Anda di halaman 1dari 12

PEMBANGUNAN NASIONAL MELALUI REVITALISASI NILAI

GOTONG-ROYONG BERDASARKAN PANCASILA


Oleh:
Ade Tarina Paramita
NIM.13110241050
I-A Prodi Kebijakan Pendidikan FIP UNY
atarinaparamita@ymail.com

Abstrak
Pancasila merupakan jati diri bangsa Indonesia. Selain mengusulkan
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, Ir.Soekarno juga mengusulkan
‘Ekasila’ sebagai dasar negara yang berbunyi, ‘Gotong Royong’. Walau usulan
tersebut tidak ditetapkan sebagai dasar negara, namun Pancasila itu sendiri
masih memuat makna gotong royong di dalamnya. Pada umumnya, gotong
royong hanya dimaknai dalam sila ketiga yang berbunyi Persatuan Indonesia.
Namun, jika kelima nilai sila Pancasila digali lebih dalam lagi, makna gotong
royong masih termuat dalam kelima sila tersebut.
Kegiatan gotong royong merupakan salah satu nilai budaya dalam
kehidupan masyarakat bangsa Indonesia yang telah ada sejak zaman dahulu kala.
Nenek moyang negeri ini mewariskan budaya yang berharga bagi kelangsungan
hidup ibu pertiwi. Perkembangan zaman yang terus bergulir mempengaruhi pula
perkembangan sistem gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat maupun
bernegara, bahkan maknanya mulai terabaikan. Gotong royong tidak hanya
perlu dilestarikan guna mempertahankan nilai budaya nenek moyang, melainkan
sangat perlu direvitalisasi dalam proses pembangunan bangsa.
Kata Kunci: Gotong Royong, Pancasila

Pendahuluan
Budaya gotong-royong merupakan budaya nenek moyang bangsa Indonesia
yang turun-temurun, bahkan menjadi kekuatan masyarakat Indonesia dalam
melawan penjajahan dan mencapai kemerdekaan. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa gotong-royong merupakan jati diri bangsa yang tidak boleh dibiarkan
pudar begitu saja oleh perkembangan zaman. Gotong-royong diharapkan dapat
mendarah daging dalam jiwa generasi-generasi penerus bangsa untuk menjaga
keutuhan bangsa Indonesia.
Pembangunan bangsa perlu dilandasi oleh jati diri atau nilai budaya bangsa

Pendidikan Pancasila 1
sebagai strategi pencapaian cita-cita segenap rakyat Indonesia. Nilai gotong
royong sebagai jati diri bangsa dapatkah dijadikan tonggak strategi pembangunan
bangsa Indonesia?
Pada kenyataan saat ini nilai tersebut mulai pudar di kalangan masyarakat,
sikap individualistis mulai menjamuri karakter generasi masa kini. Padahal
pembangunan bangsa perlu adanya kerjasama segenap rakyat. Apabila rakyatnya
saling tak mempedulikan satu sama lain dan mengabaikan nasib kekokohan
bangsanya di masa yang akan datang, maka berakhirlah keberadaan bangsa ini.
Untuk mempertahankan dan mensejahterakan bangsa yang telah mati-matian
dimerdekakan oleh para pahlawan sangat perlu adanya revitalisasi nilai budaya
yang menjadi jati diri bangsa Indonesia, salah satunya gotong royong.

Pembahasan
Pancasila secara keseluruhan mengandung nilai gotong royong. Gotong
royong bagaikan roh bagi dasar negara Indonesia, Pancasila. Nilai tersebut telah
lahir sejak lama, bahkan sebelum bangsa Indonesia merdeka. Gotong royong
merupakan warisan leluhur tanah air dari generasi ke generasi.
1. Makna Gotong Royong
Gotong royong sebagai bentuk solidaritas sosial, terbentuk karena
adanya bantuan dari pihak lain, untuk kepentingan pribadi maupun
kepentingan kelompok, sehingga di dalamnya terdapat sikap loyal dari setia
warga sebagai satu kesatuan (Gurniwan Kamil Pasha, sosiologi.upi.edu).
Kata ‘gotong royong’ berasal dari bahasa Jawa. Gotong berarti memikul,
sedangkan royong artinya bersama. Jadi gotong royong mempunyai arti
bekerja sama.
Menurut M.Nasroen, gotong royong merupakan dasar Filsafat Indonesia.
Gotong royong sebagai filsafat berarti dijadikan pedoman dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Gotong royong adalah nilai
budaya yang diwariskan para leluhur pada generasi penerus bangsa. Sebuah
bangsa harus memiliki jati diri, agar tetap kokoh sebagai bangsa yang
memiliki ciri khas tersendiri.

Pendidikan Pancasila 2
Berkaitan dengan Pancasila, Presiden pertama Indonesia, Bung Karno
penggali Pancasila suatu ketika pernah menyatakan bahwa Pancasila
manakala diperas tuntas bisa berwujud Ekasila, yakni Gotong
Royong(http://www.uny.ac.id/rubrik-tokoh/prof-zamroni-phd.html). Menurut
Ir.Soekarno gotong royong adalah ide asli Indonesia (Dina Dwikurniarini,
2013:43). Jika suatu bangsa telah kehilangan pegangan hidupnya, maka
bangsa itu tidak pula dapat mempertahankan diri terhadap desakan-desakan
dan serangan-serangan dari luar. Pedoman hidup ini disebut kebudayaan
(Soedjito, 1986 :80).
Menurut Koentjaraningrat, nilai budaya merupakan suatu rangkaian dari
konsep abstrak yang hidup dalam alam pemikiran sebagian besar dari warga
suatu masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga
dalam hidup. Nilai budaya berfungsi sebagai pedoman dan pendorong
kelakuan manusia dalam hidup. Dalam kehidupan sehari-hari nilai ini
terwujud dalam bentuk adat-istiadat, norma-norma, aturan sopan santun, dan
sebagainya. Berdasarkan kedudukannya, nilai budaya ini akan
mempengaruhi sikap seseorang dalam melakukan tindakan atau
perbuatannya dan semua kelakuan manusia, baik secara langsung maupun
melalui pola-pola cara berpikir.
Menurut Bintarto mengenai hubungan antara gotong royong sebagai
nilai budaya, bahwa nilai itu dalam sistem budaya orang Indonesia
mengandung empat konsep, yaitu:
a. Manusia itu tidak sendiri di dunia ini, tetapi dilingkungi oleh
komunitinya, masyarakatnya dan alam sekitarnya. Di dalam sistem
makrokosmos tersebut ia merasakan dirinya hanya sebagai unsur kecil
saja, yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha
besar itu.
b. Dengan demikian, manusia pada hakekatnya tergantung dalam segala
aspek kehidupannya kepada sesamanya.
c. Karena itu, ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara
hubungan baik dengan sesamanya terdorong oleh jiwa sama rata sama

Pendidikan Pancasila 3
rasa.
d. Dan selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat
sama dengan sesamanya dalam komuniti, terdorong oleh jiwa sama
tinggi sama rendah. (Gurniwan Kamil P., sosiologi.upi.edu)
Gotong-royong adalah bentuk kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu
dengan prinsip timbal balik (resiprositas) yang menimbulkan adanya
kegiatan sosial dalam masyarakat. Gotong-royong ini dalam pelaksanaannya
dapat berbentuk gotong-royong spontan, gotong-royong yang dilandasi
pamrih atau gotong-royong karena memenuhi kewajiban sosial untuk salah
satu kegiatan masyarakat. Bentuk kerja sama ini dapat beraneka raga sesuai
bidang dan kegiatan sosial itu sendiri (1982:6).
Kegiatan gotong royong merupakan manifestasi solidaritas yang
berdasarkan pada prinsip moralitas. Kegiatan itu menunjukkan adanya
kesadaran manusia bahwa pada hakekatnya dalam hidupnya selalu
bergantung pada sesamanya.
2. Bentuk-bentuk Kegiatan Gotong Royong
Gotong royong terimplementasikan dalam berbagai bentuk kegiatan.
Sejak zaman dahulu kala gotong royong senantiasa mencampuri kegiatan
keagamaan, kemanusiaan, persatuan, kemusyaratan, dan sosial, sehingga
terciptalah masyarakat yang solid dan loyal. Sistem gotong royong ini sudah
melembaga dalam masyarakat di Indonesia sejak jaman kejayaaan kerajaan
Hindu di Jawa seperti kerajaan Mataram Kuno dan juga Kerajaan Majapahit.
Sistem kerja yang disebut gotong royong lebih melembaga di dalam
masyaraat pedesaan di Jawa dan di Indonesia pada umumnya. Akan tetapi
masuknya pengaruh dari luar yang membawa unsur-unsur kebudayaan asing
melalui akulturasi, sistem gotong royong yang sudah lama melembaga itu
sedikit banyak telah meninggalkan unsur-unsur keasliannya, bahkan di
beberapa tempat di Indonesia, seperti di daerah perkotaan pengertian yang
terkandung dalam gotong-royong itu mulai ditinggalkan orang. Disini orang
tidak lagi menghayati arti dan makna gotong royong yang sebenarnya
(1982:1).

Pendidikan Pancasila 4
Kegiatan gotong royong tolong menolong yang biasanya disebut dengan
istilah sambatan atau sambat-sinambat. Sambat berarti mengeluh.
Hubungannya dengan gotong royong mempunyai pengertian kiasnya yaitu
tolong. Hal itu merupakan suatu sistem penambahan tenaga kerja sebagai
bantuan dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh suatu keluarga
misalnya kegiatan dalam bidang pertanian, membuat rumah, dalam
kesusahan, perkawinan, dan lain sebagainya.
Kegiatan gotong-royong di atas mencerminkan Pancasila sila pertama,
yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, serta sila kedua yang berbunyi,
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Kegiatan tersebut berarti
mengamalkan nilai saling tolong-menolong antar sesama manusia dan itu
bagian dari ibadah. Kegiatan gotong royong kerja bakti dalam bidang
kemasyarakatan ini merupakan kegiatan sosial yang menggunakan
pengerahan tenaga kerja rakyat; yang di dalamnya bentuknya disebut gugur
gunung atau kerig desa. (1982:91)
Dalam kegiatan kerja bakti seringkali diadakan pula musyawarah, jika
ada masalah yang dihadapi dalam suatu pembangunan proyek. Hal itu
mencerminkan penerapan sila ketiga dan keempat. Kerja bakti membutuhkan
kerja sama yang mempersatukan setiap warga yang karakternya pasti berbeda,
namun mereka memiliki tujuan yang sama yang mempersatukannya hingga
membentuk satu kesatuan yang fungsional. Hal ini sesuai dengan nilai sila
ketiga, yaitu “Persatuan Indonesia”. Ketika ada masalah yang dihadapi,
musyawarah dijadikan sebagai jalan untuk memecahkannya sesuai dengan
nilai sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan”.
Gotong royong adalah bentuk integrasi yang banyak dipengaruhi rasa
kebersamaan. Untuk menciptakan masyarakat yang adil sesuai dengan sila
kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, nilai gotong royong
pun masih berlaku. Keadilan harus ditegakkan secara bersama-sama ,tidak
bisa hanya seorang yang menegakannya tanpa kesepakatan orang-orang
lainnya, karena gotong royong adalah nilai budaya yang artinya harus

Pendidikan Pancasila 5
disepakati bersama.
Selain menjadi nilai yang mendasari kehidupan bermasyarakat, gotong
royong pun menjadi pedoman dalam kehidupan bernegara. Dalam
prakteknya di lingkungan pemerintahan, gotong royong pun sangat
dibutuhkan. Sebagai contoh Presiden RI kelima Megawati Sukarnoputri
membentuk Kabinet Gotong Royong.
Menurut Supomo, pimpinan masyarakat harus mengusahakan untuk
menjaga jiwa gotong royong agar tidak lenyap, bahkan semangat kolektif di
dalam masyarakat tradisional hendaknya dijadikan semangat koperatif yang
sadar akan persatuan nusa dan bangsa.
3. Realitas Nilai Budaya Masyarakat Masa Kini
Era globalisasi ialah sebuah era dimana tak ada lagi batas-batas negara
maupun budaya di dunia, sehingga nilai budaya dapat saling memasuki ruang
sebuah bangsa, bahkan mempengaruhinya hingga kehilangan jati diri.
Indonesia adalah sebuah bangsa yang memiliki kepribadian yang luhur, salah
satu nilai luhur yang terwariskan adalah nilai gotong royong. Namun, dalam
implementasinya dalam kehidupan sehari-hari saat ini, nilai tersebut mulai
diselingkuhi oleh pemegang warisan itu sendiri dengan nilai budaya baru
yang datang dari luar sebagai dampak era globalisasi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi nilai
budaya dan gaya hidup masyarakat. Teknologi modern merupakan suatu
faktor yang bebas nilai. Artinya, dapat digunakan untuk apa saja. Teknologi
dapat digunakan untuk kebaikan ataukah keperluan yang merugikan
masyarakat sangat tergantung pada siapa yang menggunakannya atau
bagaimana karakter yang dimiliki si penggunanya.
Adanya proses berkembangnya pengaruh nilai uang dan komersialisasi
akan disertai pula oleh timbulnya individualisme. Peningkatan peranan
moralitas dapat mengurangi perluasan pengaruh individualisme dan
komersialisme. Moralitas tampak sebagai sikap dan tingkah laku, serta
tindakan manusia untuk berhubungan dengan sesamanya dan semua aspek
kehidupan yang ada di dalam lingkungan masyarakat. Sikap dan tindakan

Pendidikan Pancasila 6
tersebut tampak dalam sistem gotong royong. Namun, apabila nilai
komersialisme dan individualisme lebih kuat dari kekuatan moral yang
dimiliki masyarakat, maka nilai budaya baru tersebut lebih mendominasi tata
kehidupan masyarakat.
Adanya variasi-variasi yang disebabkan oleh perkembangan sistem
gotong royong mempengaruhi pula bentuk pelaksanaannya di masa kini dan
mendatang. Misalnya, sejak dikenalnya nilai uang dan komersialisme, dalam
kegiatan sambatan diimbangi dengan sistem upah, tidak lagi dilakukan
secara bulat dan penuh. Pada kegiatan kerja bakti, misalnya dalam
membangun jembatan diserahkan kepada sekelompok orang tertentu, lalu
diberi sumbangan atau upah berupa uang. Kegiatan tersebut tidak lagi
dibangun oleh para warga yang sukarela bekerja sama tanpa pamrih.
Nilai gotong royong akan memudar, apabila rasa kebersamaan menurun
dan setiap pekerjaan tidak lagi terdapat bantuan sukarela, bahkan dinilai
dengan materi atau uang. Nilai kebersamaan yang seharusnya dijunjung
tinggi mulai tidak ada artinya lagi. Berlakunya sistem upah atau kompensasi
sebagai imbalan jasa para pelaku gotong royong mengurangi berlakunya
sistem sambatan maupun kerja bakti dalam bentuk aslinya. Hal ini pun
melahirkan nilai budaya baru, yaitu sikap materialistis. Gaya hidup
masyarakat mulai bergeser menjauhi kepribadian bangsa.
Usaha pembangunan pun menyebabkan timbulnya variasi-variasi dalam
pelaksanaan gotong royong. Pembangunan yang dilaksanakan dapat
membawa suatu konkuensi, yaitu pengenalan teknologi untuk menggantikan
yang sifatnya tradisional. Di satu pihak dengan adanya teknologi canggih
dapat menaikkan produktivitas, namun di sisi lain dapat mengurangi
penyerapan tenaga kerja. Padahal penyerapan tenaga kerja yang maksimal
dapat mengurangi angka pengangguran, sehingga terjadi kenaikan angka
kesejahteraan di masyarakat. Apabila penyerapan tenaga kerja berkurang,
maka dapat disimpulkan akan ada peningkatan angka pengangguran.
Usaha meningkatkan produktivitas sebenarnya tidak harus bergantung
pada teknologi canggih. Peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas

Pendidikan Pancasila 7
sebenarnya mampu meningkatkan produktivitas tanpa harus bergantung pada
teknologi canggih. Sumber daya manusia yang beretos kerja tinggi dan
kesadaran akan pentingnya bekerja sama mampu mencapai target lebih dari
apa yang diharapkan. Sehingga pembangunan nasional pun dapat berjalan
tanpa ada kepincangan.
4. Revitalisasi Nilai Gotong Royong untuk Pembangunan Bangsa
Pembangunan Nasional memiliki arti yang luas yaitu membangun
masyarakat Indonesia seutuhnya (Sandro M., hankam.kompasiana.com).
Pembangunan yang sedang digalakkan perlu sebuah paradigma, yaitu sebuah
kerangka berpikir atau sebuah model mengenai bagaimana hal-hal yang
sangat esensial dilakukan (Dwi Siswoyo, 2013: 112). Pancasila sebagai
Paradigma Pembangunan Nasional bidang sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan harus dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila. Dalam upaya
membangun bangsa Indonesia secara seutuhnya itulah diperlukan penerapan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Pembangunan hendaknya berdasarkan sistem nilai dan budaya
masyarakat Indonesia. Pembangunan yang menyimpang dari sistem dan
budaya yang diwariskan oleh leluhur tidak dapat mencapai tujuan yang
didambakan. Hal itu disesuaikan dengan kondisi dari sebuah bangsa itu
sendiri, kita tidak dapat memaksakan budaya dari bangsa lain yang dianggap
lebih berkualitas. Sekalipun budaya bangsa lain tersebut berhasil membangun
bangsa itu, belum tentu budaya tersebut berhasil diterapkan di bangsa kita,
yang ada menimbulkan masalah baru.
Proses pembangunan membutuhkan solidaritas. Proses tersebut tidak
akan berjalan dengan baik, ketika tidak ada solidaritas pada para pemegang
peran pembangunan. Masyarakat yang berjalan sendiri-sendiri hanya akan
merapuhkan proses pembangunan. Oleh karena itu, gotong royong yang
maknanya saling bahu-membahu perlu dijadikan nilai yang mendasari
pembangunan nasional.
Pembangunan bangsa terbagi ke berbagai bidang, antara lain
pembangunan pendidikan, pembangunan ideologi, pembangunan politik,

Pendidikan Pancasila 8
pembangunan ekonomi, pembangunan ketahanan nasional, pembangunan
hukum, dan pembangunan kehidupan beragama. Pada pembangunan
pendidikan, gotong royong sebagai usaha menciptakan hubungan yang baik
antara guru dengan murid atau lembaga kependidikan dengan masyarakat
yang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Lembaga pendidikan dan
masyarakat harus saling mendukung guna mencapai tujuan pendidikan
nasional yang ideal. Sedangkan pembangunan ideologi berarti mengukuhkan
ideologi bangsa yang telah ditetapkan sebagai pedoman yang mutlak bagi
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Bangsa Indonesia sendiri
berideologi Pancasila. Keberadaan ideologi tersebut tidak boleh dibiarkan
hanya sebagai bahan hafalan tanpa ada implementasinya. Implementasi nilai
Pancasila sudah seharusnya dilakukan oleh segenap warga, tanpa
mempedulikan perbedaan masyarakat secara horizontal maupun vertikal,
karena Pancasila adalah kesepakatan yang harus dilaksanakan secara
bersama-sama. Lalu, gotong royong dalam pembangunan ekonomi
diharapkan dapat meningkatkan angka kesejahteraan masyarakat secara lebih
merata. Hal sederhana yang perlu diterapkan dalam kegiatan ekonomi adalah
asas kekeluargaan, seperti halnya koperasi. Kesejahteraan masyarakat tidak
akan mengalami ketimpangan, ketika rasa kebersamaan dan saling
membutuhkan ada di dalam nurani setiap individu. Dalam pembangunan
politik yang sesuai cita-cita bangsa adalah keberhasilan sebuah bangsa
menarik partisipasi rakyat dalam kepemerintahan. Hal tersebut tentu
diperlukan ikatan kerjasama yang erat dan profesional antara pemerintah dan
rakyat. Ketahanan nasional adalah usaha bersama, yang artinya mutlak tidak
dapat dilakukan perseorangan, karena sebuah bangsa adalah milik rakyat
bersama. Sedangkan pembangunan hukum berarti menciptakan bangsa yang
adil, aman, dan teratur. Keteraturan tersebut tidak akan terwujud tanpa
adanya kesadaran segenap rakyat untuk mematuhinya.
Kehidupan beragama adalah hal yang mendasar dalam kehidupan
bermasyarakat, karena berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan
Sang Pencipta. Indonesia sebagai bangsa yang multikultural, tentu sangat

Pendidikan Pancasila 9
rawan terjadi konflik, terutama konflik beragama, karena sifatnya sensitif.
Namun, hal tersebut dapat dihindari ketika setiap individu memiliki cita-cita
kerukunan dan kedamaian antar sesama. Kerukunan dapat diciptakan melalui
rasa saling menghargai dan toleransi. Kegiatan gotong royong tanpa
memandang perbedaan dapat menumbuhkan hal-hal tersebut.
Perwujudan partisipasi rakyat di dalam pembangunan ini adalah melalui
kegitan gotong royong yang di dalamnya terkandung unsur-unsur dedikasi
dan loyalitas masyarakat terhadap program pembangunan itu. Katakanlah
disini bahwa peranan, kedudukan dan fungsi daerah pedesaan adalah sebagai
basis pembangunan nasional. Bahkan pada hakekatnya pembangunan desa
itu dilaksanakan oleh masyarakat desa itu sendiri, sedangkan pemerintah
memberikan bimbingan, pengaraham, bantuan, pembinaan, dan pengawasan
yang terarah dan terkoordinir agar dapat ditingkatkan kemampuan
masyarakat dalam usaha menaikkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat. (1982: 112)
Hubungan antara gotong royong itu tidak hanya tampak sebagai realitas
dari rumusan yang dicantumkan di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN), melainkan sudah ada dan dilakukan rakyat Indonesia sejak
beberapa abad yang lalu, sejak zaman kejayaan kerajaan Mataram Kuno dan
kerajaan Majapahit, serta seja zaman sebelum datangnya bangsa asing yang
memaksakan kebudayaannya di Indonesia. Sejak zaman-zaman itu bisa kita
lihat bagaimana negara membutuhkan partisipasi rakyat untuk turut
melaksanakan pembangunan yang direncanakan, misalnya membangun
candi-candi.
Pada zaman penjajahan atau masa pemerintahan Hindia Belanda dan
Jepang sistem gotong royong kerja bakti sempat dieksploatir untuk
menyelesaikan pembangunan yang bertujuan untuk kepentingan para
penjajah tersebut. Terlepas dari persoalan itu, fakta sejarah sistem gotong
royong, khususnya kerja bakti tidak bisa dipisahkan dari pembangunan yang
perencanaannya berasal dari inisiatif rakyat.
Sistem gotong royong yang merupakan manifestasi solidaritas dan

Pendidikan Pancasila 10
kolektivitas masyarakat pedesaan sebagai potensi untuk melaksanakan
program pembangunan. Misalnya melalui kegiatan gotong royong kerja bakti,
orang dikerahkan untuk menyelesaikan suatu proyek. Dengan demikian
gotong royong dan pembangunan saling mengisi satu sama lain.
Pada umumnya gotong royong masih melekat di masyarakat pedesaan.
Sedangkan masyarakat perkotaan mulai meninggalkannya, karena perubahan
sosial yang mempengaruhi gaya hidupnya. Namun, gotong royong diharapkan
tidak hanya berlaku di masyarakat pedesaan, melainkan lestari pula di kalangan
masyarakat kota, karena dalam pembangunan nasional dibutuhkan keikutsertaan
seluruh rakyat, solidaritas dan keloyalitasan setiap individu di negeri ini. Dalam
menumbuhkan kembali nilai gotong royong pada setiap warga dapat dilakukan
dari hal yang paling sederhana, yaitu menyadari akan kehidupannya yang
senantiasa membutuhkan orang lain.

Kesimpulan
Sistem gotong royong sebagai manifestasi kebudayaan yang telah dikenal
oleh nenek moyang bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala. Sebagai
pemegang warisan bangsa Indonesia, kita harus menjaga gotong royong sebagai
jati diri bangsa kita agar tidak dipengaruhi oleh teknologi, maupun nilai budaya
yang tidak sesuai dengan kepribadian negeri ini. Individualistik sangat tidak
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, sehingga perlu kita hapus dari nilai
baru yang mengantri masuk ke dalam kehidupan kita.
Nilai budaya merupakan kesepakatan. Begitu pula gotong royong sebagai
nilai budaya yang harus disepakati kembali implementasinya dalam kehidupan
sehari-hari. Segenap masyarakat Indonesia perlu menyepakati kembali nilai
budaya yang mulai ditinggalkan itu. Sehingga secara tidak langsung kita telah
berperan dalam proses pembangunan bangsa ini. Bayangkan saja ketika setiap
manusia Indonesia sibuk dengan kepentingannya sendiri, tanpa memikirkan
kepentingan bersama, tanpa saling menolong, tanpa saling bahu-membahu
memajukan negeri ini, akan dibawa kemana nasib Indonesia? Oleh karena itu,
kesadaran akan merevitalisasi nilai gotong royong yang terkandung dalam

Pendidikan Pancasila 11
Pancasila harus ditumbuhkan guna kemajuan proses pembangunan nasional.
Dapat disimpulkan bahwa pembangunan nasional dan nilai gotong royong
yang menjadi roh Pancasila memiliki hubungan yang fungsional. Pembangunan
menyebabkan adanya kegiatan yang membutuhkan pengerahan tenaga kerja
rakyat. Dan gotong royong merupakan kerja sama yang bertujuan untuk
menyelesaikan tujuan pembangunan. Jika kita mampu melestarikan kegiatan
gotong royong yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila, maka dapat dipastikan
bangsa ini akan kokoh dan sejahtera sesuai tujuan pembangunan nasional yang
dicita-citakan oleh segenap rakyat bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka
________. (1982). Sistim Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rukiyati, dkk. (2013). Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Yogyakarta :


UNY Press.

Gurniwan Kamil. Gotong Royong dalam Kehidupan Masyarakat.


(http://sosiologi.upi.edu/artikelpdf/gotongroyong.pdf). Diunduh pada hari
Minggu 8/12/2013 18:22 WIB.

Sandro Marganda. (2013). Pancasila Landasan Pembangunan Nasional.


(http://hankam.kompasiana.com/2013/04/15/pancasila-landasan-pembanguna
n-nasional-546291.html). Diakses pada hari Minggu 15/12/2013 pukul 20:45
WIB.

Soedjito. (1986). Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri. Yogyakarta :


Tiara Wacana Yogya.

Tusti. (2013). Pendidikan Populis Berbasis Budaya.


(http://www.uny.ac.id/rubrik-tokoh/prof-zamroni-phd.html). Diakses pada
hari Senin 16/12/2013 pukul 18:57 WIB.

Pendidikan Pancasila 12

Anda mungkin juga menyukai