Atas Meninggalnya
Bapak K.Nadha
Perintis/Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab Bali Post
Bupati Klungkung
ttd
Ir.Tjokorda Gde Ngurah
Bali Post, 8 Januari 2001.
Bapak K.Nadha
Semoga arwah almarhum diterima disisi-Nya & Keluarga yang ditinggalkan diberikan
ketabahan
orang walaupun dapat terjadi pada siapa saja karena kita tidak tahu kekuatan kamma buruk yang
dapat muncul dengan tiba-tiba.
Kematian jenis manapun yang terjadi, pasti akan menimbulkan rasa duka cita,
kesedihan yang mendalam pada sanak keluarga yang ditinggalkan. Semua orang akan merasa
sedih karena merasa kehilangan. Demikian cepat waktu berlalu memisahkan seseorang dengan
sanak keluarga dan kawan-kawannya. Ada pula yang menyesali perbuatannya, terutama anak-
anak, karena kurang memberikan perhatian dan kasih sayang kepada orangtua.
Demikian hidup ini berjalan dengan sendirinya. Kelahiran selalu disertai dengan
kematian. Hanya kematian yang bisa dipastikan datangnya. Kematian akan datang, menyapa tiap
orang. Kondisinya memang demikian. Badan ini yang rusak atau kekuatan yang menyebabkan
kelahiran sebagai manusia yang telah habis. Atau mungkin kamma buruk yang ada terlalu kuat
sehingga menyebabkan kematian tiba-tiba bagi sanak keluarga kita. Dalam perjalanan
berikutnya, hanya perbuatan yang telah dilakukan dalam hidup ini dilakukan dalam hidup ini
yang akan menjadi bekal.
Bersama ini saya sampaikan turut berduka cita atas kepergian Bapak K. Nadha pada 5
Januari 2001 di Denpasar. Semoga amal baik yang telah dilakukan dalam kehidupan ini dapat
mengantarkan pada alam kehidupan yang lebih baik. Semoga semua hidup berbahagia.
Bali Post, 9 Januari 2001.
BAPAK K. NADHA
PERINTIS/PEMIMPIN UMUM/PEMIMPIN REDAKSI/
PENANGGUNG JAWAB BALI POST
ATAS MENINGGALNYA
BAPAK K. NADHA
Perintis/ Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi/
Penanggung Jawab Bali Post
Semoga arwah almarhum diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa dan keluarga yang
ditinggalkan di beri kekuatan lahir dan bathin.
BUPATI KARANGASEM
Ttd
DRS. GDE SUMANTARA ADY PRENATHA
Bali Post, 10 Januari 2001.
KELUARGA BESAR
CV. DWIJASA UTAMA GRAPHIC SERVICE
Jl. Dukuh V/25 – Blok 008/02 – Kel. Dukuh
Kramatjati, Jakarta Timur 13550 – Indonesia
Telp.: (021) 8404284 – 8414333 – Fax. : 8404284
Mengucapkan
TURUT BERDUKA CITA
ATAS MENINGGALNYA
BAPAK K.NADHA
Perintis/Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab Bali Post
Semoga arwah almarhum diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa, dan keluarga yang
ditinggalkan diberi kekuatan lahir dan bathin.
ttd
H.KAMAD K-SA’OM-SISWADI
Putu Setia, “Catatan Kecil Mengenai Pak Nadha” dalam Bali Post, 10 Januari 2001, hlm. 1, 15.
Kepergian seseorang yang kita cintai, hormati dan kagumi atau yang pernah dekat
dengan kita, sering kali meninggalkan kesan tersendiri .Demikian pula dengan
kepergian Pak Nadha ke haribaan-Nya pada Jumat (5/1) lalu meninggalkan kenangan
tersendiri pada orang-orang yang pernah dekat dengannya. Salah satunya adalah Putu
Setia yang pernah ikut berjuang di Bali Post. Berikut ini kenangannya atas almarhum K.
Nadha, Perintis/Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi/ Penanggung Jawab Bali Post,
yang jasadnya disemayamkan di PAsraman Lumajang, Samsam, Tabanan, sebelum
dipelebon Rabu (17/1) nanti.
BAPAK K. Nadha bagi saya adalah seorang pribadi yang sederhana, seorang pemimpin
yang mengayomi. Karena beliau tak banyak bicara, kesannya bisa jadi seseorang yang angker.
Tetapi tidak, beliau sangat ramah dan sesungguhnya punya humor yang sangat tinggi. Itu terlihat
dari “Bang Pojok” [pada 1950-an, rubrik ini bernama “Tjorat-tjoret”] yang beliau asuh bertahun-
tahun, sebuah pojok di koran yang sudah berusia tua, yang penuh humor, kritis, menggelitik,
tetapi tidak pernah membuat orang sakit. Siapa pun akan tersenyum membaca pojok itu meski
dia dalam posisi yang dikritinya.
Selama saya bekerja di Bali Post, kesan lain yang saya tangkap adalah disiplinnya
mengenai deadline koran masuk percetakan. Meskipun Bali Post punya percetakan sejak awal,
beliau sangat ketat mengontrol deadline itu.
[hlm. 15] Lebih-lebih di masa Bali Post belum mengenal percetakan offset dan korn
dicetak dengan percetakan yang kuno, beliau tak segan-segan datang malam hari untuk
mengotrol agar tidak terlambat masuk percetakan. Jika perlu ikut melakukan koreksi di kertas
proff yang basah itu. Disiplin ini ternyata pada akhirnya adalah jiwa dari sebuah koran untuk bisa
sukses di pasaran.
Namun tidak berarti beliau mengabaikan masalah aktualitas. Saya punya pengalaman
sebagai Redaktur Malam bersama Widminarko yang saat itu menunggu final pertandingan Piala
Dunia. Saya lupa siapa yang bertarung, salah satunya tim Belanda. Pak Nadha setuju jika koran
dicetak menunggu hasil pertandingan itu, karena sudah dihitung tidak akan terlambat. Maklum
saat itu sistem cetak sudah agak modern, meski pracetaknya belum menggunakan computer.
Pokoknya segalanya dihitung dengan cermat, kecepatan mesin dan sebagainya. Berita pun sudah
diatur, dibuat dua versi dengan kemungkinan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Bahkah
skor sudah dibuat dengan berbagai versi.
Ternyata sesuatu terjadi, pertandingan perlu perpanjangan waktu dan kemudian adu
penalty. Hari sudah pagi, para agen sudah antre di depan kantor, tetapi koran belum tercetak.
Pada akhirnya memang koran agak telat, tetapi Bali Post satu-satunya koran yang bisa memuat
hasil akhir Piala Dunia itu. Yang jelas, Pak Nadha ikut menunggu detik-detik terakhir itu.
Sebagai pemimpin koran umum yang tadinya merupakan koran yang berafiliasi ke
partai politik (pernah bernama Suluh Marhaen [edisi Bali] dan Suara Indonesia), Pak NAdha
bisa membawa Bali Post sebagai Koran yang independen. Saya yakin Pak Nadha paham betul
masalah politik, dan juga tahu peta perpolitikan di Bali. Tetapi ketika Bali Post dicanangkan
sebagai koran umum yang lepas dari pengaruh politik, pribadi dan sikap Pak Nadha yang sangat
Putu Setia, “Catatan Kecil Mengenai Pak Nadha” dalam Bali Post, 10 Januari 2001, hlm. 1, 15.
netral membangu membangun image sebagai koran independen, karena beliau menempatkan diri
bukan sebagai partisan.
Selamat jalan Pak Nadha. Saya sungguh kaget dengan kehilangan ini. Saya mendengar
Pak Nadha sakit setelah berada di Bandara Ngurah Rai, Kamis malam. Saya tak sempat
menjenguknya, karena saya merasa punya waktu di lain kesempatan, mengingat saya sekarang
ini lebih banyak mondar-mandir Jakarta-Bali. Saya tak menduga kalau perjalanan waktu itu
sudah diatur oleh Yang Mahakuasa, dan betul-betul terkesima ketika mendengar Pak Nadha
sudah berpulang Jumat pagi.
Semoga keluarga yang ditinggalkan dapat meneruskan usaha yang mencerdaskan umat
ini, dan Bali Post yang beliau rintis tetap menjadi pionir penerbitan yang ada di Bali.
Om swargantu, moksantu, sunyantu, murcantu
Om ksama sampurnaya namah swaha.
Raka Santeri, “Pak Nadha Menjadikan Saya Mandiri” dalam Bali Post, 11 Januari 2001, hlm. 1,
15.
Kepergian Pak Nadha ke haribaan-Nya pada Jumat (5/1) lalu meninggalkan kenangan
tersendiri pada diri Raka Santeri. Pensiunan wartawan harian Kompas ini memulai
kariernya sebagai wartawan di bahwa gemblengan almarhum Pak Nadha. Berikut ini
kenagannya atas almarhum K. Nadha, Perintis/Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi/
Penanggung Jawab Bali Post.
SAYA merasa bersyukur dapat bekerja di bawah bimbingan Bapak Ketut Nadha selama
tiga tahun (1964-1967). Ketika itu saya sama sekali tidak memiliki pengetahuan jurnalistik. Apa
yang saya bawa ke Suara Indonesia adalah sedikit kegemaran menulis puisi dan prosa, serta
pengalaman mengasuh koran dinding dan majalah sekolah ketika masih belajar di Taman Guru
Atas (TGA) Saraswati Denpasar.
Maka memasuki dunia jurnalistik yang ketika itu masih belum berkembang di Bali, saya
bagaikan “orang buta” yang meraba-raba jalan baru ke depan. Sering Pak Nadha kembali
memanggil saya, setelah saya menyerahkan naskah berita. Ketika itu memang tidak redaktur-
redaktur seperti sekarang. Semua naskah berita langsung di-serahkan kepada Pak Nasha pagi
hari, atau kepada Pak Raka Wiratma yang umumnya bertugas pada sore hari. “Raka Santeri, ini
saudara menulis pusi, cerpen atau berita?” Tanya Pak Nadha. Saya pun bengong saja ditanya
demikian. Saya memang tidak tahu seharusnya menulis berita.
[hlm. 15] Susahnya, Pak Nadha memang bukan tipe orang yang suka menjelaskan
sesuatu dengan panjang lebar. Setelah memberikan “petunjuk” singkat-singkat saja, beliau pun
mengembalikan naskah berita itu untuk ditulis ulang. Tetapi sekarang saya melihat hikmahnya.
Tanpa saya sadari, ketika itu saya berusaha mengerahkan segenap kemampuan untuk membuat
sebuah berita.
Sikap pimpinan yang demikian membuat saya jadi mandiri. Lebih-lebih kalau beliau
bertanua. “Raka Santeri, di jalan (anu) ada kecelakaan. Sudah tahu belum? Wartawan harus
cepat mengetahui kejadian….” Wah, saya merasa termotivasi lagi. “….wartawan harus cepat
mengetahui kejadian!”
Pelajaran-pelajaran “kecil” seperti di atas itulah yang ikut menggembleng saya akhirnya
mencintai dunia jurnalistik. Kerja keras yang dilakukan Pak Nadha (beliau hampir tidak pernah
absen, walau sakit sekali pun), dan kesetiaannya kepada dunia jurnalistik mengagumkan saya.
Meskipun harus diakui, karena kesibukannya dalam pengelolaan usaha pers, akhirnya beliau
tidak banyak dapat menampilkan tulisan-tulisan yang mampu mencerminkan pandangan dan
sikap beliau secara utuh sebagai seorang wartawan terhadap berbagai persoalan bangsa.
Sekarang Pak Nadha telah meninggalkan kita semua. Secara fisik beliau boleh saja
lenyap. Namun sejarah jurnalistik di Bali bahkan di Indonesia akan tetap
mencatataseorang manusia yang benar-benar merangkak dari bawah, nyaris hanya dengan modal
semangat dan ide-ide yang besar, teapi akhirnya berhasil membangun sebuah monument pers
yang penting. Kita wartawan-wartawan dan pekerja pers yang ditinggalkannya, bisa memetik
apa? Pastilah kita ingin membanun dunia pers yang lebih tangguh. Tangguh karena kita bersikap
jujur, professional, bekerja keras dan memiliki wawasan ke depan yang jelas.
Bali Post, 11 Januari 2001.
Bapak K.Nadha
Pada hari Jumat[,] 5 Januari 2001
Semoga, amal dan budi baik beliau mendapatkan imbalan yang setimpal.
Sutrisno
Bali Post, 11 Januari 2001.
BAPAK K.NADHA
Perintis/ Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi/
Penanggung Jawab Bali Post.
PROF.Dr.K.SUKARDIKA, Dokter;SP,MK.
NIP.130327317
Bali Post, 11 Januari 2001.
KARANGAN bunga yang telah diterima di Pesraman Lumajang datang dari berbagai
instansi pemerintah, legislatif, perusahaan, parta dan perorangan yakni Gubernur Bali & staf,
Kapolda Bali, Bupati Tabanan, Wali Kota Denpasar, Bupati Karangasem, Bupati gianyar, Bupati
Bangli, Wakil Wali Kota[sic] Denpasar, DPRD Tabanan, DPRD Denpasar. Dari Partai, DPP PDI
Perjuangan (Megawati Soekarnoputri), DPD PDI-P Bali, DPD Golkar Bali, DPC PDI
Perjuangan Gianyar. Lembaga Pendidikan STAH Negeri Denpasar, Universitas Mahasaraswati,
SMUN 1 Denpasar, Civitas Akademika FK Unud & POM, Universitas Warmadewa, Akademi
Bahasa Asing (ABA) Denpasar, Keluarga PR Saraswati dan Universitas Pendidikan Nasional
(Undiknas). Datang juga dari Bank Sri Partha, BCA Denpasar, Bank NISP, Bank Bali, Bank
Dagang Bali, Bank Niaga Denpasar, Bank Sinar Harapan Bali, Bank Ekonomi, Bank Universal,
Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali, PT. Suparna Surabaya, PT Gramedia, PT Valuta Mas
Dua Nusa, PT Kutrindo Ne Bali, PT Mahkota Rajin Setia (agen tinta cemani tuka), PT irin Bali
Group, PT Inti Lumayan, PT Tragia Gae, PT Modern Photo.Tbk, PT Agung Automall, PT Cipta
Waringin Surabaya, PT Eremme Molto Buono, CV Dwijasa Utama Jakarta, Melati Salon,
Dewan Komisaris & Staf BTDC, Kios Budi Jaya, Pacific World Nusantara, WSS Jakarta, Mama
& Leon, Sergug Gallery, Lawar Bali Kartika, Courts Indonesia, Kresna Karya (Sudiarta), Pusaka
Bali Denpasar, The Bounty, Percetakan Pelawa Sari, Percetakan Massa (keluarga alm. Nym
Wisada), Trust Bali Money Charger, Scomptec, Indo. Net, Agen TB. Mas/Loper Negara, Dedari
Bali & Sagita Production, PWI Pusat, PWI Bali, Majalah Tempo, Seksi Pemberitaan RRI
Denpasar, TVRI Stasiun Denpasar, The Jakarta Post, Kantor Berita Antara, Dinas Informasi dan
Komunikasi Bali, Kabag Humas Pemda Gianyar, Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia (IKWI)
Bali, Wayan Sudirta & Rekan, Ngurah Arya & Rekan, Victor YAped NEno, S.H. & Rekan, Ir.
Frans Bambang Siswanto, M.M., Wimpie Pangkahila, Raka Wiratma, IGK Manila, Prof. Dr. I
Gst Ngurah Gorda, M.S., A.A. Bagis Ari Bramaste, Prof. Dr. dr. Tjokorde Alit Kamar Adnyana,
SP.FK., Made Wianta, I Gst. Ngr. Sara, Dr. Dwi Priyohartono, Moehtadi, Ir. AA Wila Kusuma,
Ny. Made Sucipta, Arifin Yuwono Surabaya, Ny. Mampem, Ny. Tommy Raka, RJ. Vence
Sanger, Budi Argawa, S.H., MBA., Dr. Rai tirta, Ny. A Siadja, Iwan Tjoegito, Salin Arnawa, Dr.
PC Joice Sanger, Dr. IGst[sic] Nyoman Susila Tamba, M.Kes., I Gst. Ngurah Harta, Kadinda
Bali, Asita Bali, DPD HPI Bali, DPD PHRI Bali, Perkumpulan Obsterti & Ginekologi Indonesia
Bali, Pengurus Pusat PGSDT [Para Gotra Sentana Dalem Tarukan], Depkes Bali, Karyawan RSJ
Bangli, Psikiatri FK Unud, RSUP Sanglah, Kandep Kesehatan Tabanan, Pam Sanitasi dan
Kesehatan, Pam Keperawatan Depkes, SPK Depkes Akademi Kebidanan Denpasar, Kanwil
Depdiknas Bali, Dinas Peternakan Bali, Gereja Katolik Keuskupan Denpasar, Forum Pemerhati
Hindu Dharma Indonesia (FPHDI), KONI Bali, Perseden, Yayasan Wreda Sejahtera, Bali Post
Tennis Club, Yayasan Kesejahteraan Korpri Bali, Ibu-ibu Arisan 45, Balai Pom Denpasar, DPD
KNPI Bali, Keluarga Sandhi Murti Indonesia.
Widminarko, “Pak Nadha Menjunjung Tinggi Etika” dalam Bali Post, 12 Januari 2001, hlm. 1,
15.
Berikut catatan kecil Widminarko, yang selama 35 tahun bergabung dengan Bali Post,
salah seorang pembantu dekat Pak Nadha. Jabatan terakhir sebelum pension dan
dikaryakan sejak 1 Januari 2001 adalah wakil pemimpin redaksi.
SAYA bertemu Pak Nadha terakhir, beberapa hari menjelang keberangkatan saya ke
Jakarta 26 September 2000. Kebiasaan saya sejak ngepos di dua gardu, di Kepundung dan di
Palmerah Barat, Jakarta, dua tahun terakhir ini, adalah nyelonong ke ruang kerja Pak Nadha
setelah datang dari Jakarta biasanya saya bercerita tentang situasi terakhir Ibu Kota dan
menjelang keberangkatan saya minta bekal tentang apa yang harus lebih saya perhatikan
dalam bertugas di Jakarta.
Pak Nadha mengomentari situasi terakhir di Tanah Air, dengan tetap bersikap
independen dan konsisten, tidak gampang menunjuk hidung siapa yang saah siapa yang benar;
lebih banyak mengutarakan pemecahan masalah. Beliau mengingatkan, mutlak pentingnya
pengelolaan pers yang professional; kemerdekaan pers jangan mengabaikan aspek etika.
Independen, konsisten, dan menjunjung tinggi etika, inilah sikap mendasar Pak Nadha hingga
akhir hayatnya, yang melekat terpatri dalam memoti saya.
[hlm. 15] Ketika datang dari Jakarta 17 Desember 2000, saya lirik ruang kerja Pak
Nadha. Kosong. Saya batal menghadap. Kebiasaan saya nyelonong ke dalamnya, terhenti. Begitu
pula ketika acara pelepasan 11 karyawan yang memasuki masa purnabakti (termasuk saya yang
pension-dikaryakan) 31 Desember 2000, Pak Nadha tidak hadir. Ketidakhadiran ini saya
maklumi begitu saja, karena tidak memungkinkan menghadiri pertemuan berlama-lama. Sama
sekali tak terlintas, bahwa inilah hari-hari terakhir Pak Nadha. Begitu pula tentang
ketidakhadirannya dalam rapat Biro Bali Post se-Bali 2 Agustus 2000, rapat biro tahun 2000
terakhir saya hadiri. Di meja pimpinan duduk para redaktur pelaksana. Saya dan Pak Satria,
selaku wakil pemimpin redaksi, hadir tetapi tidak duduk di kursi pimpinan. Tanpa kehadiran Pak
Nadha selaku pimpinan redaksi, tanpa dipimpin wakil pemimpin redaksi, rapat berjalan lancer
dengan pimpinan para redaktur pelaksana. Ini merupakan bagian dan refleksi proses penyerahan
tongkat estafet kepemimpinan di Bali Post yang diterapkan Pak Nadha dalam menyiapkan dan
mendidik kader-kader pemimpin penggantinya secara berkesinambungan.
Sebagai insan Taman Siswa, Pak Nadha memang menerapkan prinsip-prinsip
kepemimpinan Ki Hajar Dewantara. Ing ngarso sung tulodo, seorang pemimpin harus mampu,
lewat sikap dan perbuatannya, menjadikan dirinyapola anutan dan ikutan orang orang yang
dipimpinnya,ing madya mangun karso, seorang pemimpin harus mampu membangkitkan
semangat semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang-orang yang dibimbingnya, tut wuri
handayani, seorang pemimpin harus mampu mendorong orang-orang yang diasuhnya agar berani
berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.
Meskipun tanpa kehadiran Pak Nadha, saya merasa lega karena berkesempatan
mengungkapkan pola kepemimpinan beliau, ketika didaulat menyampaikan kesan dan pesan
mawakili 11 karyawan yang memasuki masa purnabakti. “Adik-adikku,” demikian petang itu
saya menyapa karyawan Bali Post yang belum pension, “kami pension tidak meninggalkan apa-
Widminarko, “Pak Nadha Menjunjung Tinggi Etika” dalam Bali Post, 12 Januari 2001, hlm. 1,
15.
apa. Yang kami tinggalkan adalah tantangan dan tantangan bar yang harus adik-adik hadapi dan
taklukkan dalam proses perbaikan terus-menerus.
“Pesan ini sebenarnya adalah pesan yang acapkali diungkapkan Pak Nadha dalam
berbagai petemuannya dengan para karyawan Bali Post. Pak Nadha menyodorkan kepada kami
kenyataan-kenyataan berupa tantangan, memberi kesempatan tiap karyawan berkembang dan
mengembangkan diri untuk menghadapi dan menaklukkan tiap tantangan itu.
Dari sikap dan perbuatannya, banyak hal yang bisa dipetik dari pribadi dan kinerja Pak
Nadha sebagai anutan dan ikutan. Namun satu hal yang sangat mengesankan saya sebagai
pecinta bahasa adalah ketelitiannya dalam bekerja, terutama ketelitiannya dalam penggunaan
bahasa serta penulisan kata dan istilah yang benar, sampai aspek-aspek yang kecil sekalipun.
Seusai menyerahkan naskah laporan perjalanan ke pulau-pulau di NTB dan NTT, tahun
19, saya ditegur Pak Nadha, gara-gara saya menulis “character building” kekurangan huruf “h”.
Tidak tanggung-tanggung, Pak Nadha menegur sambil memperlihatkan kepada saya kamus
bahasa Inggris. Ketika mengasuh rubrik Taman Muda Remaja awal tahun 1970-an, saya juga
ditegur Pak Nadha karena menulis “inspirasi” dengan salah, “inpirasi”.
Ketelitian merupakan ciri umum para senior kita. Tragisnya, di kalangan wartaran
muda, ketelitian merupakan barang mahal, meskipun banyak pula wartawan pemula yang telah
berusaha bekerja dengan teliti ketelitian Pak Nadha dalam bekerja, pantas kita teladani.
Kematian, kapan dan di mana, di tangan Tuhan. Namun toh saya tidak bisa
menyembunyikan rasa sedih dan penyesalan. Keinginan saya menjadikan Pak Nadha sebagai
manusia sumber utama dalam penulisan sejarah pers di Bali, yang akan saya kerjakana dalam
masa pension, tak bakal terwujud. Terasa, Pak Nadha begitu cepat meninggalkan kami.
Namun, 35 tahun bersama-sama, dalam perjalanan panjang Bali Post yang sarat
dinamika dan tantangan, banyak kenangan tentang Pak Nadha tersimpan dalam album memori
saya, juga dalam catatan-catatan. Memori yang bernilai sangat mahal.
Bali Post, 12 Januari 2001.
BAPAK K.NADHA
Perintis/ Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi/
Penanggungjawab[sic] Bali Post
Semoga arwah almarhum diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa dan
Keluarga yang ditinggalkan diberi kekuata lahir dan batin.
Bupati Buleleng
ttd
Drs. Ketut Wiratha Sindhu
Bali Post, 12 Januari 2001.
BAPAK K.NADHA
Perintis/ Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi/
Penanggung Jawab Bali Post
Bapak K.Nadha
Pada hari Jumat 5 Januari 2001
Semoga, amal dan budi baik beliau
mendapatkan imbalan yang setimpal.
ttd
(I. Wayan Rindha,SH).
Bali Post, 12 Januari 2001.
BAPAK K. NADHA
Perintis/ Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi/ Penanggung jawab
Bali Post
pada hari Jumat, 5 Januari 2001
Ttd
Om Swastyastu
Segenap pengurus
Yayasan Dharma USadha Blambangan
BAPAK K. NADHA
Perintis/ Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi/ Penanggung jawab Bali Post
pada hari Jumat, 5 Januari 2001
BAPAK K. NADHA
Perintis/ Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi/ Penanggung jawab Bali Post
pada hari Jumat, 5 Januari 2001
ttd
J.B. Pinentean
Direktur Utama
Bali Post, 12 Januari 2001.
Om Swastyastu
Kami Seluruh Civitas Akademika STAH Negeri Denpasar
BAPAK K. NADHA
Perintis/ Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi/ Penanggung jawab Bali Post
Pada hari Jumat, 5 Januari 2001, pukul 08.45 Wita di Denpasar
Semoga Arwah Bapak diterima dan bersatu dengan Ida Sanghyang Widhi wasa sesuai
Dengan amal bhakti Bapak
Om Santih Santih Santih Om
Denpasar 9 Januari 2001
Ketua,
Keterangan foto
MELAYAT-Sejak berpulangnya Bapak K. Nadha, Perintis/Pemimpin Umum/Pemimpin
Redaksi dan Penanggung Jawab Harian Umum Bali Post, Jumat (5/1) lalu, pihak yang
melayat terus berdatangan ke rumah duka di PEsraman Lumajang, Samsam, Tabanan.
Jumat (12/1) kemarin hadir Bupati Klungkung Tjok. Ngurah beserta staf serta guru-guru
senior PR Saraswati Denpasar, Dewa Gede Plaguna, SH., M.Hum. *anggota MPR), I Gusti
Bagus Yudhara (Asita Bali), Ibu Djoko Widja Kusuma dan rombongan dari LBH Bali di
bawah pimpinan Widyatmika. Sebelumnya juga melayat para pentolan LSM yakni A.A.
Ngurah Kusuma Wardhana, Drs. Chusmru, M.Si. dan Drs. NEngah Dasi Astawa, M.Si.,
Merta Ada beserta para asistennya dari Bali Usada Meditasi, Ronald Hikari dan Made
Dhama.
Bali Post, 13 Januari 2001.
BAPAK K. NADHA
Perintis / Pemimpin Umum / Pemimpin Redaksi /
Penanggungjawab Bali Post
BAPAK K. NADHA
Perintis / Pemimpin Umum / Pemimpin Redaksi /
Penanggungjawab Bali Post
BALIMAS
Jl. Wahidin No. 15 Denpasar- Bali
BAPAK K. NADHA
Perintis / Pemimpin Umum / Pemimpin Redaksi /
Penanggungjawab Bali Post
KELUARGA KELUARGA
DRS. MADE SUSILA PATRA I WAYAN SUKARYA PATRA
Bali Post, 14 Januari 2001, hlm. 3.
D Unia pers berduka. Kita kehilangan seorang tokoh pers yang gigih dengan
idealismenya: berjuang dengan caranya sendiri semasa revolusi bergolak,
dengan ketajaman penanya mengisi kemerdekaan, dan dengan semangat
nasionalismenya menebar warta untuk mencerdaskan bangsanya. Adalah K. Nadha,
Perintis/Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Penanggung Jawab Bali Post yang telah
mengembuskannapas terakhir di rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Denpasar, Juat
(5/1), pukul 08.45 Wita. Pak Nadha, begitu beliau biasa disapa, meninggal dalam usia
76 thaun ketika menjalani perawatan intensif dengan gejala panas tubuh yang
berkepanjangan. Kini jenazah almarhum disemayamkan di Pasraman Lumajang
Kelurahan Samsam, Tabanan, Bali, sekitar 28 kilometer Barat Laut Denpasar,
menunggu pelaksanaan pelebonupacara pembakaran jenazah bagi umat
Hinduyang akan dilangsungkan Rabu (17/1). Mendiang meninggalkan seorang istri,
Desak Gede Raka Nadha, empat orang anak yaitu tiga putri masing-masing, dr/ AA Sri
Saraswati, Ir. AA Pujastuti dan dr. AA Sri Wahyuni, serta seorang putra Drs. ABG Satria
Naradha. Keempat putra-putrinya itu sudah berumah tangga dan memberinya Sembilan
cucu. Mengenang jasa-jasa almarhum, Bali Post menurunkan kilas balik perjalanan dan
perjuangan K. Nadha dalam merintis pers di Bali. Laporan ini dilengkapi pandangan dan
kesan sejumlah tokoh dan orang-orang yang pernah dekat dengan almarhum.
Dwikora Putra, “Selamat Jalan Pak Nadha, Selamat Jalan Sang Perintis” dalam Bali Post, 14
Januari 2001, hlm. 3.
“Memasuki usia yang sudah lebih dari setengah abad ini, seharusnya kita sebagai insan pers
lebih dewasa dan bertindak bertanggung jawab dalam makna tidak lepas dari dimensi hukum
yang ada. Bertanggung jawab menolak tradisi berbohong, menghasut, mencermarkan nama
baik, informasi tidak seimbang dan subjektif dalam pemberitaan. Apalagi membesar-besarkan
persoalan secara tidak proporsional dan berita-berita yang tidak mendukung upaya
mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat secara demokratis.”
(Pesan K. Nadha pada HUT ke-52 Bali Post, 16 Agustus 2000).
LANGIT disaput awan duka. Kerabat, sahabat, dan tokoh-tokoh Bali seakan tak pernah
putus: menjenguk jenazah K. Nadha yang kini berbaring tenang di rumah duka, Pesraman
Lumajang. Karangan buka dan ucapan ikut berduka pun terus mengalir. K. Nadha memang sosok
yang monumentalia disenangi kawan-kawan seperjuangannya dan disegani oleh orang-orang
yang dikritisi lewat media yang dipimpinnya: Bali Post.
Lelaki berpenampilan bersahaja namun gigih dengan idealismenya itu nyaris tiada
duanya. Ia mengabdikan hamper seluruh hidupnya pada dunia jurnalistik. Lebih dari itu, Pak
Nadha, begitu almarhum biasa disapa, pada zamannya memilih profesi yang tidak “lazim”
bahkan terasa asing. Setidaknya untuk ukuran Bali. Namun, toh jalan sebagai “kuli tinta” atau
wartawanlah yang mengantarkan sosok sederhana ini menjadi monumentalnamanya kini
terpatri dengan tinta emas di jajaran pers nasional.
Jiwa jurnalistik tampaknya memang telah merasuk ke darah daging pelopor “kuli tinta”
yang satu ini. Kegelisahan serta kecintaannya pada profesi yang ditekuninya terlihat jelas dari
kesetiannya mengawal dan mengantarkan Bali Post. Hingga hari-hari terakhir menjelang
hayatnya pun Pak mata Widminarko, mantan Ketua PWI Bali yang puluhan tahun mendampingi
almarhum sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Bali Post, Pak Nadha selalu berpandangan jauh ke
depan dengan landasan kerja sebagaimana yang diusung karyawan Bali Post yakni perbaikan
secara terus-menerus.
Di masa hidupnya, Pak Nadha yang berperawakan gintiltak telalu kecil juga tidak
terlalu besardikenal sebagai pria yang sangat enerjik dan lincah. Dia dikenal sebagai orang
yang gigih, suka bekerja keras dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistik. “Beliau juga
termasuk senang mendidik dan membina wartawan-wartawan muda,” sambung Drs. Made
Nariana, juga mantan Ketua PWI Bali yang kini memimpin Denpost, salah satu penerbitan yang
bernaung di bawah Kelompok Media Bali Post.
Mendiang K. Nadha memang wartawan sejati. Bahkan pernah menjabat Ketua PWI Bali
yang pertama, periode 1957-1965. Pada awal karirnta mendiang menggunakan sepeda angin
yang sudah karatan untuk “memburu” berita siang dan malam pada zaman itu. “Meskipun
demikian almarhum cukup mersa bangga mengendarai sepeda angin karena saat itu sepeda motor
atau mobil di Depnasar jumlahnya bisa dihitung dengan jari,” turut Ny. Desak Gede Raka
Nadha, istri almarhum, sebagaimana dikutip Antara.
Desak Raka ketika mendampingi suaminya, terutama semasa putra-putrinya masih
kecil, mengaku menyadari bahwa profesi wartawan penuh tantangan, keprihatinan dan
Dwikora Putra, “Selamat Jalan Pak Nadha, Selamat Jalan Sang Perintis” dalam Bali Post, 14
Januari 2001, hlm. 3.
memerlukan ketabahan. Tentu, dorongan moril dari seorang istri seperti itu sedikit banyak
mempunyai andil dalam mengantarkan kariri almarhum di bidang jurnalistik.
Sementara di dunia pers, Pak Nadha, dikenal sangat kuat pendiriannya dan kukuh
idealism serta nasionalismenya. Tak heran jika almarhum sangat disegani oleh berbagai
kalangan; tidak hanya oleh orang-orang seperjuangan juga mereka yang dikritisi. Bahkan,
banyak di antara mereka yang memiliki kenangan mendalam serta mengaku sangat kehilangan.
(Lebih jauh baca: “Pak Nadha Gigih, Kritis dan Konsisten dengan Perjuangannya”).
Semangat perjuangan Pak Nadha yang kuat dalam dunia pers, tampak saat mendirikan
surat kabar di masa perjuangan fisik dimana pers waktu itu selain sebagai media komunikasi juga
media perjuangan yang ampuh. Sebelum bernama Bali Post, rintisan diawali bersama-rekanrekan
seperjuangan antara lain Sarya Udaya dan I Gusti Putu Arka pada tahun 1948 dengan mendirikan
surat kabar Suara Indonesia. Sebelumnya, jiwa dan nurani serta bakarnya di dunia pers
dituangkan melalui Bali Shimbun.(Lebih jauh lihat: Sekilas “Bali Post”, Dulu “suara
Indonesia”).
Atas kepeloporannya itu, tak kurang Koordinator Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Denpasar-Bali Ir. Putu Wirata Dwikora menyatakan lewat faksimili ikut berduka atas kepergian
Pak Nadha yang diterima Bali Post bahwa, “Rintisan penerbitan pers dan perjuangan K. Nadha
mendukung kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat yang dilangsungkan lewat
penerbitan harian Bali Post telah ikut membantu masyarakat mengembangkan wacana demokrasi
serta pencerdasan dalam kehidupan yang lebih berbudaya dan demokratis. Hati kita seperti
diketuk untuk meneruskan pengembangan wacana dan pencerdasan masyarakat Bali khususnya
dalam konteks dan relevansi zaman yang terus menerus berubah.”
***
PAK NADHA yang kelahiran 76 tahun silam, tepatnya tahun 1925 di Tampakgangsul,
Denpasar, Bali, memang seorang empu wartawan. Almarhum tidak hanya bersikap tegas
sekaligus teduh, pengetahuan serta wawasannya yang luas selalu disampaikan dengan kalimat-
kalimat yang bidaj sebagaimana obsesinya menjadikan Bali Post sebagai media yang bijak dan
dewasa. Sikap Pak Nadha yang mampu sebagai guru, bapak, sekaligus pemimpin yang disegani,
disampaikan dalam berbagai kesempatan. Terutama saat-saat momentum yangtepat seperti
peringatan HUT Bali Post sebagaimana disitir di awal tulisan ini.
Kini pesan-pesan Pak Nadha itu ditorehkan dengan tinta emas dalam sejumlah prasasti
yang ditempelkan di sejumlah dinding gedung Bali Post. Salah satu pesannya yang patut kita
renungkanyang disampaikan menjelang “hari-hari terakhirnya”, tepatmya[sic] pada peringatan
HUT ke-52 Bali Post, 1 Agustus 2000bahwa, “…. Dalam masa transisi di tengah situasi yang
dihadapi bangsa dan negara dewasa ini, seyogyanya pers tetap berfungsi sebagai mediator
dengan pemikiran, sikap dan langkah yang bertujuan mencari solusi atas masalah yang terjadi
di masyarakat. Sementara kemerdekaan pers jangan ‘dikotori’ oleh cara-cara penyajian berita
yang tidak mengacu kepada kode etik jrnalistik dan tidak professional”.
Dwikora Putra, “Selamat Jalan Pak Nadha, Selamat Jalan Sang Perintis” dalam Bali Post, 14
Januari 2001, hlm. 3.
Ungkapan Pak Nadha itu tentu mengandung pesan yang sangat luas, setidaknya bagi
wartawan muda, dengan harapan dalam menggeluti dunia jurnalistik memiliki pegangan yang
kokoh, lebih mengutamakan kepentingan bangsa, negara dna masyarakat banyak dalam setiap
penyajian informasi.
Memang pantas Pak Nadha memiliki pemikiran yang sarat dengan semangat
nasionalsime, karena mendiang juga sesungguhnya adalah seorang pejuang. Mendiang berjuang
dengan caranya sendiri, dengan ketajaman penanya ikut membela negara bersama tokoh pejuang
lainya. “Bapak berjuang lewat ketajaman pena, sementara rekan-rekannya berjuang secara fisik
untuk mengusir penjajah yang ingin menguasai Nusantara,” kenang Desak Gede Raka, yang
anggota veteran pejuang.
Atas perjuangan itu, pantas saja kalau Pak Nadha semasa hidupnya menerima berbagai
penghargaan, antara lain sebagai “Penegak Pers Pancasila”. Selain itu almarhum menerima
anugrah dari pemerintah berupapenghargaan Menpen besama tujuh wartawan senior lainnya.
Sementara di mata Jesna Winada, Ketua PWI Bali (1999-2004), satu hal terpenting yang
perlu dicatata dari Pak Nadha di bidang pers telah mampu menjaga dan mengantarkan Bali Post
sebagai Koran independen. “Ini yang terpenting dan yang harus terus dipertahankan di tengah
euphoria media massa sekarang,” paparnya mengakui di masa lalu karena situasi politik dan
kebijakan pemerintah Koran ini pernah berafiliasi ke salah satu parpol.
Ketekunan, keuletan, kerja keras, serta pandangan Pak Nadha yang jauh ke depan telah
terbukti. Bali Post, media yang dirintisnya dengan tetesan perjuangan yang penuh liku dan
tantangan, kini berkembang pesat. Dalam kelompok media ini setidaknya kini ada limat
penerbitan yakni Mingguan Prima, Tabloid Tokoh, Harian Denpost, Bali Travel News (tabloid
pariwisata berbahasa Inggris), Tabloid Dwi Mingguan Wiyata Mandala, serta Radio Global FM
Bali.
“Saya optimis Bali Post akan terus melaju. Sebab, Pak Nadha telah meninggalkan
system manajemen yang modern, yakni total quality controll[sic]. Tinggal bagaimana karyawan
yang ditinggalkan sekarang, apakah mereka memiliki inovasi atau tidak,” papar Widminarko
yang selama 35 tahun mendampingi Pak Nadha dan kni sudah memasuki masa pension.
Pak Nadha memang telah berpulang. Namun, almarhum telah meletakkan dasar-dasar
yang kokoh, merintis penerbitan pers di Bali. Dengan ketajaman penanya mendiang menerjang
zaman. Kini tinggal yang ditinggalkan melanjutkan jalan yang telah dibukakan dan dirintis
dengan tetesan keringat serta mewarisi semangat perjuangannya.
Selamat jalan Pak Nadha…
Selamat jalan Pejuang…
Selamat jalan Sang Perintis…
“Sekilas “Bali Post”; Dulu “Suara Indonesia”” dalam Bali Post, 14 Januari 2001, hlm. 3.
HARIAN Bali Post yang berkembang pesat seperti sekarang serta melahirkan “anak-
anak” seperti mingguan Prima, tabloid Tokoh, harian Denpost, Bali Travel News (tabloid
pariwisata berbahasa Inggris), tabloid dwi mingguan Wiyata Mandala serta Radio Global FM
Bali, memang berkat kerja keras dan pandangan jauh ke depan K. Nadha. Tak mengherankan
jika kebesaran Bali Post identik dengan Pak Nadha, begitu K. Nadha biasa disapa.
Sementara perjalanan Bali Post sendiri memang tak mulus. Lahir di zaman revolusi
bukanlah sebuah iklim yang menguntungkan untuk sebuah penerbitan persjika semata dilihat
dari sisi bisnis sebagaimana kebanyakan penerbitn-penerbitan yang menjamur sekarang. Hingga
akhir Bali Post sempat melewati usia 52 tahun, 16 Agutus 2000 lalu, memang panjang ceritanya,
pasang-surut serta liki-terjal jalan yang telah dilewati.
Bali Post yang kini berkantor pusat di Jl. Kepundung No. 67A Denpasar, semula
bernama Suara Indonesia, terbit perdana 16 Agustus 1948. Koran ini diterbitkan oleh Badan
Penerbit Suara Indonesia dengan perintis K. Nadha dibantu Made Sarya Udaya dan I Gusti Putu
Arkakeduanya teman seperjuangan K. Nadha ketika bekerja sebagai wartawan di surat kabar
Bali Shinbun yang terbit di Denpasar pada waktu pendudukan Jepang, 1943-1945.
Derap revolusi saat itu, tahun 1948, tentu masih menggema. Semangat perjuangan
mempertahankan kemedekaan pun tentu masih berkobar-kobar di dada para pemuda dan anak
bangsa negeri ini. Di tengah kancah itulah Suara Indonesia lahir dengan moto: dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat.
Sebagai pers perjuangan, memperjuangkan kemerdekaan Rapublik Indonesia, Suara
Indonesia pun tidak luput dari pahit getir pasang surut perjuangan bangsa ini. Lantas tanggal 2
Mei 1965, Badan Penerbitan Suara Indonesia diubah menjadi Yayasan Genta Suara Revolusi
Indonesia, disingkat Gesuri, berkedudukan di Denpasar dengan Akte No.104, Notaris Ida Bagus
Ketut Rurus.
Sejarang[sic] mencatat, tahun 1966, berdasarkan ketentuan pemerintah bahwa semua
penerbitan harus berafiliasi kepada organisasi parpol dan instansi yang ada, nama Suara
Indonesia diubah menjadi Suluh Indonesia edisi Bali [perubahan sebenarnya terjadi pada 11
Desember 1965]. Lantas pada bulan Juni 1966 s.d. Mei 1971, diganti lgi namanya menjadi Suluh
Marhaen edisi Bali. Tahun 1972, setelah demokrasi terpimpin terjadi perubahan iklim politik
yang juga berpengaruh pada iklim penerbitan (pers). Sejak itu penerbitan pers dibebaskan dari
keharusan berafiliasi, maka diakai kembali nama Suara Indonesia. Namun Departemen
Penerangan tidak menyetujui karena di Malang sudah ada surat kabar dengan nama yang sama.
Dengan demikian, lantas dipakai nama Bali Post sampai sekarang.
[Wayan Bawa],“Prof. Dr. Wayan Bawa: Pak Nadha Sungguh-sungguh Dalam Kesederhanaan”
dalam Bali Post, 14 Januari 2001, hlm. 3.
Saya merasa sangat kehilangan dengan berpulangnya Pak Nadha. Saya memang pernah
sebagai karyawan pada perusahaan yang dipimpinnya almarhum selama dua tahun dan saya
sangat mengagumi pribadi beliau. Saya bergabung dengan Suluh Marhaen pada 198-1970.
Mungkin tanpa beliau saya tidak seperti sekarang. Saya yang pada tahun 1968 baru keluar dari
penjara, diterima oleh beliay dan diajak bekerja di perusahaannya yang bergerak di bidang surat
kabar, yang pada waktu itu masih bernama Suluh Marhaen.
Di sana saya bekerja sebagai redaksi. Keadaan pada waktu itu sungguh sangat sulit.
Apalagi saya baru habis dipenjara. Sebelumnya memang saya sempat bekerja di Unud, tapi
setelah saya dipenjara (karena kena fitnah) saya tidak lagi bisa masuk ke Unud. Dalam keadaan
seperti itulah Pak Nadha bisa menerima saya. Sebab, beliau sudah mengetahui saya sewaktu aktif
di GMNI.
Selama bekerja bersama almarhum saya melihat ada beberapa hal yang sampai sekarang
masih saya ingat. Menurut saya, Pak Nadha merupakan sosok yang penuh kesabaran dan
memiliki kesungguhan untuk menjadikan Suluh Marhaen sebagai Koran yang besar pada waktu
itu. Yang kedua adalah sifat sederhana beliau yang sampai akhir hayatnya masih melekat pada
dirinya, dan menjadikan panutan bagi saya dalam berbuat. Selain itu Pak Nadha mempunyai jiwa
perjuangan yang sangat tinggi. Sifat-sifat itulah yang membuat saya berhasil seperti sekarang ini.
Bahkan, ketika saya mau melanjutkan kembali untuk kuliah, beliau bersedia membiayai saya.
Untuk ini saya sangat berterima kasih kepada beliau, karena tanpa semua itu saya belum tentu
bisa sebagai guru besar seperti sekarang. Menurut saya, ada dua hal dari pribadi beliau yang
menjadi pedoman saya sekarang. Pertama, kesungguhan beliau. Dalam artian apa pun yang kita
kerjakan, kerjakanlah dengan sesungguhnya, sehingga dapat hasil yang memuaskan. Kedua,
adalah kesederhanaan beliau yang sampai sekarang mungkin tidak berubah.
Gde Wicaksana Asti Musman. “Pak Nadha Gigih, Kritis, dan Konsisten dengan Perjuangannya”
dalam Bali Post, 14 Januari 2001, hlm. 3.
Berpulangnya K. Nadha, Perintis/Pemimpin Umum/Pemimin Redaksi/Penanggung
Jawab Bali Post ke pangkuan Ida Sang Hyang Widhi Wasa telah menyebabkan banyak
orang kehilangan. Mereka tidak hanya merasa kehilangan seorang perintis pers di Bali,
seorang guru, seorang bapak yang penuh kesederhanaan, serta seorang panutan yang
gigih serta memiliki kesabaran dan sikap kritis, juga seorang tokoh yang konsisten
dengan perjuangannya. Berikut komentar sejumlah tokoh serta orang-orang yang
pernah dekat dengan Pak Nadha.
BEGITU saya mendengar berita dan membaca di Koran Pak Nadha meninggal, saya
merasa kehilangan yang sangat besar karena figure yang selama ini kitaikuti, sejakawal hingga
meninggalnya, merupakan sosok yang konsisten dengan pendiriannya. Kami merasa kehilangan
yang sangat besar. Saya ikuti perjuangan beliau sebelum Koran ini menjadi Bali Post, dulu
namanya sering berubah-ubah. Pernah bernama Suara Indonesia dan Suluh Marhaen.
Saya di dalam mengemna tugas di DPRD tidak lepas dari sejarah masa lalu, dalam arti
saya mulai dari PNI. Ketika itulah saya kenal Pak Nadha dan saya ikuti tulisannya melalui
Koran, hingga wafatnya beliau tetap konsisten dengan pendiriannya itu. Jadi ini suatu hal yang
langka atau jarang. Hal-hal yang ada seperti ini semoga dapat menjadi suri teladan bagi kita
sekalian untuk masa-masa yang akan datang.
Apa yang sudah disikapi almarhum yaitu memelihara dan mengembangkan semangat
kebangsaan, persatuan dan kesatuan, nasionalisme dan sebagainya. Selain itu sangat heroic
terhadap Bali. Artinya bagaimana agar Bali ini tetap terpelihara kebaliannya. Selama hidupnya
saya lihat beliau konsisten sehingga dalam pemuatan berita apa pun akan bermuara pada
pertanyaan; akan menjadi lebih baik bagi Bali atau tidak? Nah ini untuk kita dan generasi
seterusnya perlu menjadi bahan pemikiran bersama-sama.
SAYA bergaul akrab dengan Pak Nadha di tahun 1966-1971. Bukan sekadar kenal, tapi
saya terlibat langsung dalam operasional Bali Post saat di bagian ekubang (ekonomi, keuangan
dan pengembangan). Wartawan saat itu sangat melarat, cari berita keliling Denpasar dengan
sepeda gayung. Angkatan saya antara lain Widminarko, Raka Santeri dan Karsika (pegawai
RRI).
Ada beberapa hal yang saya kenang dari Pak Nadha. Pertama, beliau mendorong
semangat para wartawan untuk mencapai cita-cita Bali Post sebagai koran perjuangan. Tidak ada
pertimbangan materi dalam mengembangkan koran ini, yang dipikirkan hanyalah bagaimana
memberikan informasi yang akurat untuk masyarakat. Kedua, saat menegur teman atau
karyawan belum pernah saya dengar bernada marah. Kemarahan beliau selalu bernuansa
Gde Wicaksana Asti Musman. “Pak Nadha Gigih, Kritis, dan Konsisten dengan Perjuangannya”
dalam Bali Post, 14 Januari 2001, hlm. 3.
pendidikan untuk berbuat lebih baik di masa mendatang. Ketiga, pola berpikirnya yang kreatif,
kritis dan etis terlihat nyata pada tulisannya pada kolom “Bang Podjok”. Tulisan-tulisan itu
memberikan roh semangat dan menampakkan kebesaan nama Bali Post. Walaupun masa sudah
berubah dengan beberapa orde pemerintahan, “Bang Podjok” tidak pernah terseret arus dan tidak
ditunggangi kelompok-kelompok tertentu. Tulisan “Bang Podjok” sangat cermat memahami
lingkungan dan diangkat menjadi pesan yang kreatif, kritis, serta etis, sehingga tidak
menyinggung perasaan orang lain. Bahkan dijadikan koreksi agar berbuat lebih baik. Keempat,
kesederhaan dalam kehidupannya patut ditiru. Walaupun Pak Nadha sebagai penentu dalam
kegiatan Bali Post, beliau tetap hidup sederhana, tidak ada arogansi harta dan kekuasaan.
Kesan khusus, waktu muda saya sering bertemu Pak Nadha. Beliau pernah berkata bahwa
perjuangan ini memerlukan waktu yang panjang untuk mensejahterakan[sic] masyarakat. Setelah
beliau meninggal saya berharap para penerus Bali Post tetap pada konsistensi dan disiplin untuk
mencapai tujuan Bali Post. Sebab Bali Post telah mengalami perjuangan yang panjang dari koran
yang bernama Suara Indonesia, Suluh Marhaen, hingga bisa menjadi koan daerah yang cukup
baik. Rasanya, Jika[sic] tak ada Bali Post tidak akan banyak wartawan yang tercetak dari Bali.
PAK Nadha teman saya sejak koran ini belum bernama Bali Post. Kalau enggak salah
namanya Suluh Marhaen dengan kantor di Jalan Bisma Denpasar. Saya sewaktu mahasiswa
sering ke sana minta kertas dan mengenal Pak Nadha dengan ciri khasnya yang santai dan
senyumnya yang spesifik, caranya berbicara saya tidak pernah lupakan. Hingga akhirnya
kantornya pindah di[sic] Jalan Kepundung, saya tetap diterima tanpa ada perubahan sedikit pun.
Sebelum beliau sakit, kira-kira 4 tahun lalu saya sering menelepon dan menyampaikan
bagaimana kabar beliau, “Apakah sehat-sehat saja”. Saya sangat terkesan dan kaget, dalam
bayangan saya walaupun beliau umurnya sudah tua, penampilannya tidak banyak berubah kalau
saya bertemu di kantornya.
Sewaktu saya mahasiswa dulu itu, beliau sering memberikan motivasi. Setelah saya
kawin dan mempunyai perusahaan, kata yang tidak pernah saya lupakan dari beliau agar kita
selalu “sabar”. Oleh karena, sabar itulah kunci perjuangan dan harus diperjuangkan.
Gde Wicaksana Asti Musman. “Pak Nadha Gigih, Kritis, dan Konsisten dengan Perjuangannya”
dalam Bali Post, 14 Januari 2001, hlm. 3.
Saya kira apa yang ditinggalkan beliau harus dengan kepeloporan Bali Post yang sudah
dicanangkan sejak tahun 1948 harus tetap dilanjutkan. Bali Post harus tetap menjadi pelopor
walaupun nanti banyak pesaing, banyak surat kabar yang akan tampil. Saya optimis dari iklannya
orang memilih koran yang tepat, bukan di tempat lain yang murah. Jadi orang baru bangun pasti
nanya, “Bali Post-nya sudah datang?”