DIABETES MELITUS
DENGAN KOMPLIKASI MAKROVASKULAR
Oleh :
(PSPA 32/A)
b. DM tipe 2
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95%
dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi
akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya
meningkat. Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya
terungkap dengan jelas.Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam
menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah
serat, serta kurang gerak badan.
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada
pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya,
disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan
disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau
tak mampu merespon insulin secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi
Insulin”.Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul
gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan.Namun demikian,
tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi
pada DM Tipe 1.Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2
hanya bersifat relatif, tidak absolut.Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak
memerlukan terapi pemberian insulin (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,
2005).
Gangguan sekresi insulin, resistensi insulin, memiliki karakteristik, produksi
glukosa hepatik yang berlebihan, metabolisme lemak yang abnormal.Pada resistensi
insulin, insulin tidak membuka jalan masuknya glukosa ke dalam sel karena reseptor
insulin mengalami kelainan atau tidak ada.Pada tahap awal penyakit ini, toleransi glukosa
masih mendekati normal, meskipun terjadi resistensi insulin, hal ini dikarenakan sel-sel
beta pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan jumlah insulin yang keluar.
Penurunan lebih lanjut dalam sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa di hati
mengakibatkan diabetes secara langsung karena meningkatkan kadar gula secara cepat.
Pada akhirnya terjadi kerusakan sel beta (Longo, 2012).
c. Tanda dan gejala umum penyakit DM
Poliuria : kondisi hiperglikemia menyebabkan ginjal akan berusaha mengeluarkan atau
mengurangi glukosa dari aliran darah, ginjal akan terus melakukan proses filtrasi sehingga
air yang difiltrasi juga lebih banyak.
Polidipsia : kondisi hiperglikemia dan hiperosmolaritas menyebabkan konsentrasi air
didalam pembuluh darah lebih rendah dibandingkan pembuluh darah. Kondisi ini
menyebabkan terjadinya proses diuresis osmotik sehingga terjadi kehilangan cairan dan
elektrolit. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya rasa haus.
Polifagia : kondisi dimana glukosa yang masuk kedalam tubuh seharusnya diubah menjadi
glikogen dengan bantuan insulin. Namun pada kondisi diabetes glukosa tidak dapat
diubah menjadi glikogen karena tidak dapat dibantu oleh insulin. Sehinnga penderita DM
akan terus merasa lapar dan lemas karena glukosa tidak dapat menembus membran dan di
ubah menjadi energi.
Karakteristik DM 1 DM 2
Umur < 30 tahun ˃ 30 tahun
Onset Mendadak Bertahap
Keadaan tubuh Kurus Obes/pernah obes
Resistensi insulin Ada Tidak ada
Autoantibodi Sering ada Jarang ada
Gejala simptomatik Sering asimptomatik
Presentasi Diagnosis keton Resiko tinggi Resiko rendah
Klinis Butuh terapi insulin Segera Tahun setelah diagnosis
Diabetes Hyperosmolar
Komplikasi akut
ketoasidosis hyperglycemic state
Komplikasi mikrovaskular
Resiko rendah Resiko tinggi
pada saat diagnosis
Komplikasi
makrovaskular pada saat Jarang Lazim
dan sebelum diagnosis
Insulin :
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada DM Tipe I,
sel-sel Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat
memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus mendapat
insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat
berjalan normal.Sedangkan dalam terapi DM tipe 2, insulin menjadi pilhan terakhir jika
pengobatan oral yang dilakukan tidak menghasilkan efek terap yang diinginkan.
Type on Insulin Onset(hours) Peak(hours) Duration(hours) Maximun Duration
(Hours)
Rapid-acting
- Aspart 15-30 menit 1-2 menit 3-5 5-6
- Lispro 15-30 menit 1-2 menit 3-4 4-6
- Glulisine 15-30 menit 1-2 menit 3-4 5-6
- Inhaled 15-30 menit 1-2 menit 6 8
human insulin
Short-acting
- Regular 0,5-1,0 2-3 3-6 6-8
Intermediate-acting
- NPH 2-4 4-6 8-12 14-18
Long-acting
- Detemir 2 6-9 14-24 24
- Glargine 4-5 - 22-24 24
Berbagai Rejimen Suntikan Insulin
Dosis Max
Duration
Nama Obat Non Elderly dose Mekanisme
of action
Elderly (mg/day)
Biguanide Bekerja pada perifer
- Metformin 500 mg, 2550 dengan memperbaiki
2x 1 hari. sensitivitas terhadap
- Metformin ER 500-100 2550 Up to 24 insulin, serta memiliki
mg, saat Asses renal jam mekanisme kerja
makan. function utama di dihepar
dengan menghambat
proses
gluconeogenesis.
Dipeptidyl DPP-IV inhibitor
peptidase IV meningkatkan dan
inhibitors 100 25-100 memperpanjang
- Sitagliptin (tergantung 100 aktivitas hormon
kondisi inkretin, dimana
ginjal) 24 jam menyebabkan
terjadinya inaktivasi
enzim DPP-IV.
Dimana hormon
inkretin berfungsi
untuk meningkatkan
pelepasan insulin dan
sintesis insulin dari sel
beta pankreas dan
menurunkan sekresi
glukagon dari sel alfa
beta.
2. KOMPLIKASI MAKROVASKULAR
Komplikasi makrovaskular dapat juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih
sering merasakan komplikasi makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2.Komplikasi
makrovaskular berperan dan menyebabkan gangguan aliran darah, komplikasi jangka
panjang, dan peningkatan mortalitas. Pada penderita diabetes, terjadi kerusakan pada lapisan
endotel arteri dan disebabkan oleh tingginya kadar glukosa dalam darah, metabolit glukosa
atau kadar asam lemak. Jumlah kadar lipid yang terlalu banyak dalam tubuh, salah satunya
akan disimpan di dalam pembuluh darah yang kemudian akan menyebabkan munculnya plak.
Penebalan dinding arteri yang disebabkan karena plak ini akan menyebabkan hipertensi dan
akan menyebabkan robeknya sel endotel. Terdapat 3 jenis komplikasi makrovaskular yang
umum berkembang pada penderita diabetes melitus (DM) yaitu penyakit kardiovaskular
(cardiovasvascular disease = CVD), serebral dan peripheral.
Patofisiologi
Pada pasien dengan DM 2 terjadi peningkatan konsentrasi insulin yang dapat
menyebabkan hipertensi karena peningkatan retensi natrium ginjal dan meningkatkan
aktivitas sistem saraf simpatik. Selain itu insulin memiliki aksi seperti hormon
pertumbuhan yang dapat menginduksi hipertrofi sel-sel otot polos pembuluh darah. Insulin
juga dapat meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan kalsium intraseluler yang
menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah (Dipiro, 2008).
Gejala
Pada kebanyakan pasien asimptomatik (tidak bergejala)
Angiotensinogen
Enzim
Beta bloker Renin
Angiotensin I * T-PA
Bradikinin*** Cathepsin
PG ACE
ACE inhibitor *Chymase
CAGE
Peptida inaktif Angiotensin II
AIIRA
AT1 Receptor AT2 Receptor ** Other ATReseptor
- Vasokontriksi -Vasodilatasi
- Remodeling sel - Proliferasi sel dihambat
- Retensi air dan sodium - Kerusakan target organ dihambat
- Aktivasi simpatik
* Jalur alternatif pembentukan Angiotensin II
** Manusia hanya memiliki AT1 dan AT2 = penghambat
*** Bradikinin menumpuk menyebabkan batuk, tp + prod. prostaglandin (vasodilatasi)
Gambar 1. Mekanisme Sistem Angiotensin Renin (Sja’bani, 2002)
Terapi Non-Farmakologi
Semua rencanca perawatan sebaiknya dimulai dari perubahan gaya hidup, termasuk:
(1) pengurangan berat jika berlebih
(2) membatasi asupan alkohol sampai <1 ounce per hari
(3) meningkatkan aktivitas fisik aerobic
(4) mengurangi asupan natrium sampai <2,4 g/hari (6 g/hari natrium klorida
(5) menjaga asupan yang cukup dari makanan untuk kalium, kalsium, dan magnesium
(6) mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dari makanan
(7) menghentikan merokok.
2. Dislipidemia
Dislipidemia adalah gangguan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan maupun penurunan komponen lipid dalam darah. Kelainan komponen lipid
dapat berupa kenaikan kolesterol total, LDL, trigliserid, serta penurunan HDL.
Dislipidemia dalam proses terjadinya aterosklerosis memiliki peran yang penting dan
sangat berkaitan satu dengan yang laun. Timbunan lemak di dalam lapisan pembuluh
darah (plak kolesterol) membuat saluran pembuluh darah sempit dan aliran darah
menjadi kurang lancer. Plak kolesterol pada dinding pembuluh darah bersifat rapuh dan
mudah pecah, meninggalkan luka pada dinding pembuluh darah yang dapat
mengaktifkan pembentukan pembekuan darah. Pembuluh darah dikarenakan sudah
mengalami penyempitan dan pengerasan oleh plak kolesterol, maka bekuan ini mudah
menyumbat pembuluh darah secara total yang dikenal dengan aterosklerosis.
Penyempitan dan pengerasan ini apabila cukup berat akan menyebabkan suplai darah ke
otot jantung tidak memadai, maka akan menimbulkan sakit atau nyeri dada yang disebut
angina, bila berlanjut akan menyebabkan matinya jaringan otot jantung yang disebut
infrak miokard, dan apabila meluas akan menimbulkan gagal jantung atau PJK (penyakit
jantung koroner) (Va/DoD Clinical practice Guideline, 2014).
Dislipidemia diabetic biasanya ditandai dengan hipertrigliseridemia, HDL rendah
dan LDL yang sedikit meningkat. Target utama terapi dislipidemia diabetic adalah
menurunkan LDL <100mg/dL.
Tanda
Nilai pemeriksaan lab pada kategori kolesterol total, LDL, HDL, dan Trigliserida
diatas normal
Gejala
Kadar lemak yang tinggi didalam tubuh dan membentuk endapan lemak yang akan
terus tumbuh dan disebut xantoma didalam urat daging dan kulit.
Sakit kepala
Rasa tegang diotot leher
Bintik putih diatas kelopok mata
Nyeri perut
Stroke
Sesak napas
Penurunan berat badan
Penyakit jantung
3. Aterosklerosis
Atherosklerosis merupakan jenis dari arteriosklerosis yaitu penebalan dan
pengerasan arteri Penyebab terjadinya penebalan dan pengerasan arteri ini adalah karena
terdapat plak aterosklerosis atau ateroma yang menumpuk di dalam arteri. Ateroma ini
mengandung lipid, kalsium, sel inflamasi, sel otot polos, jaringan ikat, dan senyawa
lainnya. Arteri yang terkena aterosklerosis akan kehilangan kelenturannya dan karena
ateroma terus tumbuh, maka arteri akan menyempit. Lama-lama ateroma mengumpulkan
endapan kalsium, sehingga menjadi rapuh dan bisa pecah. Darah bisa masuk ke dalam
ateroma yang pecah, sehingga ateroma menjadi lebih besar dan lebih mempersempit arteri.
Adanya ateroma ini kemudian menghalangi lancarnya suplai oksigen ke organ-organ
tubuh. beberapa penyakit yang dapat terjadi dari atherosklerosis seperti coronary heart
disease (CHD), angina (chest pain), carotid artery disease, peripheral artery disease
(PAD), dan chronic kidney disease (CKD).
Patofisiologi :
Aterosklerosis dimulai ketika adanya timbunan lemak kolesterol di intima arteri besar.
Timbunan ini yang akan mengganggu absorbsi nutirent oleh sel-sel endotel yang
menyusun lapisan dinding dalam pembuluh darah dan menyumbat aliran darah. Endotel
pembuluh darah yang terkena akan mengalami nekrotik dan menjadi jaringan parut,
selanjutnya lumen menjadi semakin sempit dan aliran darah terhambat. Pada lumen yang
menyempit dan berdinding kasar, akan cenderung terjadi pembentukan bekuan darah, hal
ini menjelaskan bagaimana terjadinya koagulasi intravaskuler, diikuti oleh penyakit
tromboemboli, yang merupakan komplikasi tersering aterosklerosis.
Terapi non-farmakologi
a. Terapi diet
Obat Dosis
Atorvastatin 10-20 mg/hari
Rosuvastatin 5-10 mg/hari
Simvastatin 20-40 mg/hari
Pravastatin 40-80 mg/hari
Lovastatin 40 mg/hari
Fluvastatin 40 mg/hari
Pitavastatin 2-4 mg/hari
b. Obat penurun lipid lain yang juga dapat digunakan yaitu sekuestran asam empedu
dengan mekanisme kerjanya menurunkan LDL secara perlahan, tetapi
meningkatkan trigliserida dan memiliki efek samping gastrointestinal.
Obat Dosis
Colestipol 2 g/hari (tablet)
5 g/hari (granul)
Chloestyramine 4 g tiap 12-24 jam
Dosis maks : 24 g/hari
Colesevelam Tablet : 1,875 g (3 tablet) tiap 12 jam
atau 3,75 g (6 tablet) 1 kali sehari
c. Antiplatelet-Antikoagulasi
Obat Mekanisme aksi Dosis
PilihanTerapi : Contohobat
β-blocker
dapat meningkatkan prognosis
pada pasien post-MI (myocardial
infarction) disertai DM, dengan
mengurangi kejadian re-infarction,
kematian mendadak, dan
ventricular aritmia (level IIa/B).
menghambat reseptor β-
adrenergik, β-1 dan reseptor β-2
sehingga dapat menurunkan
denyut jantung, kontraktilitas
miokard dan tekanan darah (non-
selektif).
ACE inhibitor
mencegah konversi angiotensin I
menjadi angiotensin II
(vasokonstriktorpoten) melalui
penghambatan ACE dengan
bersaing dengan substrat fisiologis
(angiotensin I) pada situs aktif
ACE; penghambatan ACE
awalnya menyebabkan penurunan
plasma angiotensin II konsentrasi
& akibatnya, tekanan darah dapat
dikurangi sebagian melalui
penurunan vasokonstriksi,
meningkatkan aktivitas renin, dan
menurunkan sekresi aldosteron;
Juga meningkat kan aliran darah
ginjal.
ARB
(apabila pasien intoleran
terhadap ACEi)
Mencegah angiotensin II
mengikat pada reseptor-reseptor
angiotensin II pada pembuluh-
pembuluh darah. Sebagai
akibatnya, pembuluh-pembuluh
darah membesar (melebar) dan
tekanan darah berkurang.
CCB
sebagai alternatif untuk β-
blocker atau ketika β-blocker
bukan menjadi pilihan utama
misalnya karena penyakit
obstruktif saluran pernapasan.
bekerja dengan cara
menghambat masuknya kalsium
kedalam sel melalui chanel-L,
menurunkan influks ion kalsium
Statin
(HMG-KoAReduktaseInhibitor) - Lovastatin 20-40 mg/hari
Menurunkan kadar kolesterol - Pravastatin 10-20 mg/hari
total, LDL- C, trigliserida dan - Simvastatin 10-20 mg/hari
menaikkan HDL- C , mencegah
komplikasi
kardiovaskularlebihlanjut.
5. Stroke
Menurut WHO, stroke merupakan penyakit disfungsi neurologis yang umum yang
timbul secara mendadak sebagai akibat dari adanya gangguan suplai darah ke otak.
Penyakit stroke secara patologis terbagi menjadi dua, yaitu stroke iskhemik dan stroke
hemoragik. Salah satu faktor resiko yang dapat dimodifikasi adalah penyakit diabete
melitus yang menyebabkan peningkataan resiko relatif pada stroke iskemik 1,6 sampai 8
kali.
Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi DM komplikasi stroke yang dapat diberikan terdiri dari
antidiabetik untuk kondisis hiperglikemik, antiplatelet untuk trombosis/emboli,
antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah tinggi yang biasanya muncul pada pasien
yang mengalami stroke, dan antikolesterol untuk menanggulangi aterosklerosis (Fagan and
Hess, 2008).
c. Anti Kolesterol
d. Antiplatelet
Terapi antiplatelet aspirin dosis rendah (75-160 mg) atau clopidogrel (dosis
tunggal atau kombinasi dengan aspirin) dapat mengurangi resiko stroke dan MI
(level I/A). Pada pasien non ST-elevation ACS, inhibitor reseptor glikoprotein
IIb/IIIa efektif pada pasien DM. Obat antiplatelet lain seperti thienopiridin
(tiklopidin, clopidogrel, prasugrel, dan tikagrelol) mengurangi resiko gangguan
kardiovaskular jika dikombinasikan dengan aspirin pada pasien dengan ACS
(ESC, 2013).
Aspirin 75-325 mg/hari atau clopidogrel 75 mg/hari dapat digunakan untuk terapi
PVD dengan penyakit kardiovaskular. Studi mengatakan bahwa clopidogrel lebih dapat
ditoleransi daripada aspirin dan clopidogrel lebih efektif menurunkan kejadian iskemik pada
pasien dengan PVD, sehingga dikatakan bahwa clopidogrel lebih menguntungkan jika
digunakan pada pasien dengan diabetes dan PVD (Agrawal, 2015; Stone, 2013; Marso, 2006;
American Diabetes Association, 2003).
Pada dasarnya terapi DM baik pada DM tipe 1 dan tipe 2 untuk pasien dengan PVD
sama dengan terapi DM tanpa komplikasi PVD. Pada terapi DM ini menjaga kadar HbA1c <
7% merupakan target terapi yang paling penting karena jika target tersebut tidak dicapai maka
kemungkinan risiko amputasi atau risiko kejadian CVD meningkat. Untuk pilihan terapi obat
DM tipe 1 menggunakan insulin dan untuk terapi DM tipe 2 menggunakan obat hipoglikemik
oral seperti golongan biguanid, thiazolidinedione, dan sebagainya (Stone, 2013), tetapi perlu
diperhatikan untuk beberapa pasien PVD akan memiliki kontraindikasi dengan berbagai obat
DM (Shrikhande, 2012).
Berikut ini merupakan terapi non farmakologi PVD:
a. Perubahan pola hidup
Berhenti merokok
Menurunkan berat badan pada penderita obesitas (diet dan olahraga)
Menurunkan tekanan darah
Menurunkan kadar kolesterol dalam darah
Menurunkan kadar gula darah jik aberesiko diabetes
Olahraga teratur
b. Terapi suportif
Perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih dan lembab dengan memberikan krim
pelembab
Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pas dari bahan sintetis yang berventilasi
Hindari penggunaan bebat plastic karena mengurangi aliran darah ke kulit
Latihan fisik (exercise) berupa jalan-jalan kaki kira-kira selama 30-40 menit
c. Terapi intervensi
Angioplasti
Tujuannya untuk melebarkan arteri yang mulai menyempit atau membuka sumbatan
dengan cara mendorong plak ke dinding arteri.
Operasi By-pass
Bila keluhan semakin memburuk dan sumbatan arteri tidak dapat diatasi dengan
angioplasti. Bagi yang sudah menjalani operasi ini biasanya bebas dari gejala dan
tidak mengalami komplikasi apapun sesudahnya.
7. Gangrene
Penyakit Diabetes melitus merupakan degenerative yang memerlukan
penanganan yang tepat dan serius karena jika tidak maka akan berdampak pada
komplikasi penyakit serius lainnya seperti gangrene diabetic. Gangrene diabetic adalah
suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kematian jaringan yang diakibatkan
karena penghentian suplai darah ke organ. Pada pasien diabetes, tubuh tidak dapat
memproduksi hormon insulin dengan cukup, sehingga kadar glukosa dalam darah
meningkat dan dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah, yang kemudian
menyebabkan adanya hambatan aliran darah. Hambatan dalam aliran darah
menyebabkan jaringan kekurangan nutrisi sehingga sel kehilangan kemampuan /
fungsinya / mati.
Penyakit ini sering terjadi pada bagian tubuh yang terendah terutama pada bagian kaki.
Gejala gangrene diabetic yaitu daerah akral tampak merah dan terasa hangat akibat
peradangan dan terdapat lesi. Menurut berat ringanya lesi dibagi menjadi 5 derajat. Pada
derajat 0 kulit utuh tetapi ada kelainan bentuk kaki akibat neuropati. Pada derajat 1
terdapat tukak superficial. Derajat 2 tukak menjadi lebih dalam. Derajat 3 tukak lebih
dalam disertai abses dengan kemungkinan selulitis dan atau osteomyelitis. Derajat 4
terjadi gangrene jari dan derajat 5 terjadi gangrene kaki (Misdiarty, 2006).
Tabel . Perbedaan Gangren Basah dan Gangren Kering
Gangrene Basah Gangrene Kering
Bengkak pada daerah lesi Sakit pada daerah lesi
Terjadinya perubahan warna dari merah tua Daerah menjadi pucat, kebiruan, dan muncul
menjadi kehitaman bercak ungu. Lama-lama daerah tersebut
menjadi hitam
Dingin Denyut nadi tidak terdeteksi
Basah Bila diraba terasa kering dan dingin
Lunak Terlihat ada garis batas tegas pada daerah
pinggir
Ada jaringan nekrose berbau busuk tapi bisa
juga tidak berbau busuk
Pengobatan gengrene adalah istirahat, kontrol kadar gula darah dengan diet atau
insulin atau obat anti diabetik, pemberian obat-obatan antiplatelet-agregasi seperti
aspirin, dipiridamol, pentoxyvilin. Pasien penderita diabetes melitus pada umumnya
beresiko tinggi mengalami ulkus pada kaki yang dapat berujung pada amputasi.
Amputasi ini dilakukan untuk membuang jaringan organ yang sudah mati dan mencegah
perluasan gangrene, oleh sebab itu penderita DM disarankan untuk menjaga kebersihan
kaki dan melakukan perawatan kaki rutin (Mayo Clinic, 2014).
Patofisiologi
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium akibat penyakit jantung iskemik
mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel
kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup dan meningkatkan volume residu
ventrikel. Tekanan arteri paru-paru dapat meningkatkan respon terhadap peningkatan
kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonary meningkatkan tahanan terhadap ejeksi
ventrikel kanan. Serangkaian kejadian yang terjadi pada jantung kiri akan terjadi pula
pada jantung kanan, dimana akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.
Pengembangan dari kongesti sistemik atau paru-paru dan edema dapat dieksaserbasi oleh
regurgitasi fungsional dan katup-katup trikuspidalis atau mitrakus bergantian (DiPiro,
2008).
Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi dari annulus katup
atrioventrikularis atau perubahan-perubahan pada orientasi otot papilaris dan
kordatendinae yang terjadi sekunder akibat dilatasi ruang. Sebagai respon terhadap gagal
jantung ada tiga mekanisme primer yang dapat dilihat, yaitu:
a. Meningkatnya aktifitas adrenergik simpatik
b. Meningkatnya beban awal akibat aktivasi sistem rennin angiotensin aldosteron
c. Hipertrofi ventrikel
(DiPiro, 2008).
Ketiga respon ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung.
Mekanisme-mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung
pada tingkat normal atau hampir normal pada gagal jantung dini, pada keadaan istirahat.
Tetapi kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak
pada keadaan beraktivitas (DiPiro, 2008).
Terapi Farmakologis
Algoritma Terapi Farmakologis
Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung
Obat Dosis awal (mg) Dosis maksimum
(mg)
ACEI
Captopril 6,25 (3x/hari) 50 (3x/hari)
Enalapril 2,5 (2x/hari) 10-20 (2x/hari)
Fosinopril 5-10 (1x/hari) 40 (1x/hari)
Lisinopril 2,5-5 (1x/hari) 20-40 (1x/hari)
Ramipril 2,5 (1x/hari) 10 (1x/hari)
Perindopril 2 (1x/hari) 8-16 (1x/hari)
Quinapril 5 (2x/hari) 20 (2x/hari)
Trandolapril 1 (1x/hari) 4 (1x/hari)
ARB
Candesartan 4-8 (1x/hari) 32 (1x/hari)
Valsartan 20-40 (2x/hari) 160 (2x/hari)
Losartan 25-50 (1x/hari) 50-100 (1x/hari)
Antagonis aldosteron
Eplerenon 25 (1x/hari) 50 (1x/hari)
Spironolakton 12,5-25 (1x/hari) 25 (1x atau 2x/hari)
β-blocker
Bisoprolol 1,25 (1x/hari) 10 (1x/hari)
Carvedilol 3,125 (2x/hari) 25 (2x/hari);
50 (2x/hari) untuk
pasien >85 kg
Metoprolol succinate
lepas lambat 12,5-25 (1x/hari) 200 (1x/hari)
(PERKI, 2015).
Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dengan tanda klinis atau
gejala kongesti (PERKI, 2015).
Obat Dosis awal (mg) Dosis maksimum
(mg)
Diuretik loop
Furosemide 20-40 40-240
Bumetanide 0,5-1 1-5
Torasemide 5-10 10-20
Tiazide
Hidrochlortiazide 25 12,5-100
Metolazone 2,5 2,5-10
Indapamide 2,5 2,5-5
Diuretik hemat
kalium (+ACEI/ARB) (+ACEI/ARB) 50
Spironolakton 12,5-25 (-ACEI/ARB)
(-ACEI/ARB) 50 100-200
(PERKI, 2015).
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, K, et al., 2015, Contemporary Medical Management of Peripheral Arterial Disease:
A Focus on Risk Reduction and Symptom Relief for Intermittent Claudication,
CardiolClin, 33, 111-137.
American Diabetes Association, 2003, Peripheral Arterial Disease in People with Diabetes,
American Heart Association, 2014, Atherosclerosis,
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/Cholesterol/WhyCholesterolMatter
s/Atherosclerosis_UCM_305564_Article.jsp#.VtZiEkDpWKE, diakses tanggal 2
Maret 2016.
Anderson, J. L, et al., 2013, Management of Patients with Perpheral Arterial Disease,
ACCF/AHA Practice Guidelines.Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke,
G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., 2008, Pharmacotherapy : A Pathophysiologic
Approach, 7th edition, Mc-GrawHil, USA, pp. 216, 1216, 1235.
Boden, W.E., et al.; AIM-HIGH Investigators. Niacin in Patients with Low HDL Cholesterol
Levels Receiving Intensive Statin Therapy, N Engl J Med, 365:2255- 2267.
Diabetes Care, 26 (12), 3333-3341.
Dipiro, J.T., et al., 2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, seventh
edition, Mc Graw Hill, New York, pp.103-107, 173-178.
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., 2008,
Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, 7th edition, Mc-GrawHil, USA,
pp. 216
Fagan, S. C., and Hess D. C., 2008, Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, 7th
ed., Mc Graw-Hill Companies, pp. 374-380.
Hernando, F.J.S.,and Conejero, A.M.,2007, Peripheral Artery Disease: Pathophysiology,
Diagnosism and Treatment, Rev Esp Cardio, 60(9): 969-982.
Horsdal H.T., et al, 2012, Type of Preadmission Antidiabetic Treatment and Outcome
Among Patients with Ischemic Stroke: A Nationwide Follow Up Study, J Stroke
Cerebrovasc Dis., Nov;21(8):717-725.
http://www.who.int/topics/cerebrovascular_accident/en/, diakses tanggal 1 Maret 2016.
Jones P.H., and Davidson M.H., 2005, Reporting Rate of Rhabdomyolysis with Fenofibrate 1
Statin Versus Gemfibrozil 1 Any Statin. Am J Cardiol., 95:120–122.
Magkou, D., and Tziomalos, K., 2014, Antidiabatic Treatment, Stroke Severity and
Outcome, World J Diabetes., Apr 15; 5(2): 84–88.
Mayo Clinic, 2014, Diseases and Conditions Gangrene, http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/gangrene/basics/risk-factors/con-20031120, diakses tanggal 1 Maret
2016.
McPhee, S., J., 2007, Patofisiologi Penyakit : Pengantar Menuju Kedokteran Klinis, Edisi 5,
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 195-202; 339-341.
Medscape, 2015, Coronary Artery Atherosclerosis Treatment and Management,
http://emedicine.medscape.com/article/153647-treatment#d10, diakses tanggal 2
Maret 2016
Misdaniarty, 2006, Diabetes Mellitus: Gangren, Ulcer, Infeksi. Mengenal Gejala,
Menanggulangi, dan Mencegah Komplikasi, Ed. 1, Pustaka Populer Obor, Jakarta,
pp. 133-135.
Ndraha, S., 2014, Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini, Medicinus, Vol. 27,
No.2, hal.9-16.
Price, S.A. dan Wilson, L.M., 2006, Patofisiologi : Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit,
Edisi 6, EGC, Jakarta, hal. 281-285.
Sakakura, K., et al., 2013, Pathophysiology of Atherosclerosis Plaque Progression, Heart,
Lung and Circulation, volume 22, 399-411.
Shrikhande, G.V, et al., 2012, Diabetes and Peripheral Vascular Disease Diagnosis and
Management, Springer, New York, pp 30-31.
Stone, J. A, et al., 2013, Vascular Protection in People with Diabetes, Can J Diabetes, 37,
S100-S104.
Stone, J.N., et al., 2013, ACC/AHA Guideline on the Treatment of Blood Cholesterol to
Reduce Atherosclerotic Cardiovascular Risk in Adults, Journal of the American
College of Cardiology, doi: 10.1016/j.jacc.2013.11.002
Tziomalos, K., et al, 2015, Prior Treatment With DPP4 Inhibitor is Associated With Better
Functional Outcome and Lower In-Hospital Mortality in Patients With Type 2 DM
Admitted with Acute Ischaemic Stroke, Diabetes and Vascular Disease Research,
August 21.
WHO,2014, Stroke, Cerebrovascular accident,
Yusuf, S., et al., 2000, Effects of an Angiotensin-Converting-Enzyme Inhibitor, Ramipril, on
Cardiovascular Events in High-Risk Patients, The Heart Outcomes Prevention
Evaluation Study Investigators, The New England Journal of Medicine,
342(3):145-153.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2015, Pedoman Tatalaksana Gagal
Jantung, Sekretariat Indonesian Heart Assosiation, Jakarta, hal. 2-25.