Anda di halaman 1dari 7

Inisiasi 8-Bahan Bacaan

Inisiasi 8

Konflik dan Perang


Dalam sejarah manusia mendambakan dunia yang aman, damai, dan sejahtera. Setiap
berakhirnya perang besar, dilakukan usaha-usaha untuk mencegah terjadinya perang baru. Liga
Bangsa-bangsa didirikan setelah Perang Dunia I, untuk menjaga perdamaian. Akan tetapi, situasi
damai di Eropa hanya bertahan selama 20 tahun, kemudian disusul oleh perang yang lebih
dahsyat lagi yaitu Perang Dunia II.
Di luar Eropa malahan sudah lebih dahulu terjadi peperangan dan sengketa bersenjata lainnya.
Setelah Perang Dunia II selesai didirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun perang
tidak pernah berhasil dihapus. Selama dua dasawarsa terakhir saja lebih dari 80 negara terlibat
dalam peperangan dan kekerasan militer lainnya, di antaranya 58 negara di dunia ketiga (negara
sedang berkembang/miskin) dengan perincian 29 negara tersebut terlibat dalam perang saudara
(Civil War) dan 24 negara dalam perang antarnegara (seperti Burkina Faso - Mali 1986; Iran -
Irak 19801988; Equador - Peru 19811983; Etiopia - Somalia 19771978; Irak - Kuwait 1990;
Libya - Tunisia 1980; Syria - Libanon 1976; Kampuchea - Vietnam 19791991). Malahan pada
saat ini masih berkecamuk perang di Kamboja, Konggo; Somali, Sudan, Bosnia. Belum lagi
gerakan-gerakan terorisme Internasional dan bentuk-bentuk sengketa bersenjata dalam negeri
lainnya, bahkan juga di negara industri maju, seperti di Irlandia Utara, daerah Basque.
Mengutip Ivan S. Block (The Future War) yang menulis bahwa antara tahun 1496 SM sampai
tahun 1861 SM, suatu kurun waktu selama 3357 tahun terdapat 227 tahun damai dan 3130
tahun perang. Dengan kata lain, untuk setiap 1 tahun damai terdapat 13 tahun perang. Melihat
sejarah manusia itu dapat ditarik kesimpulan bahwa sejarah manusia adalah sejarah kekerasan
bersenjata. Bahwa perang adalah keadaan yang normal dan keadaan damai malah menjadi
keadaan yang tidak normal. Situasi damai hanya berlangsung selama terdapat suatu tata dunia
yang cukup tegar dan efektif untuk menangkal perang, seperti misalnya kemampuan
memberikan ganjaran setimpal atau lebih keras terhadap negara/ kekuatan yang melakukan
perang/kekerasan militer.
Menurut Quincy Wright (1941) dalam bukunya A Study of War Volume 1, menyatakan,
penyebab perang (The Problem of War), yakni berikut ini.
1. Dunia yang mengerut (The Shrinking of the world)
Diakibatkan oleh kemajuan teknologi transportasi. Komunikasi antarmanusia menjadi lebih cepat
dan manusia menjadi saling tergantung dalam bidang-bidang ekonomi, budaya serta politik.
Orang menjadi lebih siaga menghadapi perang dan mudah terpengaruh akan adanya
peperangan.
2. Percepatan jalannya sejarah (The acceleration of history)
Kemajuan ilmu pengetahuan teknologi telekomunikasi menyebabkan ide dan pendapat
umum/opini mempercepat perubahan sosial.
3. Pembaruan persenjataan angkatan perang (The progress of military invention)
Akibat kemajuan teknik persenjataan, perang menjadi total sasaran penghancuran tidak hanya
instalasi militer, tetapi semua yang ada di wilayah negara.
4. Peningkatan demokrasi (The rise of democracy)
Peningkatan komunikasi, kecerdasan manusia, dan standar hidup menyebabkan kesadaran
berbangsa dan bernegara meningkat.

Dalam kajian sejarah, konflik/peperangan banyak dipicu oleh masalah-masalah perekonomian


dan klaim teritorial, yang berkembang ke masalah-masalah yang lebih luas. Henry E. Eccles
membuat Spektrum konflik. Spektrum konflik yang bersifat dapat dikendalikan atau terkendali,
yaitu dari nomor 110. Dari nomor 1114 bersifat tidak terkendali. Kedudukan/status antara
111, dikatakan damai secara teknis, 610 dinamakan perang dingin, 914, dinamakan perang
panas, 414, perang ekonomi.
Kondisi umum 12, dikatakan damai absolut, 35 damai relatif, 68 peningkatan ketegangan,
911, perang terbatas, dan 1214 perang tak terbatas.

A. BENTUK-BENTUK PERSENGKETAAN
Persengketaan dapat kita lihat dari dua sudut pandang, yaitu persengketaan yang terjadi
antarbangsa dari persengketaan yang terjadi di dalam negeri.

1. Persengketaan Antarbangsa
Tiap-tiap bangsa di dunia mempunyai suatu perangkat kepentingan nasional, kebudayaan, dan
penangkapan/perasaan persepsi terhadap masalah yang dihadapi. 2. Persengketaan di Dalam
Satu Bangsa/Negara
Di dalam interaksi sosial antara orang perorangan, perorangan dengan masyarakat
lingkungannya maupun antara golongan masyarakat itu sendiri bertemu bermacam-macam
kepentingan, kebudayaan, persepsi atau pendapat. Perbedaan atau pertentangan pendapat
dapat menimbulkan persengketaan, apabila perbedaan atau pertentangan tersebut
mengakibatkan pihak-pihak yang terlibat tidak mampu menerima kondisi lingkungan tempat
mereka berada.
Perbedaan atau pertentangan yang bersifat tidak mendasar dapat diselesaikan melalui dialog,
diskusi, seminar atau musyawarah untuk mencapai mufakat atau setidak-tidaknya konsensus,
sebagai usaha meniadakan atau menjinakkan maupun meredakan persengketaan. Apabila
penyelesaian perbedaan/pertentangan dengan cara ini menemui jalan buntu maka diadakan
usaha-usaha penyelesaian melalui saluran hukum.
Perbedaan atau pertentangan kepentingan yang bersifat lebih mendasar yang pada umumnya
menyangkut dasar negara, bentuk negara, dan tujuan negara, biasanya sulit dipertemukan.
Persengketaan tentang hal ini dapat berjalan tanpa kekerasan, misalnya gerakan “swadeshi”
almarhum Mahatma Gandhi di India. Namun, adakalanya persengketaan tentang dasar negara,
bentuk negara, dan tujuan negara terpaksa harus diselesaikan dengan kekerasan senjata,
misalnya Gerakan PKI Muso, gerakan DI TII,

B. HAKIKAT PERANG DAN PERANG DEWASA INI

1. Hakikat Perang
Perang menurut Clausewitz adalah suatu kelanjutan dari politik dengan cara-cara lain; pada
hakikatnya perang adalah pertarungan antara dua kekuatan atau lebih yang saling bertentangan
dengan menggunakan kekerasan bersenjata. Perang pada dewasa ini tidak lagi merupakan
persoalan bagi pimpinan dan ahli-ahli perang saja, tetapi sudah menjadi persoalan seluruh
rakyat, bahkan juga menyangkut kepentingan seluruh umat manusia. Adapun sebab-sebabnya
adalah berikut ini.
a. Perubahan dalam sistem nilai dan moral.
b. Perkembangan teknologi perang dengan ditemukannya senjata-senjata mutakhir.
c. Tumbuhnya kesadaran nasional dan demokrasi.
d. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang pesat, mempererat hubungan
antarbangsa tanpa batas.
e. Pengalaman-pengalaman pada masa lampau sebagai akibat peperangan.
Sejarah telah membuktikan bahwa apabila “suatu negara ingin hidup damai maka ia harus
mempersiapkan diri untuk berperang” (sivis pacem para bellum). Kesiapan untuk berperang
dapat merupakan faktor pencegah (deterrent factor) terhadap usaha perang atau keinginan
untuk berperang dari negara lain. Hal inilah yang mendorong adanya konsep keseimbangan
kekuasaan (balance of power). Konsep keseimbangan kekuasaan sering merupakan dasar dari
pembentukan aliansi-aliansi militer.
1. Masalah internal dan yurisdiksi dalam negeri: prinsip inti dalam hubungan internasional.
2. Prinsip “Masalah dalam Negeri” Mengalami Erosi
Sumber dan pola eskalasi ancaman
Ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia:
1) Subversi dan Pemberontakan Dalam Negeri
2) Invasi dan subversi dari luar negeri

C. PERANG PEMBEBASAN NASIONAL


Perang pembebasan nasional ditimbulkan dan berkembang melalui kegiatan pemberontakan
yang pada tingkatnya didahului oleh tindakan subversi.

Pengantar Sistem Pertahanan Keamanan Negara Indonesia


A. SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA, KHUSUSNYA DI BIDANG PERTAHANAN-
KEAMANAN SEJAK TAHUN 1945

Penentuan sistem Pertahanan-Keamanan suatu negara dilakukan berdasarkan 3


kemungkinan/cara berikut ini.
1. Peniruan dari sistem pertahanan keamanan bangsa lain. Cara ini biasanya dilakukan oleh
negara-negara yang menerima kemerdekaannya dari negara-negara yang telah menjajahnya
dan hal ini mungkin kurang sesuai dengan situasi dan kondisi negara-negara yang bersangkutan
2. Pemilihan secara kebetulan dengan kemungkinan-kemungkinan kurang sesuai dengan
keadaan sebenarnya dari negara dan bangsa yang memilihnya.
3. Usaha suatu bangsa di bidang pertahanan keamanan berdasarkan falsafah, identitas, kondisi
lingkungan, dan kemungkinan-kemungkinan kondisi yang mengancam keselamatan dan
kelangsungan hidup bangsa tersebut. Penentuan sistem ini yang dapat dikatakan yang paling
tepat karena disesuaikan dengan situasi dan kondisi bangsa yang bersangkutan.

1. Pengalaman menanggulangi ancaman dari luar atau yang lazim disebut dengan invasi, ialah
ancaman dari pihak Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali. Pengalaman itu diperoleh
dari dua kurun waktu.
a. Kurun waktu 19451947
Pada bulan SeptemberOktober 1945 berdasarkan Civil Affair Agreement, Tentara Pendudukan
Sekutu (Inggris) mendaratkan pasukan-pasukannya di kota-kota besar di seluruh Indonesia
(Banjarmasin, Ujung Pandang, Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan).
Tugas pendudukan tentara sekutu tersebut ialah:
1) Melucuti bala tentara Jepang yang telah kalah perang dan telah menyerah.
2) Mengurus pengembalian tawanan perang sekutu yang ditawan oleh tentara Jepang (RAPWI =
Repatriation Allied Prisoners of War and Interness).
3) Mengamankan pelaksanaan kedua tugas tersebut.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk menyelundupkan unsur-unsur alat
penjajah Belanda (NICA: Netherland Indies Civiel Affrairs) dan akhirnya mendapatkan
perlawanan patriotis dari bangsa Indonesia.
b. Kurun waktu 19481949
Dengan adanya persetujuan Renville maka sekali lagi pihak Belanda mendapat kesempatan
untuk berkonsolidasi dan menyusun kembali kekuatannya. Berdasarkan pengalaman pada
serangan Belanda yang lalu maka Indonesia pun mengadakan persiapan-persiapan menghadapi
segala kemungkinan, antara lain disusun kesatuan-kesatuan mobil dan kesatuan-kesatuan
teritorial. Di samping itu dikeluarkanlah Perintah Siasat No. 1 oleh Panglima Besar RI (Jenderal
Sudirman) pada tanggal 9 November 1948, yang isinya seperti berikut.
1) Perlawanan tidak secara linier.
2) Adakan bumi hangus.
3) Pembentukan perlawanan dan pemerintahan gerilya.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda mengadakan serangan terhadap ibu kota RI yang
selanjutnya kita kenal dengan Perang Kemerdekaan II. Belanda berhasil menduduki Yogyakarta
dan menawan presiden, wakil presiden, dan beberapa menteri. Setelah itu dilakukan
perlawananan melalui Serangan Umum. Sasaran-sasaran yang telah dicapai di dalam Serangan
Umum ini ialah berikut ini.
1) Politik, memberi dukungan yang kuat kepada diplomasi RI di Dewan Keamanan PBB/dunia
internasional.
2) Militer, menimbulkan kerugian/mematahkan moral pasukan Belanda.
3) Psikologi, rakyat daerah-daerah lain yang berjuang merasa bahwa ibu kota RI masih tetap
dipertahankan sehingga memberikan semangat yang lebih tinggi kepada semua pasukan.

2. Pengalaman menanggulangi ancaman dari dalam, yang dapat berwujud pemberontakan atau
subversi.
Jenis ancaman ini diawali dengan pemberontakan PKI/Muso atau Peristiwa Madiun tanggal 18
September 1948 pada waktu Indonesia sedang menghadapi Belanda. Kemudian menyusul
peristiwa Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1949 di bawah pimpinan
Kartosuwiryo di Jawa Barat, Kahar Muzakar (1958) di Sulawesi Selatan dan Daud Beureuh di
Aceh (1952), peristiwa Andi Azis di Ujung Pandang, Republik Maluku Selatan (RMS) di
Ambon/Seram. Selanjutnya, Pemerintah Revolusioner RI/Perjuangan Semesta (PRRI di Sumatera
dan Permesta di Sulawesi tahun 1957), dan Pemberontakan G 30 S/PKI (1965).
3. Pelajaran-pelajaran yang dapat ditarik dari pengalaman-pengalaman perjuangan bersenjata.
a. Keteguhan hati rakyat untuk mempertahankan negara dan bangsa serta melawan musuh di
mana-mana.
b. Kemampuan angkatan bersenjata untuk melaksanakan perang konvensional (sesuai dengan
konvensi Jenewa) dan tidak kontroversial serta kemampuan menggunakan keadaan wilayah
sebagai medan sebaik-baiknya.
c. Persatuan dan kerja sama yang seerat-eratnya antara rakyat dan angkatan bersenjata yang
sekarang kita kenal dengan manunggalnya ABRI dan rakyat.
d. Kepemimpinan yang ulet dan tahan uji di semua tingkatan, yang cakap memberi inspirasi
serta sekaligus mahir mengelola sumber-sumber kekuatan.

B. FAKTOR LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI SISTEM PERTAHANAN-KEAMANAN

Faktor-faktor tetap yang mempengaruhi suatu sistem pertahanan-keamanan adalah faktor


lingkungan yang terdiri dari faktor geografi, sumber alam, dan demografi.

C. HAKIKAT, DASAR, TUJUAN, DAN FUNGSI PERTAHANAN NEGARA RI

Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta, yang
penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta
keyakinan pada kekuatan sendiri.
Penyelenggaraan Pertahanan dan Keamanan Negara berdasarkan prinsip-prinsip seperti berikut.
1. Bangsa Indonesia berhak dan wajib membela serta mempertahankan kemerdekaan negara.
2. Bahwa upaya pembelaan negara tersebut merupakan tanggung jawab dan kehormatan setiap
warga negara yang dilandasi asas:
a. keyakinan akan kekuatan dan kemampuan sendiri;
b. keyakinan akan kemenangan dan tidak kenal menyerah (keuletan);
c. tidak mengandalkan bantuan atau perlindungan negara atau kekuatan asing.
3. Pertentangan yang timbul antara Indonesia dengan bangsa lain akan selalu diusahakan
dengan cara-cara damai. Perang adalah jalan terakhir yang dilakukan dalam keadaan terpaksa.
4. Pertahanan dan keamanan keluar bersifat defensif-aktif yang mengandung pengertian tidak
agresif dan tidak ekspansif. Ke dalam bersifat preventif-aktif yang mengandung pengertian
sedini mungkin mengambil langkah dan tindakan guna mencegah dan mengatasi setiap
kemungkinan timbulnya ancaman.
5. Bentuk perlawanan rakyat Indonesia dalam membela serta mempertahankan kemerdekaan
bersifat kerakyatan dan kesemestaan.

Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata)


Sishankamrata adalah suatu sistem pertahanan dan keamanan yang komponennya terdiri dari
seluruh potensi, kemampuan, dan kekuatan nasional untuk mewujudkan kemampuan dalam
upaya pertahanan dan keamanan negara (tujuan Hankamneg) dalam mencapai tujuan nasional.
Sishankamrata bersifat semesta dalam konsep, semesta dalam ruang lingkup dan semesta dalam
pelaksanaannya. Komponen kekuatannya terdiri dari berikut ini.
1. Komponen dasar, yaitu rakyat terlatih.
2. Komponen utama, yaitu ABRI dan cadangan TNI.
3. Komponen Perlindungan Masyarakat (Linmas).
4. Komponen pendukung, yaitu sumber daya dan prasarana nasional.

Pengalaman penyelenggaraan hankam menghasilkan berbagai doktrin pertahanan dan


keamanan, yaitu doktrin perang gerilya rakyat semesta, doktrin perang wilayah, doktrin perang
rakyat semesta dan doktrin pertahanan dan keamanan rakyat semesta.
Sasaran operasi Hankamnas, yaitu mencegah dan menghancurkan serangan terbuka, menjamin
penguasaan dan pembinaan wilayah nasional RI dan ikut serta memelihara kemampuan hankam
Asia Tenggara bebas dari campur tangan asing.
Pola operasi Hankamrata, yaitu operasi pertahanan, operasi keamanan dalam negeri, operasi
intelijen strategis dan pola operasi kerja sama pertahanan dan keamanan Asia Tenggara. Pola
operasi pertahanan bertujuan untuk menggagalkan serangan dan ancaman nyata dari kekuatan
perang musuh. Pola operasi keamanan dalam negeri bertujuan untuk memelihara atau
mengembalikan kekuatan pemerintah/negara RI pada salah satu atau beberapa daerah (bagian
wilayah) negara yang terganggu keamanannya.
Pola operasi intelijen strategis (Intelstrat) bertujuan untuk memperoleh informasi yang
diperlukan dalam pelaksanaan strategi nasional dan operasi-operasi Hankam, menghancurkan
sumber-sumber infiltrasi, subversi, dan spionase yang terdapat di wilayah musuh, dan
mengadakan perang urat syaraf dan kegiatan-kegiatan tertutup lainnya untuk mewujudkan
kondisi-kondisi strategis yang menguntungkan.
Pola operasi kerja sama, yaitu usaha bersama kemungkinan gangguan keamanan stabilitas
nasional dan perdamaian khususnya di Asia Tenggara.

Upaya Penyelenggaraan Bela Negara dalam Kerangka Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat
Semesta

Kelangsungan hidup bangsa dan negara (national survival) merupakan tanggung jawab (hak,
kewajiban, dan kehormatan) setiap warga negara dan bangsa. Untuk itu, diperlukan pembinaan
kesadaran, dan partisipasi setiap warga negara dalam upaya bela negara.
Persepsi tentang bela negara dihadapkan kepada tantangan/ancaman yang dihadapi secara
kontekstual dalam periode waktu tertentu. Pada periode tahun 19451949 bela negara
dipersepsikan identik dengan perang kemerdekaan. Hal ini berarti bahwa wujud partisipasi
warga negara dalam pembelaan negara adalah keikutsertaan dalam perang kemerdekaan baik
secara bersenjata maupun tidak bersenjata.
Pada periode 19501965, bela negara dipersepsikan identik dengan upaya pertahanan dan
keamanan yang dilaksanakan melalui komponen-komponen hankam, seperti ABRI, HANSIP,
PERLA SUKWAN/ SUKWATI. Hal ini sejalan dengan kondisi tantangan dan ancaman yang kita
hadapi pada periode itu, yaitu menghadapi pemberontakan di dalam negeri, peperangan Trikora,
membebaskan Irian Barat (sekarang Irian Jaya) dan Dwikora.
Pada periode Orde Baru ATHG yang dihadapi lebih kompleks dan lebih luas daripada periode
sebelumnya. ATHG tersebut dapat muncul dari segenap aspek kehidupan bangsa (ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam). Oleh karena itu, dalam konteks ini bela negara
dapat dilakukan dalam bidang-bidang kehidupan nasional tersebut dalam upaya mencapai tujuan
nasional. Untuk itu, dikembangkan konsepsi tannas. Dalam hal ini, bela negara dapat dikatakan
pula sebagai partisipasi warga negara dalam menciptakan dan membangun tannas di segenap
aspek kehidupan bangsa.
Upaya bela negara sebagaimana dipersepsikan merupakan pengertian atau penafsiran yang
cukup luas (segala aspek kehidupan bangsa). Dalam pengertian yang lebih sempit diartikan
sebagai upaya pertahanan dan keamanan yang dilandasi oleh dasar negara Pancasila, UUD 1945
(Pasal 30 ayat (1) dan (2)) dan UU No. 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan dan Keamanan
Negara disempurnakan dengan UU No. 3 Tahun 2000 tentang Pertahanan Negara
Wujud upaya bela negara dilakukan melalui pemberian kesadaran bela negara yang dilakukan
sejak dini di sekolah dasar dan berlanjut sampai perguruan tinggi dan di luar sekolah melalui
kegiatan pramuka dan organisasi sosial kemasyarakatan.
Di sekolah dilakukan melalui Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN), yang diintegrasikan
ke dalam kurikulum; Pendidikan dasar dan menengah, sedangkan di pendidikan tinggi
diwujudkan dalam mata kuliah Kewiraan (sekarang Kewarganegaraan). Di luar Pendidikan
Pendahuluan Bela Negara wujud bela negara dibakukan dalam bentuk Rakyat Terlatih, ABRI,
Cadangan ABRI, dan Perlindungan Masyarakat (Linmas) yang merupakan komponen khusus
dalam Pertahanan dan Keamanan Negara.

Politik serta Strategi Pertahanan dan Keamanan


Dwi fungsi ABRI mengandung pengertian bahwa ABRI mengemban dua fungsi, yaitu fungsi
sebagai kekuatan Hankam dan fungsi sebagai kekuatan sosial politik.
Fungsi sebagai kekuatan sosial politik hakikatnya adalah tekad dan semangat pengabdian ABRI
untuk ikut secara aktif berperan serta bersama-sama dengan segenap kekuatan sosial politik
lainnya memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia dalam mengisi
kemerdekaan dan kedaulatannya.
Tujuannya ialah untuk mewujudkan stabilitas nasional yang mantap dan dinamik di segenap
aspek kehidupan bangsa dalam rangka memantapkan tannas untuk mewujudkan tujuan nasional
berdasarkan Pancasila.
Lahirnya ABRI sebagai kekuatan sosial politik di Indonesia berangkat dari perjalanan sejarah
bangsa Indonesia merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Pengalaman
sejarah itu mengakibatkan bagaimana ABRI memandang dirinya yakni sebagai alat revolusi dan
alat negara, juga sebagai pejuang yang terpanggil untuk memberikan jasanya kepada semua
aspek kehidupan dan pembangunan bangsa. Keterlibatannya dalam memerankan fungsi sosial
politik ini, didorong oleh kondisi internal (ABRI) dan kondisi eksternal termasuk lingkungan
strategik internasional.
Pada tahun 19481949 (Agresi Militer Belanda II) pemimpin-pemimpin politik ditangkap Belanda,
peran ABRI menjadi meningkat. Pada tahun 19571959 ketika pemimpin politik sipil juga tidak
mampu mengatasi pemberontakan daerah, ABRI tampil menyelamatkan negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pada saat pemberontakan G 30 S/PKI di mana kepemimpinan sipil gagal
menyelamatkan Pancasila dari rongrongan Partai Komunis, lagi-lagi ABRI tampil di depan
menyelamatkan Republik ini. Secara historis dan budaya dwi fungsi ABRI dapat diterima oleh
rakyat Indonesia kendatipun harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Peran serta politik tersebut semakin besar setelah penumpasan G 30 S/PKI sehingga
memungkinkan ABRI turut menentukan kebijaksanaan nasional dalam pembangunan. Hal itu
ditunjukkan oleh masuknya para perwira ABRI ke dalam berbagai bidang; lembaga
pemerintahan, lembaga legislatif, lembaga ekonomi kemasyarakatan. Meskipun demikian tidak
berarti militer menggantikan peranan sipil. Perluasan peran biasanya pada posisi-posisi kunci
dengan cara penempatan (kekaryaan) dan yang diminta oleh lembaga instansi terkait, serta
dengan memperhatikan perkembangan pembangunan dan kehidupan bangsa.
Luasnya penempatan personil militer tersebut pada instansi/lembaga pemerintahan dan lembaga
masyarakat menimbulkan silang pendapat yang menuntut perlunya aktualisasi dwi fungsi ABRI
(fungsi sospol) di masa depan.
Aktualisasi dwi fungsi ABRI di masa depan ini akan efektif apabila ada keseimbangan
kepentingan, yaitu keharmonisan antara kepentingan militer dan kepentingan sipil. Konsensus
selalu dapat dibuat atas dasar tidak satu pun pihak boleh mendominasi pihak yang lain.
Kecurigaan terhadap golongan lain harus dihindari, kearifan harus ditumbuhkan agar konflik
internal tentang hal ini tidak merebak menjadi perpecahan yang mengganggu tannas.
Runtuhnya rezim orde baru diganti dengan orde reformasi mengeliminasi peran TNI (militer)
dalam negara secara bertahap. TNI diharapkan menjadi kekuatan, pertahanan yang profesional
sebagaimana layaknya kekuatan pertahanan di negara-negara yang sudah maju untuk itu segala
keperluannya harus didukung oleh pemerintah dan pengelolaan yang profesional.

Sumber: MKDU4111

Anda mungkin juga menyukai