjadi abses
dentoalveolar akut-kronis, ulkus sub-mukus yang apabila keadaan
tubuh lemah dan tidak mendapat perawatan dapat berlanjut menjadi
osteomyelitis. Biasanya gejala-gejala ini timbul bila sudah ada hubungan
soket gigi atau folikel gigi dengan rongga mulut. Selain itu, impaksi juga
akan menimbulkan rangsangan nyeri karena gigi yang terpendam
langsung menekan nervus alveolaris inferior pada kanalis mandibularis.

10
b) Resorpsi gigi tetangga
Setiap gigi yang sedang erupsi mempunyai daya tumbuh ke arah oklusal
gigi tersebut. Jika pada stadium erupsi, gigi mendapat rintangan dari
gigi tetangga maka gigi mempunyai daya untuk melawan rintangan
tersebut. Di samping mengalami resorpsi, gigi tetangga tersebut dapat
berubah arah atau posisi.

c) Kista
Suatu gigi yang terpendam mempunyai daya untuk perangsang
pembentukan kista atau bentuk patologi terutama pada masa
pembentukan gigi. Benih gigi tersebut mengalami rintangan sehingga
pembentukannya terganggu menjadi tidak sempurna dan dapat
menimbulkan primordial kista dan folikular kista.

9. Indikasi dan Kontraindikasi Odontektomi


Odontektomi adalah pengeluaran gigi impaksi dimana gigi tersebut
tidak dapat dikeluarkan dengan cara pencabutan tang biasa melainkan diawali
dengan pembuatan flap mukoperiostal, diikuti dengan pengambilan tulang
undercut yang meghalangi pengeluaran gigi tersebut, sehingga diperlukan
persiapan yang baik dan rencana operasi yang tepat dan benar dalam
melakukan tindakan bedah pengangkatan molar bawah yang terpendam, untuk
menghindari terjadinya komplikasi-komplikasi yang tidak diinginkan.
Indikasi dan kontraindikasi dilakukan tindakan odontektomi gigi
impaksi yaitu:
a) Indikasi :
1. Pencegahan kelainan periodontal
2. Pencegahan perikoronitis
3. Pencegahan resorpsi akar/ gigi tetangga
4. Menimbulkan gejala neuralgia disebabkan tekanan gigi pada syaraf
5. Pencegahan pembentukan kista
11
6. Ada gejala inflamasi
7. Ada gejala akan menimbulkan karies pada gigi tetangga.

b) Kontraindikasi :
1. Apabila pasien tidak menghendaki giginya dicabut.
2. Kemungkinan menyebabkan gigi terdekat rusak atau stuktur
penting lainnya saat membuat flap (risiko lebih tinggi daripada
manfaat)
3. Penderita usia lanjut.
4. Kondisi fisik atau mental terganggu

10. Komplikasi Odontektomi


a) Perdarahan
b) Rasa sakit dan pembengkakan normal apabila terjadi smapai hari ke
5, apabila setelah 5 hari masih sangat sakit, khawatir terjadinya dry
socket.
c) Bila nervus terpotong terjadi parastesi yang lama pada seluruh
daerah yang di inervasi nervus tersebut. Pada molar ketiga yang
dikhawatirkan yaitu terkenanya atau terpotongnya nervus fasialis yang
berakibat mulut pasien bisa menjadi merot (miring sebelah).
d) Terlukanya bibir atau mukosa oleh karena tang ekstraksi,
respatorium dan alat-alat lain yang dipergunakan sehingga dapat terjadi
inflamasi sekitar bibir dan mukosa mulut.
e) Pada waktu operasi terjadi fraktur prosesus alveolaris.
f) Gigi tetangga dapat menjadi gangrene/ nekrosis dan goyang
g) Dapat terjadi osteomielitis.

12
B. FRAKTUR DENTOALVEOLAR

1. Definisi Fraktur Dentoalveolar


Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu
bagian terutama tulang. Literatur lain menyebutkan bahwa fraktur atau patah
tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh trauma. Berdasarkan definisi-definisi tersebut
maka fraktur dentoalveolar adalah kerusakan atau putusnya kontinuitas
jaringan keras pada stuktur gigi dan alveolusnya disebabkan trauma.

2. Etiologi Fraktur Dentoalveolar


Penyebab trauma dibagi menjadi dua, langsung dan tidak langsung.
Trauma langsung jika benturannya itu langsung mengenai gigi, biasanya pada
regio anterior. Trauma tidak langsung terjadi ketika ada benturan rahang
bawah ke rahang atas, gigi patah pada bagian mahkota atau mahkota-akar di
gigi premolar dan molar, dan juga pada kondilus dan simfisis rahang. Faktor
yang memengaruhi hasil trauma adalah kombinasi dari energi impaksi,
resiliensi objek yang terkena impaksi, bentuk objek yang terkena impaksi,
dan sudut arah gaya impaksi.
Kasus trauma dentoalveolar pada anak dapat disebabkan kecelakaan
lalu lintas, serangan hewan, perkelahian dan kekerasan dalam rumah tangga.
Gigi yang terkena trauma biasanya hanya satu, kecuali pada kasus kecelakaan
dan olahraga.
Maloklusi dapat menjadi faktor pendukung terjadinya trauma
dentoalveolar. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya trauma
adalah protrusi gigi anterior pada maloklusi kelas I tipe 2 atau kelas II divisi
1. Insidensi pada anak dengan kondisi tersebut dua kali dibandingkan anak
dengan kondisi oklusi normal. Anak dengan overjet berlebih juga dapat
memiliki faktor resiko lebih tinggi terjadi trauma dibandingkan dengan anak
dengan overjet normal (Holan and McTigue, 2005).
13
Kasus trauma yang terjadi pada anak sebagian besar terjadi di daerah
anterior terutama incisif sentral sedangkan pada bagian posterior biasanya
terjadi karena trauma tidak langsung, seperti trauma pada bagian dagu yang
mengakibatkan tekanan berlebih pada bagian maksila.
Kejadian yang paling sering terjadi pada anak-anak adalah concussion,
subluksasi, dan luksasi, sedangkan pada gigi permanen adalah fraktur
mahkota tidak kompleks (uncomplicated crown fracture) (Welburry, 2005).

3. Prevalensi Fraktur Dentoalveolar


Kejadian terbanyak trauma dentoalveolar terjadi pada usia 2-4 tahun
ketika koordinasi motorik anak sedang berkembang. Insidensi trauma
dentoalveolar pada anak menurut usia adalah sebagai berikut: pada usia 5
tahun, 31-40% anak laki-laki dan 16-30% anak perempuan mengalami
trauma. Pada usia 12 tahun 12-33% anak laki-laki dan 4-19 % anak
perempuan mengalami trauma gigi. Insidensi injuri pada laki-laki dua kali
lebih banyak baik pada usia anak maupun dewasa. Literatur lain menyebutkan
rasio insidensi injuri pada anak hampir sama antara laki-laki dan perempuan
(Berman, et.al., 2007).

4. Klasifikasi Fraktur Dentoalveolar


Klasifikasi fraktur dentoalveolar juga dapat memberikan informasi
yang komprehensif dan universal untuk mengkomunikasikan mengenai
tujuan perawatan tersebut. Klasifikasi yang banyak dijadikan pedoman
dalam penanganan fraktur dentoalveolar adalah klasifikasi menurut World
Health Organization (WHO).
Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization
(WHO) diterapkan pada gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan
keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut. Pada
pembahasan ini klasifikasi WHO yang diterangkan hanya pada trauma

14
yang mengakibatkan fraktur dentoalveolar, yaitu cedera pada jaringan keras
gigi dan pulpa, jaringan periodontal, dan tulang pendukung :
A. Cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa :
1) Enamel infraction: jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa
retakan tanpa hilangnya substansi gigi.

2) Fraktur email: hilangnya substansi gigi berupa email saja.

3) Fraktur email-dentin: hilangnya substansi gigi terbatas pada


email dan dentin tanpa melibatkan pulpa gigi.

15
4) Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture): fraktur
email dan dentin dengan pulpa yang terpapar.

5) Fraktur mahkota-akar tidak kompleks (uncomplicated


crown-root fracture): fraktur email, dentin, sementum, tetapi tidak
melibatkan pulpa.
6) Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root fracture):
fraktur email, dentin, dan sementum dengan pulpa yang terpapar.

7) Fraktur akar: fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa,


dapat disubklasifikasikan lagi menjadi apikal, tengah, dan sepertiga
koronal (gingiva).

16
Gambar II.8 Cedera pada tulang keras dan pulpa

B. Cedera pada jaringan periodontal :


1) Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika
diperkusi.
2) Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan
gigi.
3) Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian dari
soket.
4) Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket
alveolar.
5) Luksasi intrusif: perpindahan ke arah tulang alveolar disertai
fraktur soket alveolar.
6) Avulsi: gigi lepas dari soketnya.

17
Gambar II.8 Cedera pada periodontal

C. Cedera pada tulang pendukung :


1) Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur
dan tertekannya soket alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan
lateral luksasi.
2) Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur
yang terbatas pada fasial atau lingual/palatal dinding soket.
3) Fraktur prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur
prosesus alveolar yang dapat melibatkan soket gigi.

18
4) Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan
soket alveolar.

Gambar II.9. Cedera pada Tulang Pendukung

5. Diagnosis Fraktur Dentoalveolar


Pemeriksaan terhadap pasien meliputi anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang terdiri atas keadaan umum, kondisi ekstra oral dan intra oral. Dari
anamnesis dapat diketahui mekanisme trauma, yang berguna untuk
19
mengetahui ada tidaknya fraktur di bagian tubuh. Keadaan umum pasien
dengan fraktur dentoalveolar yang berdiri sendiri biasanya baik, dengan
kesadaran kompos mentis. Apabila disertai cedera kepala dan fraktur serta
vulnus di bagian tubuh lain yang dapat menimbulkan gangguan pernafasan,
sirkulasi, atau neurologi, maka kesadaran dapat menurun.
Pada pemeriksaan ekstra oral dapat ditemukan asimetri wajah berupa
bengkak di bibir, hematoma, abrasi, dan laserasi. Kedalaman laserasi
sebaiknya diperiksa untuk mengetahui apakah ada struktur vital yang terlibat,
seperti duktus kelenjar parotis atau nervus fasialis. Pemeriksaan intra oral
meliputi jaringan lunak dan jaringan keras. Trauma di anterior biasanya
mengakibatkan kerusakan bibir yang parah. Hematoma sering ditemukan dan
pada palpasi dapat teraba kepingan gigi atau benda asing yang tertanam di
jaringan lunak. Bibir bawah dapat tergigit sehingga terjadi laserasi.
Bila gigi avulsi, pada gingiva akan tampak luka seperti bekas ekstraksi.
Selain itu bisa ditemukan juga laserasi gingiva dan deformitas tulang
alveolar. Pada anterior mandibula dapat terjadi degloving, yaitu sobekan
horisontal di sulkus labialis pada perbatasan attached dan free gingiva,
bila pasien jatuh tertelungkup dan terseret ke depan. Sobekan terjadi di
periosteum dan pada kasus yang parah saraf mentalis dapat terbuka.
Pada gigi dapat terjadi fraktur mahkota, dengan atau tanpa terbukanya
kamar pulpa, dengan perkusi yang positif. Gigi dapat goyang, bergeser
ke segala arah, ekstrusi, intrusi dan bahkan avulsi. Perubahan tersebut dapat
menimbulkan maloklusi. Gigi yang tidak tampak bergeser tetapi goyang
dicurigai telah mengalami fraktur akar, baik vertikal maupun horisontal.
Fraktur yang paling sulit dideteksi adalah fraktur akar yang stabil dan retak
vertikal mahkota gigi posterior. Dalam keadaan itu harus dilakukan sondasi,
perkusi dan tekan.
Bila ada gigi yang tampak hilang, perlu dipastikan bahwa tidak ada
akar gigi yang tertinggal. Trauma pada gigi posterior dapat disebabkan
benturan rahang atas oleh rahang bawah sehingga gigi dapat terbelah secara
20
vertikal. Serpihan gigi dapat tertanam di jaringan lunak, tertelan, atau
terinhalasi pada pasien yang kehilangan kesadaran. Pada keadaan demikian
perlu dibuat foto toraks. Kegoyahan beberapa gigi dalam satu segmen
menunjukkan fraktur tulang alveolar.
Fraktur alveolar dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur gigi. Fraktur
alveolar di mandibula lebih sering merupakan bagian dari fraktur komplit
mandibula, sedangkan di maksila lebih sering berdiri sendiri. Gigi yang
terdapat dalam fragmen fraktur harus dicurigai vitalitasnya. Fraktur tulang
alveolar dapat terbuka atau tertutup tunggal atau multiple. Pada saat
pemeriksaan awal dapat dilakukan reposisi fragmen yang goyah, karena
semakin cepat hal itu dilakukan semakin baik prognosis gigi geliginya. Setiap
fragmen harus diperiksa untuk melihat apakah lengkap atau tidak lengkap.
Fraktur alveolar di maksila paling sering terjadi di regio insisif.
Fraktur tuberositas maksilaris dan dasar antrum merupakan komplikasi
ekstraksi gigi molar atas yang sering terjadi. Pemeriksaan radiografis
yang paling sering digunakan untuk evaluasi fraktur dentoalveolar adalah
foto dental dan panoramic

6. Penatalaksanaan Fraktur Dentoalveolar

Perawatan fraktur dentoalveolar sebaiknya dilakukan sesegera


mungkin, karena penundaan perawatan akan mempengaruhi prognosis gigi
geligi. Bila fraktur dentoalveolar merupakan bagian dari fraktur wajah yang
lebih serius, perawatan dapat dilakukan secara efektif untuk menstabilkan
keadaan umum pasien terlebih dahulu.

Tujuan perawatan fraktur dentoalveolar adalah mengembalikan bentuk


dan fungsi organ pengunyahan senormal mungkin. Prognosis fraktur
dentoalveolar dipengaruhi oleh keadaan umum dan usia pasien
serta kompleksitas fraktur.
a) Trauma pada gigi sulung

21
Perawatan gigi sulung yang mengalami trauma pada umumnya tidak
berbeda dengan perawatan gigi tetap. Gigi sulung yang intrusi biasanya
akan erupsi secara spontan. Gigi yang tidak terlalu bergeser dan tidak
menyebabkan gangguan oklusi dapat diobservasi saja. Fraktur
dentoalveolar yang kompleks pada gigi sulung jarang terjadi karena
elastisitas tulang alveolar
b) Trauma pada gigi tetap
1) Trauma yang mengenai struktur keras gigi
a. Fraktur Mahkota
Fraktur email hanya memerlukan penghalusan bagian yang
tajam, atau penambalan dengan komposit. Fraktur dentin
sebaiknya ditambal sesegera mungkin, khususnya pada pasien
muda karena penetrasi bakteri melalui tubulus dentin cepat
terjadi. Penambalan dengan semen kalsium hidroksida dan
restorasi komposit sudah cukup ideal. Bila patahan gigi cukup
besar, fragmen mahkota dapat disemen kembali
menggunakan resin komposit. Fraktur pulpa dapat dirawat
dengan pulp capping, pulpotomi, atau ekstirpasi pulpa.
b. Fraktur Akar
Fraktur mahkota yang oblik dapat meluas ke subgingiva
(fraktur mahkota-akar). Bila garis fraktur tidak terlalu jauh
ke apikal dan pulpa tidak terbuka, cukup ditambal dengan
restorasi komposit. Bila fraktur meluas sampai jauh ke apikal,
atau bila gigi terbelah secara vertikal, umumnya ekstraksi harus
dilakukan.
Fraktur akar horizontal prognosisnya tergantung pada garis
fraktur. Bila garis fraktur terletak di dekat gingiva, fragmen
mahkota dapat diekstraksi dan dilakukan perawatan endodontik
serta pembuatan mahkota pasak. Bila garis fraktur terletak jauh
ke apikal, gigi sebaiknya di ekstraksi.
22
2) Trauma yang mengenai jaringan periodontal
a. Malposisi
Gigi yang luksasi, ekstrusi dan intrusi direposisi dan di-splint
untuk imobilisasi gigi selama 7-21 hari. Setelah periode
imobilisasi selesai vitalitas gigi tersebut harus diperiksa.

b. Avulsi
Gigi yang avulsi dapat direplantasi dengan memperhatikan
sejumlah faktor, yaitu tahap perkembangan akar, lamanya
keberadaan gigi di luar soket, lamanya penyimpanan dan
media yang digunakan. Idealnya replantasi dilakukan sesegera
mungkin. Sebaiknya dipastikan bahwa sel ligament
periodontal tidak mongering, yakni tidak lebih dari 30 menit.
Kemudian dilakukan imobilisasi dengan pemasangan splint.

3) Trauma yang mengenai jaringan alveolar


Perawatan fraktur tulang alveolar biasanya hanya memerlukan
anastesi lokal, dan paling baik dilakukan segera setelah trauma.
Reduksi tertutup fraktur alveolar tertutup biasanya dilakukan
dengan manipulasi jari yang diikuti dengan splinting. Imobilisasi
tersebut harus menyertakan beberapa gigi yang sehat. Fiksasi
intermaksilar kadang- kadang diperlukan bila fragmen fraktur
sangat besar, atau bila prosedur splinting tidak menghasilkan
imobilisasi yang adekuat, dengan memperhatikan oklusi yang
benar. Reduksi terbuka jarang dilakukan untuk fraktur alveolar,
kecuali bila merupakan bagian dari perawatan fraktur rahang.
Pada ekstraksi gigi yang menyebabkan oro anthal communicans
harus dilakukan penutupan segera dengan bukal flap. Pasien diberi
obal ephedrine 0,5% untuk membantu drainase anthral dan
antibiotic untuk mencegah timbulnya fistula oroanthral.
23
4) Trauma yang mengenai jaringan lunak mulut
Fraktur dentoalveolar hampir selalu disertai vulnus. Prinsip
perawatannya terdiri atas pembersihan, pembuangan jaringan
nekrotik (debridement), penghentian perdarahan dan
penjahitan.Pada bagian dalam laserasi degloving sering ditemukan
debris atau kotoran tanah, sehingga debridement perlu diikuti
dengan irigasi yang cermat. Fraktur dentoalveolar sering
mengakibatkan luka terbuka, sehingga perlu diberikan antibiotik
profilaksis dan obat kumur antiseptik.

24
BAB III
PENUTUP

Impaksi adalah kegagalan gigi untuk erupsi seluruhnya/ sebagian akibat


adanya hambatan jalan erupsi. Impaksi terbanyak terjadi pada molar ketiga, hal ini
disebabkan oleh karena molar ketiga adalah gigi permanen yang paling terakhir erupsi.
Sehingga hambatan yang tersering adalah tidak cukupnya ruang untuk molar ketiga
erupsi. Terdapat beberapa klasifikasi impaksi diantaranya adalah menurut Pell and
Gregory yang menghubungkan jarak antara M2 rahang bawah dengan batas anterior
ramus mandibular (Klas I,II,III) dan berdasarkan kedalaman dihubungkan dengan
garis servikal M2 disebelahnya (A,B,C). Klasifikasi lainnya adalah menurut Winter
berdasarkan sudut terhadap gigi tetangganya (horizontal, vertical, mesioangular,
distoangular, bucalversi, lingualversi, inverted). Impaksi bias menyebabkan berbagai
komplikasi diantaranya adalah perikoronitis, resorpsi gigi tetangga, dan kista sehingga
perlu tindakan pembedahan (odontectomy) sebagai penatalaksanaan impaksi.
Fraktur dentoalveolar adalah diskontinuitas gigi dan alveolus oleh karena
trauma. Fraktur dentoalveolar banyak terjadi pada anak-anak karena mobilitas yang
masih tinggi dan koordinasi motoric yang masih berkembang. Klasifikasi fraktur
dentoalveolar menurut WHO dibuat untuk memudahkan menggolongkan jenis fraktur
dan mempermudah dalam menentukan terapi. Klasifikasi WHO diterapkan menurut
jaringan keras dan pulpa, jaringan pendukung gigi, dan jaringan lunak rongga mulut.
Penegakkan diagnosis fraktur dentoalveolar melalui anamnesis (mekanisme trauma),
pemeriksaan fisik (look, feel, move), dan pemeriksaan penunjang (radiologis).

25
DAFTAR ISI

Angus C Cameron, Richard P Widmer. 2013. Handbook Of Pediatric Dentistry

(Fourth Edition). Sydney. Elsevier : Page 512

Anwar N, Khan AR, Narayan KA, Ab Manan A Hj. A Six-Year Review Of The Third

Molar Cases Treated In The Dental Department Of Penang Hospital In

Malaysia. Dental Research Journal, 2008; 5(2): Hal 53-60

Coulthard P., Horner K., Sloan P., And Theaker E. (2003). MASTER DENTRISTRY

: Oral And Maxillofacial Surgery, Radiology, Pathology And Oral Medicine.

Manchester. England : Churchill Livingstone. Page 84

Chanda MH, Dan Zahbia ZN. Pengaruh Bentuk Gigi Geligi Terhadap Terjadinya

Impaksi Gigi Molar Ketiga Rahang Bawah. Dentofasial Jurnal Kedokteran Gigi

2007; 6(2):65-6 


Dwipayanti A, Adriatmoko W, Rochim A. Komplikasi Post Odontektomi Gigi Molar

Ketiga Rahang Bawah Impaksi. Journal Of The Indonesian Dental

Assocation 2009;58(2):20

Ellis E. Soft Tissue And Dentoalveolar Injuries. Dalam: Peterson LJ, Ellis E, Hupp J,
Tucker M. Contemporary Oral And Maxillofacial Surgery. 4 Th Eds. St.Lauis.
Mosby Inc. 2003.

Fragiskos FD. Oral Surgery. In: Fragiskos FD. 2007.
 Surgical Extraction Of

Impacted Teeth. Verlag Berlin Heidelberg, Springer. P. 121-177

26
Killey HC. Fractures Of The Middle Third Of The Facial Skeleton, 3 Rd Ed.
Bristol: John Wright & Sons Ltd, 1977

Pell GJ, Gregory BT. 1993. Impacted Mandibular Third 
 Molars; Classification And

Modified Technique For Removal. Dent Dig P.: 330-338 


Ralph E. Mcdonald, David R. Avery, Jeffrey A. Dean. 2011. Mcdonald And Avery

Dentistry For The Child And Adolescent (Ninth Edition). Missouri : Elsevier

Page 41-46

Siagian, Krista V. (2011). Penatalaksanaan Impaksi Gigi Molar Ketiga Bawah Dengan

Komplikasinya Pada Dewasa Muda. Manado : Jurnal Biomedik, Volume 3,

Nomor 3, November 2011, Hlm. 186-194

Stanley J. Nelson And Major M. Ash. Wheeler’s Dental Anatomy, Physiology, And

Occlusion. 9th Ed. Missouri : Saunders Elsevier. 2010:256-8

27

Anda mungkin juga menyukai