Anda di halaman 1dari 12

Pelayanan Farmasi di Apotek

DETAIL PELAYANAN DI APOTEK

1. 1. PELAYANAN RESEP

1. A. Pengelolaan Resep

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker
untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang
berlaku. (Kep.Menkes, No. 1027 tahun 2004)

Pasal 15 ayat 1 Permenkes No. 922 tahun 1993 “Apotek wajib melayani resep dokter, dokter
gigi dan dokter hewan”.

Permenkes No. 26 tahun 1981 pasal 10 menyebutkan “resep harus ditulis dengan jelas dan
lengkap” selain itu dalam Kepmenkes No. 280 tahun 1981;

Pasal 2, Resep harus memuat:


1. Nama, alamat dan nomor izin praktek dokter, dokter gigi atau dokter hewan
2. Tanggal penulisan resep, nama setiap obat atau komposisi obat
3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep
4. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
5. Jenis hewan dan nama serta alamt pemiliknya untuk resep dokter hewan
6. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang jumlahnya melebihi
dosis maksimal
Pasal 3 disebutkan juga bahwa :
1. Resep dokter hewan hanya ditujukan untuk penggunaan pada hewan
2. Resep yang mengandung narkotika harus ditulis tersendiri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 4 tertulis :
1. Untuk penderita yang memerlukan pengobatan segera, dokter dapat memberi tanda “segera”,
“cito”, “statim” atau “urgent” pada bagian atas kanan resep
2. Apoteker harus mendahulukan pelayanan resep dimaksud ayat 1 pasal ini.
Pasal 5 menyebutkan bahwa; apoteker tidak dibenarkan mengulangi penyerahan obat atas
dasar resep yang sama apabila :
1. Pada resep aslinya diberi tanda “n.i”, “ne iteratur” atau “tidak boleh diulang”
2. Resep aslinya mengandung narkotika atau obat lain yang oleh menteri c.q direktur jenderal
ditetapkan sebagai obat yang tidak boleh diulang tanpa resep baru.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004, Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek, Standar
pelayanan resep di apotik adalah sebagai berikut.

1. Pelayanan Resep.

1.1. Skrining resep.

Apoteker melakukan skrining resep meliputi :

1.1.1. Persyaratan administratif :

- Nama,SIP dan alamat dokter.

- Tanggal penulisan resep.

- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.

- Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien.

- Nama obat , potensi, dosis, jumlah yang minta.

- Cara pemakaian yang jelas.

- Informasi lainnya.

1.1.2. Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis,potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara


dan lama pemberian.

1.1.3. Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi,
jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan
kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya
bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

1.2. Penyiapan obat.

1.2.1. Peracikan.

Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan


etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap
dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.
1.2.2. Etiket.

Etiket harus jelas dan dapat dibaca.

1.2.3. Kemasan obat yang diserahkan.

Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga
kualitasnya.

1.2.4. Penyerahan Obat.

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap
kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai
pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.

1.2.5. Informasi Obat.

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak
bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi:
cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta
makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

1.2.6. Konseling.

Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan


perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang
bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan
farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti
cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus
memberikan konseling secara berkelanjutan.

1.2.7. Monitoring Penggunaan Obat.

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan


penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes , TBC,
asthma, dan penyakit kronis lainnya.

Penyimpanan obat juga diatur dalam Kepmenkes No. 1332 tahun 2002 pasal 12 ayat 1 yang
menyebutkan bahwa apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan
sediaan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin.
Dalam Permenkes No. 922 tahun 1993 juga menjelaskan:

Pasal 14

1. Apotik wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan.
2. Pelayanan resep dimaksud dalam ayat (1) sepenuhnya atas tanggung jawab Apoteker
Pengelola Apotik.

Pasal 15

1. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang
dilandasi pada kepentingan masyarakat.
2. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis didalam resep dengan obat
paten.
3. Dalam hal pasien tidak mampu menbus obat yang tertulis dalam resep, Apoteker wajib
berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.
4. Apoteker wajib memberikan informasi :
1. Yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien.
2. Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.

Pasal 16

1. Apabila Apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep
yang tidak tepat, Apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep.
2. Apabila dalam hal dimaksud ayat (1) karena pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap
pada pendiriannya, dokter wajib menyatakannya secara tertulis atau membubuhkan tanda
tangan yang lazim diatas resep.
B. Salinan Resep

Salinan resep diatur dalam kepmenkes No. 280 tahun 1981 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pengelolaan Apotek, disebutkan bahwa salinan resep adalah salinan yang dibuat oleh
apotek, yang selain memuat semua keterangan yang terdapat dalam resep asli, harus
memuat pula:

1. Nama dan alamat Apotek


2. Nama dan nomor Surat Izin Pengelola Apotek
3. Tanda tangan atau paraf apoteker pengelola apotek
4. Tanda ‘det’ atau ‘detur’ untuk obat yang sudah diserahkan; tanda ‘nedet’ atau ‘ne detur’ untuk
obat yang belum diserahkan
5. Nomor resep dan tanggal pembuatan

Permenkes No. 922 tahun 1993 pasal 17 menyebutkan bahwa:

Ayat 1 : Salinan resep harus ditandatangani apoteker


Ayat 3 : Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep
atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan atau
petugas lain yang berwenang merut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C. Penyimpana dan pemusnahan resep


Di Apotek, bila obatnya sudah diserahkan kepada penderita, menurut Peraturan Pemerintah
kertas resep harus disimpan, diatur menurut urutan tanggal dan nomor urut pembuatan,
serta harus disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Kegunaan hal akhir ini adalah
untuk memungkinkan penelusuran kembali bila setelah sekian waktu terjadi suatu akibat dari
obat yang diberikan. Setelah lewat waktu tiga tahun, resep-resep oleh Apotek boleh
dimusnahkan dengan membuat proses verbal (berita acara) pemusnahan. (SK Menkes RI
no. 280/MenKes/SK/V/1981 mengenai penyimpanan Resep di Apotek).
Secara jelas dalam pasal 7 Kepmenkes No. 280 Tahun 1981 mengatur tentang tata cara
penyimpanan dan pemusnahan resep sebagai berikut:
1. Apoteker Pengelola Apotek mengatur resep yang tealh dikerjakan menurut urutan tanggal dan
nomor urutan penerimaan resep dan harus disimpan sekurang–kurangnya tiga tahun.
2. Resep yang mengandung Narkotika harus dipisahkan dengan resep lainnya.
3. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu dimaksud ayat 1 pasal ini dapat
dimusnahkan.
4. Pemusnahan resep dimaksud dalam ayat 3 pasal ini, dilakukan dengan cara dibakar atau
dengan cara lain yang memadai oleh Apoteker Pengelola Apotek bersama dengan sekurang–
kurangnya petugas apotek.
5. Pada pemusnahan resep, harus dibuat Berita cara pemusnahan sesuai dengan bentuk yang
telah ditentukan dalam rangkap empat dan ditandatangani oleh mereka yang dimaksud pada
ayat 4 pasal ini.
1. 2. PELAYANAN OBAT WAJIB APOTEK (OWA)

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 347/ MenKes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib


Apotik, mendefenisikan Obat Wajib Apotek (OWA) yaitu obat keras yang dapat diserahkan
oleh Apoteker kepada pasien di Apotik tanpa resep dokter. Yang pada diktum ke dua pada
putusan, dijelaskan bahwa Obat yang termasuk dalam OBAT WAJIB APOTIK ditetapkan
oleh Menteri Kesehatan.

Permenkes No. 919 tahun 1993 juga mengatur tentang kriteria obat yang dapat diserahkan
tanpa resep yakni sebagai berikut:

1. Tidak dikontaraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawa usia 2 tahun dan
orang tua diatas 65 tahun
2. Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan
penyakit
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan
4. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia
5. Obat dimaksud memiliki resiko khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk
pengobatan sendiri.

Pada diktum ke empat dalam putusan Menteri Kesehatan Nomor : 347/


MenKes/SK/VII/1990, juga di tuliskan “Apoteker di Apotik dalam melayani pasien yang
memerlukan obat dimaksud diktum kedua (Obat yang termasuk dalam OBAT WAJIB
APOTIK ditetapkan oleh Menteri Kesehatan) diwajibkan :

1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam Obat Wajib
Apotik yang bersangkutan.
2. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
3. Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping dan
lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.

Jenis obat yang temasuk dalam daftar OWA, tertulis dalam kepmenkes tentang OWA 1,
OWA 2, dan OWA 3. Dalam OWA 2 merupakan tambahan dari daftar obat yang telah
ditetapkan dalam OWA 1, demikian juga OWA 3, merupakan tambahan dari OWA 1 dan
OWA 2.

1. 3. PELAYANAN OBAT BEBAS (OB) DAN OBAT BEBAS TERBATAS (OBT)

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2006, menerbitkan “Pedoman
Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas” diamana penyusunan pedoman tersebut
ditujukan Sebagai pedoman bagi masyarakat yang ingin melakukan swamedikasi dan
sebagai bahan bacaan Apoteker untuk membantu masyarakat dalam melakukan
swamedikasi.

Dalam pedoman tersebut, Obat Bebas (OB) di defenisikan sebagai obat yang dijual bebas
di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket
obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.sedangkan Obat bebas
Terbatas (OBT) didefenisikan sebagai; obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi
masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda
peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran
biru dengan garis tepi berwarna hitam.

Untuk Obat Bebas (OB) dan Obat Bebas Terbatas (OB), karana dapat diserahkan tanpa
resep dokter seperti halnya OWA, makan OB dan OTB juga harus megikuti aturan
Permenkes No. 919 tahun 1993 tentang kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep
yakni sebagai berikut:
1. Tidak dikontaraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawa usia 2 tahun dan
orang tua diatas 65 tahun
2. Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan
penyakit
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan
4. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia
5. Obat dimaksud memiliki resiko khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk
pengobatan sendiri.

Pada BAB XVIII dalam Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas dijelaskan
tentang PERAN APOTEKER DALAM PENGGUNAAN OBAT BEBAS DAN BEBAS
TERBATAS sebagai berikut:

Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas dalam pengobatan sendiri (swamedikasi)
harus mengikuti prinsip penggunaan obat secara umum, yaitu penggunaan obat secara
aman dan rasional. Swamedikasi yang bertanggung jawab membutuhkan produk obat yang
sudah terbukti keamanan, khasiat dan kualitasnya, serta membutuhkan pemilihan obat yang
tepat sesuai dengan indikasi penyakit dan kondisi pasien.

Sebagai seorang profesional kesehatan dalam bidang kefarmasian, Apoteker mempunyai


peran yang sangat penting dalam memberikan bantuan, nasehat dan petunjuk kepada
masyarakat yang ingin melakukan swamedikasi, agar dapat melakukannya secara
bertanggung jawab. Apoteker harus dapat menekankan kepada pasien, bahwa walaupun
dapat diperoleh tanpa resep dokter, namun penggunaan obat bebas dan obat bebas
terbatas tetap dapat menimbulkan bahaya dan efek samping yang tidak dikehendaki jika
dipergunakan secara tidak semestinya.

Dalam penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas, Apoteker memiliki dua peran yang
sangat penting, yaitu menyediakan produk obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat dan
kualitasnya serta memberikan informasi yang dibutuhkan atau melakukan konseling kepada
pasien (dan keluarganya) agar obat digunakan secara aman, tepat dan rasional. Konseling
dilakukan terutama dalam mempertimbangkan :

1. Ketepatan penentuan indikasi/penyakit


2. Ketepatan pemilihan obat (efektif, aman, ekonomis), serta
3. Ketepatan dosis dan cara penggunaan obat.

Satu hal yang sangat penting dalam konseling swamedikasi adalah meyakinkan agar produk
yang digunakan tidak berinteraksi negatif dengan produk-produk yang sedang digunakan
atau dikonsumsi pasien. Di samping itu Apoteker juga diharapkan dapat memberikan
petunjuk kepada pasien bagaimana memonitor penyakitnya, serta kapan harus
menghentikan pengobatannya atau kapan harus berkonsultasi kepada dokter.

Informasi tentang obat dan penggunaannya perlu diberikan pada pasien saat konseling
untuk swamedikasi pada dasarnya lebih ditekankan pada informasi farmakoterapi yang
disesuaikan dengan kebutuhan serta pertanyaan pasien. Informasi yang perlu disampaikan
oleh Apoteker pada masyarakat dalam penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas
antara lain:

1. Khasiat obat: Apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat yang bersangkutan,
sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan kesehatan yang dialami pasien.
2. Kontraindikasi: pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontra indikasi dari obat yang
diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra indikasi dimaksud.
3. Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi informasi tentang efek
samping yang mungkin muncul, serta apa yang harus dilakukan untuk menghindari atau
mengatasinya.
4. Cara pemakaian: cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada pasien untuk
menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup, dioleskan, dimasukkan melalui anus,
atau cara lain.
5. Dosis: sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, Apoteker dapat menyarankan dosis sesuai
dengan yang disarankan oleh produsen (sebagaimana petunjuk pemakaian yang tertera di
etiket) atau dapat menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
6. Waktu pemakaian: waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan jelas kepada pasien,
misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur.
7. Lama penggunaan: lama penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada pasien, agar
pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena penyakitnya belum hilang,
padahal sudah memerlukan pertolongan dokter.
8. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya pantangan makanan atau
tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu bersamaan.
9. Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat
10. Cara penyimpanan obat yang baik
11. Cara memperlakukan obat yang masih tersisa
12. Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak

Di samping itu, Apoteker juga perlu memberi informasi kepada pasien tentang obat generik
yang memiliki khasiat sebagaimana yang dibutuhkan, serta keuntungan yang dapat
diperoleh dengan menggunakan obat generik. Hal ini penting dalam pemilihan obat yang
selayaknya harus selalu memperhatikan aspek farmakoekonomi dan hak pasien.

Disamping konseling dalam farmakoterapi, Apoteker juga memiliki tanggung jawab lain yang
lebih luas dalam swamedikasi. Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh
IPF (International Pharmaceutical Federation)dan WMI (World Self-Medication
Industry) tentang swamedikasi yang bertanggung jawab (Responsible Self-
Medication) dinyatakan sebagai berikut:
1. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk memberikan nasehat dan informasi yang
benar, cukup dan objektif tentang swamedikasi dan semua produk yang tersedia untuk
swamedikasi.
2. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk merekomendasikan kepada pasien agar
segera mencari nasehat medis yang diperlukan, apabila dipertimbangkan swamedikasi tidak
mencukupi.
3. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk memberikan laporan kepada lembaga
pemerintah yang berwenang, dan untuk menginformasikan kepada produsen obat yang
bersangkutan, mengenai efek tak dikehendaki (adverse reaction) yang terjadi pada pasien yang
menggunakan obat tersebut dalam swamedikasi.
4. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk mendorong anggota masyarakat agar
memperlakukan obat sebagai produk khusus yang harus dipergunakan dan disimpan secara
hati-hati, dan tidak boleh dipergunakan tanpa indikasi yang jelas.

Selain melayani konsumen secara bertatap muka di apotek, Apoteker juga dapat melayani
konsumen jarak jauh yang ingin mendapatkan informasi atau berkonsultasi mengenai
pengobatan sendiri. Suatu cara yang paling praktis dan mengikuti kemajuan zaman adalah
dengan membuka layanan informasi obat melalui internet atau melalui telepon. Slogan
“Kenali Obat Anda”. “Tanyakan Kepada Apoteker” kini semakin memasyarakat. Para
Apoteker sudah semestinya memberikan respons yang baik dan memuaskan dengan
memberikan pelayanan kefarmasian yang profesional dan berkualitas.

1. 4. PELAYANAN PSIKOTROPIKA

Menurut pasal 14 UU No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika:

Ayat 2 : Penyerahan psikotropika oleh apotek haya dapat dilakukan kepada:

1. Apotek lainnya
2. Rumah sakit
3. Puskesmas
4. Balai pengobatan
5. Dokter
6. Pengguna/pasien

Ayat 4 : Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai
pengbatan dilaksanakan berdasarkan resep dokter

Ayat 5 : Penyerahan psikotropika oleh dokter dilaksanakan dalam hal:

1. Menjalankan praktek terapi dan diberikan melalui suntikan


2. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat
3. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek

Ayat 6 : Psikotropika yang diserahkan dokter hanya dapat diperoleh di apotek.


Pencatatan dan pelaporan terhadap pengelolaan psikotropika diatur dalam pasal 33 UU no
5 tahun 1997 yakni “Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga
penelitian dan/ atau lembaga pendidikan” wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai
kegiatan masing-masing yang berhubungan dengan psikotropika.

Pada pasal 53 UU no 5 tahun 1997 disebutkan bahwa

Ayat 1 pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal :

1. Berhubungan dengan tindak pidana


2. Diproduksi tanpa memenuhi tandar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat
digunakan dalam proses produksi psikotropika
3. Kadaluarsa
4. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan / atau untuk
kepentingan ilmu pengetahuan.

Dalam UU no 5 tahun 1997 ini tidak mengatur secara detail tentang teknis pelaksanaan
pemusnahan psikotropika. Dalam pasal 12 ayat 2 permenkes no 922 tahun 1993 disebutkan
bahwa “ sediaan farmasi yang karena sesuatu hal tidak dapat digunakan lagi atau dilarang
digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain
yang ditetapkan oleh menteri.

Pada pasal 53 ayat 2 UU no 5 tahun 1997 hanya menyebutkan tentang siapa yang
memusnahkan psikotropika. Pernah dikeluarkan surat edaran yang berisi tentang
pemusnahan dimana narkotika dan psikotropika disamakan yakni pada surat edaran kepala
direktur pengawasan narkotika dan bahan berbahaya Dir Jend POM Dep. Kes. RI nomor
010/EE/SE/81 tanggal 8 Mei 1981 tentang pemusnahan /penyerahan narkotika atau
psikotropika yang rusak / tidak terdaftar. Bila mengacu surat edaran ini, maka teknis
pelaksanaan pemusnahan psikotropika sama seperti pada narkotika.

1. 5. PENGELOLAAN NARKOTIKA

Menurut pasal 39 UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika;

Ayat 2 : Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada :

1. Runah sakit
2. Puskesmas
3. Apotek lainnya
4. Balai pengobatan
5. Dokter
6. Pasien
Ayat 3 : Rumah sakit, apotek, puskesmas dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter

Ayat 4 : Penyerahan narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan dalam hal;

1. Menjalankan praktek dokter dan diberikan melalui suntikan


2. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat
3. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.

Ayat 5 : Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan dokter
hanya dapat diperoleh dari apotek.

Pemusnahan narkotika diatur dalam pasal 60 dan 61 UU no 22 tahun 1997.

Pasal 60 : Pemusnahan dilakukan dalam hal :

1. Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan atau tidak dapat
digunakan dalam proses produksi;
2. Kadaluarsa
3. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan atau untuk
pengembangan ilmu pngetahuan; atau
4. Berkaitan dengn tindak pidana.”

Pasal 61 :

(1) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 huruf a, b, dan c


dilaksanakan oleh pemerintah, orang, atau badan yang bertanggungjawab atas produksi
dan atau peredaran narkotika, sarana kesehatan tertentu, serta lembaga ilmu pengetahuan
tertentu dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk menteri kesehatan.

(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pembuatan
berita acara yang sekurang-kurangnya memuat :

1. nama, jenis, sifat, dan jumlah;


2. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun, dilakukan pemusnahan; dan
3. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemusnahan narkotika

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Dalam ketentuan peralihan undang-undang peralihan tersebut disebutkan bahwa “semua


peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No. 9 Tahun
1976 tentang narkotik masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum
diganti”, dengan peraturan baru berdasarkan undang-undang ini. Oleh karena itu ketentuan
dibawah ini masih berlaku.

1. Resep dari luar propensi harus mendapatkan persetujuan dari dokter setempat
2. Salinan resep untuk obat yang baru diambil sebagaian tidak boleh dilayani oleh apotek lain
3. Resep yang berisi narotika tidak boleh iterasi
4. Penyimpanan narkotika pada lemari yang mempunyai ukuran 40 x 80 x 100 cm, dapat berupa
almari yang diketatkan di dinding atau menjadi suatu kesatuan dengan almari yang besar
5. Almari tersebut mempunyai 2 kunci yang satu untuk menyimpan narkotika sehari-hari dan yang
lainnya untuk narkotika persediaan dan morfin, pethidin dan garam-garamnya
6. Laporan narkotika disampaikan setiap bulan
7. Pemesanan narkotika menggunakan surat pesanan model N-9 rangkap 5 setiap satu lembar
pesanan berisikan 1 macam narkotika
8. Pencatatan narkotika menggunakan buku register narkotika

Ketentuan tentang resep dan salinan resep narkotika juga diatur dalam Surat Edaran Dirjen
POM 336/E/SE/1997 tanggal 4 Mei 1997 yang menyebutkan bahwa:

1. Apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika, walaupun resep tersebut
baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali
2. Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali, apotek
boleh membuat salinan resep, tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani di apotek yang
mentimpan resep aslinya.
3. Salinan resep atau resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani sama sekali. Untuk
mencegah pertengkaran di apotik harap diumumkan kepada dokter agar tidak menambah
tulisan iter pada resep-resep yang menangandung narkotika.

Tempat penyimpanan narkotika juga diatur dalam pasal 5 permenkes no 28 tahun 1978
tentang penyimpanan narkotika yakni:

1. Apotik dan rumah sakit harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan narkotika
2. Tempat khusus pada ayat 1 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Harus dibuar seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat
2. Harus mempunyai kunci yang kuat
3. Dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan, bagian pertama dipergunakan
untuk menyimpan morfina, petidina dan garam-garamnya, serta persediaan narkotika,
bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari.
4. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40 X 80 X 100 cm,
maka lemari tersebut harus dibuat pada tembok atau lantai.

Anda mungkin juga menyukai