PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2
Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa.
Riwayat kelahiran:
Pasien merupakan anak pertama, lahir cukup bulan dan berat badan ± 3 kg, langsung
menangis, ketuban hijau disangkal. Pasien dilahirkan secara sectio cecaria
dikarenakan selama dikandung, ibu pasien memiliki riwayat jatuh 3x, yaitu usia 3
bulan, 5 bulan, dan 9 bulan 2 hari sehingga dokter kandungan menyarankan untuk
dilakukan operasi caesar saat ibu pasien jatuh disaat usia kehamilan 9 bulan 2 hari.
Pasien dirawat selama 1 hari di ruang bayi (PRT) setelah dilahirkan. Pasien diberi
ASI ekslusif selama 6 bulan dan mendapat makanan pendamping ASI sejak usia
diatas 6 bulan sampai dengan sekarang.
3
- Palpasi : Vokal Fremitus normal, kanan kiri sama
- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
- Auskultasi: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung :
- Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
- Palpasi : Thrill tidak teraba, ictus cordis teraba 2 jari
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi: BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
- Inspeksi : datar, bekas luka operasi (-), sikatrik (-)
- Auskultasi : BU (+) N
- Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), Hepar lien tidak teraba
- Perkusi : Timpani
Ekstremitas:
Superior : akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)
Inferior : akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)
4
Albumin : 4,4 g/dl (3,5-5,0)
Globulin : 3,6 g/dl (3,0-3,6)
Faal Ginjal
Ureum : 24 mg/dl (15-39)
Kreatinin : 0.2 mg/dl (0,6-1,1)
5
2.8.RENCANA TINDAKAN ANESTESI
1. Diagnosis pra bedah : Kista Dermoid frontal
2. Tindakan Bedah : Ekstirpasi
3. Status fisik ASA :1
4. Jenis tindakan anestesi : Anastesi Umum
a. Premedikasi :
- Ranitidin 10 mg
- Ondansentron 2 mg
- Dexametason 1,25 mg
- Sulfas atropin 0,1 mg
- Fentanil 10 mg
b. Induksi : Recofol (Propofol) 20 mg
c. Intubasi : Insersi ETT no.3
d. Relaksan : Rocuronium 5 mg
6
P = M X Lama puasa
P = 20 X 6 120 ml
Stres operasi (O)
O = BB X 6
O = 10X 6 60 ml
EBV : 65x bb
EBV : 65x 10 650 cc
EBL : 20% x EBV
EBL : 20% x 650 cc 130 cc
MONITORING PERIOPERATIF
Jam TD (mmHg) Nadi (x/mnt)
11.15 124/70 90
11.30 126/70 100
11.45 110/70 110
12.00 124/80 100
12.15 128/80 100
7
Penyulit waktu anastesi : Tidak ada
Ruang Pemulihan
Masuk jam : 12.15 WIB
Keadaan Umum : Kesadaran CM
Tanda Vital : TD 110/80 Nadi 104 RR 22
Skoring Steward
1. Aktivitas :2
2. Pernafasan :2
3. Kesadaran :2
Jumlah :6
Penyulit :-
Pindah Ruangan : Kelas I jam 13.00 WIB
Instruksi Anastesi
1. Observasi tanda-tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit
2. Tidur terlentang tanpa bantal selama 1x24 jam post operasi
3. Puasa sampai sadar penuh (bising usus + )
4. Terapi sesuai operator dr. Apriyanto, Sp.BS
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad fungsionam : Ad bonam
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.3 Diagnosis
Diagnosis berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Berupa nodul intrakutan atau subkutan, soliter berukuran 1-4 cm, mudah
digerakkan dari kulit diatasnya dan dari jaringan di bawahnya. Pada palpasi,
permukaannya halus, konsistensi lunak dan kenyal. Secara histologi, kista dermoid
berisi desquamated squamous epithelium dan keratin di lumennya (panah 1) dan
dibatasi oleh keratinized stratified squamous epithelium (panah 2 dan 3). Kunci untuk
mendiagnosis kista dermoid adalah adanya struktur-struktur adneksa seperti kelenjar
sebasea (panah 4). Akar rambut, kelenjar keringat apokrin dan kelenjar lakrimal dapat
juga ditemukan di dinding kista. Selain itu, lumen juga dapat berisi hair shaft dan
keratin (panah 5 dan 6). 2,3
9
3.1.4 Penatalaksanaan
Indikasi penatalaksanaan kista dermoid adalah kista telah mengganggu aksis
visual yang dapat meningkatkan resiko ambliopia, kista dermoid profunda, kosmetik,
dan inflamasi berulang. Penatalaksanaan berupa pembedahan, yaitu dengan ekstirpasi
kista. Kista dermoid yang sering ditemukan pada anak-anak adalah kista dermoid
tipe superfisial sehingga dilakukan ekstirpasi. Selama proses pembedahan, dinding
kista dijaga sebaik mungkin agar tetap utuh karena dinding dan isi kista bersifat
iritatif sehingga apabila kista ruptur pada saat pengangkatan akan menyebabkan
terjadinya proses peradangan pada jaringan sekitarnya. Jika dinding kista ruptur
sebaiknya operator mengangkat seluruh dinding kista dan kemudian mengiritasi luka
untuk membersihkan semua isi kista. Pembedahan mungkin akan sulit jika sudah
terjadi perlengketan kista. Inflamasi preoperatif akibat dari kista yang ruptur dapat
dikontrol dengan penggunaan prednisone. Kegagalan dari pengangkatan seluruh kista
dapat mengakibatkan inflamasi yang persisten, drainase sinus, atau rekurensi kista.3
10
3.2.2 Jenis Anestetik Umum
Anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya terdiri dari 2 cara, yaitu ; 6
1. Anestetik Inhalasi
Dalam dunia modern, anastetik inhalasi yang umum digunakan untuk praktek
klinik ialah N2O, halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran.7 Agen ini
dapat diberikan dan diserap secara terkontrol dan cepat, karena diserap serta
dikeluarkan melalui paru-paru (alveoli).6
a. N2O (gas gelak, nitrous oxide, dinitrogen monoxida)
Pemberian anestesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini
bersifat anestesi lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Jarang digunakan sendirian, tetapi
dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik lain. Pada akhir anestesia setelah N2O
dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pegenceran
O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindarinya, berikan O2 100% selama
5-10 menit. 7
b. Halotan
Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada nafas
kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien.
Halotan menyebbakan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang sulit
dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk
bedah otak.7 Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat,
sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi.7
c. Enfluran
Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan. Efek depresi
nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih iritatif dibandingkan
halotan, tetapi jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih
baik dibandingkan halotan. 7
11
d. Isofluran
Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi
meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini dapat
dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak digunakan untuk
bedah otak. 7 Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan
gangguan koroner.
e. Sevofluran
Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi di samping halotan. Efek
terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebbakan aritmia. Efek terhadap
sistem saraf pusat sama seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap
hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum
ada laporan yang membahayakan terhadap tubuh manusia. 7
12
anesthesia atau tambahan pada anelgesia regional dan sedasi pada beberapa tindakan
medik atau untuk membantu prosedur diagnostik misalnya tiopental, ketamin dan
propofol.6,7
Untuk anestesia intravena total biasanya menggunakan propofol.7 Anestesi
intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu macam obat
yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat, lama kerja
pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia, disertai oleh
amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat
antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi
respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada
disfungsi organ, tanpa efek samping (mual muntah), menghasilkan pemulihan yang
cepat. Untuk mencapai tujuan di atas, kita dapat menggunakan kombinasi beberapa
obat atau cara anestesi lain. Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi
atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain.6
a. Barbiturate
Contoh di sini ialah pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat anestesi
intravena yang bekerja cepat (short acting).6 Bekerja menghilangkan kesadaran
dengan blockade sistem sirkulasi (perangsangan) di formasio retikularis. Barbiturate
menghambat pusat pernafasan di medula oblongata. Tidal volume menurun dan
kecepatan nafas meninggi dihambat oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi
dan kebutuhan oksigen badan berkurang, curah jantung sedikit menurun. Barbiturate
tidak menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin. 6
b. Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg). 7 Onset cepat, lama kerja pendek. Efek
kerja dicapai dalam 15-45 detik. Efek puncak 1 menit, lama aksi 5-10 menit.
Akumulasi minimal, cepat dimetabolisme, pemulihan cepat.10
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. 7 Efek hipnotik 1,8 kali
13
pentothal. Depresi jalan nafas lebih besar dibandingkan pentothal. Efek anti emetik
positif. Mekanisme kerja diduga menghasilkan efek sedatif hipnotik melalui interaksi
dengan GABA (gamma-amino butyric acid), neurotransmitter inhibitori utama pada
SSP.10
Propofol menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan juga
tekanan darah. Relaksasi otot polos disebabkan oleh inhibisi simpatik. Efek negative
inotropik disebabkan inhibisi uptake kalsium intraseluler. Tergantung dosis, propofol
dapat menyebabkan depresi nafas dan apnoe sementara pada beberapa pasien setelah
induksi IV. Pemberian opioid preoperatif dapat meningkatkan depresi nafas. Dapat
menurunkan volume tidal dan frekuensi nafas serta dilatasi bronkus. Efek pada SSP
dapat menurunkan metabolisme O2 di otak, aliran darah serebral, dan tekanan
intrakranial.10
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi
intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg.
Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrose 5%. Pada manula dosis harus
dikurangi, pada anak < 3 tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan. 7
c. Ketamin
Ketamine adalah derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif
yang menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan
nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi, terjadi
amnesia dan analgesia yang sangat baik. Ketamin meningkatkan tekanan darah
sistolik 23% dari baseline, denyut jantung meningkat, kadang-kadang timbul aritmia,
serta menimbulkan hipersekresi.
Mula kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20
menit, tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh. Waktu paruh
7-11 menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM 5 menit.6 Dosis bolus
untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. Efek
analgesik dicapai dengan dosis sub anestetik 0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas
14
dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml
= 100 mg). 7
d. Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis
tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk
induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil
dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit. 7
e. Benzodiazepin
Benzodiazepin yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam, lorazepam,
dan midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk medikasi pra-anestetik
(sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi konvulsi yang disebabkan oleh
anestetik lokal dalam anestetik regional.5 Digunakan untuk induksi anesthesia,
kelompok obat ini menyebabkan tidur, mengurangi cemas, dan menimbulkan
amnesia anterograd (setelah pemberian midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek
analgesic. Efek pada SSP ini dapat diatasi dengan antagonisnya, flumazenil.6
15
tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak
tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi
reticular dan di korda spinalis yaitu di substansia gelatinosa dan dijumpai pula di
pleksus saraf usus.
Klasifikasi Opioid
a. Morfin
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih
mudah dan lebih menguntungkan dibuat dari bahan getah papaver
somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan
opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).
b. Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang
mendekati sama. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan
mulut, kekaburan pandangan dan takikardia. Lama kerja petidin lebih pendek
dibandingkan morfin. Dosis petidin intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x
lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB.
Petidin subkutan tidak dianjurkan karena iritasi. Rumus bangun menyerupai
lidokain, sehingga dapat digunakan untuk analgesia spinal pada pembedahan
dengan dosis 1-2 mg/kg BB.
c. Fentanil
Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100xmorfin. Lebih
larut dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar jaringan dengan
mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif
hamper sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama
melewatinya. Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi
dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek depresi napasnya lebih
lama disbanding efek analgesinya.
16
Dosis 1-3 ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena
itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca
bedah. Dosis besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan
pemeliharaan anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik
kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh
otot.
d. Sufentanil
Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih cepat dari
fentanil. Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya 0,1-0,3
mg/kgBB.
e. Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada
reseptor mu dan kelamahan analgesinya 10-20% disbanding morfin.
Tramadol dapat diberikan dengan dosis maksimal 400 mg per hari.
17
kalium keluar, terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin cepat dihidrolisa oleh asetilkolin-
esterase (kolin-esterase khusus atau murni) menjadi asetil dan kolin, sehingga lorong
tertutup kembali terjadilah repolarisasi. 7
a) Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerjanya seperti
asetil-kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup
lama berada di celah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi
yang disusul relaksasi otot lurik. Termasuk golongan pelumpuh otot depolarisasi
ialah suksinil-kolin (diasetil-kolin) dan dekametonium.
Di dalam vena suksinil-kolin dimetabolisir oleh kolin-esterase-plasma,
pseudo-kolin-esterase, menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase
(prostigmin) dikontraindikasikan, karena menghambat kerja pseudokolinesterase. 7
Dampak samping suksini ialah: 7
1. Nyeri otot pasca pemberian.
Nyeri otot dapat dikurangi dengan memberikan pelumpuh otot nondepolarisasi
dosis kecil sebelumnya. Dapat terjadi mialgia sampai 90%, dan mioglobinuria.
2. Peningkatan tekanan intraocular.
Akibat kontraksi otot mata eksternal dan dapat dicegah seperti nyeri otot.
3. Penigkatan tekanan intracranial.
4. Peningkatan tekanan intragastrik.
5. Peningkatan kadar kalium plasma.
6. Aritmia jantung
Berupa bradikardi atau ‘ventricular premature beat’.
7. Salviasi
Akibat efek muskarinik.
8. Alergi, anafilaksis
Akibat efek muskarinik.
18
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan
dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya
menghalangi asetil-kolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot nondepolarisasi digolongkan
menjadi :
1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurin, atrakurium,
doksakurium, mivakurium.
2. Steroid : pankuronium, vekuronium, pipekuronium,
ropakuronium, rokuronium.
3. Eter-fenolik : gallamin.
4. Nortoksiferin : alkuronium.
Penawar Pelumpuh Otot7
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan saraf-
otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja.
Asetilkolinesterase yang paling sering digunakan ialah neostigmine (prostigmin),
piridostigmin dan edrophonium. Physostigmine (eserin) hanya untuk penggunaan
per-oral. Dosis neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg,
edrophonium 0,5-1,0 mg/kg dan fisostigmin 0,01-0,03 mg/kg. penawar pelumpuh
otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalifasi, keringatan, bradikardia, kejang
bronnkus, hipermotilitas usus, dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus
disertai oleh obat vagolitik seperti atropine dosis 0,01-0,02 mg/kg atau glikopirolat
0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa.
19
wawancara (anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat anestesi
sebelumnya, adakah penyakit – penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat.
Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi – geligi, tindakan
buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan pula hasil pemeriksaan
laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang dicurigai, misalnya
pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan, masa pembekuan), radiologi,
EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan
dengan status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
- ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
- ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya : pasien batu ureter dengan
hipertensi sedang terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan lekositosis
dan febris.
- ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien appendisitis
perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia
miokardium.
- ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehidupannya. Contohnya : Pasien dengan syok atau
dekompensasi kordis.
- ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau
tidak. Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok
hemoragik karena rupture hepatik.
- Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau
IIE.
Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi
lambung karena regurgutasi atau muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan
20
lambung dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 – 6 jam, bayi 3 – 4 jam. Pada
pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan dengan memasang pipa
nasogastrik atau dengan cara lain yaitu menetralkan asam lambung dengan
memberikan antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2 (ranitidin).
Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong sehingga boleh perlu dipasang
kateter. Sebelum pasien masuk dalam kamar bedah, periksa ulang apakah pasien atau
keluarga sudah memberi izin pembedahan secara tertulis (informed concent).
II. Premedikasi7
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anesthesia
diantaranya:
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.
2. Memperlancar induksi anesthesia.
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik.
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah.
6. Menciptakan amnesia.
7. Mengurangi isi cairan lambung.
8. Mengurangi reflex yang membahayakan.
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi
yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapan membangun
kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan
diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anesthesia. Jika disertai
nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg
intramuscular. Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan
pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis
reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidine (zantac) 150
mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
21
Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansetron 2-4 mg (zofran,narfoz).
22
vol % sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi
halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai
konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk.
Walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %. Seperti
dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan
enfluran (etran), isofluran (foran, aeran) atau desfluran jarang dilakukan, karena
pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki
sifat-sifat : tidak berbau menyengat / merangsang, baunya enak, cepat membuat
pasien tertidur.
3) Induksi Intramuskular
Induksi intramuskular biasanya menggunakan injeksi ketamin (ketalar) yang
dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5
menit pasien tidur.
4) Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi yang menggunakan tiopental atau
midazolam.
Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu
mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata. Induksi, pemeliharaan dan pulih
dari anestesia umum pada eter lambat. Sehingga stadium anestesia yang disusun oleh
Guedel pasien napas spontan dapat terlihat jelas. 3
Stadium I : Analgesia
Mulai induksi sampai mulai tidak sadar.
Stadium II : Eksitasi, delirium
Mulai tidak sadar sampai mulai napas teratur otomatis. Pada stadium ini
pasien batuk, mual-muntah, henti napas dan lain-lainnya.
Stadium III : Anestesia bedah
23
Mulai napas otomatis sampai mulai napas berhenti.
Plana 1. Mulai napas otomatis sampai gerak bola mata berhenti.
Plana 2. Mulai gerak bola mata berhenti sampai napas torakal lemah.
Plana 3. Mulai napas torakal lemah sampai napas torakal berhenti.
Plana 4. Mulai napas torakal berhenti sampai napas diafragma berhenti.
Stadium IV : Intoksikasi
Mulai paralisis diafragma sampai henti jantung atau meninggal.
Refleks cahaya
Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon saat
kita beri rangsangan cahaya.
24
3.2.6 Teknik Anestesi Umum
1. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
Keadaan umum baik (ASA I – II)
Lambung harus kosong
Prosedur :
Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang)
efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll
Induksi
Pemeliharaan
3. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=
endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal.
Indikasi
Operasi lama
Sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)
Prosedur :
Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn
durasi singkat)
Intubasi setelah induksi dan suksinil
Pemeliharaan
4. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)
Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol
pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit. Setelah operasi
25
selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek
anestesinya.
Teknik sama dengan diatas
Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.
26
sovofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted)
atau dikendalikan (controlled).
27
Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan telah
kembali (antagonisasi dari relaksasi otot).
Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di dalam
ruangan pasca-bedah.
28
Hipertensi : umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode induksi dan
pemulihan anestesia. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada
penyakit jantung, karena jantung akan bekerja keras dengan kebutuhan O2
miokard yang meningkat, bila tak tercukupi dapat timbul iskemia atau infark
miokard. Namun bila hipertensi karena tidak adekuat dapat dihilangkan dengan
menambah dosis anestetika.
Aritmia Jantung : anestesi ringan yang disertai maniplasi operasi dapat
merangsang saraf simpatiks, dapat menyebabkan aritmia. Bradikardia yang terjadi
dapat diobati dengan atropine
Payah Jantung : mungkin terjadi bila pasien mendapat cairan IV berlebihan.
b. Komplikasi Respirasi
Obstruksi jalan nafas
Batuk
Cekukan (hiccup)
Intubasi endobronkial
Apnoe
Atelektasis
Pneumotoraks
Muntah dan regurgitas
c. Komplikasi Mata
Laserasi kornea, menekan bola mata terlalu kuat
d. Komplikasi Neurologi
Konvulsi, terlambat sadar, cedera saraf tepi (perifer)
e. Perubahan Cairan Tubuh
Hipovolemia, Hipervolemia
f. Komplikasi Lain-Lain
Menggigil, gelisah setelah anestesi, mimpi buruk, sadar selama operasi, kenaikan
suhu tubuh.
29
BAB IV
ANALISA KASUS
30
fisik dan pemeriksaan penunjang berupa laboratorium dan rho-thorax PA tidak
ditemukan kelainan.
Tindakan premedikasi yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
bertujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya
untuk meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesia,
mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat
anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi
isi cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan. Sebagai obat
premedikasi pada pasien ini yaitu: ondansentron 2 mg, ranitidine 10 mg,
dexametason 1,25 mg, sulfas atropine 0,1 mg dan fentanyl 10 mg. Tujuan pemberian
ranitidine adalah untuk mengurangi isi cairan lambung sehingga meminimalkan
kejadian pneumositis asam. Ondansteron diberikan untuk mengurangi rasa mual
muntah pasca bedah. Pada pasien ini juga diberikan golongan anti kolinergik seperti
sulfus atropine, tujuan pemberian obat ini adalah mengurangi sekresi kelenjar saliva
dan reflek vagal, mencegah bradikardi, spasme laring dan bronkus dan melawan efek
depresi narkotik terhadap saraf pusat. Selain itu, juga diberikan analgetik golongan
opioid yaitu phentanyl 10 mg.
Pengelolaan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan general
anestesi menggunakan teknik anestesia secara induksi intravena dan rumatan inhalasi.
Induksi pada pasien ini dengan injeksi recofol (propofol) 20 mg dan insersi ETT
ukuran 3. Dosis pemeliharaan dengan menggunakan anestesi inhalasi: sevoflurans +
N2O : O2
Induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi. Pada pasien ini
diberikan propofol (recofol) 20mg iv. Propofol merupakan obat induksi anestesi
cepat, yang didistribusikan dan dieliminasikan dengan cepat. Propofol diberikan
dengan dosis bolus untuk induksi 2-2,5mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena
total 4-12 mg/Kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/Kg.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernapasan,
31
apneu, bronkospasme, dan laringospasme. Pada susunan saraf pusat adanya sakit
kepala, pusing, euforia, kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, epistotonus, mual,
muntah. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri.
Pada pasien ini diberikan obat pelumpuh otot rocuronium 5 mg iv, yang
merupakan non depolaritation intermediete acting. Rocuronium dipilih sebagai agen
penginduksi karena mempunyai beberapa keunggulan antara lain metabolisme terjadi
di dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut
eliminasi Hofman. Reaksi ini tidak tergantung pada fungsi hati atau ginjal. Selain itu
tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang dan tidak menyebabkan
perubahan fungsi kardiovaskular. Dosis intubasi dan relaksasi otot adalah 0,5-0,6
mg/kgBB (iv), dan dosis pemeliharaan yaitu 0,1-0,2 mg/kgBB (iv).
Pada pasien ini diberikan maintenance O2 + N2O + sevo. Oksigen diberikan
untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai
O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi analgetiknya kuat.
Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat
dibandingkan isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevoflurane cepat dikeluarkan
oleh tubuh.
Kebutuhan total cairan pada pasien ini, yaitu 140 cc selama operasi, terdiri
dari jumlah cairan pengganti puasa 120 cc, maintenance 20cc, stress operasi 60 cc
dan perdarahan 10 cc. pada pasien ini lamanya operasi adalah 30 menit, pada jam I
yang dibutuhkan adalah 140 cc. Cairan yang telah masuk RL sebesar 300 cc.
Kebutuhan cairan pada pasien ini telah tercukupi, namun tetap harus dipantau dalam
pengawasan ketat.
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Di ruang
inilah pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR terletak
berdekatan dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang
memerlukan pembedahan ulang tidak akan mengalami kesulitan. Pada saat di RR,
dilakukan monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah, saturasi
32
oksigen, EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. Bila pasien gelisah harus diteliti
apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (TD turun, nadi cepat , misalnya karena
hipovolemik). Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar penuh. Pasien
hendaknya jangan dikirim ke ruangan sebelem sadar, tenang, reflek jalan nafas sudah
aktif, tekanan darah, nadi dalam batas normal.
Pasien ini diberi obat tambahan yaitu ketorolac dan tramadol bertujuan
sebagai analgetik. Pada pasien ini skor steward berjumlah 6 sehingga pasien ini dapat
keluar dari RR . Pasien pindah dan dibawa ke kelas I jam 13.00 WIB.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Junqueira LC, et al, In : Basic Histology, Text & Atlas, 11th ed. Mc graw LANGE
2005
2. Media Aesculapius. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Media
Aesculapius. FKUI.
3. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD.
Obstetri Williams. Edisi ke-21. Vol. 2. Jakarta: ECG; 2009.
4. Latief SA, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta, 2010
5. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. 4th ed. Appleton &
Lange.Stamford, 199
6. Soerasdi E., Satriyanto M.D., Susanto E. Buku Saku Obat-Obat Anesthesia Sehari
hari. Bandung, 2010
7. Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. EGC, Jakarta, 2010
34