Anda di halaman 1dari 10

Mengenali dan Penanganan Kelainan Kongenital Labiognatopalatoshcizis

pada Anak
Wira Candika
102016211 / D2
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510
email: wiracandika @gmail.com

Abstract

Labiognatopalatoschizis is a congenital disease that causes face clefts in infants. The


clefts appear because of the malformation of bones that will form a face in the first trimester
of pregnancy. This congenital disease caused by many factors, such as genetics, nutrition and
environment. If this disease was not treated immediately, further complications could happen,
such as acute otitis media, speech difficulties and malnutrition. Infants with this disease will
have difficulties in feeding, therefore, a special bottle that can deliver nutrition right to the
digestive tract must be used. Treatment to this disease is by performing surgery. Surgery will
be performed gradually depends on the infant’s age so that the development will be mature
enough for surgery and increasing the success rate.

Key words: Labiognatopalatoschizis, Clefts, Surgery

Abstrak

Labiognatopalatoschizis adalah kelainan kongenital yang menyebabkan celah pada


bagian wajah bayi. Celah tersebut timbul karena prosesus-prosesus pembentuk wajah gagal
menyatu pada trimester pertama kehamilan. Kelainan ini disebabkan oleh banyak faktor
seperti genetik, nutrisi, dan lingkungan. Jika tidak segera ditangani, dapat menimbulkan
komplikasi seperti otitis media akut, malnutrisi, dan kesulitan bicara. Bayi dengan kelianan
ini akan kesulitan menyusu, untuk itu digunakan botol khusus yang dapat mengalirkan
langsung nutrisi ke saluran pencernaan. Penanganan dari kelainan ini adalah dengan
melakukan operasi yang bertahap, sesuai dengan usia dan pertumbuhan bayi untuk
meningkatkan keberhasilan dari operasi.

Kata Kunci: Labiognatopalatoschizis, Celah, Operasi

1
Pendahuluan

Labio Gnato Palato Schizis atau yang dikenal sebagai bibir sumbing adalah suatu
kelainan yang tampak pada mulut dan wajah seorang anak. Kelainan tersebut terjadi sejak
masa kandungan karena kurangnya asupan nutrisi, seperti kurangnya asupan vitamin, asam
folat, dan zat besi dalam hal ini adalah seng. Kelainan ini termasuk kelainan kongenital atau
dalam bahasa awam, cacat bawaan lahir.

Kurangnya asupan nutrisi tersebut menyebabkan gangguan pembentukan wajah pada


janin ketika trimester pertama kehamilan. Gangguan pembentukan wajah yang terjadi karena
tulang-tulang pembentuk wajah gagal menyatu, hal ini akan dibahas lebih lanjut lagi.
Berikutnya dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas lebih dalam mengenai Labio Gnato
Palato Schizis dan diharapkan pembaca dapat menambah pengetahuan pembaca tentang
kelainan ini.

Isi

Anatomi Pembentukan Wajah

Pembentukan wajah pada janin sudah dimulai sejak trimester pertama dari kehamilan.
Ada prosesus-prosesus yang nantinya akan berkembang dan menyatu untuk membentuk
wajah. Prosesus-prosesus tersebut antara lain adalah prosesus frontalis yang nantinya akan
berkembang menjadi dahi, prosesus nasalis medialis dan lateralis yang akan membentuk
hidung, prosesus maxilaris akan membentuk rahang atas dan prosesus mandibularis akan
membentuk rahang bawah.1

Labio Gnato Palato Schizis

Labio gnato palato schizis , atau cleft lip and palate (CLP), atau dikenal dalam
bahasa awan sebagai bibir sumbing adalah suatu kelainan kongenital dimana adanya celah
pada bagian bibir hingga hidung dan palatum atau langit langit mulut. Celah tersebut
dikarenakan oleh gagalnya penyatuan prosesus-prosesus penyusun wajah. Dalam hal ini
kegagalan penyatuan prosesus nasalis media dan lateralis, prosesus maxilaris, prosesus
mandibularis, dan palatum molle dan palatum durum.2-4

Deformitas ini dapat unilateral atau bilateral, inkomplet atau komplet. Sumbing
inkomplet ditemukan adanya celah pada bibir tapi celah tersebut tidak sampai ke bagian dasar
hidung. Pada sumbing komplet, adanya celah dari bibir hingga bagian dasar hidung. Celah

2
tersebut dapat terjadi secara unilateral, dimana hanya terdapat celah pada bagian kiri atau
kanan dari dan dapat juga terjadi secara bilateral, dengan celah pada kedua bagian kiri dan
kanan. Ada kemungkinan yang terkena hanyalah bibir saja, atau dapat meluas sampai ke
lubang hidung, atau mengenai tulang maksila dan gigi. Sumbing bibir dan palatum bisa
terjadi secara terpisah atau bersama-sama.2-4

Selain itu, kelainan sumbing ini dapat diklasifikasikan berdasarkan dari organ yang
terlibat. Celah di bibir disebut sebagai labioschizis, celah di gusi disebut gnatoschizis, celah
di langit-langit mulut disebut sebagai palatoschizis, jika ketiga organ tersebut terlibat, maka
disebut sebagai labiognatopalatoschizis.2-4

Biasanya pada bayi yang mengalami kelainan ini akan sulit untuk menyusu, anggapan
masyarakat bahawa bayi dengan bibir smbing harus diberikan asupan nutrisi melalui selang
adalah tidak benar. Bayi dengan celah di bibir masih bisa diberi asupan dengan cara tertentu,
tetapi jika terdapat celah pada langit-langit mulut, maka akan lebih sukar. Berikut adalah
langkah-langkah pemberian nutrisi untuk bayi dengan kelainan:5

1. Posisi bayi duduk/setengah duduk agar bayi tidak tersedak


2. Puting susu dimasukkan sedalam mungkin melewati celah sampai mendekati
tenggorokkan
3. Bila tidak berhasil, pergunakan dot khusus sumbing (bentuk panjang dengan lubang
dibawah/lubang besar)
4. Dapat mempergunakan sendok, disarankan dengan sendok plastik bayi agar lebih
aman dan tidak menusuk langit-langit bayi
5. Bila tersedak atau telah selesai menyusui, posisikan bayi tegak, kepala diletakkan
melewati bahu ibu dan perlahan punggung bayi ditepuk-tepuk

Kegiatan pemberian asupan makanan dapat membuat bayi sumbing lebih cepat lelah, berikan
asupan dalam porsi kecil tetapi sering.

3
Epidemiologi

Terdapat sekitar 1:600 kelahiran yang menyebabkan bibir sumbing dan sekitar 1:1000
kelahiran terkena insiden celah palatum. Bibir sumbing cenderung lebih sering terjadi pada
anak laki-laki dan belum diketahui secara pasti apa penyebabnya. Ada kemungkinan terkena
bibir sumbing karena ibu yang terpapar oleh obat, kompleks sindrom-malformasi, ataupun
faktor genetik. Insiden tertinggi kelainan ini terjadi pada orang Asia dan insiden terendah
terjadi pada orang kulit hitam. Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi timbulnya kelainan
ini dikarenakan oleh defisiensi seng, asam folat, dan vitamin B6 pada saat kehamilan, dan
adanya perkawinan antar penderita bibir sumbing. Usia ibu pada saat mengandung juga
menjadi salah satu faktor pencetus karena semakin tua usia ibu maka daya pembentukan janin
juga berkurang sehingga memungkinkan terjadinya ketidaksempurnaan pembelahan
meiosis.3-7

Bagi orang tua dengan bibir sumbing dan langit-langit mulut atau untuk anak dengan
celah bibir dan langit-langit, resiko memiliki anak yang terkena dampak berikutnya adalah
4%. Risiko meningkat sampai 9% dengan 2 anak sebelumnya terpengaruh. Secara umum,
risiko peningkatan saudara kandung berikutnya dengan keparahan dari celah tersebut.3-7

Etiologi

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya cacat sumbing. Kebanyakan


sumbing bibir dan sumbing langit-langit mempunyai penyebab multifaktorial. Sumbing bibir
(kurang lebih 1:1000 kelahiran) lebih banyak terjadi pada pria (80%) daripada wanita, angka
kejadiannya agak lebih tinggi dengan bertambahnya usia ibu, dan angka kejadian ini berbeda-
beda pada berbagai kelompok penduduk yang berlainan. Faktor terjadinya cacat sumbing
antara lain yaitu:3-7

Mutasi gen, yaitu berhubungan dengan beberapa macam sindrom atau gejala yang dapat
diturunkan oleh hukum Mendel dimana celah bibir dengan atau sebagai langitan sebagai
komponennya.

Aberasi kromosom yaitu apabila celah bibir terjadi sebagai gambaran klinis dari
beberapa sindrom yang dihasilkan dari aberasi kromosom, contohnya sindrom D-trisomi.

4
Faktor lingkungan atau adanya zat teratogen. Yang dimaksud zat teratogen adalah agen
spesifik yang dapat merusak embrio seperti virus rubella, thalidome. Teratogen lainnya yang
dapat menyebabkan cleft yaitu ethanol, phenytoin, defisiensi asam folat dan rokok.

Multifactorial inheritance, yaitu memiliki kecenderungan yang kuat dari keluarga untuk
mendapatkan defek ini namun tetapi tidak sesuai dengan pola Mendel sederhana.

Secara garis besar, faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya celah bibir atau langitan
dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu faktor herediter dan faktor lingkungan.

Faktor herediter, yaitu faktor yang dipastikan sebagai penyebab terjadinya celah bibir.
Pada beberapa kasus, tampak kejadian celah bibir dan langitan mengikuti pola hukum
Mendel namun pada kasus lainnya distribusi kelainan itu tidak beraturan. Faktor risiko
herediter dibagi menjadi dua macam, mutasi gen dan aberasi kromosom. Pada mutasi gen
biasanya ditemukan sejumlah sindrom yang diturunkan menurut hukum Mendel, baik secara
autosomal dominan, resesif, maupun X-linked. Pada autosomal dominan, orangtua yang
mempunyai kelainan ini menghasilkan anak dengan kelainan yang sama, sedangkan pada
autosomal resesif kedua orangtua normal, tetapi sebagai pembawa gen abnormal. Pada kasus
terkait X (X-linked), wanita dengan gen abnormal tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan
sedangkan pria dengan gen abnormal menunjukkan kelainan ini.

Faktor lingkungan adalah faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan embrio,


seperti usia ibu saat hamil, penggunaan obat-obatan, defisiensi nutrisi, penyakit infeksi,
radiasi, stress emosional dan trauma pada masa kehamilan. Faktor usia ibu hamil di usia
lanjut biasanya berisiko melahirkan bayi dengan bibir sumbing.

a. Defisiensi nutrisi

Pada masa kehamilan, nutrisi yang kurang merupakan salah satu hal yang dapat
menyebabkan terjadinya celah palatum. Percobaan-percobaan yang dilakukan terhadap
binatang seperti pemberian vitamin A secara berlebihan ataupun kurang yang hasilnya
menimbulkan celah pada anak-anak tikus yang lahir. Begitu juga pada defisiensi vitamin
Riboflavin yang diberikan pada tikus yang hamil dan hasilnya juga adanya celah dengan
persentase yang tinggi. Defisiensi vitamin B kompleks yang dibutuhkan untuk beberapa
enzim yang vital dalam tubuh dan keadaan ini dapat memacu terjadinya celah palatum.

5
b. Stres

Strean dan Peer melaporkan bahwa psikologis, emosi dan stres merupakan faktor yang
signifikan terhadap terjadinya celah palatum. Stres yang timbul menyebabkan fungsi korteks
adrenal terangsang untuk melepaskan sekresi hidrokortison dan jika hal ini sering terjadi
dalam trimester pertama kehamilan akan dapat menjurus kepada terjadinya suatu malformasi.

c. Zat kimia

Pemberian aspirin, kortison dan insulin, dan obat-obatan yang diketahui dapat menyebabkan
congenital abnormality dan facial cleft seperti thalidomide, phenytoin, antibiotika,
transqualizer, obat untuk aborsi dan obat untuk infeksi virus, serta penggunaan kafein dan
injeksi steroid, karena penggunaan obat-obatan ini akan melalui palsenta sehingga
menghambat pertumbuhan janin.

d. Mekanik

Obstruksi lidah memungkinkan terjadinya celah pada embrio. Perkembangan yang tidak
sejalan atau posisi janin dalam rahim dapat menyebabkan retrusi lidah dan hidung diantara
palatum itu sendiri.

e. Anemia malnutrisi

Anemia dan kesehatan yang buruk dari si ibu akan dapat menyebabkan congenital cleft,
karena kurangnya darah yang mengangkut oksigen dimana oksigen diperlukan untuk
pertumbuhan jaringan mesenkim.

f. Infeksi pada trimester pertama kehamilan

Infeksi yang terjadi dalam trimester pertama kehamilan dapat mengganggu fetus, karena
infeksi yang terjadi dapat menghalangi pembentukan jaringan baru.

g. Radiasi

Merupakan bahan-bahan teratogenik yang potent, dimana radioterapi yang dilakukan pada
tumor dapat menghambat pertumbuhan janin.

h. Anoksia

6
Dimana kadar O2 menurun akibatnya O2 yang diperlukan pertumbuhan jaringan mesenkim
menjadi berkurang sehingga terjadi celah palatum.

i. Kecanduan alkohol

Dimana alkohol dapat menyebabkan morfogenesis dan mempunyai efek antagonis metabolik
sehingga bisa menyebabkan terjadinya celah palatum.

Faktor-faktor ini merupakan penyebab peningkatan insiden celah palatum, tetapi


intensitas dan waktu lebih penting dibanding jenis faktor lingkungan yang spesifik.

Penyebab lain celah palatum yang sebenarnya multifaktorial adalah usia ibu sewaktu
melahirkan, perkawinan antara sesama penderita, dan defisiensi asupan seng (Zn), asam folat,
dan vitamin B6.

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi antara lain adalah kesulitan makan, dikarenakan
adanya celah pada palatum sehingga susu yang dikonsumsi bayi bisa masuk ke rongga
hidung dan ke saluran pernafasan mengakibatkan bayi sering tersedak saat menyusu. Untuk
menanggulangi hal ini, pemberian susu bayi dapat diberikan melalui botol susu khusus yang
dapat mengaliran langsung susu ke dalam saluran pencernaan supaya bayi tetap mendapatkan
asupan nutrisi sampai dilakukannya tindakan operasi.4,7

Otitis media akut juga salah satu komplikasi yang dapat terjadi akibat
labiognatopalatoschizis. Dalam keadaan normal, tuba eustachius yang menghubungkan
faring dan telinga tengah akan menutup dan hanya terbuka saat menelan, menguap, atau
meniup keras. Pada kelainan labiognatopalatoschizis, tuba eustachius tidak bisa menutup
sehingga pada saat anak tersebut terserang penyakit flu atau ISPA, bakteri atau virus dari
faring dengan mudah berpindah ke telinga tengah dan menyebabkan produksi cairan pada
telinga meningkat. Jika komplikasi ini tidak ditangani, otitis media dapat berkembang
menjadi otitis media perforate, dimana terjadi perforasi dari membran timpani dan dapat
menyebabkan ketulian. Untuk mencegah hal ini, anak dengan labiognatopalatoschizis akan
diberikan suatu tabung khusus pada gendang telinganya untuk membantu pengeluaran cairan
telinga yang berlebih.4,7

7
Labiognatopalatoschizis juga dapat menyebabkan gangguan bicara pada anak. Suara
yang dihasilkan tidak sempurna dan terdengar seperti suara dari hidung, sehingga apa yang
diucapkan oleh anak tersebut akan sulit dimengerti. Tidak semua anak akan mengalami
kesulitan bicara dan tindakan bedah dapat membantu untuk meringankan komplikasi ini.
Untuk beberapa kasus, dibutuhkan klinisi khusus yang disebut sebagai speech pathologist
untuk membantu anak tersebut supaya bisa berbicara layaknya anak normal.4,7

Anak dengan labiognatopalatoschizis lebih berisiko terkena gangguan pada gigi


karena adanya malformasi dari susunan gigi. Hal ini dapat ditangani oleh orthodontist dan
dengan dilakukan tindakan pembedahan.4,7

Penanganan

Penanganan dari labiognatopalatoschizis terdiri dari beberapa tahapan operasi


tergantung dari usia anak. Ketika anak berusia 0-3 bulan, yang dilakukan pertama tama
adalah melakukuan edukasi kepada orangtua tentang cara pemberian asupan nutrisi.
Pemberian nutrisi yang baik ini diperlukan karena syarat dari kondisi anak tersebut harus
dalam keadaan sehat. Anak harus bersusia 10 minggu hingga 3 bulan, berat badan minimal
5kg, dan Hb minimal 10gr%. Tindakan yang dilakukan adalah pemasangan plester pada
langit-;langit dan menutup sumbing langit-langit sementara waktu.4,5,8

Ketika anak berusia 3 bulan, tindakan yang dilakukan adalah operasi celah pada bibir
dan celah pada ujung lubang hidung. Tindakan operasi ini bertujuan untuk menyatukan
segmen bibir dan hidung kiri dengan kanan sehingga celah menjadi tertutup. Ketika anak
sudah berusia 10-12 bulan, Operasi sumbing langit-langit dilakukan untuk menutup celah
pada langit-langit dengan lebih sempurna lagi.4,5,8

Setelah operasi sumbing langit-langit dilakukan, 1-3 bulan berikutnya akan dilakukan
terapi wicara supaya anak dapat berbicara normal. Ketika anak berumur 3-4 tahun, dilakukan
operasi pemanjangan langit-langit, pharynx, dan perbaikan bekas luka sumbing. Pada umur 7-
9 tahun, akan dilakukan operasi gusi untuk memperbaiki malformasi gusi dan pada usia
dewasa, jika ditemukan maformasi tulang wajah, maka akan dilakukan operasi tulang-tulang
wajah. Operasi yang bertahap-tahap ini menyesuaikan pertumbuhan dari organ-organ yang
terlibat, operasi dilakukan pada saat organ tersebut telah mengalami pertumbuhan yang lebih
matang dari sebelumnya untuk meningkatkan keberhasilan dari tindakan operasi.4,5,8

8
Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, kelainan labiognatopalatoschizis merupakan kelainan kongenital


karena prosesus-prosesus penyusun wajah gagal menyatu, sehingga terbentuknya celah pada
bibir, gusi, dan langit-langit mulut pada bayi yang dilahirkan. Penyebabnya ada
multifaktorial, seperti faktor genetik, faktor lingkungan, dan kecukupan gizi ibu pada saat
mengandung. Bayi yang mengalami labiognatopalatoschizis biasanya akan kesulitan
menyusu. Bayi akan sering tersedak karena air susu dapat masuk ke rongga hidung melalui
celah pada langit-langit dan kemudian masuk ke saluran pernafasan. Pemberian nutrisi untuk
bayi dapat dilakukan dengan menggunakan botol susu khusus yang dapat mengalirkan
langsung nutrisi yang dibutuhkan ke saluran pencernaan. Penanganan dari kelainan ini adalah
dengan melakukan tindakan bedah. Tindakan bedah yang dilakukan secara bertahap sesuai
dengan usia bayi dan pertumbuhan dari organ-organ yang akan dilakukan tindakan untuk
meningkatkan keberhasilah dari bedah tersebut.

9
Daftar Pustaka

1. Drake RL, Vogl AW, Mitchell AWM. Dasar-dasar anatomi gray. Singapore: Elsevier
(singapore); 2014

2. Supandi A, Monorfa A, OLey MH. Angka kejadian sumbing bibir di RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado periode 2011-2013 [penelitian skripsi]. Indonesia: Universitas Sam
Ratulangi Manado; 2013.

3. Diunduh dari https://www.cdc.gov/ncbddd/birthdefects/cleftlip.html pada tanggal 13


Januari 2018

4. Diunduh dari https://www.webmd.com/oral-health/cleft-lip-cleft-palate#4-8 pada tanggal


13 Januari 2018

5. Diunduh dari https://rsudmangusada.badungkab.go.id/detail-promosi/48/Sumbing-Bibir-


LangitminLangit.html pada tanggal 13 Januari 2018

6. Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/31860/Chapter%20II.pdf?sequence=4
&isAllowed=y pada tanggal 13 Januari 2018

7. Marcdante KJ, Kliegman RM. Nelson essentials of pediatrics 7th ed. US: Saunders; 2014.

8. Hodkinson PD, Brown S, Duncan D, Grant C, McNaughton A, Thomas P, et al.


Management of children with cleft lip and palate: a review describing the application of
multidisciplinary team working in this condition based upon experiences of a regional cleft
lip and palate centre in the United Kingdom. Fetal and Maternal Medicine Review. 2005;
16:1 1-27.

10

Anda mungkin juga menyukai