Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER

Disusun oleh:

Cindy Dwi Primasanti

1102012046

Pembimbing:

dr. Nurvita Susanto, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD SOREANG

MEI 2016

0
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit demam berdarah atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di
tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut.

Infeksi virus dengue ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk Stegomiya aegipty (dahulu
disebut Aedes aegipty) dan Stegomiya albopictus (dahulu Aedes albopictus). Transmisi virus
tergantung dari faktor biotik dan abiotik. Termasuk dalam faktor biotik adalah faktor virus,
vektor nyamuk, dan pejamu manusia, sedangkan faktor abiotik adalah suhu lingkungan,
kelembaban, dan curah hujan.

Infeksi virus dengue, merupakan masalah kesehatan global. Dalam tiga decade terakhir
terjadi peningkatan angka kejadian penyakit tersebut di berbagai negara yang dapat
menimbulkan kematian sekitar kurang dari 1%. Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan
berbagai negara bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk,
kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi
meteorologis. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur
memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur <15 tahun (86-
95%). Case fatality rate (CFR) DBD sempat menukik tinggi, 13%. CFR yang sangat tinggi
tersebut dilaporkan pada tahun 1988 di RSCM. Sedangkan pada tahun 1991, CFR nasional DBD
dilaporkan sampai menyentuh angka 42,8%.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit demam berdarah atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di
tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut.

2.2 Epidemiologi

Infeksi virus dengue, merupakan masalah kesehatan global. Dalam tiga dekade terakhir
terjadi peningkatan angka kejadian penyakit tersebut di berbagai negara yang dapat
menimbulkan kematian sekitar kurang dari 1%. Kejadian luar biasa penyakit telah sering
dilaporkan dari berbagai negara. Penyakit dengue terutama ditemukan di daerah tropis dan
subtropis dengan sekitar 2,5 milyar penduduk yang mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit
ini. Diperkirakan setiap tahun sekitar 50 juta manusia terinfeksi virus dengue yang 500.000 di
antaranya memerlukan rawat inap, dan hampir 90% dari pasien rawat inap adalah anak-anak.
Asia Tenggara dengan jumlah penduduk sekitar 1,3 milyar merupakan daerah endemis,
Indonesia bersama dengan Bangladesh, India, Maladewa, Myanmar, Sri Lanka, Thailand dan
Timor Leste termasuk ke dalam kategori endemic A (endemic tinggi). Di Negara tersebut
penyakit dengue merupakan alasan utama rawat inap dan salah satu penyebab utama kematian
pada anak.

Tahun 2008 dilaporkan jumlah kasus DBD 137.469 orang, kemudian meningkat pada tahun
2009 dan 2010. Pada tahun 2011 terjadi penurunan jumlah kasus lebih dari setengahnya, namun
meningkat kembali pada tahun 2012. Walaupun angka kematian (CFR) telah berhasil diturunkan
menjadi di bawah 1%, sekitar 0,80%-0,89%.

2.3 Etiologi

Infeksi virus dengue ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk Stegomiya aegipty (dahulu
disebut Aedes aegipty) dan Stegomiya albopictus (dahulu Aedes albopictus). Transmisi virus

2
tergantung dari faktor biotik dan abiotik. Termasuk dalam faktor biotik adalah faktor virus,
vektor nyamuk, dan pejamu manusia, sedangkan faktor abiotik adalah suhu lingkungan,
kelembaban, dan curah hujan.

Virus Dengue

Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari family Flaviviridae. Selain virus dengue, virus
lain yang termasuk dalam genus ini adalah Japanesse encephalitis virus (JEV), yellow fever virus
(YFV), West Nile virus (WNV), dan tickborne encephalitis virus (TBEV). Masing-masing virus
tersebut mempunyai kemiripan dalam struktur antigeniknya sehingga memungkinkan terjadi
reaksi silang secara serologic. Berdasarkan genom yang dimiliki, virus dengue termasuk virus
(positive sense single stranded) RNA. Genom ini dapat ditranslasikan langsung menghasilkan
satu rantai polipeptida berupa tiga protein structural (capsid = C, pre-membrane = prM, dan
envelope = E) dan tujuh protein non-struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4B, dan NS5).
Selanjutnya, melalui aktivitas berbagai enzim, baik yang berasal dari virus maupun dari sel
pejamu polipeptida tersebut membentuk menjadi masing-masing protein. Protein prM yang
terdapat pada saat virus belum matur oleh enzim furin yang berasal dari sel pejamu diubah
menjadi protein M sebelum virus tersebut disekresikan oleh sel pejamu. Protein M bersama
dengan protein C dan E membentuk kapsul dari virus, sedangkan protein nonstructural tidak ikut
membentuk struktur virus. Protein NS1 merupakan satu-satunya protein nonstructural yang dapat
disekresikan oleh sel pejamu mamalia tapi tidak oleh nyamuk, sehingga dapat ditemukan dalam
darah pejamu sebagai antigen NS1. Masing-masing protein mempunyai peran yang berbeda
dalam patogenisitas, replikasi virus, dan aktivasi respon imun, baik humoral maupun selular.

Berdasarkan sifat antigen dikenal ada empat serotipe virus dengue, yaitu DENV-1, DENV-2,
DENV-3, dan DENV-4. Masing-masing serotipe mempunyai beberapa galur (strain) atau
genotype yang berbeda. Serotipe yang dapat ditemukan dan yang paling banyak beredar di suatu
begara atau area geografis tertentu berbeda-beda. Di Indonesia keempat serotipe dengue tersebut
dapat ditemukan dan DENV-3 merupakan galur yang paling virulen.

Vektor nyamuk

Pada saat ini nyamuk Stegomiya aegipty (Aedes aegipty) disebut sebagai spesies cosmopolitan
yang banyak ditemukan di berbagai belahan dunia antara 45 o lintang utara dan 35o lintang

3
selatan. Nyamuk ini merupakan nyamuk domestic yang mempunyai afinitas tinggi untuk
menggigit manusia (antropofilik) serta dapat menggigit lebih dari satu individu (multiple-bite)
untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Pola hidup seperti ini menyebabkan nyamuk tersebut
menjadi vektor yang sangat potensial untuk menularkan virus dengue dari satu individu ke
individu lain. Hanya nyamuk betina yang menggigit manusia.

Pejamu

Saat nyamuk menghisap darah manusia yang sedang mengalami viremia, virus masuk ke dalam
tubuh nyamuk, yaitu dua hri sebelum timbul demam sampai 5-7 hari fase demam. Nyamuk
kemudian menularkan virus ke manusia lain. Kerentanan untuk timbulnya penyakit pada
individu antara lain ditentukan oleh status imun dan faktor genetik pejamu.

Faktor abiotik

Suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan telah diketahui berperan dalam penyebaran
penyakit dengue. Perubahan iklim secara global dilaporkan membuat nyamuk mengalami
dehidrasi sehingga untuk mempertahankan diri nyamuk akan lebih sering menggigit manusia.
Peningkatan curah hujan, terutama saat peraliha dari musim kemarau ke musim penghujan
dilaporkan berpengaruh terhadap peningkatan kasus penyakit dengue.

2.4 Patogenesis

Patogenesis infeksi virus dengue berhubungan dengan: 1. Faktor virus, yaitu serotipe, jumlah,
virulensi. 2. Faktor pejamu, genetik, usia, status gizi, penyakit komorbid dan iteraksi antara virus
dengan pejamu. 3. Faktor lingkungan, musim, curah hujan, suhu, udara, kepadatan penduduk,
mobilitas penduduk, dan kesehatan lingkungan.

Peran system imun dalam infeksi virus dengue adalah sebagai berikut:

 Infeksi pertama kali (primer) menimbulkan kekebalan seumur hidup untuk serotipe
penyebab.
 Infeksi sekunder dengan serotipe virus yang berbeda (secondary heterologous infection)
pada umumnya memberikan manifestasi klinis yang lebih berat dibandingkan dengan infeksi
primer.

4
 Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki antibody dapat menunjukkan manifestasi klinis berat
walaupun pada infeksi primer.
 Perembesan plasma sebagai tanda karakteristik untuk DBD terjadi pada saat jumlah virus
dalam darah menurun.
 Perembesan plasma terjadi dalam waktu singkat (24-48 jam) dan pada pemeriksaan patologi
tidak ditemukan kerusakan dari sel endotel pembuluh darah.

Imunopatogenesis

Secara umum patogenesis infeksi virus dengue diakibatkan oleh interaksi berbagai komponen
dari respons imun atau reaksi inflamasi yang terjadi secara terintegrasi. Sel imun yang paling
penting dalam berinteraksi dengan virus dengue yaitu sel dendrit, monosit/makrofag, sel
endotel, dan trombosit. Akibat interaksi tersebut akan dikeluarkan berbagai mediator antara lain
sitokin, peningkatan aktivasi system komplemen, serta terjadi aktivasi limfosit T. apabila
aktivasi sel imun tersebut berlebihan, akan diproduksi sitokin (terutama proinflamasi), kemokin,
dan mediator inflamasi lain dalam jumlah banyak. Akibat produksi berlebih dari zat-zat tersebut
akan menimbulkan berbagai kelainan yang akhirnya menimbulkan berbagai bentuk tanda dan
gejala infeksi virus dengue.

- Respon imun humoral


Respon imun humoral diperankan oleh limfosit B dengan menghasilkan antibody spesifik
terhadap virus dengue. Antibody spesifik untuk virus dengue terhadap satu serotipe tertentu
juga dapat menimbulkan reaksi silang dengan serotipe lain selama enam bulan. Antibody
yang dihasilkan dapat menguntungkan dalam arti melindungi dari terjadinya penyakit namun
sebaliknya dapat pula menjadi pemicu terjadinya infeksi yang berat melalui mekanisme
antibody-dependent enhancement (ADE).
Antibody anti dengue yang dibentuk umumnya berupa immunoglobulin (Ig) G dengan
aktivitas yang berbeda. Antibody terhadap protein E dapat berfungsi baik untuk neutralisasi
maupun berperan dalam mekanisme ADE. Antibody terhadap protein NS1 berperan dalam
menghancurkan (lisis) sel yang terinfeksi melalui bantuan komplemen (complement-
dependent lysis). Diketahui bahwa antibody terhadap protein prM pada virion imatur juga
berperan dalam mekanisme ADE.

5
Virus dengue mempunyai empat serotipe yang secara antigenic berbeda. Infeksi virus
dengue primer oleh satu serotipe tertentu dapat menimbulkan kekebalan yang menetap untuk
serotipe yang bersangkutan (antibody homotipik). Pada saat yang bersamaan, sebagai bagian
dari kekebalan silang (cross immunity) akan dibentuk antibodi untuk serotipe lain (antibody
heterotipik). Apabila kemudian terjadi infeksi oleh serotipe yang berbeda, maka antibody
heterotipik yang bersifat non atau subneutralisasi berikatan dengan virus atau partikel
tertentu dari virus serotipe yang baru membentuk kompleks imun. Kompleks imun akan
berikatan dengan reseptor Fcɣ yang banyak terdapat terutama pada monosit dan makrofag,
sehingga memudahkan virus menginfeksi sel. Virus bermultiplikasi di dalam sel dan
selanjutnya virus keluar dari sel, sehingga terjadi viremia. Kompleks imun juga dapat
mengaktifkan kaskade system komplemen untuk menghasilkan C3a dan C5a yang
mempunyai dampak langsung terhadap peningkatan permeabilitas vascular.

Gambar 1. Model dari antibody-dependent enhancement (ADE)


- Respon imun selular
Respon imun selular yang berperan yaitu limfosit T (sel T). Sama dengan respon imun
humoral, respons sel T terhadap infeksi virus dengue dapat menguntungkan sehingga tidak
menimbulkan penyakit atau hanya berupa infeksi ringan, namun juga sebaliknya dapat
terjadi hal yang merugikan bagi pejamu. Sel T spesifik untuk virus dengue dapat mengenali
sel yang terinfeksi virus dengue dan menimbulkan respons beragam berupa proliferasi sel T,
menghancurkan (lisis) sel terinfeksi dengue, serta memproduksi berbagai sitokin. Pada
penelitian in vitro, diketahui bahwa baik sel T CD4 maupun sel T CD8 dapat menyebabkan
lisis sel target yang terinfeksi dengue. Dalam menjalankan fungsinya sel T CD4 lebih

6
banyak sebagai penghasil sitokin dibandingkan dengan fungsi menghancurkan sel terinfeksi
virus dengue. Sebaliknya, sel T CD8 lebih berperan untuk lisis sel target dibandingkan
dengan produksi sitokin.
Pada infeksi sekunder oleh virus dengue serotipe yang berbeda, ternyata sel T memori
mempunyai aktivitas yang lebih besar terhadap serotipe yang sebelumnya dibandingkan
dengan serotipe virus yag baru. Fenomena ini disebut sebagai original antigenic sin. Dengan
demikian, fungsi lisis terhadap virus yang baru tidak optimal, sedangkan produksi sitokin
berlebihan. Sitokin yang dihasilkan oleh sel T pada umumnya berperan dalam memacu
respon inflamasi dan meningkatkan permeabilitas sel endotel vascular.
- Mekanisme autoimun
Di antara komponen protein virus dengue yang berperan dalam pembentukan antibody
spesifik yaitu protein F, prM dan NS1. Protein yang paling berperan dalam mekanisme
autoimun dalam patogenesis infeksi virus dengue yaitu protein NS1. Antibody terhadap
protein NS1 dengue menunjukkan reaksi silang dengan sel endotel dan trombosit, sehingga
menimbulkan gangguan pada kedua sel tersebut serta dapat memacu respons inflamasi. Sel
endotel yang diaktivasi oleh antibody terhadap protein NS1dengue ternyata dapat
mengekspresikan sitokin, kemokin, dan molekul adhesi. Selain antibody terhadap protein
NS1, ternyata antibody terhadap prM juga dapat menyebabkan reaksi autoimun.
Autoantibodi terhadap protein prM tersebut dapat bereaksi silang dengan sel endotel. Proses
autoimun ini diduga kuat karena terdapat kesamaan atau kemiripan antara protein NS1 dan
prM dengan komponen tertentu yang terdapat pada sel endotel dan trombosit yang disebut
sebagai molecular mimicry. Autoantibodi yang bereaksi dengan komponen dimaksud,
mengakibatkan sel yang mengandung molekul mengalami kerusakan. Akibatnya, pada
trombosit terjadi penghancuran sehingga menyebabkan trombositopenia dan pada sel
endotel terjadi peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan perembesar plasma.
- Peran sitokin dan mediator inflamasi lain
Sitokin merupakan suatu molekul protein dengan fungsi yang sangat beragam dan berperan
penting dalam respons imun tubuh melawan infeksi. Dalam lingkup respons inflamasi,
secara umum sitokin mempunyai sifat proinflamasi dan antiinflamasi. Pada keadaan respons
fisiologis, terjadi keseimbangan antara kedua jenis sitokin tersebut. Apabila sitokin

7
diproduksi dalam jumlah yang sangat banyak dan reaksinya berlebihan, akan merugikan
pejamu.
Pada infeksi virus dengue, sitokin juga berperan dalam menentukan derajat penyakit. Infeksi
yang berat dalam hal ini DBD (apalagi SSD) ditandai dengan peningkatan jenis dan jumlah
sitokin yang sering disebut sebagai badai sitokin (cytokine storm atau cytokine tsunami).
Dalam melakukan fungsinya berbagai sitokin saling berhubungan dan saling memengaruhi
satu dengan yang lainnya berupa suatu kaskade. Dari beberapa penelitian sitokin yang
perannya paling banyak dikemukakan yaitu TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-8 dan IFN-ɣ. Mediator
lain yang sering dikemukakan mempunyai peran penting dalam menimbulkan derajat
penyakit berat yaitu kemokin CXCL-9, CXCL-10 dan CXCL-11 yang dipicu oleh IFN-ɣ.
- Peran system komplemen
System komplemen diketahui ikut berperan dalam patogenesis infeksi virus dengue. Pada
pasien DBD atau SSD ditemukan penurunan kadar komplemen, sehingga diduga bahwa
aktivasi system komplemen mempunyai peran dalam patogenesis terjadi penyakit yang
berat. Kompleks imun virus dengue dan antibody pada infeksi sekunder dapat mengaktivasi
system komplemen melalui jalur klasik. Protein NS1 dapat mengaktifkan system
komplemen secara langsung melalui jalur alternative dan apabila berlebihan dapat
menyebabkan peningkatan permeabilitas vascular.
Selain melalui kedua jalur tersebut, ternyata aktivasi komplemen pada infeksi virus dengue
juga dapat melalui jalur mannose-binding lectin. Aktivasi komplemen menghasilkan peptide
yang mempunyai aktivitas biologic sebagai anafilatoksin yaitu C3a dan C5a. komplemen
C5a menginduksi produksi beberapa sitokin proinflamasi (seperti TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-
8) dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi baik pada neutrophil maupun sel endotel,
sehingga peran C5a dalam peningkatan permeabilitas vascular sangat besar.
- Faktor pejamu
Beberapa faktor pejamu dilaporkan dapat menjadi faktor risiko untuk terkena infeksi dengue
yang berat, antara lain usia, status gizi, faktor genetik, dan penyakit tertentu khususnya
penyakit yang berhubungan dengan system imun. Anak-anak umumnya mempunyai perjalan
penyakit yang lebih berat dibandingkan dengan dewasa. Mengenai mekanisme yang
mendasarinya belum jelas, tetapi diduga anak mempunyai system mikrovaskular yang lebih
mudah untuk mengalami peningkatan permeabilitas. Bayi usia 6-12 bulan mempunyai risiko

8
lebih berat, meskipun pada infeksi primer. Hal tersebut diduga melalui mekanisme ADE
yang sama dengan infeksi sekunder pada pejamu dengan usia lebih dari 1 tahun. Antibody
(IgG) antidengue yang bersifat nonneutralising ditransfer dari ibu pada saat kehamilan.
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang pernah dilaporkan. Faktor genetik sebagai
faktor risiko telah banyak diteliti, pada umumnya berhubungan dengan human leucocyte
antigen (HLA) tertentu, yang menjadi faktor risiko untuk lebih rentan atau sebaliknya lebih
kebal terhadap infeksi virus dengue. Beberapa penelitian juga telah banyak melaporkan
hubungan antara faktor genetik dengan derajat penyakit dengue. Faktor genetik lain di luar
pengkode HLA adalah gen pengkode sitokin TNF-α, IFN-ɣ, dan IL-1, serta gen yang
mengkode reseptor IgG, reseptor vitamin D, dan mannose binding lectin.
2.5 Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit

Manifestasi klinis infeksi virus dengue sangat luas dapat bersifat asimtomatik/tak bergejala,
demam yang tidak khas/sulit dibedakan dengan infeksi virus lain (sindroma virus/viral
syndrome, undifferentiated fever), demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD) dan
Expanded dengue syndrome/organopati (manifestasi klinis yang tidak lazim).

Gambar 2. Manifestasi klinis infeksi virus dengue

1. Sindrom virus
Bayi, anak-anak dan dewasa yang telah terinfeksi virus dengue, terutama untuk pertama
kalinya (infeksi primer), dapat menunjukkan manifestasi klinis berupa demam sederhana

9
yang tidak khas, yang sulit dibedakan dngan demam akibat infeksi virus lain. Manifestasi
klinis tersebut pada umumnya ditemukan pada saat dilakukan penelitian mengenai penyebab
demam pada kelompok masyarakat tertentu (survei demam/fever survey). Ruam
makulopapular dapat menyertai demam atau pada saat penyembuhan. Gejala gangguan
saluran napas dan pencernaan sering ditemukan.
Perjalanan penyakit
Sindrom virus akan sembuh sendiri (self limited), namun dikhawatirkan apabila di kemudian
hari terkena infeksi yang kedua, manifestasi klinis yang di derita akan lebih berat berupa
demam dengue, demam berdarah dengue atau Expanded dengue syndrome.
2. Demam dengue
Demam dengue sering ditemukan pada anak besar, remaja dan dewasa. Setelah melalui masa
inkubasi dengan rata-rata 4-6 hari ( rentang 3-14 hari), timbul gejala berupa: demam,
myalgia, sakit punggung dan gejala konstitusional lain yang tidak spesifik seperti rasa lemah
(malaise), anoreksia dan gangguan rasa kecap. Demam pada umumnya timbul mendadak,
tinggi (39oC-40oC), terus menerus (pola demam kurva kontinua), bifasik, biasanya
berlangsung antara 2-7 hari. Pada hari ketiga sakit pada umumnya suhu tubuh turun, namun
masih di atas normal, kemudian suhu naik tinggi kembali, pola ini disebut sebagai pola
demam bifasik. Demam disertai dengan myalgia, sakit punggung (karena gejala ini, demam
dengue pada masa lalu disebut sebagai breakbone fever), arthralgia, muntah, fotofobia (mata
seperti silau walau terkena cahaya dengan intensitas rendah) dan nyeri retroorbital pada saat
mata digerakkan atau ditekan. Gejala lain dapat ditemukan berupa gangguan pencernaan
(diare atau konstipasi), nyeri perut, sakit tenggorok dan depresi.
Pada hari sakit ke-3 atau 4 ditemukan ruam makulopapular atau rubeliformis, ruam ini
segera berkurang sehingga sering luput dari perhatian orang tua. Pada masa penyembuhan
timbul ruam di kaki dan tangan berupa ruam makulopapular dan petekie disleingi bercak-
bercak putih (white islands in the sea of red), dapat disertai rasa gatal yang disebut sebagai
ruam konvalesens. Manifestasi perdarahan pada umumnya sangat ringan berupa uji
tourniquet yang positif (≥ 10 petekie dalam area 2,8 x 2,8 cm) atau beberapa petekie
spontan. Pada beberapa kasus demam dengue dapat terjadi perdarahan massif.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah leukosit yang normal, namun pada beberapa
kasus ditemukan leukositosis pada awal demam, namun kemudian terjadi leukopenia dengan

10
jumlah PMN yang turun, dan ini berlangsung selama fase demam. Jumlah trombosit dapat
normal atau menurun (100.000-150.000/mm3), jarang ditemukan jumlah trombosit kurang
dari 50,000/mm3. Peningkatan nilai hematokrit sampai 10% mungkin ditemukan akibat
dehidrasi karena demam tinggi, muntah, atau karena asupan cairan yang kurang.
Pemeriksaan serum bokimia pada umumnya normal, SGOT dan SGPT dapat meningkat.

Diagnosis banding demam dengue


Berbagai penyakit baik yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, maupun parasite pada
fase awal penyakit menyerupai DD seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Diagnosis banding demam dengue


Infeksi virus : Virus chikungunya, dan penyakit infeksi virus lain seperti campak,
campak Jerman, dan virus lain yang menimbulkan ruam; virus eipstein-barr, enterovirus,
influenza, hepatitis A dan hantavirus.
Infeksi bakteri : Meningokokus, leptospirosis, demam tifoid, meiloidosis, penyakit
riketsia, demam skarlet
Infeksi parasite : Malaria

Perjalanan penyakit Demam dengue


Lama sakit dan beratnya penyakit bervariasi di antara individu. Masa konvalesens
berlangsung singkat dan sembuh segera, namun rasa lemah dan myalgia kadang berlangsung
lama. Pada pasien remaja masa penyembuhan dapat terjadi dalam waktu beberapa minggu
yang sering disertai dengan rasa letih dan depresi. Bradikardia dapat ditemukan pada masa
konvalesens. Manifestasi perdarahan berat seperti perdarahan saluran cerna, epistaksis
masif, hipermenore jarang sekali ditemukan namun apabila ditemukan dapat merupakan
penyebab kematian terutama pada anak besar. Demam dengue dengan manifestasi
perdarahan berat harus dibedakan dari demam berdarah dengue.
3. Demam berdarah dengue
Manifestasi klinis DBD dimulai dengan demam yang tinggi, mendadak, kontinua, kadang
bifasik, berlangsung antara 2-7 hari. Demam disertai dengan gejala lain yang sering
ditemukan pada demam dengue seperti muka kemerahan (facial flushing), anoreksia,

11
myalgia dan arthralgia. Gejala lain dapat berupa nyeri epigastric, mual, muntah, nyeri di
daerah subcostal kanan atau nyeri abdomen difus, kadang disertai sakit tenggorok. Faring
dan konjungtiva yang kemerahan (pharyngeal injection dan ciliary injection) dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik. Demam dapat mencapai suhu 40oC dan dapat disertai
kejang demam.
Manifestasi perdarahan dapat berupa uji tourniquet yang positif, petekie spontan yang
dapat ditemukan di daerah ekstremitas, aksila, muka dan palatum mole. Epistaksis dan
perdarahan gusi dapat ditemukan, kadang disertai dengan perdarahan ringan saluran cerna,
hematuria lebih jarang ditemukan. Perdarahan berat dapat ditemukan.
Ruam makulopapular atau rubeliformis dapat ditemukan pada fase awal sakit, namun
berlangsung singkat sehingga sering luput dari pengamatan orang tua. Ruam konvalesens
seperti pada demam dengue, dapat ditemukan pada masa penyembuhan. Hepatomegaly
ditemukan sejak fase demam, dengan pembesaran yang bervariasi antara 2-4 cm bawah
arkus kosta. Hepatomegaly tidak disertai dengan icterus dan tidak berhubungan dengan
derajat penyakit, namun hepatomegaly lebih sering ditemukan pada DBD dengan syok
(sindrom syok dengue/SSD).
Pada DBD terjadi kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk efusi pleura, apabila
kebocoran plasma lebih berat dapat ditemukan asites. Pemeriksaan rontgen foto dada posisi
lateral decubitus kanan, efusi pleura terutama di hemithoraks kanan merupakan temuan yang
sering dijumpai. Derajat luasnya efusi pleura seiring dengan beratnya penyakit. Pemeriksaan
ultrasonografi dapat dipakai untuk menentukan asites dan efusi pleura. Penebalan dinding
kandung empedu (gall blader wall thickening) mendahului manifestasi klinis kebocoran
plasma lain. Peningkatan nilai hematokrit (≥20% dari data dasar) dan penurunan kadar
protein plasma terutama albumin serum (>0,5 g/dL dari data dasar) merupakan tanda indirek
kebocoran plasma. Kebocoran plasma berat menimbulkan berkurangnya volume
intravascular yang akan menyebabkan syok hipovolemi yang dikenal sebagai sindrom syok
dengue (SSD) yang memperburuk prognosis.
Perjalanan penyakit demam berdarah dengue
Manifestasi klinis DBD terdiri atas tiga fase yaitu fase demam, kritis, serta konvalesens.
Setiap fase perlu pemantauan yang cermat, karena setiap fase mempunyai risiko yang dapat
memperberat keadaan sakit.

12
1. Fase demam
Pada kasus ringan semua tanda dan gejala smebuh seiring dengan menghilangnya
demam. Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya suhu tubuh menurun segera, tidak
secara bertahap. Menghilangnya demam dapat disertai berkeringat dan perubahan pada
laju nadi dan tekanan darah, hal ini merupakan gangguan ringan system sirkulasi akibat
kebocoran plasma yang tidak berat. Pada kasus sedang sampai berat terjadi kebocoran
plasma yang bermakna sehingga akan menimbulkan hipovolemi dan bila berat
menimbulkan syok dengan mortalitas yang tinggi.
2. Fase kritis (fase syok)
Fase kritis terjadi pada saat demam turun (time of fever defervescence), pada saat
ini terjadi puncak kebocoran plasma sehingga pasien mengalami syok hipovolemi.
Kewaspadaan dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok yaitu dengan
mengenal tanda dan gejal yang mendahului syok (warning signs). Warning signs
umunya terjadi menjelang akhir fase demam, yaitu antara hari sakit ke 3-7. Muntah terus
menerus dan nyeri perut hebat merupakan petunjuk awal perembesan plasma dan
bertambah hebat saat pasien masuk ke keadaan syok. Pasien tampak semakin lesu, tetapi
pada umumnya tetap sadar. Gejala tersebut dapat menetap walaupun sudah terjadi syok.
Kelemahan, pusing atau hipotensi postural dapat terjadi selama syok. Perdarahan
mukosa spontan atau perdarahan di tempat pengambilan darah merupakan manifestasi
perdarahan penting. Hepatomegaly dan nyeri perut sering ditemukan. Penurunan jumlah
trombosit yang cepat dan progresif menjadi di bawah 100.000 sel/mm3 serta kenaikan
hematokrit di atas data dasar merupakan tanda awal perembesan plasma, dan pada
umumnya didahului oleh leukopenia (≥5000 sel/mm3).
Peningkatan hematokrit di atas data dasar merupakan salah satu tanda paling awal
yang sensitive dalam mendeteksi pembesaran plasma yang pada umumnya berlangsung
selama 24-48 jam. Peningkatan hematokrit mendahului perubahan tekanan darah serta
volume nadi, oleh karena itu, pengukuran hematokrit berkala sangat penting, apabila
makin meningkat berarti kebutuhan cairan intravena untuk mempertahankan volume
intravascular bertambah, sehingga penggantian cairan yang adekuat dapat mencegah
syok hipovolemi.

13
Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok terkompensasi),
namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil pasien akan jatuh ke dalam syok
dekompensasi yang dapat berupa syok hipotensif dan profound shovk yang
menyebabkan asidosis metabolic, gangguan organ progresif dan koagulasi intravascular
diseminata. Perdarahan hebat yang terjadi menyebabkan penurunan hematokrit, dan
jumlah leukosit yang semula leukopenia dapat meningkat sebagai respons stress pada
pasien dengan perdarahan hebat. Beberapa pasien masuk ke fase kritis perembesan
plasma dan kemudian mengalami syok sebelum demam turun, pada pasien tersebut
peningkatan hematokrit serta trombositopenia terjadi sangat cepat. Selain itu, pada
pasien DBD baik yang disertai syok atau tidak dapat terjadi keterlibatan organ misalnya
hepatitis berat, ensefalitis, miokarditis, dan/atau perdarahan hebat, yang dikenal sebagai
Expanded dengue syndrome.
3. Fase konvalesens (fase penyembuhan)
Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung sekitar 24-48 jam, terjadi
reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular ke dalam ruang intravascular yang
berlangsung secara bertahap pada 48-72 jam berikutnya. Keadaan umum dan nafsu
makan membaik, gejala gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil, dan diuresis
menyusul kemudian. Pada beberapa pasien dapat ditemukan ruam konvalesens, beberapa
kasus lain dapat disertai pruritus umum. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi
pada umumnya terjadi pada tahap ini. Hematokrit kembali stabil atau mungkin lebih
rendah karena efek dilusi cairan yang direabsorbsi. Jumlah leukosit mulai meningkat
segera setelah penurunan suhu tubuh akan tetapi pemulihan jumlah trombosit umunya
lebih lambat. Gangguan pernafasan akibat efusi pleura masif dan ascites, edema paru
atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama fase kritis dan/atau fase pemulihan jika
cairan intravena diberikan berlebihan.

14
Gambar 3. Perjalan penyakit infeksi dengue

Tabel 2. Diagnosis banding pada fase demam dan fase kritis DBD

Flu-like syndromes : Influenza, campak, chikungunya, mononucleosis infeksiosa


Penyakit dengan ruam : Rubela, campak, demam skarlatina, infeksi meningokokus,
chikungunya, reaksi obat (drug fever)
Penyakit diare : Rotavirus dan infeksi mikroorganisme enteric lain
Penyakit dengan manifestasi neyrologis : Meningoensefalitis, kejang demam

Sindrom syok dengue

Sindrom syok dengue (SSD) merupakan syok hipovolemik yang terjadi pada DBD, yang
diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler yang disertai perembesan plasma. Syok dengue
pada umumnya terjadi di sekitar penurunan suhu tubuh (fase kritis), yaitu pada hari sakit ke 4-5
(rentang hari ke 3-7), dan sering kali didahului oleh tanda bahaya (warning signs). Pasien yang
tidak mendapat terapi cairan intravena yang adekuat akan segera mengalami syok.

 Syok terkompensasi
Syok dengue merupakan satu rangkaian proses fisiologis, adanya hipovolemi
menyebabkan tubuh melakukan mekanisme kompensasi melalui jalur neurohumoral agar

15
tidak terjadi hipoperfusi pada organ vital. System kardiovaskular mempertahankan sirkulasi
melalui peningkatan isi sekuncup (stroke volume), laju jantung (heart rate), dan
vasokonstriksi perifer. Pada fase ini tekanan darah biasanya belum turun, namun telah terjadi
peningkatan laju jantung. Oleh karena itu takikardia yang terjadi pada saat suhu tubuh mulai
turun, walaupun tekanan darah belum banyak menurun, harus diwaspadai kemungkinan
anak jatuh ke dalam syok. Pada beberapa pasien, khususnya remaja dan dewasa takikardia
tidak terjadi.
Tahap selanjutnya, apabila perembesan plasma terus berlangsung atau pengobatan tidak
adekuat, kompensasi dilakukan dengan mempertahankan sirkulasi kea rah organ vital
dengan mengurangi sirkulasi ke darah perifer (vasokonstriksi perifer), secara klinis
ditemukan ekstremitas teraba dingin dan lembab, sianosis, kulit tubuh menjadi bebercak-
bercak (mottled), pengisian waktu kapiler (capillary refill time) memanjang lebih dari dua
detik. Dengan adanya vasokonstriksi perifer, terjadi peningkatan resistensi perifer sehingga
tekanan diastolic meningkat sedang tekanan sistolik tetap sehingga tekanan nadi (perbedaan
tekanan antara sistolik dan diastolic) akan menyempit kurang dari 20 mmHg.
Pada tahap ini system pernapasan melakukan kompensasi berupa quite tachypnea
(takipnea tanpa peningkatan kerja otot pernapasan). Kompensasi system keseimbangan asam
basa berupa asidosis metabolic namun nilai pH masih normal dengan tekanan karbon
dioksida rendah dan kadar bikarbonat rendah. Keadaan anak pada fase ini pada umumnya
tetap sadar, namun bisa saja pasien sudah berada dalam keadaan kritis.
Pemberian cairan yang adekuat pada umumnya akan memberikan prognosis yang baik.
Bila keadaan kritis lupt dari pengamatan sehingga pengobatan tidak diberikan dengan cepat
dan tepat, maka pasien akan jatuh ke dalam syok dekompensasi.
 Syok dekompensasi
Pada syok dekompensasi, upaya fisiologis untuk mempertahankan system kardiovaskular
telah gagal, pada keadaan ini tekanan sistolik dan diastolic telah menurun, disebut syok
hipotensif. Selanjutnya apabila pasien terlambat berobat atau pemberian pengobatan tidak
adekuat akan terjadi profound shock yang ditandai dengan nadi tidak teraba dan tekanan
darah tidak terukur, sianosis makin terlihat jelas.
4. Expanded dengue syndrome

16
Semakin banyak kasus infeksi dengue dengan manifestasi yang tidak lazim/jarang yang
dilaporkan dari berbagai Negara termasuk Indonesia, kasus ini disebut sebagaiExpanded
dengue syndrome (EDS). Manifestasi klinis tersebut berupa keterlibatan organ seperti hati,
ginjal, otak, maupun jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue dengan atau tidak
ditemukannya tanda kebocoran plasma. Manifestasi yang jarang ini terutama disebabkan
kondisi syok yang berkepanjangan dan berlanjut menjadi gagal organ atau pasien dnegan
komorbiditas atau ko-infeksi. Maka dapat disimpulkan bahwa EDS dapat berupa penyulit
infeksi dengue dan manifestasi klinis yang tidak lazim (unusual manifestations). Penyulit
infeksi dengue daoat berupa kelebihan cairan (fluid overload) dan gangguan elektrolit,
sedangkan yang termasuk manifestasi klinis yang tidak lazim ialah ensefalopati dengue atau
ensefalitis, perdarahan hebat (massive bleeding), infeksi ganda (dual infections), kelainan
ginjal, dan miokarditis.
2.6 Kriteria Diagnosis

Kriteria diagnosis infeksi dengue dibagi menjadi kriteria diagnosis klinis dan kriteria
diagnosis laboratoris.

a. Kriteria diagnosis klinis


 Demam dengue
- Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus, bifasik
- Manifestasi perdarahan baik spontan seperti petekie, purpura, ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena, maupun uji tourniquet positif
- Nyeri kepala, myalgia, artralgia, nyeri retroorbital
- Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar rumah
- Leukopenia < 4.000/mm3
- Trombositopenia < 100.000/mm3

Apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua atau lebih tanda dan
gejala lain, diagnosis klinis demam dengue dapat ditegakkan.

 Demam berdarah dengue


- Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus (kontinua)

17
- Manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena, maupun uji tourniquet
positif
- Nyeri kepala, myalgia, artralgia, nyeri retroorbital
- Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar rumah
- Hepatomegaly
- Terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu tanda/gejala:
a) Peningkatan nilai hematokrit, >20% dari pemeriksaan awal atau dari data populasi
menurut umur
b) Ditemukan adanya efusi pleura, asites
c) Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
- Trombositopenia < 100.000/mm3

Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti perembesan
plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan diagnosis DBD.

 Tanda bahaya (warning signs)


Tanda bahaya (warning signs) untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok pada
penerita DBD.
- Klinis
a) Demam turun tetapi keadaan anak memburuk
b) Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
c) Muntah yang menetap
d) Letargi, gelisah
e) Perdarahan mukos
f) Pembesaran hati
g) Akumulasi cairan
h) oliguria
- Laboratorium
a) Peningkatan kadar hematokrit bersamaan dengan penurunan cepat jumlah trombosit
b) Hematokrit awal tinggi
 Demam berdarah dengue dengan syok terkompensasi

18
- Memenuhi kriteria DBD
- Ditemukan tanda dan gejala syok hipovolemik baik yang terkompensasi maupun
dekompensasi
- Takikardia
- Takipnea
- Tekanan nadi (perbedaan antara sistolik dan diatolik) < 20 mmHg
- Waktu pengisian kapiler (capillary refill time/CRT)> 2 detik
- Kulit dingin
- Produksi urin (urine output) menurun, < 1 ml/kgBB/jam
- Anak gelisah
 Demam berdarah dengue dengan syok dekompensasi
- Memenuhi kriteria DBD
- Ditemukan tanda dan gejala syok hipovolemik baik yang terkompensasi maupun
dekompensasi
- Takikardia
- Hipotensi (sistolik dan diatolik turun)
- Nadi cepat dan kecil
- Pernapasan Kusmaull atau hiperpne
- Sianosis
- Kulit lembab dan dingin
- Profound shock: nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur
 Expanded dengue syndrome
Memenuhi kriteria DD atau DBD baik disertai syok maupun tidak, dengan manifestasi
klinis komplikasi infeksi virus dengue atau dengan manifestasi klinis yang tidak biasa,
seperti tanda dan gejala:
- Kelebihan cairan
- Gangguan elektrolit
- Ensefalopati
- Ensefalitis
- Perdarahan hebat

19
- Gagal ginjal akut
- Haemolytic uremic syndrome (HUS)
- Gangguan jantung: gangguan konduksi, miokarditis, pericarditis
- Infeksi ganda
b. Kriteria diagnosis laboratoris

Penegakan diagnosis melalui pemeriksaan laboratorium yang cepat dan akurat sangat penting
dalam tata laksana klinis, surveilans, penelitian, dan uji klinis vaksin.

Pemeriksaan laboratorium untuk infeksi virus dangue adalah:

 Isolasi virus
 Deteksi asam nukleat virus
 Deteksi serum respons imun / uji serologi serum imun
 Analisis parameter hematologi

Isolasi virus

Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada nyamuk, kultur sel nyamuk atau
pada sel mamalia (vero cell LLCMK2 dan BHK21). pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan
yang rumit dan hanya tersedia di beberapa laboratorium besar yang terutama dilakukan untuk
tujuan penelitian, sehingga tidak tersedia laboratorium komersial. Isolasi virus hanya dapat
dilakukan pada enam hari pertama demam.

Deteksi asam nukleat virus

Genome virus dengue yang terdiri dari asam ribonukleat (ribonucleic acid/RNA) dapat dideteksi
melalui pemeriksaan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR). Metode
pemeriksaan bisa berupa nested-PCR, one-step multiplex RT-PCR, real-time RT-PCR,
danisothermal amplification method. Pemeriksaan ini hanya tersedia di laboratorium yang
memiliki peralatan biologi molekuler dan petugas laboratorium yang handal. Memberi hasil
positif bila sediaan diambil pada enam hari pertama demam. Biaya pemeriksaan tergolong
mahal.

Deteksi antigen virus dengue

20
Deteksi antigen virus dangue yang banyak dilaksanakan pada saat ini adalah pemeriksaan NS-1
antigen virus dengue (NS-1 dengue antigen), yaitu suatu glikoprotein yang diproduksi oleh
semua flavivirus yang penting bagi kehidupan dan replikasi virus. Protein ini dapat dideteksi
sejalan dengan viremia yaitu sejak hari pertama demam dan menghilang setelah 5 hari,
sensitivitas tinggi pada 1-2 hari demam dan kemudian makin menurun setelahnya.

Gambar 4. Kinetik NS-1 antigen dengue dan IgM serta IgG anti dengue pada infeksi primer dan
sekunder

Deteksi respon imun serum

Pemeriksaan respon imun serum berupa Haemaglutination inhibition test (uji HI), complement
fixation test (CFT), neutralization test (uji neutralisasi), pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti
dengue.

Haemaglutination inhibition test (Uji HI)

Pada saat ini tidak banyak laboratorium yang menyediakan pemeriksaan ini. Uji H.I. walau
sensitif namun kurang spesifik dan memerlukan sediaan serum akut dan konvalesens, sehingga
tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis dini.

complement fixation test (Uji CFT)

Tidak hanya dipakai secara luas untuk tujuan menegakkan diagnosis, sulit untuk dilakukan dan
memerlukan dan memerlukan petugas yang sangat terlatih.

Uji Neutralisasi

21
Merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik, metode yang paling sering dipakai
adalah plaque reduction neutralization test (PRNT). Pemeriksaan ini mahal, perlu waktu, secara
teknik cukup rumit, oleh karena itu jarang dilakukan di laboratorium klinik. Sangat berguna
untuk penelitian pembuatan dari efikasi vaksin.

Pemeriksaan serologi Igm dan IgG anti dengue

Imunoglobin M anti dengue memiliki kadar bervariasi, pada umumnya dapat terdeteksi pada hari
sakit kelima, dan tidak terdeteksi setelah Sembilan puluh hari. Pada infeksi dengue primer, IgG
anti dengue, namun pada infeksi sekunder muncul lebih cepat. Kadar IgG anti dengue bertahun
lama dalam serum. Kinetic NS-1 antigen virus dengue dan IgG serta IgM antidengue, merupakan
petunjuk dalam menentukan jenis pemeriksaan dan untuk membedakan antara infeksi primer
dengan infeksi sekunder. Gambar di bawah menunjukkan waktu perjalanan penyakit infeksi
virus dengue primer dan sekunder, serta metode diagnostic yang dapat digunakan untuk
mendeteksi infeksi virus dengue.

Parameter hematologi

Parameter hematologi terutama pemeriksaan hitung leukosit, nilai hematokrit, dan jumlah
trombosit sangat penting dan merupakan bagian dari diagnosis klinis demam berdarah dengue.

 Pada awal fase demam hitung leukosit dapat normal atau dengan peningkatan neutrofil,
selanjutnya diikuti penurunan jumlah leukosit dan neutrofit, yang mencapai titik terendah
pada akhir fase demam. Perubahan jumlah leukosit (<5.000 sel/mm3 ) dan rasio antara
neutorfil dan limfosit (neutrofil <limfosit) berguna dalam memprediksi masa kritis
perembesan plasma. Sering kali ditemukan limfositosis relatif dengan peningkatan limfosit
atipik pada akhir fase demam dan saat masuk fase konvalesens. Perubahan ini juga dapat
terlihat pada DD.
 Pada awal fase demam jumlah trombosit normal, kemudian diikuti oleh penurunan.
Trombositopenia di bawah 100.000/uL dapat ditemukan pada DD, namun selalu ditemukan
pada DBD. Penurunan trombosit yang mendadak dibawah 100.000/uL terjadi pada akhir
fase demam memasuki kritis atau saat penurunan suhu. Trombositopeni pada umumnya
ditemukan antara hari sakit ketiga sampai delapan, dan sering mendahului peningkatan
hematokrit. Jumlah trombosit berhubungan dengan derajat penyakit DBD. Disamping itu

22
terjadi gangguan fungsi trombosit (trombositopati). Perubahan ini berlangsung singkat dan
kembali normal selama fase penyembuhan.
 Pada awal demam nilai hematokrit masih normal. Peningkatan ringan pada umumnya
disebabkan oleh demam tinggi anoreksia dan muntah. Peningkatan hematokrit lebih dari
20% merupakan tanda dari diagnosis klinis DBD. Harus diperhatikan bahwa nilai hematokrit
dapat diakibatkan oleh penggantian cairan adanya pendarahan.

2.7 Tatalaksana

Gambar 5. Skrining tersangka infeksi dengue

Tatalaksana pasien DBD

 Penggantian cairan
 Jenis cairan

23
Cairan yang digunakan adalah cairan kristaloid isotonic. Penggunaan cairan hipotonik
seperti NaCl 0,45% hanya untuk pasien < 6 bulan atas dasar pertimbangan fungsi fisiologis
yang berbeda dengan anak yang lebih besar. Dalam keadaan normal setelah satu jam
pemberian cairan hipotonis, hanya 1/12 volume yang bertahan dalam ruang intravascular
sedangkan caira isotonis ¼ volume yang bertahan, sisanya terdistribusi ke ruang
intraselular dan ekstraselular. Pada keadaan permeabilitas yang meningkat volume cairan
yang bertahan akan semakin berkurang sehingga lebih mudah terjadi kelebihan cairan pada
pemberian cairan hipotonis. Cairan koloid hiperonkotik (osmolaritas>300 mOsm/L) seperti
dextran 40 atau HES walaupun lebih lama vertahan dalam ruang intravascular tetapi
memiliki efek samping seperti alergi, mengganggu fungsi koagulasi dan berpotensi
mengganggu fungsi ginjal.
 Jumlah cairan
Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan, kondisi klinis dan temuan
laboratorium. Pada DBD terjadi hemokonsentrasi akibat kebocoran plasma >20%, oleh
karena itu jumlah cairan yang diberikan diperkirakan sebesar kebutuhan rumatan
(maintenance) ditambah dengan perkiraan deficit cairan 5%. Pemberian cairan dihentikan
bila keadaan umum stabil dan telah melewati fase kritis, pada umumnya pemberian cairan
dihentikan setelah 24-48 jam keadaan umum anak stabil.
Tabel 3. Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal
BB ideal Rumatan Rumatan + Defisit
(kg) (mL) 5% (mL)
5 500 750
10 1.000 1.500
15 1.250 2.000
20 1.500 2.500
25 1.600 2.850
30 1.700 3.200

24
Tabel 4. Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal
Jumlah cairan Kecepatan
(mL/kgBB/jam)
½ rumatan 1,5
Rumatan 3
Rumatan + defisit 5% 5
Rumatan + deficit 7% 7
Rumatan + defisit 10% 10

 Antipiretik
Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu >38oC dengan interval 4-6 jam,
hindari pemberian aspirin/NSAID/ibuprofen. Berikan kompres hangat.
 Nutrisi
Apabila pasien masih bisa minum, dianjurkan minum yang cukup, terutama minum cairan
yang mengandung elektrolit.
 Pemantauan
 Selama perawatan pantau keadaan umum pasien, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan
tanda peringatan (warning signs)
 Perfusi perifer, harus sering diulang untuk mendeteksi awal gejala syok
 Tanda-tanda vital, seperti suhu, frekuensi nadi, frekuensi nafas dan tekanan darah harus
dilakukan setiap 2-4 jam sekali
 Pemeriksaan hematokrit awal dilakukan sebelum resusitasi atau pemberian cairan intravena
(sebagai data dasar), diupayakan dilakukan setiap 4-6 jam sekali
 Volume urin perlu ditampung minimal 8-12 jam
 Diupayakan jumlah urin ≥1.0 mL/kgBB/jam (berat badan diukur dari berat badan ideal)
 Pada pasien dengan risiko tinggi, misalnya obesitas, bayi, ibu hamil, komorbid (diabetes
mellitus, hipertensi, thalassemia, sindrom nefrotik dan lain-lain) diperlukan pemeriksaan
laboratorium atas indikasi
 Pantau: darah perifer lengkap, kadar gula darah, uji fungsi hati, dan system koagulasi
sesuai indikasi

25
 Apabila diperlukan pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi adanya efusi pleura,
pemeriksaan yang diminta adalah foto radiologi dada dengan posisi lateral kanan decubitus
(right lateral decubitus)
 Periksa golongan darah
 Pemeriksaan lain atas indikasi, misalnya ultrasonografi abdomen, EKG dan lainnya.

Tatalaksana sindrom syok dengue terkompensasi

 Berikan terapi oksigen 2-4 L/menit


 Berikan resusitasi cairan dengan cairan kristaloid isotonic intravena dengan jumlah ciran 10-
20 mL/kgBB dalam waktu 1 jam. Periksa hematokrit.
 Bila syok teratasi, berikan cairan dengan dosis 10 mL/kgBB/jam selama 1-2 jam
 Bila keadaan sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi 7, 5, 5,
3, 1,5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan intravena
sudah tidak diperlukan.
 Bila syok tidak teratasi, periksa analisis gas darah, hematokrit, kalsium dan gula darah untuk
menilai kemungkinan adana A-B-C-S (A=asidosis, B=bleeding, C=calcium, S=sugar) yang
memperberat syok hipovolemik. Apabila salah satu atau beberapa kelainan tersebut
ditemukan, segera lakukan koreksi.

26
Gambar 6. Bagian tata laksana sindrom syok dengue terkompensasi

Tatalaksana sindrom syok dengue dekompensasi

 Berikan terapi oksigen 2-4 L/menit


 Lakukan pemasangan akses vena, apabila dua kali gagal atau lebih dari 3-5 menit, berikan
cairan melalui prosedur intraosseus
 Berikan cairan kristaloid dan/atau koloid 10-20 mL/kgBB secara bolus dalam waktu 10-20
menit. Pada saat bersamaan usahakan dilakukan pemeriksaan hematokrit, analisis gas darah,
gula darah dan kalsiun
 Apabila syok teratasi, berikan cairan kristaloid dengan dosis 10 mL/kgBB/jam selama 1-2
jam
 Apabila keadaan sirkulasi tetap stabil, berikan larutan kristaloid dengan jumlah cairan
dikurangi secara bertahap menjadi 7, 5, 5, 3, 1,5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-
48 jam pasca resusitasi, cairan intravena sudah tidak diperlukan.
 Apabila syok belum teratasi, periksa ulang hemtokrit, jika hematokrit tinggi diberikan
kembali bolus kedua. Koreksi apabila asidosis, hipoglikemia atau hipokalsemia.

27
Bila hematokrit rendah atau normal dan ditemukan tanda perdarahan masif, berikan
transfuse darah segar (fresh whole blood) dengan dosis 10 mL/kgBB atau fresh packed red
cell dengan dosis 5 mL/kgBB. Jika nilai hematokrit rendah atau turun namun tidak
ditemukan tanda perdarahan berikan bolus kedua, apabila tidak membaik pertimbangkan
pemberian transfuse darah.

Gambar 7. Bagian tata laksana sindrom syok dengue dekompensasi

 Pemantauan DBD dengan syok


1. Tanda vital setiap 15-30 menit, selanjutnya setiap jam apabila syok sudah teratasi
2. Analisis gas darah, gula darah, kalsium pada saat masuk rumah sakit terutama pada
pasien syok dekompensasi atau yang mengalami syok yang berkepanjangan
3. Hematokrit harus diperiksa sebelum pemberian cairan resusitasi pertama dan kedua,
selanjutnya tiap 4-6 jam
4. Produksi urin harus ditampung dan diukur

28
5. Apabila ditemukan gangguan fungsi organ atau system lain seperti ginjal, hati, gangguan
pembekuan, dan jantung: periksa fungsi ginjal, fungsi hati, fungsi koagulasi dan EKG
6. Periksa keadaan respirasi (napas cepat, napas cuping hidung, retraksi, ronki basah tidak
nyaring), peninggian tekanan vena jugularis (jugular venous pressure.JVP),
hepatomegaly, asites, efusi pleura. Edema paru jika tidak diobati akan menimbulkan
asidosis, sehingga pasien dapat kembali jatuh ke dalam syok.

Tatalaksana pasien Expanded dengue syndrome


 Tatalaksana kelebihan cairan
- Nilai keadaan klinis, hitung kembali cairan yang telah diberikan, cek A-B-C-S
- Turunkan jumlah cairan menjadi 1 mL/kgBB/jam, bila tersedia cairan koloid, ganti
kristaloid dengan koloid.
- Bila terdapat tanda edema paru, furosemide 1 mg/kgBB/dosis segera diberikan apabila
tekanan darah stabil serta kadar ureum dan kreatinin normal. Pantau setiap 15 menit
untuk menilai keberhasilan pengobatan.
- Ukur volume diuresis melalui kateter urin
- Bila ada perbaikan setelah pemberian furosemide, periksa status volume intravascular.
 Tatalaksana gangguan elektrolit
- Hiponatremi: bila terdapat kejang berikan Natrium 3%, bila tidak ada kejang cukup
berikan cairan dektrose 5%-NaCl 0,9%
- Hipokalsemi: beri kalsium glukonas 10% dengan dosis 1 mL/kgBB/dosis (maksimum 10
mL) diencerkan dengan aquadet, diberikan setiap 6 jam hanya untuk kasus SSD
dekompensasi atau pasien dengan kelebihan cairan.
 Tatalaksana ensefalopati
- Pemberian oksigen
- Untuk menurangi tekanan intracranial:
 Berikan cairan IV dengan volume yang dibatasi, tidak lebih dari 80% kebutuhan
rumatan
 Ganti lebih cepat ke cairan koloid apabila nilai hematokrit masih tinggi
 Pemberian diuretic segera

29
 Posisi pasien dalam keadaan lebih tegak, posisi kepala 3o derajat lebih tinggi dari
tubuh
 Steroid 0,15 mg/kgBB/dosis IV setiap 6-8 jam
- Mengurangi produksi amoniak dengan laktulosa 5-10 mL setiap 6 jam
- Koreksi gangguan asam basa, ketidakseimbangan elektrolit dan asidosis. Vitamin K1 IV
3 mg untuk umur <1 tahun, 5 mg untuk umur <5 tahun dan 10 mg untuk umur >5 tahun
atau dewasa
- Antikonvulsi: fenobarbital, Dilantin, atau diazepam IV
- Fresh red packed cell bila transfuse diperlukan
- Terapi antibiotic empiris
- Plasmapheresis, hemodialysis atau renal replacement therapy untuk pasien dengan
gangguan ginjal
 Tatalaksana perdarahan masif
- Hentikan perdarahan, contoh: tampon nasal bila mimisan. Apabila kadarhematokrit
menurun makan dilakukan transfuse darah segera. Apabila volume darah yang keluar
dapat diukur maka ganti dengan volume yang sama. Apabila sulit diukur, berikan darah
segar 10 mL/kgBB fresh packed red cell kamudian periksa ulang 3 jam pasca transfuse.
- Pemberian rekombinan faktor VII pada sebagian kasus perdarahan masif tanpa gagal
organ.
2.8 Pemberantasan

Strategi pemberantasan penyakit DBD lebih ditekankan pada (1) upaya preventif, yaitu
melaksanakan penyemprotan masal sebelum musim penularan penyakit di desa/kelurahan
endemis DBD, yang merupakan pusat-pusat penyebaran penyakit ke wilayah lainnya, (2) strategi
ini diperkuat dengan menggalakan pembinaan peran serta masyarakat dalam kegiatan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN), (3) melaksanakan penanggulangan focus di rumah pasien
dan di sekitar tempat tinggalnya guna mencegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB), dan (4)
melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media.

Kewajiban pelaporan kasus/tersangka dalam tempo 24 jam ke Dinkes Dari II/Puskesmas


tempat tinggal pasien merupakan keharusan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan 560
tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan terjadinya penularan lebih lanjut, penyakit DBD dapat

30
dicegah dan ditanggulangi sedini mungkin. Dengan adanya laporan kasus pada
Puskesmas/Dinkes Dati II yang bersangkutan, dapat dengan segera melakukan penyelidikan
epidemiologi dan sekitar tempat tinggal kasus untuk melihat kemungkinan risiko penularan.

Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya risiko penularan DBD,
maka Puskesmas/Dinkes Dati II akan melakukan langkah-langkah upaya penanggulangan berupa
(1) foging focus, (2) abatisasi selektif. Tujuan abatisasi ialah membunuh larva dengan butir-butir
abate sand granule (SG) 1% pada tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per million),
yaitu 10 gram meter 100 liter air, (3) menggalakkan masyarakat untuk melakukan kerja bakti
dalam PSN.

31
BAB III

KESIMPULAN

Dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Stegomiya aegipty dan Stegomiya albopictus. Nyamuk
ini merupakan nyamuk domestic yang mempunyai afinitas tinggi untuk menggigit manusia
(antropofilik) serta dapat menggigit lebih dari satu individu (multiple-bite) untuk memenuhi
kebutuhan nutrisinya. Pola hidup seperti ini menyebabkan nyamuk tersebut menjadi vektor yang
sangat potensial untuk menularkan virus dengue.Kerentanan untuk timbulnya penyakit pada
individu antara lain ditentukan oleh status imun dan faktor genetik pejamu.

Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik serta simtomatik. Secara
umum gejala infeksi ini adalah demam tinggi mendadak dengan masa inkubasi rata-rata 4-6 hari.
Lama sakit dan beratnya penyakit bervariasi di antara individu.

Infeksi virus dengue diklasifikasikan menjadi demam tidak khas, demam dengue, demam
berdarah dengue (nonsyok dan syok) serta expanded dengue syndrome. Diagnosis dini DHF
sangat penting karena keterlambatan pemberian cairan sangat mempengaruhi prognosa penderita.
Diagnosa DHF didasarkan pada diagnosa klinis dan diagnosa laboratorium.

Pengobatan DBD bersifat simtomatis dan suportif. Terapi suportif yaitu berupa penggantian
cairan yang merupakan pokok utama dalam tatalaksana DBD. Sedangkan terapi simtomatis
seperti antipiretik untuk mengurangi demam.

Strategi pemberantasan penyakit DBD lebih ditekankan pada (1) upaya preventif, yaitu
melaksanakan penyemprotan masal sebelum musim penularan penyakit di desa/kelurahan
endemis DBD (2) strategi ini diperkuat dengan menggalakan pembinaan peran serta masyarakat
dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), (3) melaksanakan penanggulangan focus
di rumah pasien dan di sekitar tempat tinggalnya guna mencegah terjadinya kejadian luar biasa
(KLB), dan (4) melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media.

32
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan


RI. 2007. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

Hadinegoro, S.R., Moedjito, I., Chairulfatah, A. 2014. Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana
Infeksi Virus Dengue pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Samsi, T. K., Setiawan, J. J., Kartika J. 2000. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak RS Sumber
Waras. Jakarta: Penerbitan Universitas Tarumanegara.

Soedarmo, S.S.P., Garna, H., Hadinegoro, S.R.S., et al. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri
Tropis. Edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

33

Anda mungkin juga menyukai