Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU ANESTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2014


UNIVERSITAS HASANUDDIN

MANAJEMEN NYERI
PADA PASIEN TUMOR PALATUM

Oleh :

Benhardy R. T.
C11105055

Pembimbing :
dr. Maya Suyata

Supervisor :
dr. Wahyudi, Sp.An-KAP

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Benhardy R. T.
Nim : C11105055

Judul Laporan Kasus : Manajemen Nyeri Pada Pasien Tumor Palatum

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Anestesi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.

Makassar, Februari 2014

Mengetahui :

Supervisor, Pembimbing,

dr. Wahyudi, Sp.An-KAP dr. Maya Suyata


LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN :
Nama : Tn. N
RM : 292265
Tgl Lahir/Umur : 01-07-1958 / 55 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Pangkep
Pekerjaan : Nelayan
Agama : Islam
Status perkawinan : Kawin
Tgl Masuk RS : 6 Februari 2014
Ruangan : Baji Kamasse II RSLB

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Benjolan pada langit-langit mulut.
Anamnesis Terpimpin : Dialami sejak kurang lebih sejak +/- 10 tahun yang
lalu, sebelum masuk RS. Awalnya muncul benjolan
kecil, dan kemudian membesar secara perlahan.
Nyeri dirasakan.
Pasien awalnya tidak ada keluhan, namun kelamaan
karena benjolan yang semakin besar disertai rasa
nyeri membuat pasien merasa terganggu

C. PEMERIKSAAN FISIS:
Status Generalis : Sakit sedang / gizi cukup / compos mentis
 Vital sign: TD : 120/80 mmHg
N : 80 kali/menit
P : 16 kali/menit
S : 36,5 °C
Vas : 5/10
Kepala
Bentuk kepala : mesosefal, simetris, deformitas (-), tanda trauma (-)
Rambut : tidak mudah dicabut
Nyeri tekan : tidak ada
Mata : konjungtiva anemi (-/-), sklera ikterik (-/), radang (-/-)
Hidung : simetris, deformitas (-), sekret (-), darah (-)
Mulut : tidak ada gangguan dalam membuka rahang, tampak
arkus faring, tampak benjolan sebesar bola pingpong,
ulkus tidak ada, pus tidak ada, perdarahan tidak ada dan
hiperemis tidak ada, teraba benjolan kurang lebih 6x6
cm, konsistensi padat keras, immobile, permukaan
sedikit tidak rata, nyeri tekan ada, susunan gigi baik
Telinga : nyeri tekan tragus (-), darah (-)
Dada
a. Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak kuat angkat
Palpasi : Iktus kordis teraba di SIC IV linea midclavicula
sinistra, tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1-S2 reguler, bising (-)
b. Pulmo
Inspeksi : Dinding dada intak, tanda trauma (-), deformitas (-),
gerakan pernapasan simetris tipe torakoabdominal
Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, suara tambahan (-)
Abdomen
Inspeksi : Kulit abdomen intak, jejas (-), sikatrik (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)Mc Burney, nyeri tekan lepas (-), tidak
teraba massa (-), Ballotement (+)
Perkusi : Timpani, pekak beralih (-)
Ekstremitas
tanda trauma (-/-), deformitas (-/-), keterbatasan gerak (-/-), hangat (+/+),
pucat (-/-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi
WBC : 3,2 x 103/ul
RBC : 4,81 x 106/ul
HGB : 12,6 g/dl
HCT : 37,6 %
PLT : 142^103/ul

E. DIAGNOSIS KERJA
 Kanker Palatum
 Nyeri Kanker

F. PENATALAKSANAAN
 Pengananan Nyeri
 Eksisi tumor
PEMBAHASAN

Nyeri Kanker adalah perasaan tidak nyaman yang menyangkut fisik


dan emosi yang terjadi akibat kerusakan jaringan. Nyeri tersebut dapat
bersifat akut (kurang dari 1 bulan) dan dapat bersifat kronik (Lebih dari 3 -
6bulan). Salah satu penyebab nyeri kronik adalah kanker dan nyerinya bersifat
nosiseptik, neuropatik atau kombinasi nosiseptik -neuropatik. Nyeri kanker
dapat terjadi akibat faktor fisik yaitu kankernya sendiri (langsung, tidak
langsung, bersamaan, pengobatan kanker) dan faktor psikologis (cemas,
marah, depresi).1
WHO dan komunitas nyeri internasional sudah mengidentifikasi nyeri
pada kanker sebagai masalah kesehatan global. Kegagalan pengobatan nyeri
kanker sering terjadi akibat assessment nyeri yang tidak adekuat, penderita
tidak berterus terang akan keluhannya dan tidak patuh minum obat -obatan, para
dokter yang tidak paham akan efek samping dari obat –obatan serta
kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan kanker, para perawat yang
enggan memberikan obat -obatan secara lege - artis dan teratur dan aturan
dari pemerintah yang berlebihan mengenai obat - obata analgesik khususnya
morfin.1, 2

A. Klasifikasi nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyeri akut dan
kronis. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit atau
insisi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi
(ringan sampai berat) dan berlangsung dalam waktu yang singkat. Nyeri akut
biasanya menurun sesuai dengan proses penyembuhan dan umumnya terjadi
kurang dari enam bulan.3, 4
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan
dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon
terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronik
berlangsung lama, intensitas bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari enam
bulan. 3, 4
Berdasarkan mekanisme terjadinya, nyeri terbagi menjadi nyeri nosiseptif dan
nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif disebabkan adanya kerusakan jaringan yang
mengakibatkan dilepaskannya bahan kimiawi yang disebut excitatory
neurotransmitter seperti ion hidrogen (H+) dan kalium (K+) serta asam arakidonat
(AA) sebagai akibat lisisnya membran sel. Penumpukan asam arakidonat (AA)
memicu pengeluaran enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) yang akan mengubah
asam arakidonat menjadi prostaglandin E2 (PGE2), Prostaglandin G2 (PGG2),
dan prostaglandin H2 (PGH2). Prostaglandin, ion H+ dan K+ intrasel serta
mediator inflamasi lain seperti bradikin dan histamin memegang peranan penting
sebagai aktivator nosiseptor perifer. Ketiganya juga mengawali terjadinya respon
inflamasi dan sensitisasi perifer yang menyebabkan edema dan nyeri pada tempat
yang rusak.3,4
Nyeri nosiseptif dibagi menjadi nyeri viseral dan nyeri somatik. Nyeri viseral
terjadi akibat stimulasi nosiseptor yang berada di rongga abdominal dan rongga
thoraks. Nyeri somatik terbagi menjadi nyeri somatik dalam dan nyeri kutaneus.
Nyeri somatik dalam berasal dari tulang, tendon, saraf dan pembuluh darah,
sedangkan nyeri kutaneus berasal dari kulit dan jaringan bawah kulit.3, 4
Nyeri neuropatik berasal dari kerusakan jaringan saraf akibat penyakit atau
trauma, disebut nyeri neuropatik perifer apabila disebabkan oleh lesi saraf tepi,
dan nyeri sentral apabila disebabkan lesi pada otak, batang otak atau medula
spinalis. 3, 4
Pada kasus ini, nyeri yang terjadi merupakan nyeri kronis karena nyeri
berlangsung lebih dari 1 bulan, serta termasuk pula nyeri neuropatik akibat adanya
lesi primer pada daerah dada. Lesi dapat terjadi baik didalam system viseral
3, 4
maupun somatik (somatosensori) perifer ataupun pusat.
B. Lintasan Nyeri
Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu transduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi. 3, 4
1. Transduksi
Proses transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi
suatu aktifitas listrik yang akan diterima oleh nosiseptor perifer terhadap trauma
atau stimulasi kimia, termal, dan mekanis yang berpotensi menimbulkan
kerusakan. Mediator noksious perifer dapat berupa bahan yang dilepaskan oleh
sel-sel yang rusak selama perlukaan, ataupun sebagai akibat reaksi humoral dan
neural karena perlukaan. Kerusakan selular pada kulit, fasia, otot, tulang dan
ligamentum menyebabkan pelepasan ion hidrogen (H+) dan kalium (K+) serta
asam arakidonat (AA) sebagai akibat lisisnya membran sel. Penumpukan asam
arakidonat (AA) memicu pengeluaran enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) yang
akan mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin E2 (PGE2), Prostaglandin
G2 (PGG2), dan prostaglandin H2 (PGH2). Prostaglandin, ion H+ dan K+ intrasel
memegang peranan penting sebagai aktivator nosiseptor perifer. Ketiganya juga
mengawali terjadinya respon inflamasi dan sensitisasi perifer yang menyebabkan
edema dan nyeri pada tempat yang rusak. Selain prostaglandin, leukotrien, 5-
hydroxytriptamine (5-HT), bradikinin (BK), dan histamin juga dilepaskan oleh
jaringan yang mengalami kerusakan dan banyak berpengaruh dalam terjadinya
sensitisasi noksious primer dan sekunder. 3, 4
Pada daerah lokal dengan dilepaskannya substansi tersebut akan terjadi
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, edema neurogenik, peningkatan
iritabilitas nosiseptor, dan aktivasi ujung nosiseptor yang berdekatan. Semua ini
akan menghasilkan suatu keadaan sensitisasi perifer yang disebut hiperalgesia. 3, 4
2. Transmisi
Transmisi mengacu pada transfer impuls noksious dari nosiseptor perifer
menuju sel dalam kornu dorsalis medula spinalis. Serabut Aδ dan serabut C
merupakan akson neuron unipolar dengan proyeksi ke distal yang dikenal sebagai
ujung nosiseptif. Ujung proksimal serabut saraf ini masuk ke dalam kornu dorsalis
medula spinalis dan bersinap dengan sel second-order neuron yang terletak dalam
lamina II (substansi gelatinosa) dan dalam lamina V (nukleus proprius). 3, 4
Perubahan pada kornu dorsalis sebagai akibat kerusakan jaringan serta
proses inflamasi ini disebut sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral ini akan
menyebabkan neuron-neuron di dalam medulla menjadi lebih sensitif terhadap
rangsang lain dan menimbulkan gejala-gejala hiperalgesia dan alodinia. Susunan
saraf pusat tidak bersifat kaku, tetapi bersifat seperti plastik (plastisitas) yang
dapat berubah sifatnya sesuai jenis dan intensitas input kerusakan jaringan atau
inflamasi. Stimulus dengan frekuensi rendah menghasilkan reaksi berupa
transmisi sensoris tidak nyeri, tetapi stimulus dengan frekuensi yang lebih tinggi
akan menghasilkan transmisi sensoris nyeri. Impuls noksious dari nosiseptor
perifer akan diteruskan sampai ke neuron presinaptik. Di neuron presinaptik
impuls ini akan mengakibatkan Ca+ akan masuk ke dalam sel melalui Ca+
channel. Masuknya Ca+ ke dalam sel ini menyebabkan dari ujung neuron
presinaptik dilepaskan beberapa neurotransmiter seperti glutamat dan substansi P
(neurokinin). Dari ujung presinaptik serabut saraf A-delta dilepaskan
neurotransmitter golongan asam amino seperti glutamat dan aspartat, sedangkan
dari ujung presinaptik serabut saraf C dilepaskan selain neurotransmitter golongan
asam amino, juga neurotransmitter golongan peptida seperti substansi-P
(neurokinin), calcitonin gene related protein (CGRP), dan cholecystokinin
(CCK). Selama pembedahan stimulus noksious dihantarkan melalui kedua serabut
saraf tersebut. Sedangkan pada periode pasca bedah dan pada proses inflamasi
stimulus noksious didominasi penghantarannya melalui serabut saraf C. 3, 4
3. Modulasi
Proses modulasi merupakan proses interaksi antara mediator yang
menyebabkan eksitasi dan efek inhibisi dari analgesik endogen. Mekanisme
hambatan terhadap nyeri terjadi di dalam kornu dorsalis medulla spinalis dan di
tingkat lebih tinggi di brain stem dan mid brain. Di medulla spinalis mekanisme
inhibisi terhadap transmisi nyeri terjadi pada sinaps pertama antara aferen
noksious perifer dan sel-sel dari second order, dengan demikian mengurangi
penghantaran spinotalamus dari impuls noksious. Modulasi spinal dimediasi oleh
kerja inhibisi dari senyawa endogen yang mempunyai efek analgetik, yang
dilepaskan dari interneuron spinal dan dari ujung terminal akson yang mempunyai
sifat inhibisi yang turun (desendens) dari central gray locus ceruleus dan dari
supraspinal yang lain. 3, 4
Analgesik endogen itu adalah enkephalin (ENK), norepinefrin (NE), dan
gamma aminobutyric acid (GABA). Analgesik endogen ini akan mengaktifkan
reseptor opioid, alpha adrenergik, dan reseptor lain yang bekerja melakukan
inhibisi pelepasan glutamat dari aferen nosiseptif primer atau mengurangi reaksi
post sinaptik dari second order neuron NS atau WDR. Opioid endogen seperti
enkefalin dan endorfin akan melakukan modulasi transmisi nyeri. Selain itu,
sebagian sitokin seperti interleukin-1β yang terbentuk di perifer, bersama aliran
darah akan sampai ke sistem saraf pusat, dan juga akan menginduksi COX-2 di
dalam neuron otak sehingga terbentuk juga prostaglandin E-2 yang juga
mengakibatkan perasaan nyeri. Namun di dalam sistem saraf pusat sitokin
interleukin-1β memberikan efek yang berbeda, tergantung besarnya jumlah
sitokin tersebut. Sitokin dalam jumlah yang sedikit justru akan merangsang efek
hiperalgesia, tetapi dalam jumlah yang besar akan memberikan efek analgesia.
Selain itu, sitokin dalam jumlah yang besar akan berpotensiasi dengan
pengeluaran endorphin dalam darah, yang akan memberikan efek analgesia. 3, 4
4. Persepsi
Presepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai
korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan
ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut. 3, 4
Serabut ascending akan menyilang sebelum berjalan kearah kranial pada
traktus spinotalamikus. Umumnya saraf pada traktus spinotalamikus berjalan
melewati pons, medulla dan otak tengah ke daerah spesifik di talamus. Dari
talamus, informasi aferen selanjutnya dibawa ke korteks somatosensorik. Traktus
spinotalamikus juga mengirimkan cabang kolateral menuju formasio retikularis.
Impuls yang ditransmisikan melalui traktus ini berperan terhadap perbedaan nyeri
dan respon emosi yang ditimbulkan. Formasio retikularis mungkin berperan
terhadap peningkatan aspek emosional dari nyeri seperti reflex somatik dan
otonomik. 3, 4
Nyeri neuropati pada pasien ini diawali dengan terbentuknya lesi di daerah
dada yang dapat menyebabkan saraf tersebut rusak karena kompresi, infiltrasi,
iskemia, kelainan metabolik atau transeksi. Nyeri ini dapat menimbulkan
disfungsi saraf yang dapat meningkatkan sensitifitas saraf spinal, di lintasan
modulasi, dimana prosesnya disebut fasilitasi sentral atau ”wind up”. Walaupun
sarafnya tidak rusak, terjadi sistem sinyal yang abnormal pada saraf yang
membentuk stimulus noksius, dan menghasilkan nyeri yang lebih hebat dari
normal, atau stimulus non noksius, menghasilkan nyeri. Hal tersebut juga dapat
menyebabkan alodinia, dimana tekanan/ sentuhan yang ringan dapat
menyebabakan nyeri. 3, 4
Gambar 1. Lintasan nyeri: transduksi, konduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.
Dimodifikasi dari: Gottschalk A et al. Am Fam Physician. 2001;63:1981, and Kehlet H etal. Anesth Analg.
1993;77:1049.

C. Pengukuran Intensitas Nyeri


Ada beberapa skala nyeri yang dapat digunakan. Pada umumnya skala ini
dibagi atas skala kategorik (tidak sakit, sakit ringan, sakit sedang, dan sakit berat).
Ataupun penggunaan skala yang digambarkan sebagai garis horizontal atau
vertikal yang ujung-ujungnya diberi nilai “0” menandakan tidak ada nyeri. dan
“10” menandakan nyeri yang hebat5,7. Cara yang digunakan untuk mengukur
intensitas nyeri pasien antara lain :
1. Visual Analogue Scale
Cara yang paling sering digunakan untuk menilai intensitas nyeri yaitu dengan
menggunakan Visual Analog Scale (VAS). Skala berupa suatu garis lurus yang
panjangnya biasaya 10 cm (atau 100 mm), dengan penggambaran verbal pada
masing-masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka 10 (nyeri
terberat). Nilai VAS 0 - <4 = nyeri ringan, 4 - <7 = nyeri sedang dan 7-10 = nyeri
berat.
Gambar 2. Visual Analogue Scale

Pada kasus ini, intensitas nyeri pasien adalah VAS = 5/10 yang tergolong nyeri
sedang.
2. Verbal Rating Scale
Verbal Rating Scale terdiri dari beberapa nomor yang menggambarkan tingkat
nyeri pada pasien. Pasien ditanya bagaimana sifat dari nyeri yan dirasakannya.
Peneliti memilih nomor dari skor tingkat nyeri tersebut dari apa yang dirasakan
pasien. Skor tersebut terdiri dari empat poin yaitu :
0 = Tidak ada nyeri atau perasaan tidak enak ketika ditanya
1 = Nyeri yang ringan yang dilaporkan pasien ketika ditanya
2 = Nyeri sedang yang dilaporkan pasien ketika ditanya
3 = Nyeri dihubungkan dengan respon suara, tangan atau lengan tangan, wajah
merintih atau menangis
Keempat poin ini secara luas digunakan oleh klinisi untuk menentukan tingkat
kebenaran dan keandalan. Untuk pasien yang memiliki gangguan kognitif, skala
nyeri verbal ini sulit digunakan.

Gambar 3. Verbal Rating Scale

3. Wong Baker Faces Pain Scale


Banyak digunakan pada pasien pediatrik dengan kesulitan atau keterbatasan
verbal. Dijelaskan kepada pasien mengenai perubahan mimik wajah sesuai rasa
nyeri dan pasien memilih sesuai rasa nyeri yang dirasakannya.
Gambar 4. Wong Baker Faces Pain Scale

4. Numerical Rating Scale (NRS)


Pertama kali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien
ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 – 5
atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10
menunjukkan nyeri yang hebat.

Gambar 5. Numerical Rating Scale

Pada pasien ini, digunakan pengukuran intensitas nyeri berupa VAS


(Visual Analog Scale). Hasil dari pengukuran tersebut didapatkan 5/10, yang
dimana merupakan nyeri sedang.

D. Prinsip Penanganan World Health Organization Analgesic


Ladder 6
Prinsip dari farmakoterapi, oleh WHO, untuk nyeri kanker, yaitu:
1. By mouth.
Sebisa mungkin, obat-obatan pasien diberikan melalui mulut (per oral).
Akan tetapi, rute alternatif seperti per rektal, transdermal, sublingual, dan
parenteral mungkin lebih baik pada pasien dengan disfagi, muntah yang tidak
terkontrol, atau obstruksi gastrointestinal. 6
2. By the clock.
Pasien dengan nyeri kontinyu harus meminum obat analgesik sesuai
dengan waktu interval yang telah ditetapkan. 6
3. By the ladder.
Tahap-tahap pemberian obat-obat anti nyeri disesuaikan dengan WHO
analgesic ladder. 6
4. For the individual.
Tidak ada dosis standar opioid. Dosis yang benar adalah dosis dimana
nyeri pasien dapat dihilangkan dengan efek samping yang minimal. Obat yang
digunakan untuk nyeri ringan dan sedang memiliki dosis yang terbatas dalam
penggunaanya oleh karena formulasi (misalnya kombinasi asam asetilsalisilat
dengan asetaminofen, yang toksik pada dosis tinggi) atau karena peningkatan efek
samping yang disproporsional pada dosis tinggi (misalnya codein). 6
5. With attention to detail.
Dilakukan monitor secara hati-hati pada pasien yang mendapat regimen
analgesia. Secara teratur harus di follow-upkeluhan, efek obat dan efek
sampingnya. Antisipasi efek samping yang diperlukan dan bila perlu beri
profilaktik 6.

World Health Organization merekomendasikan ”WHO Analgesic Ladder”


untuk penatalaksanaan nyeri kanker. Tahapan tersebut digunakan untuk
mmengklasifikasikan jenis analgesia yang nantinya akan diberikan kepada pasien
dengan nyeri kanker, sesuai dengan derajat nyerinya 6
Pembagian terapi penatalaksanaan nyeri menurut WHO adalah sebagai berikut:

1. Tahap pertama, dengan menggunakan obat analgetik nonopiat seperti aspirin,


asetaminofen, atau NSAID lainnya dengan atau tanpa adjuvant. Tahap ini
digunakan untuk nyeri ringan. 6
2. Tahap kedua, digunakan untuk nyeri sedang atau jika pasien masih mengeluh
nyeri setelah langkah pertama. Pada tahap ini diberikan obat-obat golongan opioid
lemah (misalnya codeine, hydrocodone). Obat-obatan ini dapat dikombinasi
dengan non opioid dan dapat diberikan bersama-sama dengan analgesia adjuvant.6
3. Tahap ketiga, digunakan untuk nyeri berat atau gagal mendapatkan perbaikan
yang adekuat setelah pemberian obat pada tangga kedua, dengan memberikan obat
opioid kuat. Yang termasuk obat-obatan yaitu morfin, fentanil, hidromorfon,
levorfanol, metadon, oksikodon, dan oksimorfon. 6

Pada kasus ini didapatkan pemberian durogesic patch 12,5 mg dan


Paracetamol tablet 6x500 mg, sesuai dengan step 3 tahap pemberian terapi
menurut step leeder pain WHO. Namun dari hasil pengukuran intensitas nyeri
dengan memakai VAS didapatkan 5/10 (nyeri sedang), yang dimana menurut step
leeder pain WHO terapinya harus melalui step 2.
Jadi terapi yang baik dengan mengacu pada step leeder pain WHO pada
pasien ini, diawali dengan pemberian obat-obat golongan opioid lemah (misalnya
codeine, hydrocodone) dan dikombinasi dengan non opioid. Bisa dengan
pemberian codein tablet 5x60 mg dan paracetamol tablet 4x500 mg.

E. Intervensi Penanganan Nyeri Kanker 6


Teknik intervensi pada nyeri kanker hanya akan dilakukan jika manajemen
dengan pengobatan (farmakoterapi) gagal dalam mengatasi nyeri. Kegagalan
terapi terjadi ketika penyembuhan nyeri tidak adekuat (kembali kambuh) ataupun
sama sekali nyeri tersebut tidak teratasi. Teknik intervensi ini ada dua kategori
yaitu modalitas ablatif dan augmentatif.

1. Modalitas ablatif
Modalitas ini dilakukan dengan cara memblok transmisi nosiseptif dengan
suntikan neurolitik atau bedah lesi (blokade saraf). Tujuannya adalah merusak
lintasan nosiseptif menggunakan bahan kimia (misal: fenol, alkohol), rangsangan
panas atau dingin, atau menggunakan skalpel, sehingga nyeri menghilang. 6

2. Modalitas augmentatif
Modalitas ini menggunakan cara stimulasi elektrik dan metode infus.
Metode infus banyak digunakan untuk pengobatan nyeri kanker, sedangkan
metode stimulasi elektrik lebih jarang. Metode infus merupakan hasil dari
perkembangan teknologi untuk infus kontinyu melalui epidural, intratekal, atau
intraserebroventrikular (ICV) kateter, yang dihubungkan dengan pompa infus
eksternal, subcutaneous injection reservoirsatau implanted programmable infusion
pumps. 6
F. Penanganan Permasalahan Psikis Pada Pasien Kanker
Payudara6
Pasien dengan kanker payudara dengan berbagai kompleksitas
permasalahannya membutuhkan penanganan dari berbagai disiplin ilmu di mana
salah satunya tidak melupakan penanganan aspek psikologisnya. Pasien dengan
kanker payudara sering kali mengalami stress dalam berbagai tingkatnya,
khususnya ditemukan pada pasien dengan usia muda. Pasien dengan tingkat stress
ringan (memiliki kesulitan untuk mengeluarkan permasalahannya, cenderung
mengisolasi diri dari masyarakat) biasanya membutuhkan penanganan
multidisiplin baik dari dokter, psikoterapis, dan tentunya dukungan dari keluarga.
6

Pada aspek psikis ini secara umum juga dibagi dua penanganan yaitu dari
aspek psikofarmakologi serta dari aspek psikoterapinya.
 Aspek Psikofarmakologi
Benzodiazepine merupakan golongan obat anxiolitik dan aman digunakan untuk
pengobatan pada pasien kanker. Walaupun juga terdapat efek anti-muntah, efek
ketergantungan, gangguan psikomotor, gangguan memori tipe obat ini juga tetap
digunakan tentunya juga dengan memperhatikan kondisi pasien seperti apakah ada
penyakit bawaan lain, ada gangguan fungsi ginjal atau gangguan fungsi hati.
Selain itu terdapat pula golongan obat lain yang juga sering digunakan seperti dari
golongan Trisiklik Antidepresan dan dari golongan Serotonine Norepinephrine
Reuptake Inhibitorsseperti duloxetine dan venlafaxine yang memiliki efek
analgesik positif, kemudian juga memiliki efek anti cemas yang baik. 6,7
 Aspek Psikoterapi
Karena penyakit kanker merupakan penyakit yang tidak kunjung sembuh, derita
nyeri yang tidak terputus, dan sering mengakibatkan pasien menjadi kehilangan
pekerjaan, kehilangan peran penting dalam keluarga akhirnya akan memunculkan
problem psikologis. Tujuan dari psikoterapi adalah untuk mengurangi tekanan
emosional, meningkatkan penghargaan terhadap diri sendiri, mampu untuk
mengendalikan diri, dan mampu untuk memecahkan masalah. Psikoterapi
meliputi terapi kognitif, terapi perilaku, teknik relaksasi, dan hipnosis. 6,7
Pada kasus ini, tidak didapatkannya adanya tanda-tanda kecemasan,
kemarahan, dan kegelisahan maupun gangguan tidur. Jadi pada pasien ini tidak
memerlukan suatu penanganan permasalahan kondisi psikis.
KESIMPULAN

Nyeri merupakan salah satu keluhan pada penderita kanker dan memiliki
dampak pada fungsi fisiologis tubuh dan juga mempengaruhi kualitas hidup
penderita. Pengelolaan nyeri yang tidak adekuat bukan saja akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas, namun dipandang sebagai suatu hal yang tidak
manusiawi. Oleh sebab itu, nyeri kanker harus ditangani dengan adekuat.
Dalam penatalaksanaan pada pasien kasus ini, baiknya diawali dengan step
2 menurut step leeder pain WHO, yang diawali dengan pemberian obat-obat
golongan opioid lemah (misalnya codeine, hydrocodone) dan dikombinasi dengan
non opioid.
DAFTAR PUSTAKA

1. Budiwarsono. Pengobatan nyeri kanker di Bangsal RSUD Dr Moewardi (RSDM)


[online]. 2012 [cited on 19 May 13]. Available from http://www.palliative-
surabaya.com/gambar/pdf/buku_pkb_vi-bagian_1008082008.pdf
2. Subagio Y, Suradi, Raharjo et al. Tatalaksana nyeri pada kanker [online]. 2012
[cited on 19 May 13]. Available from
http://www.scribd.com/doc/78411230/Tatalaksana-Nyeri-Pada-Kanker.pdf
3. Nalini Vadivelu, Christian J. Whitney, andRaymond S. Sinatra. 2009. Pain
Pathways and Acute Pain Processing in Acute pain management. Cambridge
University Press. Page 3-13
4. Suza Dewi Elizadiani. 2007. Pain Experiences and Pain Management in
Postoperative Patients. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No 1. Pediatric
Department of Nursing Program Medical School University of Sumatera Utara.
Page 1-7
5. Phan PC, Burton AW. 2008. Palliative and Cancer Pain Care. Chapter 94 in
Anesthesiology. The Mc Graw-Hill Companies. Page 2106
6. Manuaba, IB Tjakra Wibawa, Prof.DR.dr.,M.P.H., Sp.B (K) Onk. Panduan
Penatalaksanaan Kanker Solid PERABOI. CV Sagung Seto, Jakarta. 2010
7. Desen Wan. Terapi Nyeri Kanker dan Perawatan Pasien Terminal. Buku Ajar
Onkologi Klinik. Ed 2. Jakarta. 2008.FKUI. page 216-239

Anda mungkin juga menyukai