Anda di halaman 1dari 23

Paper

Teori Erikson Fase 4 Kehidupan Anak Sesuai Usia

Oleh :
Lusye A. H. Berhandus
17014101079
Masa KKM : 05 November 2018 – 02 Desember 2018

Pembimbing :
dr. L. F. Joyce Kandou, Sp.KJ

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Paper yang berjudul

“Teori Erikson Fase 4 Kehidupan Anak Sesuai Usia”

Telah dibacakan, dikoreksi dan disetujui pada November2018

Oleh:

Lusye A. H. Berhandus
17014101079
Masa KKM : 05 November 2018 – 02 Desember 2018

Pembimbing :

dr. L. F. Joyce Kandou, Sp.KJ


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 3

A. Biografi Erik Erikson .................................................................. 3

B. Fase-Fase Perkembangan Psikososial ......................................... 5

C. Teori Erikson Fase 4 .................................................................... 15

D. Konsep Baru Tentang Ego........................................................... 16

BAB III KESIMPULAN ................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 20

i
BAB I

PENDAHULUAN

Obyek Psikologi Perkembangan adalah perkembangan manusia sebagai

pribadi. Para ahli Psikologi juga tertarik akan masalah seberapa jauhkah

Perkembangan manusia tadi di pengaruhi oleh perkembangan masyarakatnya.

Psikososial adalah Setiap Perubahan yang terjadi dalam kehidupan individu,baik

yang bersifat psikologik maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik.

Teori Psikososial di kembangkan oleh Erick H. Erikson. Pengertian

perkembangan menunjuk pada suatu proses kearah yang lebih sempurna dan tidak

begitu saja dapat di ulang kembali. Perkembangan menunjuk pada suatu

perubahan yang bersifat tetap dan tidak dapat di putar kembali.1,2

Teori perkembangan Psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian

terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmun Freud, Erickson percaya bahwa

kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting

dari teori tingkatan psikososial Erickson adalah perkembangan persamaan ego.

Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi

sosial. Menurut Erickson, Perkembangan ego selalu berubah berdasarkan

pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan

orang lain. Erickson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan

perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa

teori Erickson di sebut sebagai teori perkembangan psikososial.1

Berkat teori perkembangan psikososial ini Erickson mendapat posisi yang

terhormat dalam dunia psikologi dan bahkan beberapa orang mensejajarkan

dengan Sigmund Freud. Hal ini di karenakan Erickson menjelaskan tahap

1
perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia, hal ini yang tidak di

lakukan oleh Freud, karena Sigmund Freud lebih mengedepankan pada wilayah

ketidaksadaran manusia, Teori Erickson yang mengedepankan aspek kehidupan

sosial dan fungsi budaya dianggap lebih realistis.1,2

Erickson dalam mengungkapkan teorinya sangat terpengaruh dengan

pengalaman pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Beliau

berpendapat bahwa pandangannya ini sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis

yang di ungkapkan oleh Sigmund Freud, maka dapat dikatakan juga bahwa

Erickson ini adalah seorang Post-Freudian atau Neofreudian. Akan tetapi teori

Eick Erickson ini lebih mengedepankan pada masyarakat dan kebudayaan. Ini di

karenakan Erickson sangat tertarik dengan ilmu antropologi. Bahkan sering kali

beliau meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Biografi Erik Erikson

Erik Erikson dilahirkan di Frankurt, Jerman tanggal 15 Juni1902. Ayah

kandungnya adalah seorang laki-laki berkebangsaan Denmark yang tidak dikenal

namanya dan tidak mau mengakui Erik sebagai anaknya sewaktu masih dalam

kandungan dan langsung meninggalkan ibunya. Ibunya bernama Karla

Abrahamsen yang berkebangsaan Yahudi. Saat Erikson berusia tiga tahun ibunya

menikah lagi dengan seorang dokter bernama Theodore Homburger, kemudian

mereka pindah ke daerah karlsruhe di Jerman Selatan. Nama Erik Erikson dipakai

pada tahun 1939 sebagai ganti Erik Homburger. Erikson menyebut dirinya sebagai

ayah bagi dirinya sendiri, nama Homburger direduksi sebagai nama tengah bukan

nama akhir.2,3

Setelah lulus sekolah menengah, Erik memutuskan untuk menjadi seniman.

Karena tidak mengambil kuliah seni, dia memilih untuk keliling Eropa

mengunjungi berbagai musium dan hidup seperti gelandangan. Dia menjalani

hidup secara bebas tanpa beban, sampai suatu saat jelas “ apa yang harus di

kerjakannya “.2,3

Di usia 25, temannya Peter Blos (seorang seniman yang kemudian jadi

Psikoanalisis) menyarankannya agar mendaftar jadi guru di sekolah percobaan

untuk anak – anak amerika yang di kelola oleh Dorothy Burlingham, seorang

teman Ana Freud. Di samping mengajar seni dia juga mendapat sertifikat dari

Montesori Education dan Vienna Psychoanalytic Society. Bisa di katakan, dia jadi

psikoanalisis karena Anna Freud.2,3

3
Beberapa waktu kemudian, dia bertemu Joen Serson seorang guru tari dari

Kanada dan menikahinya. Mereka dikaruniai tiga orang anak, salah satunya

kemudian menjadi seorang sosiolog terkenal.Setelah itu Erik Erikson mengajar di

Harvard Medical School dan membuka praktik psikoanalisis anak- anak

dirumahnya. Dimasa ini, dia bertemu dengan psikolog seperti Henry Murray dan

Kurt Lewin serta antropolog terkenal semisal Ruth Benetict, Margaret Mead dan

Gregory Beteson.2,3

Dia kemudian mengajar di Universitas Yale, University of California di

Berkeley. Di masa inilah dia melakukan studi- studinya yang terkenal tentang

kehidupan modern dalam suku Lakota dan Yurok. Tahun 1950, dia menulis

Childhood and Society, yang memuat kesimpulan penilitiannya di tengah

pendudukan asli Amerika, analisis tenteng Maxim Gorky dan Adolph Hitler,

diskusi tentang “Kepribadian Amerika”, dan beberapa ringkasan teori

Freudian.Pengaruh kebudayaan terhadap kepribadian dan analisinya terhadap

tokoh tokoh sejarah,tetap muncul dalam karya karya yang lain,salah satunya

adalah Gandhis Truth,yang memenangkan Pulitzer Award dan National Book

Award.2,3

Ditahun yang sama,sewaktu merebak teror Senator Joseph

McCarthy,erikson meninggalkan Berkeley karena profesor disana menyuruh dia

mendatangani dukungan terhadap senator McCarthy. Dia menghabiskan waktu

kerja dan mengajar di sebuah klinik di Massachussets selama 10 tahun,dan selama

10 tahun kemudian kembali ke Harvard. Walaupun telah pensiun tahun 1970, dia

tetap menulis dan melakukan penelitian bersama istrinya.1,3

4
B. Fase-Fase Perkembangan Psikososial

Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erickson memiliki

ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak

bersifat sosial,yang berjalan melalui krisis diantar polaritas. Adapun tingkatan

dalam delapan tahap perkembangan yang di lalui oleh setiap manusia menurut

Erickson adalah sebagai berikut:4,5,6

a. Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)

Masa bayi (Infancy) ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust.

Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai

orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya,

tetapi orangyang di anggap dia asing tidak akan mempercayainya. Oleh

karena itu kadang kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang

tidak di kenalnya. Akan tetapi ketidakpercayaan bayi bukan hanya kepada

orang asing melainkan juga kepada beda, situasi, kondisi dan lingkungan

yang dirasa asing baginya. Dalam kondisi demikian biasanya bayi akan

menangis.4,5

Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1

tahun. Tugas yang harus di jalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan

mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk

hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik

apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan. Misalnya untuk tidur dengan

tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu. Serta dapat

membuang kotoran (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu pada tahap

ini ibu memiliki peran yang secara kualitatif sangat menetukan

5
perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil. Kepuasan yang di

rasakan seorang bayi terhadap sikap yang di berikan oleh ibunya akan

menimbulkan rasa aman, di cintai, dan terlindungi.3,5

Sebaliknya jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada

bayinya dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau ada hal-

hal yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi

memenuhi keinginannya sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan

rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain.3,5

Hal ini jangan di pahami bahwa peran sebagai orang tua harus

sempurna tanpa cacat atau kesalahan. Karena orangtua yang terlalu

melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya kecenderungan

maladaptive. Erikson menyebutkan hal ini dengan sebutan salah

penyesuaian indrawi, orang yang selalu percaya tidak akan pernah

mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat

jahat kepadanya. Orang tipe seperti ini akan mudah di tipu. Sebaliknya, hal

terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan

ketidakpuasan yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Orang pada

tipe ini akan berkembang pada arah kecurigaan dan merasa terancam terus

menerus. Hal ini di tandai dengan munculnya frustasi, sinis, marah, maupun

depresi.3,5

Adanya perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan antara

kepercayaan dan ketidak percayaan terjadi pada tahap ini dapat

mengakibatkan tumbuhnya pengharapan.Nilai lebih yang akan berkembang

di dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat

6
bahwa kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya,tetapi

mereka masih mengolahnya menjadi lebih baik.3,5

b. Otonomi vs Perasaan malu dan ragu-ragu

Masa kanak-kanak awal ( early childhood) berlangsung pada usia 2-3

tahun yang menentukan tumbuhnya kemauan Baik dan kemauan keras, anak

mempelajari apakah yang di harapkan dari dirinya, apakah kewajiban-

kewajiban dan hak-haknya disertai apakah pembatasan-pembatasan yang di

kenakan pada dirinya.inilah tahap saat berkembangnya kebebasan

penggungkapan diri dan sifat kasih sayang, rasa mampu mengendalikan diri

akan menimbulkan dalam diri anak rasa memiliki kemauan baik dan bangga

yang bersifat menetap, jika orang tua dapat menolak anak untuk melakukan

apa yang dapat dilakukannya, tetapi tidak patut di lakukan. Sebaliknya,

orang tua dapat mendorong atau memaksa anak melakukan yang patut,

sesuai batas kemampuannya. Hal ini akan menumbuhkan rasa percaya diri

pada anak. Apabila orang tua melindungi anak berlebihan atau tidak peka

terhadap rasa malu anak dihadapan orang lain dapat menumbuhkan pribadi

pemalu dan ragu ragu yang bersifat menetap.3,5

Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu

mengobarkan keberanian anak dan tidak perlu juga harus mematikannya.

Dengan kata lain keseimbanganlah yang di perlukan di sini. Ada sebuah

kalimat yang seringkali menjadi teguran maupun nasehat bagi orang tua

dalam mengasuh anaknya yaitu “tegas namun toleran”. Konsep ini sangat

tepat dengan apa yang menjadi pemikiran Erikson. Karena tanpa sikap ini

anak akan cenderung berkembang kearah sikap maladaptive yang disebut

7
Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya

apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga

tidak baik karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang di sebut

Erikson sebagai compulsivness.3,5

Ritualisasi yang di alami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan

adanya sifat bijak sana dan legalisme. Melalui tahap ini anak sudah dapat

mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah dan

mana yang benar dari setiap gerak atau prilaku orang lain yang disebut

sebagai bijaksana. Apabila dalam pengasuhan terdapat penyimpangan maka

anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas jika oranglain dapat

di kalahkan.3,5

c. Inisiatif vs Kesalahan

Masa pra sekolah (preschool age) ditandai adanya kecenderungan

inisiative-guilty. Pada masaini anak telah memiliki beberapa kecakapan dan

tanggung jawab, dalam tahap ini anak menampilkan diri lebih maju dan

lebih seimbang secara fisik maupun kejiwaan jika orang tua mampu

memberikan dorongan kreativitas inisiatif dari anak, akan tetapi jika orang

tua tidak memberikan kesempatan anak untuk menyelesaikan tugas tugasnya

atau terlalu banyak menggunakan hukuman verbal atas inisiatif anak maka

anak kan tumbuh sebagai pribadi yang selalu takut salah. Masa bermain ini

bercirikan ritualisasi dramatik, anak secara aktif berpartisipasi dalam

kegiatan bermain, memakai pakaian, meniru kepribadian-kepribadian orang

dewasa dan berpura pura menjadi apa saja dari seekor harimau atau seorang

8
polisi. Tahap ketiga ini juga di katakan sebagai tahap kelamin lokomotor (

genetical-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap kelamin.3,4

d. Kerajinan vs Inferioritas

Masa sekolah (school age) berlangsung pada usia antara 6-11

tahun,pada masa ini berkembang kemampuan berfikir deduktif, disiplin diri

dan kemampuan berhubungan dengan teman sebaya serta rasa ingin tahu

akan meningkat. Ia mengembangkan sikap rajin dan mempelajari hasil dari

ketekunan dan kerajinan. Perhatian pada alat-alat bermain dan kegiatan

bermain berangsur-angsur di gantikan oleh perhatian pada situasi-situasi

produktif dan alat-alat serta perkakas perkakas yang di pakai untuk

bekerja.3,5

Anak pada usia ini di tuntut untuk dapat merasakan bagaimana

rasanya berhasil, apakah itu di permainan atau di sekolah. Melalui tuntutan

tersebut anak dapat mengembangkan sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak

dapat meraih suskses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas),

sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri, oleh sebab itu

peran orang tua dan guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang

menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini.3,4

e. Identitas vs Kekacauan Identitas

Masa Adolesen,berlangsung pada usia 12/13-20 tahun. Pada masa ini

individu mulai merasakan sesuatu parasaan tentang identitasnya sendiri,

perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk memasuki suatu

peranan yang berarti di tengah masyarakat, entah peranan ini bersifat

menyesuaikan diri atau bersifat memperbaharui, mulai menyadari sifat-sifat

9
yang melekat pada dirinya sendiri, seperti beberapa kesukaan dan ketidak

sukaanya, tujuan-tujuan yang di kejarnya di masa depan kekuatan dan hasrat

untuk mengontrol nasibnya sendiri. Inilah masa dalam kehidupan ketika

orang ingin menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan ingin menjadi

apakah ia pada saat yang akan datang. Freud menyebutnya fase Genital.3,4

Masa ini mengembangkan perasaan identitas ego yang mantap pada

kutup positif dan identitas ego yang kacau pada kutub negatif.Erikson

menegaskan bahwa ada tiga unsur yang merupakan persyaratan dalam

pembentukan identitas ego, yaitu :

i. Individu yang bersangkutan harus menerima atau menganggap

dirinya itu sama di dalam berbagai situasi pengalaman dengan

teman sebayanya.

ii. Orang-orang disekitarnya,dalam satu lingkungan sosial harus

memiliki persepsi yang sama terhadap diri individu tersebut.

iii. Persepsi diri individu yang bersangkutan harus mendapat uji

validitas dalam pengalaman hubungan antar manusia. Jadi,

identitas ego positif akan menggambarkan kemampuan pemuda-

pemudi yang memahami dan meyakini tuntutan norma-norma

sosial,sehingga tumbuh rasa kesetiaan.

f. Keintiman vs Isolasi

Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap

individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu masa dewasa awal yang

berusia sekitar 20-40 tahun. Masa Dewasa Awal (young adulthood) yang

ditandai dengan adanya kecenderungan intimacy-isolation. Kalau pada masa

10
sebelumnya individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya

atau lebih dikenal dengan teman akrab, namun pada masa ini ikatan

kelompok sudah mulai longgar. Dapat ditandai dengan keselektifan dalam

membina hubungan intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham.

Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim

dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang

lain.5,6

Masa ini menurut Erikson adalah keinginan mencapai kedekatan

dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode

ini diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang

biasanya disebut dengan istilah pacaran, guna memperlihatkan dan

mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Dimana pemahaman

kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang

terjalin dengan orang lain. Akan tetapi keadaan ini akan memiliki pengaruh

yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai

kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga

akan tumbuh sifat terisolasi.5,6

Erikson menyebutkan adanya kecenderungan maldaptif yang muncul

dalam periode ini ialah rasa cuek, dimana seseorang akan merasa sudah

terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa

memperdulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan

misalnya hubungan persahabatan, tetangga, bahkan dengan orang-orang

terdekat kita sekalipun. Sementara dari segi lain Erikson menyebutnya

keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri

11
sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul

rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang

dirasakan.3,4

Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman serta isolasi harus

berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai positif yaitu cinta. Dalam

konteks teorinya cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala

bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Cinta

yang dimaksud disini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih,

namundenganorang-orangterdekatkita.3,4

Ritualisasi yang terjadi pada tahapan ini yaitu adanya afiliasi dan

elitisme. Afiliasi merupakan sikap yang baik dengan mencerminkan sikap

untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan sahabat, kekasih, dan

lain-lain. Sedangkan Elitisme menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan

selalu menaruh sikap curiga terhadap orang lain.3,4

g. Generativitas vs Stagnasi

Tahap Masa dewasa (dewasa tengah) ditempati oleh orang-orang yang

berusia sekitar 41-65 tahun. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai dengan

adanya kecenderungan generativity-stagnation. Pada tahap ini individu telah

mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya.

Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga pada

tahap ini individu mengalami perkembangan yang cukup pesat. Walaupun

pengetahuan serta kecakapan individu sangat luas, dalam mengerjakan atau

mencapai hal-hal tertentu individu mengalami hambatan karena

keterbatasan dalam menguasai segala bentuk ilmu serta kecakapan.4,5

12
Pada setiap tahap perkembangan individu terdapat tugas untuk

dicapai, demikian pula dengan masa ini, salah satu tugas untuk dicapai ialah

mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu

(generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas

merupakan perluasan cinta individu ke masa depan. Sifat ini adalah

kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan

dapat tercermin sika memperdulikan orang lain. Pemahaman ini jau berbeda

dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap

yang dapat digambarkan adalah tidak perduli terhadap siapapun.4,5

Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli,

sehingga individu tidak memiliki cukup waktu bagi diri sendiri. Maglinansi

yang ada adalah penolakan, dimana seseorang tidak dapat berperan secra

baik dalam lingkungan kehidupannya akibatnya kehadirannnya di tengah-

tengah area kehidupannya kurang mendapat sambutan yang baik.4,5

Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya

keseimbanagn antara generativitas dan stagnasi guna mendapatkan nilai

positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini

meliputi generasional dan otorisme. Generasional ialah suatu interaksi/

hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara orang-orang

yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otorisme

yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan lebih berdasarkan

pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang ada

untuk dilaksanakan secara memaksa sehingga hubungan diantara orang

13
dewasa dan penerusnya tidak berlangsung dengan baik dan

menyenangkan.4,5

h. Intregritas vs Keputusan

Tahap terakhir dalam teori Erikson disebut sebagai thap usia senja

yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 65 tahun ke atas. Masa

hari tua (Senescence) ditandai dengan adanya kecenderungan ego integrity-

despair. Pada mas aini individu telah memiliki kesatuan atau integritas

pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik

pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya

yang mendekati akhir. Mungkin ini masih memiliki beberapa keinginan atau

tujuan yang akan dicapainya tetapi Karena faktor usia, hal itu sedikit sekali

kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus

asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan

kemampuan secara perlahan oleh usia seringkali mematahkan dorongan

tersebut, sehingga keputusasaan seringkali menghantuinya.5,6

Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah

cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan menjadi tugas pada

usia senja ini adalah intregritas dan berupaya menghilangkan keputusasaan

dan kekecewaan. Pada tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati

menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa

terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja

dianggap tiak mampu berbuat apa-apa lagi. Kesulitan tersebut dapat diatasi

jika dalam diri individu yang berada pada tahap ini memiliki intregritas

yang memiliki arti yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti

14
menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun sikap ini bertolak belakang

jika di dlam diri individu bersangkutan tidak terdapat intregritas yang mana

sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat.5,6

Kecenderungan terjadinya intregritas lebih kuat dibandingkan dengan

kecemasan dapat menyebabkan maladaptive yang biasa disebut Erikson

suatu sikap berandai-andai, sementara individu bersangkutan tidak mau

menghadapi kesulitan kenyataan pada masa tua. Sebaliknya, jika

kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan integritas

maupun secara maglinansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang

diartikan Erikson sebagai suatu sikap sumpah serapah dan menyeseali

kehidupan sendiri. Oleh karena itu, keseimbangan antaa intregritas dan

kecemasan itulah yang ingin dicapaki daam masa usia senja guna

memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.5,6

C. Teori Erikson Fase 4

Fase 4 Kerajinan vs Inferioritas

Masa sekolah (school age) berlangsung pada usia antara 6-11 tahun,pada

masa ini berkembang kemampuan berfikir deduktif, disiplin diri dan kemampuan

berhubungan dengan teman sebaya serta rasa ingin tahu akan meningkat. Ia

mengembangkan sikap rajin dan mempelajari hasil dari ketekunan dan kerajinan.

Perhatian pada alat-alat bermain dan kegiatan bermain berangsur-angsur di

gantikan oleh perhatian pada situasi-situasi produktif dan alat alat serta perkakas

perkakas yang di pakai untuk bekerja.3,5

15
Anak pada usia ini di tuntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya

berhasil, apakah itu di permainan atau di sekolah. Melalui tuntutan tersebut anak

dapat mengembangkan sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih suskses

karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat

mengembangkan sikap rendah diri, oleh sebab itu peran orang tua dan guru

sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada

usia seperti ini.3,4

Pada Tahapan Perkembangan Psikososial Eric Erikson ini, individu

diharapkan mulai menempuh pendidikan formal.Orang tua harus selalu

mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima

kehadirannya.2,3

Bahaya dari tahap ini ialah anak bisa mengembangkan perasaan rendah diri

apabila ia tidak berhasil menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang

diberikan oleh guru dan orangtua.Anak dapat mengembangkan sikap rajin, jika

anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas),

anak dapat mengembangkan sikap rendah diri.2,3

D. Konsep Baru tentang Ego

Freud memandang ego sebagai eksekutif kepribadian yang memuaskan

impuls id, mengatasi keadaan darurat sosial dan fisik dari dunia luar, serta

berusaha memenuhi dengan norma-norma perfeksionistik dari superego.

Sebagaimana tampak dalam tahap kehidupan yang dikemukakan Erikson, ia telah

memberikan sejumlah kualitas pada ego yang jauh melampaui konsepsi

psikoanalitik pendahulu tentang ego.2,3

16
Tipe ego yang digambarkan oleh Erikson dapat disebut ego kreatif. Ego

kreatif dapat dan memang berhasil menemukan pemecahan-pemecahan kreatif

atas masalah-masalah baru yang menimpanya pada setiap tahap kehidupan. Pada

setiap tahap ia mampu menggunakan kombinasi antara kehidupan batin dan

kesempatan yang tersedia di dunia luar serta melakukannya dengan giat, bahkan

dengan perasaan gembira. Apabila menemui hambatan, maka bereaksi dengan

usaha baru dan bukan menyerah. Kemampuan untuk bangkit kembali menurut

Erikson merupakan suatu yang inheren dalam ego muda. Pada kenyataannya, ego

justru berkembang berkat konflik dan krisis.2,5

Konsep ego Erikson, memasyarakat dan historis. Disamping faktor genetik,

fisiologis dan anatomis, yang menentukan kodrat ego, terdapat juga pengaruh

kultural dan historis. Ini merupakan sumbangan Erikson yang sangat kreatif

tentang ego.2,4

Erikson juga telah berpikir tentang dimensi yang mungkin terdapat pada

suatu identitas ego yang baru. Ia berpendapat bahwa suatu identitas harus berpijak

pada tiga aspek kenyataan, yaitu faktualitas, kesadaran akan kenyataan dan

aktualitas. Erikson menjadi terkenal karena upayanya dalam mengembangkan

teori tentang tahap perkembangan manusia yang dirintis oleh Freud. Erikson

menyatakan bahwa pertumbuhan manusia berjalan sesuai prinsip epigenetik yang

menyatakan bahwa kepribadian manusia berjalan menurut delapan

tahap. Berkembangnya manusia dari satu tahap ke tahap berikutnya ditentukan

oleh keberhasilannya atau ketidakberhasilannya dalam menempuh tahap

sebelumnya. Pembagian tahap-tahap ini berdasarkan periode tertentu dalam

kehidupan manusia: bayi (0-1 tahun), balita (2-3 tahun), pra-sekolah (3-6 tahun),

17
usia sekolah (7-12 tahun), remaja (12-18 tahun), pemuda (usia 20-an), separuh

baya (akhir 20-an hingga 50-an), dan manula (usia 50-an dan seterusnya). Masing-

masing tahapan juga memiliki tugas perkembangan sendiri yang

bersifat psikososial. Misalnya saja, pada usia bayi tujuan psikososialnya adalah

menumbuhkan harapan dan kepercayaan. Kemudian bila tujuan ini tak tercapai,

maka bayi itu akan lebih didominasi sifat penakut.2,3

18
BAB III
KESIMPULAN

Pada dasarnya kedua teori Psikoanalisa yang diungkapkan oleh Freud dan

Erikson tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama mengklasifikasikan fase-fase

Psikologi seorang individu berdasarkan usia, sejak saat dilahirkan hingga

meninggal nantinya. Hanya saja, Freud berpendapat bahwa dari semua fase

Psikologis yang dialami manusia, merupakan murni karena dorongan/keinginan

yang luar biasa dari dalam (internal) individu tersebut, baik secara sadar maupun

tidak sadar (bawah sadar). Kemudian seperti yang kita ketahui, Erik H. Erikson

berusaha menyempurnakan teori Psikoanalisa yang telah dikemukakan Freud

dengan menambahkan bahwa selain keinginan/ dorongan dari dalam diri si

individu, fase-fase psikologis tersebut ternyata juga dipengaruhi oleh faktor-faktor

luar (eksternal),seperti adat, budaya dan lingkungan tempat si individu dan

kepribadian dibangun melalui serangkaian krisis-krisis dan alternatif-alternatif.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Boeree G. Peronality Theories. Yogyakarta: Prismasophie. 2011

2. FeistF. Theories of Personality. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012

3. Sumanto D.Psikolofi Perkembangan. Yogyakarta : CAPS (Center Of

Academic Publishing Service. 2014

4. Sadock BJ. Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry 10th ed.

Lippincott Williams and Wilkins: Philadelphia. 2007. Page 635-638

5. Mansjoer, A.A., dkk: Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Edisi ke-3, Media

Aesculapius FK-UI, Jakarta, 1999, hal:216-7.

6. Maulany RF. Setio M: Buku Saku Psikiatri, Edisi I, Jakarta; EGC, 1997, hal

224-226

20

Anda mungkin juga menyukai