Anda di halaman 1dari 41

KASUS I

I. Identitas Pasien
 Nama : Tn. NR
 Jenis Kelamin : Pria
 Usia : 45 tahun
 Status : Menikah
 Agama : Kristen
 Pekerjaan : Teknisi

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada 12 Oktober 2017 di Rumah Sakit Umum
Siloam.

a. Keluhan Utama
Nyeri dada sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri, secara mendadak sejak 1 jam
sebelum masuk rumah sakit, nyeri menjalar ke tangan kiri dan ke punggung. Nyeri
terasa seperti tertimpa benda berat, sehingga pasien kesulitan bernafas. Nyeri
timbul saat pasien sedang bermain futsal dan tidak membaik dengan beristirahat.
Pasien tidak sampai pingsan, namun berkeringat dingin, pasien juga sedikit
mengeluhkan mual, tidak sampai muntah. Demam disangkal. Nyeri tidak
dipengaruhi oleh pergerakan baik aktif maupun pergerakan statis, tidak ada nyeri
tekan. Riwayat trauma sebelumnya disangkal oleh pasien. Riwayat penyakit darah
tinggi, gula darah, kolesterol tinggi, disangkal oleh pasien. BAB dan BAK tidak ada
keluhan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah seperti ini sebelumnya.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku ibu pasien meninggal akibat serangan jantung, sewaktu pasien
masih kecil. Riwayat penyakit ayah pasien tidak diketahui.
e. Riwayat Pengobatan
Tidak ada obat-obatan rutin yang diminum oleh pasien
f. Riwayat Sosial dan Gaya Hidup
Merokok +/- 1 bungkus/ hari selama >20 tahun, pasien juga mempunyai kebiasaan
minum kopi setiap pagi dan malam, dan minum alkohol pada acara tertentu
g. Riwayat Diet
Tidak ada pola makan khusus

III. Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan Umum
i. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
ii. Kesadaran : Compos mentis
iii. GCS : E4 M6 V5
iv. Tekanan Darah : 100/60 mmHg
v. Laju Nafas : 14x/menit, corak nafas reguler
vi. Nadi : 70x/menit, penuh, kuat, reguler
vii. Suhu : 37°C
viii. Saturasi O2 : 98%
ix. Berat Badan : 70 kg
x. Tinggi Badan : 180 cm
b. Kepala : Normosefali
c. Muka : Normofasial
d. Mata
 Palpebra : Edema palpebra (-/-)
 Kornea : Jernih (-/-)
 Pupil : Isokor, 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
 Sklera : Ikterik (-/-)
 Konjungtiva : Konjungtiva pucat (-/-), perdarahan (-/-)
e. Telinga : Simetris, sekret (-), nyeri tekan tragus dan mastoid (-)
f. Hidung : Simetris, sekret (-), deviasi septum (-), pernafasan cuping
aaaaaaaaaaa hidung (-)
g. Bibir : Sianosis (-), tampak kering
h. Mulut : Perdarahan gusi (-), gigi berlubang (-), mukosa tidak kering
i. Leher
 Pharynx : Tenang, hiperemis (-)
 Tonsil : T1/T1, tenang
 Thyroid : Pembesaran (-)
 Pulsasi vena : (-)
 Jugular vein pressure : 5 cm + 2
 Refleks hepatojugular : (-)
j. Toraks – Jantung
i. Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat di midklavikula sinistra ICS 4
ii. Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-) dan heaves (-) aaaa
iii. Perkusi : Tidak dilakukan.
iv. Auskultasi : Bunyi jantung s1 dan s2 regular, murmur (-), gallop (-)
k. Toraks – Paru
i. Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris saat statis dan dinamis, rektraksi
(-), spider naevi (-)
ii. Palpasi : Taktil fremitus simetris, pelebaran dada simetris
iii. Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
iv. Auskultasi : Vesikular (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
l. Abdomen
i. Inspeksi : Bentuk datar, caput medusa (-), striae (-), scar (-)
ii. Auskultasi : Bising usus normal 8x/menit, bruit aorta (-)
iii. Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
iv. Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), hepatomegali (-), splenomegali(-)
m. Status Generalis
i. Extremitas Atas : Piting edema (-/-), clubbing finger (-/-), CRT <
2 detik, pulsasi (+), akral hangat
ii. Extremitas Bawah : Edema pitting (-/-), clubbing finger (-/-), CRT <
2 detik, pulsasi (+), akral hangat
IV. Pemeriksaan Penunjang
a. EKG
11 Oktober 2017 18:11

11 Oktober 2017 19:57

11 Oktober 2017 20:00

 Irama : Sinus
 Rate : 100x/menit
 Axis : normal (lead I positif dan AVF positif)
 P wave : normal
 PR interval : normal 0,12 sec -> 120 ms
 QRS : normal 0,08 sec
 ST segment : Elevasi ( II, III, AVF)
 T wave : normal
Kesimpulan :
Sinus rhythm
S-T elevasi Inferior

b. Laboratorium
11 Oktober 2017
Prothrombin Time 21:32
Control 11.00 9.2 – 12.4
Patient 10.90 9.4 – 11.3
INR 1.01 0.8 – 1.2
APTT
Control 32.00 28.2 – 38.2
Patient 23.50 27.70 – 40.2
Enzim jantung 23:45
CKMB 28.6 U/L * 7 - 25 U/L
Trop T 150.1 pg/mL * 0 - 14 pg/mL
c. Pencitraan
Rontgen Thorax AP/PA
11 Oktober 2017

Deskripsi :
Jantung CTR <50%
Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
Trakea ditengah, kedua hilus tidak menebal
Corakan bronkovaskular kedua paru normal
Tidak tampak infiltrat maupun nodul dikedua lapang paru
Kedua sinus kostofrenikus lancip, diafragma licin
Tulang-tulang dinding dada intak

Kesan : Cor dan pulmo dalam batas normal


V. Resume
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada, sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri dirasa seperti tertimpa benda berat, pasien juga mengeluhkan sulit bernafas, nyeri
menjalar ke tangan kiri dan ke punggung. Nyeri muncul tiba-tiba saat pasien sedang bermain
futsal, dan tidak membaik dengan beristirahat. Pasien juga mengeluhkan mual dan keringat
dingin. Pasien juga mempunyai faktor resiko yaitu ibu pasien meninggal akibat serangan
jantung, dan pasien mempunyai kebiasaan merokok 1 bungkus/ hari sejak -/+ 20 tahun lalu.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan pada epigastrium, dan hasil yang lain
tidak ada yang bermakna.
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan rekam jantung dan ditemukan pada EKG
pasien terdapat ST elevasi pada lead II, III, dan AVF. Dari hasil laboratorium ditemukan
peningkatan CKMB dan Troponin T. Dari hasil rontgen tidak ditemukan hasil yang bermakna.
VI. Follow up
EKG
11 Oktober 2017 23.21 (1 jam post alteplase)

 Irama : Sinus
 Rate : 48x/menit, regular
 Axis : normal (lead I positif dan AVF positif)
 P wave : normal
 PR interval : normal 0,12 sec -> 124 ms
 QRS : normal 0,04 sec
 ST segment : isoelektrik
 T wave : normal

Kesimpulan :
Sinus bradikardi
11 Oktober 2017 23.57

 Irama : Sinus
 Rate : 49x/menit, regular
 Axis : normal (lead I positif dan AVF positif)
 P wave : normal
 PR interval : normal 0,12 sec -> 120 ms
 QRS : normal 0,04 sec
 ST segment : isoelektrik
 T wave : normal

Kesimpulan : sinus bradikardi


12 Oktober 2017 02.37

 Irama : Sinus
 Rate : 50x/menit, regular
 Axis : normal (lead I positif dan AVF positif)
 P wave : normal
 PR interval : normal 0,12 sec -> 120 ms
 QRS : normal 0,04 sec
 ST segment : isoelektrik
 T wave : normal

Kesimpulan : sinus bradikardi


12 Oktober 2017 05:34

 Irama : Sinus
 Rate : 47x/menit, regular
 Axis : normal (lead I positif dan AVF positif)
 P wave : normal
 PR interval : normal 0,12 sec -> 120 ms
 QRS : normal 0,04 sec
 ST segment : isoelektrik
 QT interval : normal, 0,24 sec
 T wave : normal

Kesan : sinus bradikardi


Follow up
Tgl Subjektif Objektif Assesment Planing
12/10 Nyeri dada Bp 107/72, RR 11x, STEMI Inferior Aspilet 80 mg PO 1x1
membaik, nyeri HR 47x Post fibrinolitik CPG 75 mg PO 1x1
ulu hati, mual, S1 S2 regular, m (-), Simvastatin 20 mg PO
muntah (-), g (-), ves (+), rh (-), 1x1
wz (-) Arixtra 2,5 mg SC 1x1
Trop T 150 R/ pindah ruangan biasa
CKMB 28,6
13/10 Tidak ada BP 120/80, RR 12x, STEMI inferior Aspilet 80 mg PO 1x1
keluhan, nyeri HR 70x, Post fibrinolitik CPG 75 mg PO 1x1
dada (-) S1 S2 reg, m (-), Simvastatin 20 mg PO
g (-),ves (+), rh (-), 1x1
wz (-) Arixtra 2,5 mg SC 1x1

VII. Daftar Masalah


1. Nyeri dada angina

VIII. Pengkajian dan Analisa Kasus


1. Nyeri dada khas angina
a) Atas dasar dari anamnesis ditemukan gejala nyeri dada yang khas berkaitan
dengan sindroma koroner akut, yaitu nyeri dada sebelah kiri, seperti tertimpa
benda berat, sesak atau kesulitan bernafas, nyeri menjalar ke tangan kiri dan
tembus ke punggung, muncul secara tiba-tiba saat sedang aktifitas, dan tidak
membaik dengan istirahat. Ditambah dengan adanya faktor resiko dari keluarga,
dan kebiasan pasien.
Dari pemeriksaan penunjang ditemukan hasil rekam jantung pasien ditemukan
adanya ST elevasi pada lead II, III, AVF, kemudian pada pemeriksaan enzim
jantung pasien CKMB dan Troponin T meningkat
b) Yang dipikirkan STEMI Inferior
c) Rencana
 Diagnostik : dapat dilakukan rekam jantung serial untuk menilai apakah
terdapat evolusi, dilakukan juga rekam jantung pada lead V7-V9 dan
V3R, V4R untuk mengetahui apakah infark luas. Jika memungkinkan
dapat juga dilakukan kateterisasi diagnostik untuk mengetahui letak
penyumbatan.
 Terapi
o Pastikan primary survey pasien aman (airway, breathing,
circulation)
o O2 2-4 lpm dengan nasal canul
o Pasang iv line
o Pasang monitor
o Clopidogrel 300 mg PO
o Aspilet 160 mg PO
o Clopidogrel 300 mg PO
o Ranitidin 50 mg IV
o Door to needle <90 menit  terapi trombolitik
Actylise (Alteplase) IV 15 mg bolus
Actylise (Alteplase) IV 50 mg drip/30 menit
Actylise (Alteplase) IV 35 mg drip/1 jam
o Nacl 0,9% 500ml/ 12 jam
KASUS II

I. Identitas Pasien
 Nama : Bpk. RM
 Jenis Kelamin : Pria
 Usia : 57 tahun
 Status : Menikah
 Agama : Kristen
 Pekerjaan : Wiraswasta

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada 19 Oktober 2017 di Rumah Sakit Umum
Siloam.

a. Keluhan Utama
Nyeri dada sejak 9 jam SMRS
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan nyeri dada bagian tengah, sejak 9 jam sebelum masuk rumah
sakit, secara mendadak saat sedang membereskan kebun. Menurut pasien nyeri
dirasakan seperti serangan maag, juga disertai mual dan muntah yang berisi cairan
dan sisa makan sebanyak 1 kali. Pasien juga merasa pundak dan tangannya terasa
seperti pegal terutama sebelah kiri, juga mengeluhkan sulit untuk menarik nafas dan
keringat dingin, pasien menyangkal sempat pingsan. Tidak ada demam, riwayat
trauma disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pasien mencoba dengan beristirahat dan minum obat lambung (antasida), namun
tidak membaik akhirnya pasien pergi ke klinik dan diberikan obat dibawah lidah
tetapi nyeri masih dirasakan, kemudian pasien pergi ke rumah sakit Ciputra dan
dilakukan rekam jantung dan pemeriksaan lab kemudian diberikan ISDN 10 mg,
clopidogrel 300 mg, dan aspilet 160 mg menurut pasien setelah ditangani di RS
Ciputra keluhan masih dirasakan walaupun sedikit berkurang, kemudian dirujuk ke
RSUS siloam untuk dilakukan PCI.
Pasien mengaku mempunyai diabetes melitus dan kolesterol tinggi sejak 3 tahun
lalu, dan menyangkal adanya riwayat darah tinggi sebelumnya.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak pernah seperti ini sebelumnya, riwayat sakit maag yang membaik dengan
obat lambung sejak 5 tahun lalu, biasanya kambuh jika telat makan atau sehabis
minum kopi.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien menderita hipertensi dan diabetes melitus, riwayat penyakit ibu pasien
terkena stroke 10 tahun lalu
e. Riwayat Pengobatan
Konsumsi metformin dan simvastatin sejak 3 tahun lalu tetapi tidak teratur, pasien
juga konsumsi obat herbal (jahe merah)
f. Riwayat Sosial dan Gaya Hidup
Merokok 2 bungkus/ hari sejak 30 tahun lalu, alkohol dan obat-obatan terlarang
disangkal oleh pasien. Pasien jarang berolahraga
g. Riwayat Diet
Tidak ada pola makan khusus, kebiasaan konsumsi kopi 2 gelas/ hari

III. Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan Umum
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 GCS : E4 M6 V5
 Tekanan Darah : 110/70 mmHg
 Laju Nafas : 30x/menit, corak nafas reguler
 Nadi : 56x/menit, regular, penuh, teratur
 Suhu : 36,2°C
 Saturasi O2 : 97%
 Berat Badan : 80 kg
 Tinggi Badan : 170 cm
b. Kepala : Normosefali
c. Muka : Nomofasial
d. Mata :
 Palpebra : Edema palpebra (-/-)
 Kornea : Jernih (-/-)
 Pupil : Isokor, 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
 Sklera : Ikterik (-/-)
 Konjungtiva : Konjungtiva pucat (-/-), perdarahan (-/-)
e. Telinga : Simetris, sekret (-), nyeri tekan tragus dan mastoid (-)
f. Hidung : Simetris, sekret (-), deviasi septum (-), pernafasan cuping
aaaaaaaaaaa hidung (-)
g. Bibir : Sianosis (-), tampak kering
h. Mulut : Perdarahan gusi (-), gigi berlubang (-), mukosa tidak kering
i. Leher
 Pharynx : Tenang, hiperemis (-)
 Tonsil : T1/T, tenang
 Thyroid : Pembesaran (-)
 Pulsasi vena : (-)
 Jugular vein pressure : 5 cm + 2
 Refleks hepatojugular : (-)
j. Toraks – Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat di midclavicula sinistra ICS 4
 Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-) dan heaves (-) aaaa
 Perkusi : Tidak dilakukan
 Auskultasi : Bunyi jantung s1 dan s2 regular, murmur (-), gallop (-)
k. Toraks – Paru
 Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris saat statis dan dinamis,
rektraksi (-), spider naevi (-)
 Palpasi : Taktil vokal fremitus simetris, pelebaran dada simetris
 Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
 Auskultasi : Vesikular (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
l. Abdomen
 Inspeksi : Bentuk datar, caput medusa (-), striae (-), scar (-)
 Auskultasi : Bising usus normal 10x/menit, bruit aorta (-)
 Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
 Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+), hepatomegali (-),
spenomegali (-)
m. Status Generalis
 Extremitas Atas : Edema pitting (-/-), clubbing finger (-/-), CRT <
2 detik, pulsasi (+), akral hangat
 Extremitas Bawah : Edema pitting (-/-), clubbing aa aa
finger (-/-), CRT < 2 detik, pulsasi (+), akral hangat

IV. Pemeriksaan Penunjang


a. EKG
18 Oktober 2017 17:56

 Irama : Sinus
 Rate : 60x/menit
 Axis : normal
 P wave : normal 0,04 sec
 PR interval : memanjang, 0,24 sec  240ms
 QRS : normal 0,1 sec (2,5 kotak kecil)
 ST segment : Elevasi (II, III, AVF)
Depresi (I, AVL)
 T wave : normal

Kesimpulan :
Sinus bradikardi
ST elevasi Inferior
ST depresi pada lead I, AVL (resiprokal dari ST elevasi Inferior)
AV blok derajat 1
b. Laboratorium
18 Oktober 2017 18.23 WIB
Full Blood Count
Haemoglobin 14.90 g/dL 13.20 – 17.30 g/dL
Haematocrit 42.80 40 -52
Erythrocyte 4.50 4.40 – 10.60
White blood cell 11.87 * 3.80 – 10.60
Different count
Basophil 1 0–1
Eosinophil 1 1–3
Band neutrophil 3 2–6
Segmen neutrophil 71 * 50 – 70
Lymphocyte 20 * 25 - 40
Monocyte 4 2-8
Platelet 275.000 150.000 – 440.000
ESR 12 0 – 15
MCV 95.10 80 – 100
MCH 33.10 26 – 34
MCHC 34.80 32 – 36
SGOT 39 < 40
SGPT 22 < 41
Ureum 46 < 50
Creatinine 1.58 * 0.5 – 1.3
eGFR 48.3 * > 60
CKMB 58.2 * 7 – 25
Troponin T hs 121.1 * 0 - 14
Blood glucose POCT 136 < 200
Na 136 * 137 – 145
K 4.8 3.6 – 5
Cl 101 98 - 107
c. Pencitraan
Rontgen Thorax AP/PA 19 Oktober 2017 07:29

Deskripsi :
Jantung CTR 54%
Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
Trakea ditengah, kedua hilus tidak menebal
Corakan bronkovaskular kedua paru normal
Tidak tampak infiltrat maupun nodul dikedua lapang paru
Kedua sinus kostofrenikus lancip, diafragma licin
Tulang-tulang dinding dada intak

Kesan : Kardiomegali dan pulmo dalam batas normal

V. Resume
Dari anamnesis ditemukan keluhan pasien berupa nyeri dada mendadak sejak 9 jam
sebelum masuk rumah sakit, nyeri dada timbul mendadak saat pasien sedang beraktivitas,
(merapikan kebun) dan tidak membaik dengan istirahat. Nyeri dada tembus hingga ke
punggung, disertai mual dan muntah 1 kali. Menurut pasien rasanya seperti saat pasien
sedang maag kambuh tetapi dirasa lebih berat, pasien juga mengeluhkan kesulitan untuk
bernafas.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan nadi pasien teraba lambat 57 kali/ menit dan sedikit
lemah, akral pasien sedikit dingin dan terasa sedikit basah.
Dari pemeriksaan penunjang dilakukan rekam jantung ditemukan hasil ST elevasi pada
lead II, III, AVF dan ST depresi pada lead I, AVL. Kemudian dilakukan pemeriksaan
laboratorium ditemukan peningkatan enzim jantung dengan hasil CKMB 58 dan Troponin
T 121, kemudian dari hasil foto polos thoraks ditemukan terdapat perbesaran jantung
dengan CTR 54%

VI. Follow up
18 Oktober 2017 22:25 (1 jam post PCI)

 Irama : Sinus
 Rate : 54x/menit
 Axis : normal
 P wave : normal 0,08 sec
 PR interval : memanjang, 0,24 sec  232 ms
 QRS : normal 0,1 sec (2,5 kotak kecil)
 ST segment : Elevasi (II, III, AVF)
 T wave : normal

Kesimpulan :
Sinus bradikardi
ST elevasi inferior
AV blok derajat 1

19 Oktober 2017 05.37

 Irama : Sinus
 Rate : 50x/menit
 Axis : normal
 P wave : normal 0,04 sec
 PR interval : memanjang, 0,24 sec  216 ms
 QRS : normal 0,04 sec (1 kotak kecil)
 ST segment : Elevasi (II, III, AVF)
 T wave : normal
 Others : VES
Kesimpulan :
Sinus bradikardi
ST elevasi inferior

19 Oktober 2017 18:32

 Irama : Atrial fibrilasi


 Rate : 50-100x/menit, iregular
 Axis : sulit dinilai
 P wave :-
 PR interval : sulit dinilai
 QRS : normal 0,04 sec (1 kotak kecil)
 ST segment : Elevasi (II, III, AVF)
Depresi (V2-V3)
 T wave : inversi (II, III, AVF)

Kesimpulan :
Atrial fibrilasi
ST elevasi inferior
20 Oktober 2017 05:55

 Irama : Atrial fibrilasi


 Rate : (30 kotak sedang = 7 QRS x10 = 70x/min) atau 40-85x/min,
iregular
 Axis : normal
 P wave :-
 PR interval : sulit dinilai
 QRS : normal 0,08 sec (2 kotak kecil)
 ST segment : Elevasi (II, III, AVF)
 T wave : inversi (II, III, AVF)

Kesimpulan :
Atrial fibrilasi
ST elevasi inferior
Follow up
Tgl Subjektif Objektif Assesment Planing
19/10 Nyeri dada (+) Bp 103/75, RR 17x,  STEMI Aspilet 80 mg PO 1x1
membaik dari HR 50x (lemah, Inferior post CPG 75 mg PO 1x1
kemarin, sesak penuh, reguler) PCI Lovenox 0,6 ml SC 1x1
(+), mual (+) S1 S2 regular, m (-),  AKI dd/ Atorvastatin 40 mg PO
hilang timbul g (-), ves (+), rh (-), CKD 1x1
wz (-)  AV blok Ranitidinine IV 1 amp 1x1
Trop T 20301 derajat 1 Noradrenaline 5 mcg/ jam
CKMB 719 IV
Integrilin 11 ml/ jam IV
Post PCI :
Dilakukan primary
PCI pada RCA

20/10 Semalam dada Bp 100/64, RR 16x,  STEMI Aspilet 80 mg PO 1x1


dirasa tidak HR 55x iregular Inferior post CPG 75 mg PO 1x1
enak, sesak (+), S1 S2 iregular, m (-), PCI Lovenox 0,6 ml SC 1x1
mual (+) g (-), ves (+), rh (-),  AKI dd/ Atorvastatin 40 mg PO
berkurang wz (-) CKD 1x1
Akral sedikit dingin  Atrial Ranitidinine IV 1 amp 1x1
fibrilasi Noradrenaline 5 mcg/ jam
IV

VII. Daftar Masalah


1. STEMI Inferior
2. AV blok derajat 1
3. AKI dd/ CKD
4. Atrial fibrilasi

VIII. Pengkajian dan Analisa Kasus


1. STEMI inferior
a. Atas dasar dari anamnesis ditemukan keluhan nyeri dada tembus hingga kebelakang,
dada terasa berat dan tertekan sehingga sulit untuk bernafas. Pundak dan tangan
kanan pasien juga terasa seperti pegal terutama sebelah kiri, nyeri muncul mendadak
saat sedang aktivitas dan tidak membaik dengan istirahat.
Dari pemeriksaan penunjang telah dilakukan rekam jantung dengan hasil terdapat
ST elevasi pada lead II, III, AVF dan ST depresi pada I, dan AVL yang menunjukan
adanya infark pada bagian inferior jantung. Ditemukan juga kenaikan dari
pemeriksaan enzim jantung menandakan sudah terjadinya proses kerusakan sel
jantung akibat nekrosis
b. Yang dipikirkan STEMI Inferior
c. Rencana
 Diagnostik : rekam jantung berkala, untuk melihat adanya evolusi atau tidak,
dapat dilakukan kateterisasi diagnostik untuk mengetahui dimana letak sumbatan
 Terapi
o Pastikan primary survey pasien aman (airway, breathing, circulation)
o O2 2-4 lpm dengan nasal canul
o Pasang iv line
o Pasang monitor
o ISDN 5 mg sublingual
o Clopidogrel 300 mg PO
o Aspilet 160 mg PO
o Ranitidin 50 mg IV
o Door to baloon < 120 menit  persiapan untuk dilakukan primary PCI
o Ringer laktat 500 ml/ 12 jam

2. AV blok derajat 1
a. Atas dasar dari anamnesis tidak ditemukan keluhan dada berdebar-debar, lemas
hingga pingsan, akral dingin
Tetapi pada hasil rekam jantung ditemukan PR interval yang memanjang (>200 ms)
adanya gangguan konduktivitas dari sinus nodal ke atrioventrikel nodal
b. Yang dipikirkan AV blok derajat 1, karena pada miokardiak infark terjadi
kerusakan atau nekrosis jaringan jantung sehingga pada saat penghantaran
depolarisasi dapat terhalang oleh jaringan tersebut, sehingga terjadi penghambatan
pada saat penghantaran listrik jantung dari atrium ke ventrikel.
c. Rencana
 Diagnostik EKG berkala untuk mengetahui apakah ada perubahan dari setiap
EKG
 Terapi dapat diobservasi terlebih dahulu, pantau keadaan umum pasien dan tanda-
tanda jika terdapat syok kardiogenik, dan jika PR interval semakin memanjang,
disertai dengan kompleks QRS yang dapat tiba-tiba hilang dapat dianjurkan
pemasangan alat pacu jantung, dan segera rujuk ke dokter spesialis jantung.

3. AKI dd/ CKD


a. Atas dasar dari pemeriksaan lab ditemukan peningkatan kreatinin dan penurunan
eGFR pasien yang menandakan adanya kelainan dari fungsi ginjal pasien
b. Yang dipikirkan AKI karena tidak mengetahui sudah berjalan berapa lama
penurunan fungsi ginjal tersebut, disebut AKI jika kurang dari 3 bulan dan fungsi
ginjal dapat kembali ke normal setelah berapa waktu, dan jika sudah berjalan lebih
dari 3 bulan dan fungsi ginjal tidak membaik kembali dapat di diagnosis dengan akut
on CKD
c. Rencana
 Diagnostik dapat dilakukan usg abdomen untuk menilai struktural dari ginjal
adakah terdapat tanda-tanda kerusakan kronik pada ginjal
 Terapi perbaiki penyebab utama diabetes dan darah tinggi, gula darah dan tekanan
harus tetap terkontrol karena penyebab kerusakan ginjal dan darah tinggi dapat
mempengaruhi perfusi ginjal. Metformin 500 mg 1 x 1, amlodipin 10 mg 1 x 1
Pantau fungsi ginjal berkala, jika eGFR <30 dengan penurunan pengeluaran urin
dapat disarankan untuk dilakukan hemodialisa

4. Atrial fibrilasi
a. Atas dasar dari anamnesis didapati pasien mengeluhkan rasa tidak nyaman pada dada
sejak semalam, secara mendadak. Dari pemeriksaan fisik ditemukan iregular pada
auskultasi S1 S2 dengan perabaan nadi pasien, akral pasien juga terasa lebih dingin.
Dari hasil rekam jantung ditemukan EKG pasien menunjukan atrial fibrilasi dengan
nadi iregular
b. Yang dipikirkan atrial fibrilasi, suspek gagal jantung akut
c. Rencana
 Diagnostik : dapat dilakukan transtorakik ekokardigrafi untuk melihat
apakah ada kelainan dari valvular, mengevaluasi ketebalan dari dinding
atrium dan ventrikel, memperkirakan fungsi dari ventrikel dan jika terdapat
trombus, jika ada penyakit perikardial lainnya. Dapat juga di lakukan
pemeriksaan transesofageal ekokardiografi untuk mengevaluasi adanya atrial
trombus dan sebagai penunjuk jika akan dilakukan kardioversi
 Terapi
o Pantau perkembangan atrial fibrilasi apakah paroksismal, persisten
o Manajeman ABC (airway, breathing, circulation)
o O2 3 lpm nasal kanul
o Dapat diberikan antikoagulan untuk mencegah timbulnya trombus
o Jika tanda-tanda dari kardiogenik syok maka dapat diberikan
dobutamin, dopamine, inotropik agen untuk meningkatkan
kontraktilitas jantung dan pemberian penghambat beta untuk
menurunkan preload dengan menurunkan nadi
o Pantau perkembangan pasien, dan lakukan rekam jantung berkala
o Dapat disiapkan untuk dipasangkan pace maker perkutan
o Rujuk ke spesialis jantung
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
ST elevasi miokard infark (STEMI) adalah sebuah sindroma klinis yang didefinisikan
sebagai gejala khas miokard iskemia dengan disertai kelainan dari gambaran EKG yaitu
elevasi pada segmen ST juga disertai dengan peningkatan dari biomarker penanda
nekrosis miokardiak (CKMB, Troponin I, dan Troponin T). Dikatakan sebagai ST
elevasi jika peningkatan lebih tinggi dari pada garis dasar setidaknya 2 mm, pada
beberapa sadapan yang berdekatan.
ST depresi pada lebih dari 2 sadapan prekordial dapat menunjukan adanya kerusakan
transmural posterior, jika terdapat ST depresi pada beberapa sadapan disertai dengan
ST elevasi yang berdampingan dengan lead AVR dapat dicurigai terjadi oklusi pada
left main artery atau pada proksimal dari left anterior descending.

II. Tatalaksana STEMI


Pada keadaan ini dibutuhkan tatalaksana secepat mungkin untuk dapat menyelamatkan
otot jantung sebelum terjadi nekrosis, dibutuhkan pengenalan awal untuk menentukan
apakah gejala tersebut adalah sindroma koroner akut atau bukan, setelah hal tersebut
dapat ditegakkan maka tindakan reperfusi adalah langkah berikut yang dapat dilakukan,
hal ini sangat berdampak besar dengan tingkat morbiditas dan mortalitas pasien. Seperti
pada gambar 1 berikut adalah algoritma pilihan tindakan reperfusi.
Gambar 1 dikutip dari guideline AHA/ACA2013

A. Persiapan komunitas dan target sistem untuk reperfusi kembali


1. Seluruh komunitas harus membuat dan menjaga sistem regional untuk
tatalaksana STEMI yang mencakup pengkajian dan perbaikan kualitas
berkelanjutan dari tenaga medis dan hospital-based activities
2. Ketersedian EKG 12 sadapan pada lokasi pertama kali kontak dengan tenaga
medis
3. Terapi reperfusi diberikan pada seluruh pasien yang memenuhi kriteria STEMI
dengan onset gejala kurang dari 12 jam
4. Primary PCI adalah pilihan yang dianjurkan jika dapat dicapai dalam waktu
tertentu dengan tenaga medis yang ahli dibidangnya
5. Jika pasien langsung datang ke rumah sakit dengan fasilitas intervensi harus
sudah mencapai alat intervensi kurang dari 90 menit
6. Jika pasien datang ke rumah sakit tanpa fasilitas intervensi target yang harus
sudah mencapai alat intervensi kurang dari 120 menit
7. Pemberian fibrinolitik harus segera diberikan dirumah sakit tanpa fasilitas
intervensi, jika waktu yag dibutuhkan untuk memindahkan pasien kerumah
sakit dengan fasilitas intervensi lebih dari 120 menit
8. Jika terapi fibrinolitik digunakan sebagai pilihan pertama reperfusi maka harus
segera diberikan dalam waktu 30 menit setelah sampai dirumah sakit
9. Pada pasien dengan onset gejala antara 12-24 jam dengan tanda klinis dan hasil
EKG yang menunjukan iskemik sedang berjalan, maka tindakan primary PCI
lebih diutamakan pada populasi ini.

B. Tatalaksana pada rumah sakit tanpa fasilitas intervensi


Bagi pasien yang datang ke rumah sakit tanpa fasilitas intervensi atau percutaneous
coronary intervention (PCI) maka pilihan tindakan yang dapat dilakukan adalah
segera mengirim pasien ke rumah sakit yang memiliki fasilitas PCI atau segera
melaksanakan manajemen terapi fibrinolitik.

Beberapa hal yang harus dikaji yaitu waktu dari pertama kali muncul gejala (onset),
apakah ada resiko dan komplikasi yang berhubungan dengan STEMI, apakah ada
resiko terjadinya perdarahan dengan terapi fibrinolisis, apakah ada tanda-tanda dari
syok kardiogenik atau gagal jantung berat, berapa lama waktu yang dibutuhkan
untuk mengirim pasien ke rumah sakit dengan fasilitas PCI dan waktu yang
dibutuhkan sampai terapi fibrinolitik dapat tercapai. Jika memindahkan pasien ke
layanan kesehatan dengan PCI dalam waktu kurang dari 120 menit tidak dapat
tercapai maka tindakan PCI tidak lagi diutamakan sebagai target reperfusi,
sehingga terapi fibrinolitik harus segara dipikirkan.

i. Indikasi dilakukan PCI


Pasien yang di indikasikan untuk dilakukan PCI tanpa terapi fibrinolitik adalah
 Pasien dengan tanda-tanda syok kardiogenik
 Pasien dengan resiko tinggi
 Pasien dengan resiko perdarahan jika dilakukan terapi fibrinolitik
 Pasien yang tiba di rumah sakit lebih dari 3 atau 4 jam sejak onset gejala
muncul pertama kali, dan
 Pasien yang memilliki waktu singkat untuk melakukan perpindahan ke
fasilitas dengan PCI
ii. Indikasi dilakukan terapi fibrinolitik
Pasien yang diindikasikan untuk dilakukan terapi fibrinolitik adalah
 Pasien yang tidak memiliki resiko ataupun resiko kecil terjadi
perdarahan
 Pasien yang tiba di rumah sakit kurang dari 2 atau 3 jam semenjak onset
gejala muncul pertama kali, dan
 Pasien yang memiliki waktu perpindahan ke fasilitas dengan PCI lebih
lama

iii. Terapi fibrinolitik pada rumah sakit tanpa fasilitas intervensi


Terapi fibrinolitik harus dapat dicapai dalam waktu kurang dari 30 menit dari
sejak pasien tiba di rumah sakit, jika target tindakan PCI tidak dapat dicapai
dalam waktu kurang dari 120 menit
 Pasien yang tidak memiliki kontraindikasi untuk diberikan fibrinolitik,
dan onset munculnya gejala belum melewati 12 jam
 Mungkin dilakukan pada pasien dengan proses iskemik yang sedang
berjalan (gambaran klinis dan/atau gambaran EKG) dalam 12-24 jam
onset gejala, dan yang beresiko infark miokardium luas atau pasien
dengan hemodinamik tidak stabil
 Tindakan ini tidak dibolehkan untuk pasien yang memiliki gambaran
EKG ST depresi, kecuali jika ST depresi tersebut menggambarkan infark
pada posterior (inferior basal) atau jika berhubungan dengan ST elevasi
pada lead aVR

iv. Waktu untuk dilakukan terapi fibrinolitik


Pemberian terapi fibrinolitik memberikan perpanjangan waktu berkaitan
dengan tingkat kematian dan morbiditas jika diberikan pada 12 jam pertama
muncul gejala, dan memberikan keuntungan lebih banyak jika diberikan pada
pasien dengan resiko rendah perdarahan yang tiba di rumah sakit dalam 1-2 jam
sejak muncul gejala.
v. Pilihan terapi fibrinolotik
Diutamakan adalah fibrin spesifik agen jika tersedia, pemberian antiplatelet dan
antikoagulan tambahan juga dianjurkan pada terapi fibrinolitik. Berikut pilihan
obat yang dapat digunakan
 Fibrin spesifik agen : Tenecteplase (TNK-tPA), Reteplase (rPA),
Alteplase (tPA)
 Non fibrin spesifik agen : Streptokinase
Dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2 dikutip dari guideline AHA/ACA2013

vi. Kontraindikasi terapi fibrinolitik


Terdapat kontraindikasi absolut dan relatif pada pemberian terapi fibrinolitik,
dapat dilihat pada gambar 3 (table 6). Pengambilan keputusan pada pemberian
fibrinolitik dinilai dari seberapa besar resiko dan keuntungan yang akan
diperoleh setelah terapi, jika keuntungan yang didapat lebih besar daripada
resikonya pemberian terapi fibrinolitik dapat diberikan. Penilaian resiko-
keuntungan mempertimbangkan dari berapa lama waktu sejak muncul gejala,
tampilan klinis dan hemodinamik pasien, faktor komorbiditas, resiko
perdarahan, kontraindikasi, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
dilakukan PCI. Dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3 dikutip dari guideline AHA/ACA2013

vii. Tambahan antitrombotik pada terapi fibrinolitik


a. Antiplatelet
 Berikan loading aspirin 160-320 mg dan clopidogrel 300 mg jika pasien
berusia <75 tahun atau clopidogrel 75 mg jika pasien berusia >75 tahun,
diberikan sebelum ataupun bersamaan dengan pemberian terapi
fibrinolitik.
 Setelah terapi fibrinolitik selesai pasien juga harus mengkonsumsi
aspirin dan clopidogrel secara rutin setiap hari setidaknya untuk 14 hari
hingga 1 tahun
 Aspirin 81 mg mungkin diberikan sebagai obat rutin harian, jika
memiliki kecenderungan setelah terapi fibrinolitik
b. Antikoagulan
Pasien dengan STEMI yang akan dilakukan reperfusi dengan fibrinolitik
harus menerima antikoagulan setidaknya selama 48 jam dan selama pasien
di rawat di rumah sakit, atau hingga 8 hari. Antikoagulan diberikan pada
terapi fibrinolitik untuk memberikan efek perbaikan pada pembuluh darah
dan mencegah terjadinya oklusi berulang. Regimen yang direkomendasi
adalah
 UFH intravena bolus untuk mencapai partial thromboplastin time 1.5 –
2 kali dari kontrol. Pantau PTT dan jumlah platelet untuk mencegah
terjadinya resiko perdarahan atau heparin induced thrombocytopenia
(HIT)
 Enoxaparin dapat diberikan secara intravena bolus, diiikuti suntikan
subkutan dalam 15 menit, diberikan sampai 8 hari. Pemberian
enoxaparin juga harus meperhatikan dari usia, berat badan, dan nilai
kreatin pasien. Enoxaparin lebih dianjurkan dari pada UFH. Pemberian
enoxaparin hars dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan ginjal.
 Fondaparinux diberikan dosis awal secara intravena diikuti dengan 24
jam setelahnya secara subkutan perhari selama dirawat dirumah sakit
atau setidaknya 8 hari. Fondaparinux dapat diberikan jika nilai kreatinin
pasien >30 ml/ min. Tidak boleh diberikan sebagai sole antikoagulan
kepada pasien yang direncakanan akan dilakukan PCI

viii. Pengkajian perfusi kembali setelah dilakukan fibrinolitik


Setelah dilakukan terapi fibrinolitik, harus mengevaluasi kembali untuk menilai
keberhasilan terapi tersebut dengan
 Menilai gejala klinis pasien, seperti apakah nyeri dada membaik, perbaikan dari
ST elevasi, aritmia yang menandakan adanya reperfusi jaringan (akselerasi
irama idioventrikular)
 Resolusi ST segmen pada 60-90 menit setelah fibrinolitik sangat berguna
sebagai penanda bahwa sebelumnya telah terjadi paten infark arteri (total
oklusi)
 Jika ST segmen tidak menunjukan resolusi perbaikan dapat dihubungkan
dengan prognosis yang tidak baik
 Penilaian TIMI flow dapat digunakan untuk memprediksikan prognosis
(resolusi ST segmen kurang dari 50% dan tidak adanya tanda irama aritmia
reperfusi menunjukan skor TIMI flow <3)
 Jika dalam 60-90 menit tidak menunjukan resolusi ST segmen dapat
dipertimbangakn untuk dilakukan koroner angiografi dan rescue PCI

ix. Indikasi dilakukan rujukan ke rumah sakit dengan PCI setelah dilakukan
terapi fibrinolitik
 Jika terjadi kardiogenik syok atau gagal jantung akut pada pasien
 Jiks terjadi kegagalan reperfusi atau oklusi kembali setelah pemberian terapi
fibrinolitik
 Pada pasien dengan keadaan hemodinamik stabil dan pasien dengan klinis
membaik setelah reperfusi dapat dilakukan rujukan ke rumah sakit untuk
dilakukan angiografi dan PCI dalam 24 jam awal onset tetapi tidak 2-3 jam
setelah dilakukan terapi fibrinolitik.

C. Tatalaksana pada rumah sakit dengan fasilitas intervensi


Pasien yang datang ke rumah sakit dengan fasilitas PCI, primary PCI harus segera
dicapai dalam waktu kurang dari 90 menit dari semenjak pasien tiba dirumah sakit.

i. Primary PCI
a. Indikasi PCI
 Pasien dengan STEMI dan gejala iskemik dengan durasi kurang dari 12
jam
 Pasien yang memiliki kontraindikasi dengan pemberian terapi
fibrinolitik
 Pasien STEMI dengan tanda-tanda syok kardiogenik dan gagal jantung
berat
 Mungkin dapat diberikan pada pasien STEMI jika tanda klinis dan/atau
EKG menunjukan iskemik yang sedang berjalan dalam 12-24 jam
setelah muncul gejala
b. Kontraindikasi
 Primary PCI tidak dapat dilakukan pada pasien STEMI dengan non-
infark arteri yang hemodinamiknya stabil
c. Resiko dan keuntungan
 Dapat meningkatkan kejadian paten infark arteri
 TIMI 3 flow
 Perdarahan pada luka
 Menurunkan kemungkinan terjadi iskemik berulang
 Perdarahan intrakranial
 Kematian
 PCI yang berjalan baik juga dapat menurunkan terjadinya komplikasi
dari STEMI yang muncul karena waktu iskemik terlalu lama akibat
kegagalan dari terapi fibrinolitik
 Pasien dapat lebih cepat pulang dari rumah sakit
 Primary PCI juga mempunyai angka bertahan yang lebih baik pada
pasien dengan resiko tinggi

ii. Aspirasi trombektomi


Dalam keadaan pembuluh darah sudah ruptur sehingga terdapat trombus pada
arteri koroner dapat dilakukan aspirasi trombektomi manual pada pasien yang
sedang dilakukan primary PCI

iii. Stenting pada primary PCI


 Penggunaan stent bare-metal pada pasien STEMI dapat digunakan
untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan tinggi, pasien tidak dapat
memenuhi dengan dual antiplatelet selama 1 tahun, atau jika
direncanakan akan melakukan tindakan operasi dalam waktu dekat.
 Berikutnya terdapat drug eluting stent (DES) yang dapat dijadikan
pilihan lain pada pasien STEMI
 DES tidak boleh digunakan pada primary PCI pada pasien yang tidak
mentoleransi atau memenuhi dengan perpanjangan waktu penggunaan
dual obat antiplatelet karena dapat menimbulkan resiko trombosis stent
iv. Obat antitrombotik tambahan untuk primary PCI
a. Antiplatelet
 Aspirin 162-325 mg harus diberikan sebelum primary PCI
 Aspirin harus dilanjutkan kembali setelah primary PCI
 Loading dose P2Y reseptor inhibitor harus diberikan seawal mungkin
atau saat dilakukan primary PCI (clopidogrel 600 mg, prasurgel 60 mg,
ticagrelor 180 mg)
 Golongan obat P2Y harus diberikan setidaknya selama 1 tahun setelah
primary PCI dengan BMS atau DES (clopidogrel 75 mg sekali sehari,
prasurgel 10 mg sekali sehari, ticagrelor 90 mg dua kali sehari)
 Mungkin dapat diberikan aspirin 81 mg setiap hari pada kondisi tertentu
(higher maintanance)
 Mungkin dapat mulai diberikan dengan intravena GP IIb/IIIa reseptor
antagonis (abciximab, high bolus tirofiban, double bolus eptifibatide)
saat primary PCI dengan atau tanpa stenting atau clopidogrel
premedikasi pada pasien STEMI yang menggunakan UFH
 Intravena GP IIb/IIIa reseptor antagonis dapat diberikan pada saat
prekateterisasi (di ambulans, IGD) untuk pasien STEMI yang akan
dilakukan primary PCI
 Intrakoroner abciximab dapat diberikan pada pasien STEMI yang
dilakukan primary PCI
 Penggunaan P2Y selama lebih dari satu tahun dapat dipikirkan jika
menggunakan stent dengan DES
 Prasurgel tidak boleh diberikan pada pasien yang memiliki riwayat
stroke atau transient ischemic attack
b. Antikoagulan
Pasien dengan STEMI yang dilakukan primary PCI diberikan terapi
antikoagulan untuk mendukung dari tindakan primary PCI.
 Unfractioned Heparin (UFH) dapat diberikan dengan tambahan bolus
sebanyak dibutuhkan untuk mempertahankan faktor pembeku darah,
walaupun GP IIb/IIIa sudah diberikan.
 Bivalirudin juga dapat diberikan dengan atau tanpa penggunaan UFH
pada awal terapi, jika pasien dengan resiko tinggi perdarahan dapat
digunakan monoterapi bivalirudin tetapi dapat terjadi stent trombosis
 Golongan fondaparinux tidak boleh diberikan sebagai terapi tunggal
antikoagulan karena beresiko kateter trombosis

D. Delayed manajemen Invasif


Terdapat beberapa tindakan yang dapat dilakukan setelah terapi fibrinolotik seperti
kardiak kateterisasi, koroner angiografi, dan delayed PCI atas indikasi
 Jika terjasi kardiogenik syok atau gagal jantung akut setelah terapi
fibrinolitik
 Miokard infark yang terjadi secara mendadak atau yang dipicu oleh
aktivitas minimal saja saat di rumah sakit
 Jika tindakan reperfusi sebelumnya tidak berhasil atau terjadi oklusi
kembali setelah terapi fibrinolitik
 Dapat juga dilakukan pada pasien yang sudah berhasil dengan terapi
fibrinolitik sebelum dipulangkan. Dilakukan dalam 24 jam pertama namun
setelah 2-3 jam terapi fibrinolitik diberikan
 Delayed PCI mungkin dapat dilakukan pada pasien stabil dengan signifikan
stenosis paten infark arteri yang sudah melebihi 24 jam dari onset
 Delayed PCI tidak boleh dilakukan pada oklusi total yang sudah melewati
24 jam, pada pasien tanpa gejala jika hemodinamik dan elektrikal dalam
keadaan stabil dan tidak ada bukti terjadi iskemia berat

E. Komplikasi
 Syok kardiogenik dapat terjadi pada pasien STEMI akibat infark luas
ventrikel kiri atau akibat komplikasi mekanikal (ruptur otot papiler,
ventrikel septal ruptur, free-wall ruptur dengan tamponade, infark ventrikel
kanan. Biasanya terjadi dalam 24 jam sejak onset.
 Gagal jantung berat, yang terjadi setelah STEMI adalah indikasi untuk
dilakukan angiografi yang dilanjutkan dengan vaskularisasi kembali, fungsi
ventrikel kiri dapat terganggu, dan dapat membutuhkan tindakan
pembedahan berdasarkan dengan tingkat keparahannya. Dapat juga
menggunakan obat-obatan jika diperlukan (diuretik, vasodilator, inotropik),
 Infark ventrikel kanan, dapat terjadi pada beberapa kasus STEMI inferior,
jika terdapat oklusi pada proksimal koronari arteri kanan (RCA), yang
ditandai dengan hipotensi, suara paru bersih, dan peningkatan JVP, pada
EKG ditandai dengan ST elevasi 1mm pada sadapan 1 dan sadapan
prekordial kanan, karena V4R paling sensitif terhadap kerusakan ventrikel
kanan. Yang dapat dilakukan menjaga preload ventrikel kanan, menurunkan
afterload ventikel kanan, inotropik agen, reperfusi. Nitrat dan diuretik tidak
boleh diberikan.
 Komplikasi mekanikal (mitral regurgitasi, ruptur ventrikel septal, ventrikel
kiri free wall rupture, aneurisma ventrikel kiri) jika muncul sistolik murmur
dalam 1 hari sampai 1 minggu setelah STEMI dapat dilakukan pemeriksaan
transtorakik ekokardiografi untuk menegakkan penyebabnya.
 Gangguan elektrikal (aritmi ventrikel, AF, SVT, bradikardi, AV blok,
gangguan konduksi intraventrikular)
 Perikarditis
Dapat diberikan aspirin, asetaminofen, kolkisin, atau analgaseik golongan
narkotik jika aspirin saja tidak efektif. Tidak boleh menggunakan
glukokortikoid atau golongan NSAID karena berbahaya perikarditis setelah
STEMI.
 Tromboemboli dan perdarahan
 Gagal ginjal akut, paling sering akibat penggunaan kontras pada pasien yang
melakukan angiografi dan intervensi untuk STEMI, mengoptimalkan
hidrasi dan meminimalkan volume kontras dapat menunrunkan resiko.
 Hiperglikemia komplikasi tersering pada STEMI dan ACS. Kadar glukosa
sebaiknya dipertahankan pada 81-108 mg/dL

F. Pengkajian resiko setelah STEMI


Pasien dengan STEMI yang sudah melakukan reperfusi, sebelum pulang
hendaknya melakukan beberapa pemeriksaan:
 Untuk mengetahui masih adakah iskemia pada otot jantung dengan
melakukan tes noninvasiv seperti dengan melakukan treadmill test, dengan
syarat pasien sudah tidak ada keluhan nyeri dada, gambaran EKG yang
stabil dalam 48 - 72 jam.
 Mengukur fungsi ventrikel kiri dapat menggunakan kontras ventrikulografi
saat dilakukan kateterisasi atau dengan menggunakan transtorakik
ekokardiografi. Dapat dilakukan pemasangan alat pacu jantung (ICD), jika
LVEF berkurang <0.40, dan setelah di tinjau kembali setelah 40 hari LVEF
tetap <0.35 dan disertai dengan gejala gagal jantung NYHA kelas II atau
III.

G. Rencana perawatan pasien dengan STEMI (post hospitalization)


Edukasi baik pasien maupun keluarga pasien penyakit ini tidak sembarangan, jika
gagal memahami penangannya dapat meningkatkan resiko terjadinya serangan
kembali, sehingga rencana perawatan paska perawatan dirumah sakit sangat
mendukung untuk keberhasilan selanjutnya. Berbagai macam hal yang dapat
dilakukan sebagai tindakan pencegahan pasien masuk ke rumah sakit kembali,
yaitu :
 Berhenti merokok, berdasarkan penelitian berhenti merokok menurunkan
50% angka kejadian resiko kematian akibat kardiovaskular
 Rehabilitasi kardiak, bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsional,
menurunkan gejala angina, menurunkan angka kecacatan, memperbaiki
kualitas hidup, memperbaiki faktor resiko koroner, menurunkan angka
kesakitan dan kematian. Komponen utamanya yaitu konseling nutrisi,
tekanan darah, profil lipid, manajemen diabetes melitus, berhenti merokok,
konseling psikososial, kegiatan fisik, olahraga, pengobatan harian rutin.
Tetapi pelayanan rehabilitasi kardiak masih kurang dimanfatkan
 Memperbaiki sistem pelayanan kesehatan, dengan cara memperbaiki
sistem komunikasi antar tenaga medis, sistem perujukan yang baik,
pengaturan dokumen, dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA

1. O'Gara P, Kushner F, Ascheim D, Casey D, Chung M, de Lemos J et al. 2013 ACCF/AHA


Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction: A Report of the
American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines. Circulation. 2012;127(4):e362-e425.

2. Tamis-Holland J, O'Gara P. Highlights From the 2013 ACCF/AHA Guidelines for the
Management of ST-Elevation Myocardial Infarction and Beyond. Clinical Cardiology.
2014;37(4):252-259.

3. van der Wall E. New guidelines on primary PCI for patients with STEMI: changing insights.
Netherlands Heart Journal. 2015;24(2):93-95.

Anda mungkin juga menyukai