Inisiasi 8
A. BENTUK-BENTUK PERSENGKETAAN
Persengketaan dapat kita lihat dari dua sudut pandang, yaitu persengketaan yang terjadi
antarbangsa dari persengketaan yang terjadi di dalam negeri.
1. Persengketaan Antarbangsa
Tiap-tiap bangsa di dunia mempunyai suatu perangkat kepentingan nasional, kebudayaan, dan
penangkapan/perasaan persepsi terhadap masalah yang dihadapi. 2. Persengketaan di Dalam
Satu Bangsa/Negara
Di dalam interaksi sosial antara orang perorangan, perorangan dengan masyarakat
lingkungannya maupun antara golongan masyarakat itu sendiri bertemu bermacam-macam
kepentingan, kebudayaan, persepsi atau pendapat. Perbedaan atau pertentangan pendapat
dapat menimbulkan persengketaan, apabila perbedaan atau pertentangan tersebut
mengakibatkan pihak-pihak yang terlibat tidak mampu menerima kondisi lingkungan tempat
mereka berada.
Perbedaan atau pertentangan yang bersifat tidak mendasar dapat diselesaikan melalui dialog,
diskusi, seminar atau musyawarah untuk mencapai mufakat atau setidak-tidaknya konsensus,
sebagai usaha meniadakan atau menjinakkan maupun meredakan persengketaan. Apabila
penyelesaian perbedaan/pertentangan dengan cara ini menemui jalan buntu maka diadakan
usaha-usaha penyelesaian melalui saluran hukum.
Perbedaan atau pertentangan kepentingan yang bersifat lebih mendasar yang pada umumnya
menyangkut dasar negara, bentuk negara, dan tujuan negara, biasanya sulit dipertemukan.
Persengketaan tentang hal ini dapat berjalan tanpa kekerasan, misalnya gerakan “swadeshi”
almarhum Mahatma Gandhi di India. Namun, adakalanya persengketaan tentang dasar negara,
bentuk negara, dan tujuan negara terpaksa harus diselesaikan dengan kekerasan senjata,
misalnya Gerakan PKI Muso, gerakan DI TII,
1. Hakikat Perang
Perang menurut Clausewitz adalah suatu kelanjutan dari politik dengan cara-cara lain; pada
hakikatnya perang adalah pertarungan antara dua kekuatan atau lebih yang saling bertentangan
dengan menggunakan kekerasan bersenjata. Perang pada dewasa ini tidak lagi merupakan
persoalan bagi pimpinan dan ahli-ahli perang saja, tetapi sudah menjadi persoalan seluruh
rakyat, bahkan juga menyangkut kepentingan seluruh umat manusia. Adapun sebab-sebabnya
adalah berikut ini.
a. Perubahan dalam sistem nilai dan moral.
b. Perkembangan teknologi perang dengan ditemukannya senjata-senjata mutakhir.
c. Tumbuhnya kesadaran nasional dan demokrasi.
d. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang pesat, mempererat hubungan
antarbangsa tanpa batas.
e. Pengalaman-pengalaman pada masa lampau sebagai akibat peperangan.
Sejarah telah membuktikan bahwa apabila “suatu negara ingin hidup damai maka ia harus
mempersiapkan diri untuk berperang” (sivis pacem para bellum). Kesiapan untuk berperang
dapat merupakan faktor pencegah (deterrent factor) terhadap usaha perang atau keinginan
untuk berperang dari negara lain. Hal inilah yang mendorong adanya konsep keseimbangan
kekuasaan (balance of power). Konsep keseimbangan kekuasaan sering merupakan dasar dari
pembentukan aliansi-aliansi militer.
1. Masalah internal dan yurisdiksi dalam negeri: prinsip inti dalam hubungan internasional.
2. Prinsip “Masalah dalam Negeri” Mengalami Erosi
Sumber dan pola eskalasi ancaman
Ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia:
1) Subversi dan Pemberontakan Dalam Negeri
2) Invasi dan subversi dari luar negeri
1. Pengalaman menanggulangi ancaman dari luar atau yang lazim disebut dengan invasi, ialah
ancaman dari pihak Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali. Pengalaman itu diperoleh
dari dua kurun waktu.
a. Kurun waktu 19451947
Pada bulan SeptemberOktober 1945 berdasarkan Civil Affair Agreement, Tentara Pendudukan
Sekutu (Inggris) mendaratkan pasukan-pasukannya di kota-kota besar di seluruh Indonesia
(Banjarmasin, Ujung Pandang, Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan).
Tugas pendudukan tentara sekutu tersebut ialah:
1) Melucuti bala tentara Jepang yang telah kalah perang dan telah menyerah.
2) Mengurus pengembalian tawanan perang sekutu yang ditawan oleh tentara Jepang (RAPWI =
Repatriation Allied Prisoners of War and Interness).
3) Mengamankan pelaksanaan kedua tugas tersebut.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk menyelundupkan unsur-unsur alat
penjajah Belanda (NICA: Netherland Indies Civiel Affrairs) dan akhirnya mendapatkan
perlawanan patriotis dari bangsa Indonesia.
b. Kurun waktu 19481949
Dengan adanya persetujuan Renville maka sekali lagi pihak Belanda mendapat kesempatan
untuk berkonsolidasi dan menyusun kembali kekuatannya. Berdasarkan pengalaman pada
serangan Belanda yang lalu maka Indonesia pun mengadakan persiapan-persiapan menghadapi
segala kemungkinan, antara lain disusun kesatuan-kesatuan mobil dan kesatuan-kesatuan
teritorial. Di samping itu dikeluarkanlah Perintah Siasat No. 1 oleh Panglima Besar RI (Jenderal
Sudirman) pada tanggal 9 November 1948, yang isinya seperti berikut.
1) Perlawanan tidak secara linier.
2) Adakan bumi hangus.
3) Pembentukan perlawanan dan pemerintahan gerilya.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda mengadakan serangan terhadap ibu kota RI yang
selanjutnya kita kenal dengan Perang Kemerdekaan II. Belanda berhasil menduduki Yogyakarta
dan menawan presiden, wakil presiden, dan beberapa menteri. Setelah itu dilakukan
perlawananan melalui Serangan Umum. Sasaran-sasaran yang telah dicapai di dalam Serangan
Umum ini ialah berikut ini.
1) Politik, memberi dukungan yang kuat kepada diplomasi RI di Dewan Keamanan PBB/dunia
internasional.
2) Militer, menimbulkan kerugian/mematahkan moral pasukan Belanda.
3) Psikologi, rakyat daerah-daerah lain yang berjuang merasa bahwa ibu kota RI masih tetap
dipertahankan sehingga memberikan semangat yang lebih tinggi kepada semua pasukan.
2. Pengalaman menanggulangi ancaman dari dalam, yang dapat berwujud pemberontakan atau
subversi.
Jenis ancaman ini diawali dengan pemberontakan PKI/Muso atau Peristiwa Madiun tanggal 18
September 1948 pada waktu Indonesia sedang menghadapi Belanda. Kemudian menyusul
peristiwa Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1949 di bawah pimpinan
Kartosuwiryo di Jawa Barat, Kahar Muzakar (1958) di Sulawesi Selatan dan Daud Beureuh di
Aceh (1952), peristiwa Andi Azis di Ujung Pandang, Republik Maluku Selatan (RMS) di
Ambon/Seram. Selanjutnya, Pemerintah Revolusioner RI/Perjuangan Semesta (PRRI di Sumatera
dan Permesta di Sulawesi tahun 1957), dan Pemberontakan G 30 S/PKI (1965).
3. Pelajaran-pelajaran yang dapat ditarik dari pengalaman-pengalaman perjuangan bersenjata.
a. Keteguhan hati rakyat untuk mempertahankan negara dan bangsa serta melawan musuh di
mana-mana.
b. Kemampuan angkatan bersenjata untuk melaksanakan perang konvensional (sesuai dengan
konvensi Jenewa) dan tidak kontroversial serta kemampuan menggunakan keadaan wilayah
sebagai medan sebaik-baiknya.
c. Persatuan dan kerja sama yang seerat-eratnya antara rakyat dan angkatan bersenjata yang
sekarang kita kenal dengan manunggalnya ABRI dan rakyat.
d. Kepemimpinan yang ulet dan tahan uji di semua tingkatan, yang cakap memberi inspirasi
serta sekaligus mahir mengelola sumber-sumber kekuatan.
Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta, yang
penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta
keyakinan pada kekuatan sendiri.
Penyelenggaraan Pertahanan dan Keamanan Negara berdasarkan prinsip-prinsip seperti berikut.
1. Bangsa Indonesia berhak dan wajib membela serta mempertahankan kemerdekaan negara.
2. Bahwa upaya pembelaan negara tersebut merupakan tanggung jawab dan kehormatan setiap
warga negara yang dilandasi asas:
a. keyakinan akan kekuatan dan kemampuan sendiri;
b. keyakinan akan kemenangan dan tidak kenal menyerah (keuletan);
c. tidak mengandalkan bantuan atau perlindungan negara atau kekuatan asing.
3. Pertentangan yang timbul antara Indonesia dengan bangsa lain akan selalu diusahakan
dengan cara-cara damai. Perang adalah jalan terakhir yang dilakukan dalam keadaan terpaksa.
4. Pertahanan dan keamanan keluar bersifat defensif-aktif yang mengandung pengertian tidak
agresif dan tidak ekspansif. Ke dalam bersifat preventif-aktif yang mengandung pengertian
sedini mungkin mengambil langkah dan tindakan guna mencegah dan mengatasi setiap
kemungkinan timbulnya ancaman.
5. Bentuk perlawanan rakyat Indonesia dalam membela serta mempertahankan kemerdekaan
bersifat kerakyatan dan kesemestaan.
Upaya Penyelenggaraan Bela Negara dalam Kerangka Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat
Semesta
Kelangsungan hidup bangsa dan negara (national survival) merupakan tanggung jawab (hak,
kewajiban, dan kehormatan) setiap warga negara dan bangsa. Untuk itu, diperlukan pembinaan
kesadaran, dan partisipasi setiap warga negara dalam upaya bela negara.
Persepsi tentang bela negara dihadapkan kepada tantangan/ancaman yang dihadapi secara
kontekstual dalam periode waktu tertentu. Pada periode tahun 19451949 bela negara
dipersepsikan identik dengan perang kemerdekaan. Hal ini berarti bahwa wujud partisipasi
warga negara dalam pembelaan negara adalah keikutsertaan dalam perang kemerdekaan baik
secara bersenjata maupun tidak bersenjata.
Pada periode 19501965, bela negara dipersepsikan identik dengan upaya pertahanan dan
keamanan yang dilaksanakan melalui komponen-komponen hankam, seperti ABRI, HANSIP,
PERLA SUKWAN/ SUKWATI. Hal ini sejalan dengan kondisi tantangan dan ancaman yang kita
hadapi pada periode itu, yaitu menghadapi pemberontakan di dalam negeri, peperangan Trikora,
membebaskan Irian Barat (sekarang Irian Jaya) dan Dwikora.
Pada periode Orde Baru ATHG yang dihadapi lebih kompleks dan lebih luas daripada periode
sebelumnya. ATHG tersebut dapat muncul dari segenap aspek kehidupan bangsa (ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam). Oleh karena itu, dalam konteks ini bela negara
dapat dilakukan dalam bidang-bidang kehidupan nasional tersebut dalam upaya mencapai tujuan
nasional. Untuk itu, dikembangkan konsepsi tannas. Dalam hal ini, bela negara dapat dikatakan
pula sebagai partisipasi warga negara dalam menciptakan dan membangun tannas di segenap
aspek kehidupan bangsa.
Upaya bela negara sebagaimana dipersepsikan merupakan pengertian atau penafsiran yang
cukup luas (segala aspek kehidupan bangsa). Dalam pengertian yang lebih sempit diartikan
sebagai upaya pertahanan dan keamanan yang dilandasi oleh dasar negara Pancasila, UUD 1945
(Pasal 30 ayat (1) dan (2)) dan UU No. 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan dan Keamanan
Negara disempurnakan dengan UU No. 3 Tahun 2000 tentang Pertahanan Negara
Wujud upaya bela negara dilakukan melalui pemberian kesadaran bela negara yang dilakukan
sejak dini di sekolah dasar dan berlanjut sampai perguruan tinggi dan di luar sekolah melalui
kegiatan pramuka dan organisasi sosial kemasyarakatan.
Di sekolah dilakukan melalui Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN), yang diintegrasikan
ke dalam kurikulum; Pendidikan dasar dan menengah, sedangkan di pendidikan tinggi
diwujudkan dalam mata kuliah Kewiraan (sekarang Kewarganegaraan). Di luar Pendidikan
Pendahuluan Bela Negara wujud bela negara dibakukan dalam bentuk Rakyat Terlatih, ABRI,
Cadangan ABRI, dan Perlindungan Masyarakat (Linmas) yang merupakan komponen khusus
dalam Pertahanan dan Keamanan Negara.
Sumber: MKDU4111