1. 1. PELAYANAN RESEP
1. A. Pengelolaan Resep
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker
untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang
berlaku. (Kep.Menkes, No. 1027 tahun 2004)
Pasal 15 ayat 1 Permenkes No. 922 tahun 1993 “Apotek wajib melayani resep dokter, dokter
gigi dan dokter hewan”.
Permenkes No. 26 tahun 1981 pasal 10 menyebutkan “resep harus ditulis dengan jelas dan
lengkap” selain itu dalam Kepmenkes No. 280 tahun 1981;
1. Pelayanan Resep.
- Informasi lainnya.
1.1.3. Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi,
jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan
kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya
bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.
1.2.1. Peracikan.
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga
kualitasnya.
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap
kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai
pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak
bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi:
cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta
makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
1.2.6. Konseling.
Penyimpanan obat juga diatur dalam Kepmenkes No. 1332 tahun 2002 pasal 12 ayat 1 yang
menyebutkan bahwa apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan
sediaan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin.
Dalam Permenkes No. 922 tahun 1993 juga menjelaskan:
Pasal 14
1. Apotik wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan.
2. Pelayanan resep dimaksud dalam ayat (1) sepenuhnya atas tanggung jawab Apoteker
Pengelola Apotik.
Pasal 15
1. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang
dilandasi pada kepentingan masyarakat.
2. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis didalam resep dengan obat
paten.
3. Dalam hal pasien tidak mampu menbus obat yang tertulis dalam resep, Apoteker wajib
berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.
4. Apoteker wajib memberikan informasi :
1. Yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien.
2. Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.
Pasal 16
1. Apabila Apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep
yang tidak tepat, Apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep.
2. Apabila dalam hal dimaksud ayat (1) karena pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap
pada pendiriannya, dokter wajib menyatakannya secara tertulis atau membubuhkan tanda
tangan yang lazim diatas resep.
B. Salinan Resep
Salinan resep diatur dalam kepmenkes No. 280 tahun 1981 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pengelolaan Apotek, disebutkan bahwa salinan resep adalah salinan yang dibuat oleh
apotek, yang selain memuat semua keterangan yang terdapat dalam resep asli, harus
memuat pula:
Permenkes No. 919 tahun 1993 juga mengatur tentang kriteria obat yang dapat diserahkan
tanpa resep yakni sebagai berikut:
1. Tidak dikontaraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawa usia 2 tahun dan
orang tua diatas 65 tahun
2. Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan
penyakit
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan
4. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia
5. Obat dimaksud memiliki resiko khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk
pengobatan sendiri.
1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam Obat Wajib
Apotik yang bersangkutan.
2. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
3. Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping dan
lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.
Jenis obat yang temasuk dalam daftar OWA, tertulis dalam kepmenkes tentang OWA 1,
OWA 2, dan OWA 3. Dalam OWA 2 merupakan tambahan dari daftar obat yang telah
ditetapkan dalam OWA 1, demikian juga OWA 3, merupakan tambahan dari OWA 1 dan
OWA 2.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2006, menerbitkan “Pedoman
Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas” diamana penyusunan pedoman tersebut
ditujukan Sebagai pedoman bagi masyarakat yang ingin melakukan swamedikasi dan
sebagai bahan bacaan Apoteker untuk membantu masyarakat dalam melakukan
swamedikasi.
Dalam pedoman tersebut, Obat Bebas (OB) di defenisikan sebagai obat yang dijual bebas
di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket
obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.sedangkan Obat bebas
Terbatas (OBT) didefenisikan sebagai; obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi
masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda
peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran
biru dengan garis tepi berwarna hitam.
Untuk Obat Bebas (OB) dan Obat Bebas Terbatas (OB), karana dapat diserahkan tanpa
resep dokter seperti halnya OWA, makan OB dan OTB juga harus megikuti aturan
Permenkes No. 919 tahun 1993 tentang kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep
yakni sebagai berikut:
1. Tidak dikontaraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawa usia 2 tahun dan
orang tua diatas 65 tahun
2. Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan
penyakit
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan
4. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia
5. Obat dimaksud memiliki resiko khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk
pengobatan sendiri.
Pada BAB XVIII dalam Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas dijelaskan
tentang PERAN APOTEKER DALAM PENGGUNAAN OBAT BEBAS DAN BEBAS
TERBATAS sebagai berikut:
Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas dalam pengobatan sendiri (swamedikasi)
harus mengikuti prinsip penggunaan obat secara umum, yaitu penggunaan obat secara
aman dan rasional. Swamedikasi yang bertanggung jawab membutuhkan produk obat yang
sudah terbukti keamanan, khasiat dan kualitasnya, serta membutuhkan pemilihan obat yang
tepat sesuai dengan indikasi penyakit dan kondisi pasien.
Dalam penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas, Apoteker memiliki dua peran yang
sangat penting, yaitu menyediakan produk obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat dan
kualitasnya serta memberikan informasi yang dibutuhkan atau melakukan konseling kepada
pasien (dan keluarganya) agar obat digunakan secara aman, tepat dan rasional. Konseling
dilakukan terutama dalam mempertimbangkan :
Satu hal yang sangat penting dalam konseling swamedikasi adalah meyakinkan agar produk
yang digunakan tidak berinteraksi negatif dengan produk-produk yang sedang digunakan
atau dikonsumsi pasien. Di samping itu Apoteker juga diharapkan dapat memberikan
petunjuk kepada pasien bagaimana memonitor penyakitnya, serta kapan harus
menghentikan pengobatannya atau kapan harus berkonsultasi kepada dokter.
Informasi tentang obat dan penggunaannya perlu diberikan pada pasien saat konseling
untuk swamedikasi pada dasarnya lebih ditekankan pada informasi farmakoterapi yang
disesuaikan dengan kebutuhan serta pertanyaan pasien. Informasi yang perlu disampaikan
oleh Apoteker pada masyarakat dalam penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas
antara lain:
1. Khasiat obat: Apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat yang bersangkutan,
sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan kesehatan yang dialami pasien.
2. Kontraindikasi: pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontra indikasi dari obat yang
diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra indikasi dimaksud.
3. Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi informasi tentang efek
samping yang mungkin muncul, serta apa yang harus dilakukan untuk menghindari atau
mengatasinya.
4. Cara pemakaian: cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada pasien untuk
menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup, dioleskan, dimasukkan melalui anus,
atau cara lain.
5. Dosis: sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, Apoteker dapat menyarankan dosis sesuai
dengan yang disarankan oleh produsen (sebagaimana petunjuk pemakaian yang tertera di
etiket) atau dapat menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
6. Waktu pemakaian: waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan jelas kepada pasien,
misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur.
7. Lama penggunaan: lama penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada pasien, agar
pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena penyakitnya belum hilang,
padahal sudah memerlukan pertolongan dokter.
8. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya pantangan makanan atau
tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu bersamaan.
9. Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat
10. Cara penyimpanan obat yang baik
11. Cara memperlakukan obat yang masih tersisa
12. Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak
Di samping itu, Apoteker juga perlu memberi informasi kepada pasien tentang obat generik
yang memiliki khasiat sebagaimana yang dibutuhkan, serta keuntungan yang dapat
diperoleh dengan menggunakan obat generik. Hal ini penting dalam pemilihan obat yang
selayaknya harus selalu memperhatikan aspek farmakoekonomi dan hak pasien.
Disamping konseling dalam farmakoterapi, Apoteker juga memiliki tanggung jawab lain yang
lebih luas dalam swamedikasi. Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh
IPF (International Pharmaceutical Federation)dan WMI (World Self-Medication
Industry) tentang swamedikasi yang bertanggung jawab (Responsible Self-
Medication) dinyatakan sebagai berikut:
1. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk memberikan nasehat dan informasi yang
benar, cukup dan objektif tentang swamedikasi dan semua produk yang tersedia untuk
swamedikasi.
2. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk merekomendasikan kepada pasien agar
segera mencari nasehat medis yang diperlukan, apabila dipertimbangkan swamedikasi tidak
mencukupi.
3. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk memberikan laporan kepada lembaga
pemerintah yang berwenang, dan untuk menginformasikan kepada produsen obat yang
bersangkutan, mengenai efek tak dikehendaki (adverse reaction) yang terjadi pada pasien yang
menggunakan obat tersebut dalam swamedikasi.
4. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk mendorong anggota masyarakat agar
memperlakukan obat sebagai produk khusus yang harus dipergunakan dan disimpan secara
hati-hati, dan tidak boleh dipergunakan tanpa indikasi yang jelas.
Selain melayani konsumen secara bertatap muka di apotek, Apoteker juga dapat melayani
konsumen jarak jauh yang ingin mendapatkan informasi atau berkonsultasi mengenai
pengobatan sendiri. Suatu cara yang paling praktis dan mengikuti kemajuan zaman adalah
dengan membuka layanan informasi obat melalui internet atau melalui telepon. Slogan
“Kenali Obat Anda”. “Tanyakan Kepada Apoteker” kini semakin memasyarakat. Para
Apoteker sudah semestinya memberikan respons yang baik dan memuaskan dengan
memberikan pelayanan kefarmasian yang profesional dan berkualitas.
1. 4. PELAYANAN PSIKOTROPIKA
1. Apotek lainnya
2. Rumah sakit
3. Puskesmas
4. Balai pengobatan
5. Dokter
6. Pengguna/pasien
Ayat 4 : Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai
pengbatan dilaksanakan berdasarkan resep dokter
Dalam UU no 5 tahun 1997 ini tidak mengatur secara detail tentang teknis pelaksanaan
pemusnahan psikotropika. Dalam pasal 12 ayat 2 permenkes no 922 tahun 1993 disebutkan
bahwa “ sediaan farmasi yang karena sesuatu hal tidak dapat digunakan lagi atau dilarang
digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain
yang ditetapkan oleh menteri.
Pada pasal 53 ayat 2 UU no 5 tahun 1997 hanya menyebutkan tentang siapa yang
memusnahkan psikotropika. Pernah dikeluarkan surat edaran yang berisi tentang
pemusnahan dimana narkotika dan psikotropika disamakan yakni pada surat edaran kepala
direktur pengawasan narkotika dan bahan berbahaya Dir Jend POM Dep. Kes. RI nomor
010/EE/SE/81 tanggal 8 Mei 1981 tentang pemusnahan /penyerahan narkotika atau
psikotropika yang rusak / tidak terdaftar. Bila mengacu surat edaran ini, maka teknis
pelaksanaan pemusnahan psikotropika sama seperti pada narkotika.
1. 5. PENGELOLAAN NARKOTIKA
1. Runah sakit
2. Puskesmas
3. Apotek lainnya
4. Balai pengobatan
5. Dokter
6. Pasien
Ayat 3 : Rumah sakit, apotek, puskesmas dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter
Ayat 4 : Penyerahan narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan dalam hal;
Ayat 5 : Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan dokter
hanya dapat diperoleh dari apotek.
1. Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan atau tidak dapat
digunakan dalam proses produksi;
2. Kadaluarsa
3. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan atau untuk
pengembangan ilmu pngetahuan; atau
4. Berkaitan dengn tindak pidana.”
Pasal 61 :
(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pembuatan
berita acara yang sekurang-kurangnya memuat :
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemusnahan narkotika
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
1. Resep dari luar propensi harus mendapatkan persetujuan dari dokter setempat
2. Salinan resep untuk obat yang baru diambil sebagaian tidak boleh dilayani oleh apotek lain
3. Resep yang berisi narotika tidak boleh iterasi
4. Penyimpanan narkotika pada lemari yang mempunyai ukuran 40 x 80 x 100 cm, dapat berupa
almari yang diketatkan di dinding atau menjadi suatu kesatuan dengan almari yang besar
5. Almari tersebut mempunyai 2 kunci yang satu untuk menyimpan narkotika sehari-hari dan yang
lainnya untuk narkotika persediaan dan morfin, pethidin dan garam-garamnya
6. Laporan narkotika disampaikan setiap bulan
7. Pemesanan narkotika menggunakan surat pesanan model N-9 rangkap 5 setiap satu lembar
pesanan berisikan 1 macam narkotika
8. Pencatatan narkotika menggunakan buku register narkotika
Ketentuan tentang resep dan salinan resep narkotika juga diatur dalam Surat Edaran Dirjen
POM 336/E/SE/1997 tanggal 4 Mei 1997 yang menyebutkan bahwa:
1. Apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika, walaupun resep tersebut
baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali
2. Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali, apotek
boleh membuat salinan resep, tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani di apotek yang
mentimpan resep aslinya.
3. Salinan resep atau resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani sama sekali. Untuk
mencegah pertengkaran di apotik harap diumumkan kepada dokter agar tidak menambah
tulisan iter pada resep-resep yang menangandung narkotika.
Tempat penyimpanan narkotika juga diatur dalam pasal 5 permenkes no 28 tahun 1978
tentang penyimpanan narkotika yakni:
1. Apotik dan rumah sakit harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan narkotika
2. Tempat khusus pada ayat 1 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Harus dibuar seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat
2. Harus mempunyai kunci yang kuat
3. Dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan, bagian pertama dipergunakan
untuk menyimpan morfina, petidina dan garam-garamnya, serta persediaan narkotika,
bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari.
4. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40 X 80 X 100 cm,
maka lemari tersebut harus dibuat pada tembok atau lantai.