Anda di halaman 1dari 7

CONTOH KASUS UUD ETIKA DAN KESEHATAN

KASUS (PP 51/ TAHUN 2009)


Apotek Unhalu berada di jalan mandonga kota kendari. Letaknya sangat strategis berada di
tengah kota, buka pelayanan tiap hari jam 16.00 – 22.00. pasien sangat ramai serta jumlah resep
yang banyak dilayani. Setiap hari rata-rata 100 lembar resep. APA juga merupakan PNS dan
masuk apotek jam 19.30. Karena banyaknya pasien yang dilayani, penyerahan obat oleh tenaga
teknis kefarmasian tidak sempat memberikan informasi yang cukup. Ditinjau dari sudut etika
profesi, sumpah profesi dan peraturan perundang-undangan, jelaskan kajian saudara terhadap hal
diatas

KAJIAN MENURUT UNDANG-UNDANG


Berdasarkan permasalahan diatas, kami menemukan beberapa ketidak hubungan antara
yang terjadi dengan yang terdapat di peraturan-peraturan yang berlaku mengenai kesehatan dan
pelayanan kesehatan. Peraturan-peraturan itu adalah sebagai berikut :
Berdasarkan permasalahan diatas, kami menemukan beberapa ketidak hubungan antara yang
terjadi dengan yang terdapat di peraturan – peraturan yang berlaku mengenai kesehatan dan
pelayanan kesehatan. Peraturan-peraturan itu sebagai berikut :

Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian


Pasal 1 (13)“Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan
praktek kefarmasian oleh apoteker”
Pasal 20 “Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/ atau Tenaga
Teknis Kefarmasian”
Pasal 21
(1)“Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian”.
(2) “Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep ddokter dilaksanakan
oleh Apoteker”
Pasal 51
(1)“Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah
sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker”

PEKERJAAN KEFARMASIAN–KEAMANAN DAN STANDAR PELAYANAN


KEFARMASIAN DI APOTEK.
Apotek yang tidak memberdayakan apoteker, yaitu apoteker tidak hadir
diapotek tau apoteker tidak melakukan pekerjaan kefarmasiannya di apotek.
Apoteker tidak melakukan pekerjaan kefarmasiannya seperti pada Undang-Undang
Kesehatan No. 36 tahun 2009 Pasal 108yang berbunyi “ Praktik kefarmasiaan yang
meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuaidengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
Apoteker yang ada tidak melakukan pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, penyimpanan, dan pelayanan kepada pasien atas resep dokter serta informasi yang
dibutuhkan oleh pasien. Praktik-praktik yang tidak dilakukan oleh apoteker tersebut,
termasuk pelanggaran terhadap praktik standar di apotek. Dengan tidak dilakukannya
standar pelayanan kesehatan, praktek yang terjadi tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.
51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 21 dimana “ Dalam menjalankan praktek
kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus menerapkan standar
pelayanan kefarmasian”. Padahal standar pelayanan kesehatan di apotek telah diatur dalam
Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan di
Apotek.

1. Sumber Daya
“Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional yang senantiasa mampu
melaksanakan dan memberikan pelayanan yang baik.”
2. Sarana dan Prasarana
“Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk menerima
konseling dan informasi.”
3. Pelayanan resep:
Apoteker melakukan skrining resep hingga penyiapan obat “Pelayanan resep yang
dilakukan oleh apoteker yang di apotek yang dimulai dariskrining resep meliputi: persyaratan
administratif (Nama, SIP dan alamat dokter,tanggal penulisan resep, tanda tangan dokter penulis
resep, nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien, nama obat, potensi, dosis, dan
jumlah obat, cara pemakaian yang jelas), kesesuaian farmasetik (bentuk sediaan, dosis,
potensi,stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian) dan pertimbangan klinis
(efek samping, interaksi, kesesuaian). Selain itu, apoteker juga memiliki tugas untuk melakukan
penyiapan obat meliputi tahap: peracikan dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat,
etiket yang jelas, kemasan obat yang diserahkan dengan rapidan terjaga kualitas.
4) Pelayanan Resep
Apoteker melakukan penyerahan obat. “Sebelum obat diserahkan, obat harus dicek kembali
antara obat dan resep.Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker sambil dilakukan pemberian
informasi obatsekurang-kurangnya: cara pemakaian, cara penyimpanan, jangka waktu
pengobatan,aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari; dan dilakukan
konselinguntuk memperbaiki kualitas hidup pasien.”
5) Promosi dan Edukasi
“Dalam meningkatkan pemberdayaan masyarakat, Apoteker harus berpartisipasi aktif dalam
promosi dan edukasi kesehatan.

Berdasarkan pelayanan kesehatan diatas, terdapat pelanggaran menurut pengertan resep


itu sendiri Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar
Pelayanan di Apotek Pasal 1 yang berbunyi “ Resep adalah permintaan tertulis dari dokter,
dokter gigi, dokter hewankepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien
sesuai peraturan perundangan yang berlaku”. Resep hanya boleh diterima oleh apoteker bukan
oleh tenaga kerja kefarmasian lainnya walaupun pada saat pengerjaan apoteker boleh meminta
bantuan kepada asisten apoteker.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan tidak sesuai standar, memungkinkan pelayanan kepada
pasien yang tidak aman dan berujung pada kerugian pasien seperti terjadinya medication
error.Hal ini tidak sesuai denganUndang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 Pasal 5dimana
“Setiap orang memiliki hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu,
dan terjangkau ”. Aman juga menjadi point dalam hak pasien sebagaimana diatur oleh Undang-
Undang No. 8 Tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 Ayat 1dimana “Hak atas
kenyamanan,keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
Keamanan yang tidak terjamin atas pelayannannya kepada pasien, menjadisalah satu
point yang kurang dalam proses Pharmaceutical care yang menjadi tanggung jawabnya. Apabila
dikaitkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang
Standar Pelayanan di Apotek Pasal 1 yang berbunyi “ Pharmaceutical care adalah bentuk
pelayanan dan tanggung jawablangsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien”, dan yang dilakukan real maka untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien melalui pelayanan di apotek tidak tercapai.

SANKSI
Ketika seorang apoteker dalam menjalankan tugasnya dan tidak mematuhi kode etik
apoteker, maka sesuai dengan Kode Etik Apoteker Indonesia Pasal15 yang berbunyi “
Jika seorang apoteker baik dengan sengaja maupun tidak disengajamelanggar atau tidak
memenuhi kode etik apoteker Indonesia, maka dia wajib mangakui dan menerima sanksi dari
pemerintah, ikatan/organisasi profesi yang menanganinya (IAI), dan mempertanggung
jawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa”,
Sehingga seorang apoteker bisa mendapatkan sanksi sebagai berikut:
1. Teguran dari IAI terhadap apoteker maupun apotek yang bersangkutan.
2. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan :
Pasal 198 : Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenanganuntuk
melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus jutarupiah).
Pasal 201
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal191, Pasal
192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200dilakukan oleh korporasi, selain
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi berupa pidanadenda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana
dimaksuddalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198,Pasal
199, dan Pasal 200
3. Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa:
a) .pencabutan izin usaha; dan/atau
b) pencabutan status badan hukum.

SOLUSI
Apoteker yang telah bekerja dan menjadi Apoteker Penanggung Jawab di sebuah apotek, harus
mengontrol dan bertanggung jawab seluruhnya terhadap seluruh kegiatan kefarmasian yang ada
di Apotek.Untuk membantu kerja tersebut, sebaiknya dibuat prosedur tetap yang dibuat
olehapoteker dan digunakan secara bersama-sama oleh seluruh tenaga kesehatan yang adadi
apotek, meliputi:
 Pemastian bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat.
 Adanya pembagian tugas dan wewenang antara apoteker dengan asisten apoteker
 .Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga kesehatan lain yang bekerja
diapotek.
 Dapat digunakan alat untuk melatih staf baru.
 .Membantu proses audit.

KESIMPULAN :
Berdasarkan keterangan diatas, praktek kefarmasian di apotek melanggar beberapa ketentuan,
yaitu : Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal5, pasal 8 dan pasal 108
Tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 8 Tahun 1998 pasal 4 Tentang Perlindungan
Konsumen, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 pasal 1ayat 13, pasal 20, pasal 21 ayat 1
dan 2 dan pasal 19 ayat 1 Tentang PekerjaanKefarmasian, Keputusan Menteri Kesehatan No.
1332/MENKES/PER/SK/X/2002 pasal19 ayat 1 dan 2 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Ijin Apotek, Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027/MENKES/SK/IX/2004
Tentang Standar Pelayanan diApotek, Kode etik apotekerpasal 3 dan 5, Lafal sumpah atau Janji
Apoteker.
KASUS (PERPRES 54/ TAHUN 2010)
Pihak Kepolisian Daerah Metro Jaya menyita 3 ton obat kadaluwarsa dari Rumah Sakit Duren
Sawit, Jakarta Timur , dengan nilai kerugian sekitar Rp 1,7 miliar.Obat-obatan tersebut menjadi
kadaluwarsa karena jumlah pasokan yang melebihi ketentuan. Hal ini disebabkan adanya
tindakan mark up / berlebihan yang sangat besar dalam pengadaan obat-obatan untuk RS milik
Pemprov DKI tersebut.

KAJIAN MENURUT UNDANG-UNDANG

Pengadaan obat pada Rumah Sakit Umum Pemerintah diatur pada Perpres Nomor 54 Tahun
2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
a) Terdapat pada Pasal 17 Ayat (2) Huruf h yang menyatakan bahwa “Pejabat pengadaan
memiliki wewenang untuk menetapkan penyedia barang/jasa“ , sehingga membuka peluang
penyalahgunaan wewenang misalnya ada hubungan tertentu antara panitia lelang dan peserta
dapat terjadi.
b) Apabila formularium yang diadakan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IRFS) meleset dari
perkiraan kebutuhan maka akan menimbulkan beberapa dampak diantaranya adalah
kekurangan obat, atau kelebihan stok obat yang kemudian akan disimpan hingga melebihi
masa expired, maka akan menimbulkan kerugian .
c) Potensial terjadinya kebocoran informasi yang rahasia mengenai pengadaan barang/jasa
kepada penyedia barang

SANKSI

Pasal 3 UU Tipikor, berbunyi:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan
paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Sedangkan, Pasal 688 RKUHP berbunyi:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling
lama 20 tahun dan denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.

Penjelasan tentang kategori denda ada di Pasal 89 RKUHP, yaitu:

(1) Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan:


a. kategori I Rp 10.000.000
b. kategori II Rp 50.000.000
c. kategori III Rp 150.000.000
d. kategori IV Rp 500.000.000
e. kategori V Rp 2.000.000.000
f. kategori VI Rp 15.000.000.000
g. kategori VII Rp 100.000.000.000

Menilik dari aturan itu, pidana denda melalui jeratan Pasal 3 UU Tipikor maksimal adalah Rp 1
miliar, sedangkan melalui jeratan Pasal 688 RKUHP adalah Rp 500 juta.

SOLUSI

1. Pihak penyelenggara menerapkan secara konsistensi ketentuan yang menjadi petunjuk teknis
pengadaan obat dan peralatan kesehatan seperti yang tertera jelas dalam ketentuan Perpres
Nomor 54 Tahun 2010 tentangg pengadaan barang dan jasa

2. Pelaksanaan pengadaan peralatan kesehatan lebih berorientasi pada proses dan hasil secara
maksimal dan sistematis yang diperuntukan pada unit pelayanan kesehatan, dengan
mengutamakan kebutuhan prioritas yang dilaksanakan secara adil, transparan, professional ,
akuntabel, dan adanya penilaian terhadap sinergitas penggunaan dana public dengan capaian
realisasi pekerjaan serta menggunakan aspek pengawasan yang memenuhi syarat relevan,
kompeten, materiil, bukti yang cukup dan berpedoman pada kode etik dan standar audit

Anda mungkin juga menyukai