Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini teknologi di dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak dan


gas bumi telah berkembang dengan pesat. Hal tersebut sangat diperlukan
mengingat harga minyak dan gas bumi yang semakin meningkat sehingga
perlu dilakukan eksplorasi terhadap sumur minyak baru maupun
peningkatan produksi terhadap sumur minyak yang telah ada sebelumnya.

Sebelum dilakukan pengeboran kita harus melakukan evaluasi


formasi untuk mengetahui karakteristik formasi batuan yang akan di bor.
Berbagai macam metode digunakan untuk mengetahui karakteristik formasi
baik melalui analisis batu inti, analisis cutting, maupun analisis data well
logging. Analisis well logging saat ini banyak digunakan karena biayanya
yang relatif lebih murah dan kualitas datanya yang akurat. Untuk itu perlu
dilakukan pembahasan mengenai “Aplikasi Well Logging di dalam
Evaluasi Formasi”.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ruang Lingkup Evaluasi Formasi

Evaluasi formasi batuan adalah suatu proses analisis ciri dan sifat
batuan di bawah tanah dengan menggunakan hasil pengukuran lubang
sumur (Harsono, 1997). Evaluasi formasi membutuhkan berbagai macam
pengukuran dan analisis yang saling melengkapi satu sama lain. Tujuan
utama dari evaluasi formasi adalah untuk mengidentifikasi reservoir,
memperkirakan cadangan hidrokarbon, dan memperkirakan perolehan
hidrokarbon (Harsono, 1997).

2.2 Metode –Metode Evaluasi Formasi

Evaluasi formasi umumnya dilakukan secara berurutan dan


sistematis. Daerah yang dianggap berpotensi mengandung hidrokarbon
awalnya ditentukan melalui survei seismik, gravitasi, dan magnetik
(Bateman, 1985). Setelah daerah tersebut di bor selanjutnya
dilakukan mud logging dan measurements while drilling (MWD) ; setelah
itu bisa dilakukan pengambilan batu inti (Bateman, 1985). Saat mata bor
tersebut telah mencapai kedalaman tertentu maka logging dapat
dilakukan. Penjelasan mengenai metode – metode yang digunakan dalam
evaluasi formasi adalah sebagai berikut :

2.2.1 Mud Logging

Mud logging merupakan proses mensirkulasikan dan memantau


perpindahan mud dan cutting pada sumur selama pemboran (Bateman,
1985). Menurut Darling (2005) terdapat dua tugas utama dari
seorang mud logger yaitu :

2
1. Memantau parameter pengeboran dan memantau sirkulasi
gas/cairan/padatan dari sumur agar pengeboran dapat berjalan dengan
aman dan lancar.
2. Menyediakan informasi sebagai bahan evaluasi bagi petroleum
engineering department.

Mud logging unit akan menghasilkan mud log yang akan dikirim
ke kantor pusat perusahaan minyak. Menurut Darling (2005), mud
log tersebut meliputi :

1. Pembacaan gas yang diperoleh dari detektor gas atau kromatograf


2. Pengecekan terhadap ketidak-hadiran gas beracun (H2S, SO2)
3. Laporan analisis cutting yang telah di deskripsi secara lengkap
4. Rate of Penetration (ROP)
5. Indikasi keberadaan hidrokarbon yang terdapat di dalam sampel

Mud log merupakan alat yang berharga untuk petrofisis dan


geolog di dalam mengambil keputusan dan melakukan evaluasi. Darling
(2005) menyatakan bahwa mud log digunakan untuk hal – hal berikut ini :

1. Identifikasi tipe formasi dan litologi yang di bor


2. Identifikasi zona yang porous dan permeabel
3. Picking of coring, casing, atau batas kedalaman pengeboran akhir
4. Memastikan keberadaan hidrokarbon sampai pada tahap membedakan
jenis hidrokarbon tersebut apakah minyak atau gas

a. Deskripsi Cutting

Pekerjaan lain dari seorang mud logger adalah melakukan


deskripsi cutting. Cutting merupakan material hasil hancuran batuan oleh
mata bor yang dibawa oleh lumpur pemboran ke permukaan
(Bateman,1985). Sebagian sampel dimasukkan ke dalam
plastik polyethene sebagai sampel basah sementara sebagian sampel lain

3
yang telah dicuci dan dikeringkan dikenal sebagai sampel kering. Sampel
yang telah dibersihkan diamati di bawah mikroskop yang ada di mud
logging unit. Hasil deskripsi kemudian diserahkan ke kantor pusat
pengolahan data.

Agar informasi tersebut berguna maka ada standar deskripsi baku


yang harus dilakukan. Darling (2005) menyatakan bahwa deskripsi
tersebut harus meliputi :

1. Sifat butir
2. Tekstur
3. Tipe
4. Warna
5. Roundness dan sphericity
6. Sortasi
7. Kekerasan
8. Ukuran
9. Kehadiran mineral jejak (misalnya pirit, kalsit, dolomit, siderit)
10. Tipe partikel karbonat
11. Partikel skeletal (fosil, foraminifera)
12. Partikel non-skeletal (lithoclast, agregat, rounded particles)
13. Porositas dan permeabelitas
14. Tipe porositas (intergranular, fracture, vuggy)
15. Permeabelitas (permeabelitas rendah, menengah, atau tinggi)

b. Deteksi Hidrokarbon

Dapat dilakukan melalui natural fluorescence, solvent cut, acetone


test, visible staining, dan analisis odor.

4
2.2.2 Coring

Coring merupakan metode yang digunakan untuk mengambil batu


inti (core) dari dalam lubang bor (Bateman,1985). Coring penting untuk
mengkalibrasi model petrofisik dan mendapat informasi yang tidak
diperoleh melalui log.

Setelah pengeboran, core (biasanya 0,5 m setiap 10 menit)


dibungkus dan dijaga agar tetap awet. Core tersebut mewakili kondisi
batuan tempatnya semula berada dan relatif tidak mengalami gangguan
sehingga banyak informasi yang bisa didapat. Informasi penting yang bisa
didapat oleh seorang petrofisis dari data core tersebut menurut Darling
(2005) antara lain :

1. Homogenitas reservoir
2. Tipe sementasi dan distribusi dari porositas dan permeabilitas
3. Kehadiran hidrokarbon dari bau dan pengujian dengan sinar
ultraviolet
4. Tipe mineral
5. Kehadiran fracture dan orientasinya
6. Kenampakan dip

a. Keterbatasan Analisis Core

Data core tidak selalu akurat, menurut Darling (2005) ada


sejumlah alasan yang menyebabkan hal tersebut yaitu :

1. Suatu core diambil pada water leg, dimana proses diagenesis


mungkin saja terjadi, hal ini menyebabkan core tidak selalu dapat
mewakili oil atau gas leg di reservoir
2. Coring dan proses pemulihannya menyebabkan tejadinya
perubahan tekanan dan suhu batuan sehingga bisa menyebabkan
terjadinya perubahan struktur pada batuan tersebut

5
3. Proses penyumbatan, pembersihan, dan pengeringan dapat
mengubah wettability dari sumbat sehingga membuatnya tidak
bisa merepresentasikan kondisi di bawah lubang bor
4. Pengukuran resistivitas sumbat pada suhu lingkungan dengan
menggunakan udara sebagai fluida yang tidak basah (nonwetting
fluid) bisa tidak merepresentasikan kondisi reservoir

2.2.3 Well Logging

Well logging merupakan perekaman karakteristik dari suatu


formasi batuan yang diperoleh melalui pengukuran pada sumur bor (Ellis
& Singer, 2008). Data yang dihasilkan disebut sebagai well log.
Berdasarkan proses kerjanya, logging dibagi menjadi dua jenis
yaitu wireline logging dan logging while drilling (Ellis & Singer,
2008). Wireline logging dilakukan ketika pemboran telah berhenti dan
kabel digunakan sebagai alat untuk mentransmisikan data. Pada logging
while drilling, logging dapat dilakukan bersamaan dengan
pemboran. Logging jenis ini tidak menggunakan kabel untuk
mentransmisikan data. Saat ini logging while drilling lebih banyak
digunakan karena lebih praktis sehingga waktu yang diperlukan lebih
efisien walaupun masih memiliki kekurangan berupa transmisi data yang
tidak secepat wireline logging.

6
2.3 Tujuan dari Evaluasi Formasi

Tujuan dari evaluasi formasi menurut Ellis & Singer (2008) adalah
sebagai berikut :

a. Menentukan ada tidaknya hidrokarbon


Hal yang pertama kali dilakukan adalah menentukan apakah di
formasi batuan tersebut terdapat hidrokarbon, setelah itu ditentukan
jenisnya, minyak atau gas.
b. Menentukan dimana tepatnya hidrokarbon tersebut berada
Evaluasi formasi diharapkan mampu menjelaskan pada kedalaman
berapa hidrokarbon tersebut berada dan pada lapisan batuan apa saja.
c. Menentukan berapa banyak kandungan hidrokarbon tersebut di dalam
formasi
Berapa banyak hidrokarbon yang terdapat di dalam formasi harus
bisa diketahui. Aspek paling penting untuk mengetahui kandungan
hidrokarbon adalah dengan menentukan porositas batuan karena
hidrokarbon terdapat di dalam pori – pori batuan.
d. Menentukan apakah hidrokarbon tersebut potensial untuk diproduksi
atau tidak
Untuk menentukan potensial atau tidaknya hidrokarbon yang
berada di dalam formasi batuan membutuhkan banyak parameter yang
harus diketahui. Parameter yang paling penting adalah permeabilitas
batuan, faktor kunci lainnya adalah oil viscosity.

Evaluasi formasi dilakukan dengan mengkorelasikan data – data


yang berasal dari sumur bor. Evaluasi formasi menyediakan nilai
porositas dan saturasi hidrokarbon sebagai fungsi kedalaman dengan
menggunakan informasi geologi lokal dan sifat fluida yang terakumulasi
di dalam reservoir bor (Ellis & Singer, 2008). Variasi formasi batuan
bawah permukaan yang sangat luas menyebabkan berbagai

7
peralatan logging harus digunakan untuk memperoleh hasil yang ideal bor
(Ellis & Singer, 2008).

2.4 Geologi Regional Jawa Barat Utara

2.4.1 Ulasan Singkat Geologi Regional

Cekungan Jawa Barat Utara telah dikenal sebagai hydrocarbon


province utama di wilayah Pertamina DOH JBB, Cirebon. Cekungan ini
terletak di antara Paparan Sunda di Utara, Jalur Perlipatan – Bogor di
Selatan, daerah Pengangkatan Karimun Jawa di Timur dan Paparan Pulau
Seribu di Barat. Cekungan Jawa Barat Utara dipengaruhi oleh sistem block
faulting yang berarah Utara – Selatan. Patahan yang berarah Utara - Selatan
membagi cekungan menjadi graben atau beberapa sub-basin, yaitu
Jatibarang, Pasir Putih, Ciputat, Rangkas Bitung dan beberapa
tinggian basement, seperti Arjawinangun, Cilamaya, Pamanukan,
Kandanghaur–Waled, Rengasdengklok dan Tangerang. Berdasarkan
stratigrafi dan pola strukturnya, serta letaknya yang berada pada pola busur
penunjaman dari waktu ke waktu, ternyata cekungan Jawa Barat telah
mengalami beberapa kali fase sedimentasi dan tektonik sejak Eosen sampai
dengan sekarang (Martodjojo, 2002).

2.4.2 Tektonostati grafidan Struktur Geologi

Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari dua area, yaitu laut
(offshore) di Utara dan darat (onshore) di Selatan (Darman dan Sidi,
2000). Seluruh area didominasi oleh patahan ekstensional (extensional
faulting) dengan sangat minim struktur kompresional. Cekungan
didominasi oleh rift yang berhubungan dengan patahan yang membentuk
beberapa struktur deposenter (half graben), antara lain deposenter
utamanya yaitu Sub-Cekungan Arjuna dan Sub-Cekungan Jatibarang, juga
deposenter yang lain seperti : Sub-Cekungan Ciputat, Sub-Cekungan

8
Pasirputih. Deposenter-deposenter itu didominasi oleh sikuen Tersier
dengan ketebalan melebihi 5500 m. Struktur yang penting pada cekungan
tersebut yaitu terdiri dari bermacam-macam area tinggian yang
berhubungan dengan antiklin yang terpatahkan dan blok tinggian (horst
block), lipatan pada bagian yang turun pada patahan utama, keystone
folding dan mengenai pada tinggian batuan dasar. Struktur kompresional
hanya terjadi pada awal pembentukan rift pertama yang berarah relative
barat laut-tenggara pada periode Paleogen. Sesar ini akan aktif kembali
pada Oligosen. Tektonik Jawa Barat dibagi menjadi tiga fase tektonik
yang dimulai dari Pra Tersier hingga Plio-Pliostosen. Fase tektonik
tersebut adalah sebagai berikut :

a. Tektonik Pertama

Pada zaman Akhir Kapur awal Tersier, Jawa Barat Utara


dapat diklasifikasikan sebagai ‘Fore Arc Basin’ dengan
dijumpainya orientasi struktural mulai dari Cileutuh, Sub
Cekungan Bogor, Jatibarang, Cekungan Muriah dan Cekungan
Florence Barat yang mengindikasikan kontrol ‘Meratus Trend’.
Periode Paleogen (Eosen-Oligosen) di kenal sebagai Paleogen
Extensional Rifting. Pada periode ini terjadi sesar geser mendatar
ke kanan utama krataon Sunda akibat dari peristiwa tumbukan
Lempeng Hindia dengan Lempeng Eurasia. Sesar-sesar ini
mengawali pembentukan cekungan-cekungan Tersier di Indonesia
Bagian Barat dan membentuk Cekungan Jawa Barat Utara
sebagai pull apart basin.

Tektonik ektensi ini membentuk sesar-sesar bongkah (half


gnraben system) dan merupakan fase pertama rifting (Rifting I
: fill phase). Sedimen yang diendapkan pada rifting I ini disebut
sebagai sedimen synrift I. Cekungan awal rifting terbentuk selama
fragmentasi, rotasi dan pergerakan dari kraton Sunda. Dua trend

9
sesar normal yang diakibatkan oleh perkembangan rifting-I (early
fill) berarah N 60o W – N 40o W dan hampir N – S yang dikenal
sebagai Pola sesar Sunda. Pada masa ini terbentuk endapan
lacustrin dan volkanik dari Formasi Jatibarang yang menutup
rendahan-rendahan yang ada. Proses sedimentasi ini terus
berlangsung dengan dijumpainya endapan transisi Formasi
Talangakar. Sistem ini kemudian diakhiri dengan diendapkannya
lingkungan karbonat Formasi Baturaja.

b. Tektonik Kedua

Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen


(Oligo-Miosen) dan dikenal sebagai Neogen Compressional
Wrenching. Ditandai dengan pembentukan sesar-sesar geser akibat
gaya kompresif dari tumbukan Lempeng Hindia. Sebagian besar
pergeseran sesar merupakan reaktifasi dari sesar normal yang
terbentuk pada periode Paleogen.

Jalur penunjaman baru terbentuk di selatan Jawa. Jalur


volkanik periode Miosen Awal yang sekarang ini terletak di lepas
pantai selatan Jawa. Deretan gunungapi ini menghasilkan endapan
gunungapi bawah laut yang sekarang dikenal sebagai “old
andesite” yang tersebar di sepanjang selatan Pulau Jawa. Pola
tektonik ini disebut Pola Tektonik Jawa yang merubah pola
tektonik tua yang terjadi sebelumnya menjadi berarah barat-timur
dan menghasilkan suatu sistem sesar naik, dimulai dari selatan
(Ciletuh) bergerak ke utara. Pola sesar ini sesuai dengan sistem
sesar naik belakang busur atau yang dikenal “thrust foldbelt
system”.

10
c. Tektonik Terakhir

Fase tektonik akhir yang terjadi adalah pada Pliosen –


Pleistosen, dimana terjadi proses kompresi kembali dan
membentuk perangkap-perangkap struktur berupa sesar-sesar naik
di jalur selatan Cekungan Jawa Barat Utara. Sesar-sesar naik yang
terbentuk adalah sesar naik Pasirjadi dan sesar naik Subang,
sedangkan di jalur utara Cekungan Jawa Barat Utara terbentuk
sesar turun berupa sesar turun Pamanukan. Akibat adanya
perangkap struktur tersebut terjadi kembali proses migrasi
hidrokarbon.

Gambar 2.1
(Sayatan melintang fisiografi cekungan dan busur gunungapi Jawa Barat)
(sumber : Pertamina, 1996)

2.4.3 Stratigrafi Regional


Stratigrafi umum Jawa Barat Utara berturut-turut dari tua ke muda
adalah sebagai berikut :

a. Batuan Dasar

Batuan dasar adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang


berumur Kapur Tengah sampai Kapur Atas dan batuan metamorf yang

11
berumur Pra Tersier (Sinclair, et.al, 1995). Lingkungan Pengendapannya
merupakan suatu permukaan dengan sisa vegetasi tropis yang lapuk
(Koesoemadinata, 1980).

b. Formasi Jatibarang

Satuan ini merupakan endapan early synrift, terutama dijumpai di


bagian tengah dan timur dari Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian
barat cekungan ini kenampakan Formasi Jatibarang tidak banyak (sangat
tipis) dijumpai. Formasi ini terdiri dari tufa, breksi, aglomerat, dan
konglomerat alas. Formasi ini diendapkan pada fasies fluvial. Umur
formasi ini adalah dari Kala Eosen Akhir sampai Oligosen Awal. Pada
beberapa tempat di Formasi ini ditemukan minyak dan gas pada rekahan-
rekahan tuff (Budiyani, dkk, 1991).

c. Formasi Talangakar

Pada fase syn rift berikutnya diendapkan Formasi Talang Akar


secara tidak selaras di atas Formasi Jatibarang. Pada awalnya
berfasies fluvio-deltaic sampai faises marine. Litologi formasi ini diawali
oleh perselingan sedimen batupasir dengan serpih non-marine dan diakhiri
oleh perselingan antara batugamping, serpih, dan batupasir dalam fasies
marine. Pada akhir sedimentasi, Formasi Talang Akar ditandai dengan
berakhirnya sedimentasi synrift. Formasi ini diperkirakan berkembang
cukup baik di daerah Sukamandi dan sekitarnya. Adapun terendapkannya
formasi ini terjadi dari Kala Oligosen sampai dengan Miosen Awal.

d. Formasi Baturaja

Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Talang


Akar. Pengendapan Formasi Baturaja yang terdiri dari batugamping, baik
yang berupa paparan maupun yang berkembang sebagai
reef buildup manandai fase post rift yangs secara regional menutupi
seluruh sedimen klastik Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa Barat

12
Utara. Perkembangan batugamping terumbu umumnya dijumpai pada
daerah tinggian. Namun, sekarang diketahui sebagai daerah dalam.
Formasi ini terbentuk pada Kala Miosen Awal–Miosen Tengah (terutama
dari asosiasi foraminifera). Lingkungan pembentukan formasi ini adalah
pada kondisi laut dangkal, air cukup jernih, sinar matahari ada (terutama
dari melimpahnya foraminifera Spriroclypens Sp).

e. Formasi Cibulakan Atas

Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan batupasir


dan batugamping. Batugamping pada satuan ini umumnya merupakan
batugamping klastik serta batugamping terumbu yang berkembang secara
setempat-setempat. Batugamping ini dikenali sebagai Mid Main
Carbonate (MMC). Formasi ini diendapkan pada Kala Miosen Awal-
Miosen Akhir. Formasi ini terbagi menjadi 3 Anggota yaitu :

1) Massive

Anggota ini terendapkan secara tidak selaras di atas


Formasi Baturaja. Litologi anggota ini adalah perselingan
batulempung dengan batupasir yang mempunyai ukuran butir dari
halus-sedang. Pada massive ini dijumpai kandungan hidrokarbon,
terutama pada bagian atas. Selain itu terdapat fosil foraminifera
planktonik seperti Globigerina trilobus, foraminifera bentonik
seperti Amphistegina (Arpandi dan Patmosukismo, 1975).

2) Main

Anggota Main terendapkan secara selaras diatas Anggota


Massive. Litologi penyusunnya adalah batulempung berselingan
dengan batupasir yang mempunyai ukuran butir halus-sedang
(bersifat glaukonitan). Pada awal pembentukannya berkembang
batugamping dan juga blangket-blangket pasir, dimana pada

13
bagian ini Anggota Main terbagi lagi yang disebut dengan Mid
Main Carbonat (Budiyani dkk,1991).

3) Pre Parigi

Anggota Pre Parigi terendapkan secara selaras diatas


Anggota Main. Litologinya adalah perselingan batugamping,
dolomit, batupasir dan batulanau. Anggota ini terbentuk pada Kala
Miosen Tengah-Miosen Akhir dan diendapkan pada lingkungan
Neritik Tengah-Neritik Dalam (Arpandi & Patmosukismo, 1975),
dengan dijumpainya fauna-fauna laut dangkal dan juga kandungan
batupasir glaukonitan.

f. Formasi Parigi

Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Cibulakan


Atas. Litologi penyusunnya sebagian besar adalah batugamping
klastik maupun batugamping terumbu. Pengendapan batugamping ini
melampar ke seluruh Cekungan Jawa Barat Utara. Lingkungan
pengendapan formasi ini adalah laut dangkal–neritik tengah (Arpandi &
Patmosukismo, 1975). Batas bawah Formasi Parigi ditandai dengan
perubahan berangsur dari batuan fasies campuran klastika karbonat
Formasi Cibulakan Atas menjadi batuan karbonat Formasi Parigi. Formasi
ini diendapkan pada Kala Miosen Akhir-Pliosen.

g. Formasi Cisubuh

Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Parigi.


Litologi penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir
dan serpih gampingan. Umur formasi ini adalah dari Kala Miosen Akhir
sampai Pliosen – Pleistosen. Formasi diendapkan pada lingkungan laut

14
dangkal yang semakin ke atas menjadi lingkungan litoral – paralik
(Arpandi & Patmosukismo, 1975).

Tabel 2.2
(Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara)
(sumber : Pertamina, 1996)

15
2.4.4 Sedimentasi Cekungan

Periode awal sedimentasi di Cekungan Jawa Barat Utara dimulai


pada kala Eosen Tengah – Oligosen Awal (fase transgresi) yang
menghasilkan sedimentasi vulkanik darat – laut dangkal dari Formasi
Jatibarang. Pada saat itu aktifitas vulkanisme meningkat. Hal ini
berhubungan dengan interaksi antar lempeng di sebelah selatan Pulau
Jawa, akibatnya daerah-daerah yang masih labil sering mengalami
aktivitas tektonik. Material-material vulkanik dari arah timur mulai
diendapkan.

Periode selanjutnya merupakan fase transgresi yang berlangsung


pada kala Oligosen Akhir – Miosen Awal yang menghasilkan sedimen
trangresif transisi – deltaik hingga laut dangkal yang setara dengan
Formasi Talang Akar pada awal permulaan periode daerah cekungan
terdiri dari dua lingkungan yang berbeda yaitu bagian barat paralic
sedangkan bagian timur merupakan laut dangkal. Selanjutnya aktifitas
vulkanik semakin berkurang sehingga daerah-daerah menjadi agak stabil,
tetapi anak cekungan Ciputat masih aktif. Kemudian air laut menggenangi
daratan yang berlangsung pada kala Miosen Awal mulai dari bagian barat
laut terus ke arah tenggara menggenangi beberapatinggian kecuali
tinggian Tangerang. Dari tinggian-tinggian ini sedimen-sedimen klastik
yang dihasilkan setara dengan formasi Talang Akar.

Pada Akhir Miosen Awal daerah cekungan relative stabil, dan


daerah Pamanukan sebelah barat merupakan platform yang dangkal,
dimana karbonat berkembang baik sehingga membentuk setara dengan
formasi Baturaja, sedangkan bagian timur merupakan dasar yang lebih
dalam. Pada kala Miosen Tengah yang merupakan fase regresi, Cekungan
Jawa Barat Utara diendapkan sediment-sedimen laut dangkal dari formasi
Cibulakan Atas. Sumber sedimen yang utama dari formasi Cibulakan Atas
diperkirakan berasal dari arah utara – barat laut. Pada akhir Miosen

16
Tengah kembali menjauhi kawasan yang stabil, batugamping
berkembang dengan baik. Perkembangan yang baik ini dikarenakan
aktivitas tektonik yang sangat lemah dan lingkungan berupa laut dangkal.
Kala Miosen Akhir – Pliosen (fase regresi) merupakan fase pembentukan
Formasi Parigi dan Cisubuh. Kondisi daerah cekungan mengalami sedikit
perubahan dimana kondisi laut semakin berkurang masuk ke dalam
lingkungan paralik.

Pada Kala Pleistosen – Aluvium ditandai untuk pengangkatan


sumbu utama Jawa. Pengangkatan ini juga diikuti oleh aktivitas
vulkanisme yang meningkat dan juga diikuti pembentukan struktur utama
Pulau Jawa. Pengangkatan sumbu utama Jawa tersebut berakhir secara
tiba-tiba sehingga mempengaruhi kondisi laut.Butiran-butiran kasar
diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Cisubuh.

17
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Log dan Well Logging

Log adalah suatu grafik kedalaman (bisa juga waktu), dari satu set data
yang menunjukkan parameter yang diukur secara berkesinambungan di
dalam sebuah sumur (Harsono, 1997). Kegiatan untuk mendapatkan data log
disebut ‘logging’. Logging memberikan data yang diperlukan untuk
mengevaluasi secara kuantitatif banyaknya hidrokarbon di lapisan pada
situasi dan kondisi sesungguhnya. Kurva log memberikan informasi yang
dibutuhkan untuk mengetahui sifat – sifat batuan dan cairan.

Well logging dalam bahasa Prancis disebut carrotage electrique yang


berarti “electrical coring”, hal itu merupakan definisi awal dari
well logging ketika pertama kali ditemukan pada tahun 1927. Saat ini well
logging diartikan sebagai “perekaman karakteristik dari suatu formasi batuan
yang diperoleh melalui pengukuran pada sumur bor” (Ellis & Singer,
2008). Well logging mempunyai makna yang berbeda untuk setiap orang bor
(Ellis & Singer, 2008). Bagi seorang geolog, well logging merupakan teknik
pemetaan untuk kepentingan eksplorasi bawah permukaan. Bagi seorang
petrofisisis, well logging digunakan untuk mengevaluasi potensi produksi
hidrokarbon dari suatu reservoir. Bagi seorang geofisisis,
well logging digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh melalui
seismik. Seorang reservoir enginer menggunakan well log sebagai data
pelengkap untuk membuat simulator. Kegunaan utama dari well
logging adalah untuk mengkorelasikan pola – pola electrical
conductivity yang sama dari satu sumur ke sumur lain kadang – kadang
untuk area yang sangat luas bor (Ellis & Singer, 2008). Saat ini
teknologi well logging terus berkembang sehingga dapat digunakan untuk

18
menghitung potensi hidrokarbon yang terdapat di dalam suatu formasi
batuan.

3.2 Macam – macam metode yang digunakan untuk memperoleh data log

Ellis & Singer (2008) membagi metode yang digunakan untuk memperoleh
data log menjadi dua macam, yaitu :

3.2.1 Wireline Logging

Pada wireline logging, hasil pengukuran akan dikirim ke


permukaan melalui kabel (wire). Instrumen – instrumen yang terdapat
pada alat ini (lihat gambar 3.1) adalah :

1. Mobile laboratory
2. Borehole
3. Wireline
4. Sonde

Gambar 2.3 Wireline logging

Untuk menjalankan wireline logging, lubang bor harus dibersihkan


dan distabilkan terlebih dahulu sebelum peralatan logging dipasang
(Bateman, 1985). Hal yang pertama kali dilakukan adalah mengulurkan
kabel ke dalam lubang bor hingga kedalaman maksimum lubang bor
tersebut (Bateman, 1985). Sebagian besar log bekerja ketika kabel

19
tersebut ditarik dari bawah ke atas lubang bor. Kabel tersebut berfungsi
sebagai transmiter data sekaligus sebagai penjaga agar alat logging berada
pada posisi yang diinginkan (Bateman, 1985). Bagian luar kabel tersusun
atas galvanized steel sedangkan bagian dalamnya diisi oleh konduktor
listrik (Ellis & Singer, 2008). Kabel tersebut digulung dengan
menggunakan motorized drum yang digerakkan secara manual
selama logging berlangsung (Ellis & Singer, 2008). Drum tersebut
menggulung kabel dengan kecepatan antara 300 m/jam (1000 ft/jam)
hingga 1800 m/jam (6000 ft/jam) tergantung pada jenis alat yang
digunakan (Ellis & Singer, 2008). Kabel logging mempunyai penanda
kedalaman (misalnya tiap 25 m) yang di cek secara mekanik namun
koreksi kedalaman harus dilakukan akibat tegangan kabel dan pengaruh
listrik (Bateman, 1985).

Biaya sewa rig yang mahal dan logging pada sumur bor yang
harus dilakukan dengan seketika membuat alat logging modern saat ini
dirancang agar bisa menjalankan beberapa fungsi sekaligus.
Rangkaian triple-combo yang dimiliki oleh Schlumberger misalnya dapat
mengukur resistivitas, densitas, mikroresistivitas, neutron, dan gamma ray
sekaligus (Harsono, 1997).

Apabila rangkaian tersebut ditambahi dengan alat sonik maka


rangkaian yang dihasilkan disebut rangkaian super combo (Harsono,
1997). Kedua rangkaian tersebut mampu bekerja dengan kecepatan 1800
ft/jam (Harsono, 1997).

Data yang didapat melalui berbagai alat logging yang berbeda


tersebut kemudian diolah oleh CSU (Cyber Service Unit). CSU
merupakan sistem logging komputer terpadu di lapangan yang dibuat
untuk kepentingan logging dengan menggunakan program komputer yang
dinamakan cyberpack (Harsono, 1997). Sistem komputer CSU merekam,
memproses dan menyimpan data logging dalam bentuk digital dengan

20
format LIS (Log Information Standard), DLIS (Digital Log-Interchange
Standard) atau ACSII (Harsono, 1997). CSU juga berfungsi menampilkan
data log dalam bentuk grafik (Harsono, 1997).

Sistem komputer terbaru yang digunakan oleh Schlumberger


adalah MAXIS (Multiasking Acquisition and Imaging System). Sistem ini
mampu mentransmisikan data lebih cepat dari sistem CSU. Tidak seperti
sistem logging lainnya, sistem MAXIS mempunyai kemampuan
menampilkan gambar atau citra berwarna dari data-data yang diukur
dengan alat-alat logging generasi baru (Harsono, 1997). Gambar atau citra
data ini mempermudah karakterisasi reservoir dan interpretasi data di
lapangan.

Gambar 2.4 Berbagai jenis alat logging

Dari kiri ke kanan, dip-meter, alat sonik, alat densitas, dan dip-meter
dengan banyak elektroda (Ellis & Singer, 2008).

21
Darling (2005) menyebutkan sejumlah kelebihan wireline logging sebagai

berikut :

1. Mampu melakukan pengukuran terhadap


kedalaman logging secara otomatis
2. Kecepatan transmisi datanya lebih cepat daripada LWD, mampu
mencapai 3 mb/detik

Wireline logging juga mempunyai sejumlah kekurangan (Darling, 2005)


yaitu :

1. Sulit digunakan pada horizontal & high deviated well karena


menggunakan kabel
2. Informasi yang di dapat bukan merupakan real-time data

3.2.2 Logging While Drilling

Logging while drilling (LWD) merupakan suatu metode


pengambilan data log dimana logging dilakukan bersamaan dengan
pemboran (Harsono, 1997). Hal ini dikarenakan alat logging tersebut
ditempatkan di dalam drill collar. Pada LWD, pengukuran dilakukan
secara real time oleh measurement while drilling (Harsono, 1997).

Alat LWD terdiri dari tiga bagian yaitu : sensor logging bawah
lubang bor, sebuah sistem transmisi data, dan sebuah penghubung
permukaan. Sensor logging ditempatkan dibelakang drill bit, tepatnya
pada drill collars (lengan yang berfungsi memperkuat drill string) dan
aktif selama pemboran dilakukan (Bateman, 1985). Sinyal kemudian
dikirim ke permukaan dalam format digital melalui pulse
telemetry melewati lumpur pemboran dan kemudian ditangkap
oleh receiver yang ada di permukaan (Harsono, 1997). Sinyal tersebut lalu
dikonversi dan log tetap bergerak dengan pelan selama proses
pemboran. Logging berlangsung sangat lama sesudah pemboran dari

22
beberapa menit hingga beberapa jam tergantung pada kecepatan
pemboran dan jarak antara bit dengan sensor di bawah lubang bor
(Harsono, 1997).

Layanan yang saat ini disediakan oleh perusahaan penyedia jasa


LWD meliputi gamma ray, resistivity, densitas, neutron, survei lanjutan
(misalnya sonik). Tipe log tersebut sama (tapi tidak identik) dengan log
sejenis yang digunakan pada wireline logging. Secara umum, log LWD
dapat digunakan sama baiknya dengan log wireline logging dan dapat
diinterpretasikan dengan cara yang sama pula (Darling, 2005). Meskipun
demikian, karakteristik pembacaan dan kualitas data kedua log tersebut
sedikit berbeda.

Menurut Darling (2005), alat LWD mempunyai sejumlah


keunggulan dibandingkan dengan wireline logging yaitu :
1. Data yang didapat berupa real-time information dan informasi
tersebut dibutuhkan untuk membuat keputusan penting selama
pemboran dilakukan seperti menentukan arah dari mata bor atau
mengatur casing
2. Informasi yang didapat tersimpan lebih aman, hal ini karena
informasi tersebut disimpan di dalam sebuah memori khusus yang
tetap dapat tetap diakses walaupun terjadi gangguan pada sumur
3. Dapat digunakan untuk melintas lintasan yang sulit karena LWD
tidak menggunakan kabel sehingga dapat digunakan untuk
menempuh lintasan yang sulit dijangkau oleh wireline
logging seperti pada sumur horizontal atau sumur bercabang banyak
(high deviated well)
4. Menyediakan data awal apabila terjadi hole washing-out atau invasi

Data LWD dapat disimpan dengan menggunakan memori yang


ada pada alat dan baru dilepas ketika telah sampai ke permukaan atau
ditransmisikan sebagai pulsa pada mud column secara real-time pada saat

23
pemboran berlangsung (Harsono, 1997). Berkaitan dengan hal tersebut
terdapat Darling (2005) menyebutkan sejumlah kelemahan dari LWD
yang membuat penggunaannya menjadi terbatas yaitu :

1. Mode pemboran : Data hanya bisa ditransmisikan apabila ada


lumpur yang dipompa melewati drill string
2. Daya tahan baterai : tergantung pada alat yang digunakan pada
string, biasanya hanya dapat bekerja antara 40-90 jam
3. Ukuran memori : Sebagian besar LWD mempunyai ukuran memori
yang terbatas hingga beberapa mega bit. Apabila memorinya penuh
maka data akan mulai direkam diatas data yang sudah ada
sebelumnya. Berdasarkan sejumlah parameter yang direkam,
memori tersebut penuh antara 20-120 jam
4. Kesalahan alat : Hal ini bisa menyebabkan data tidak dapat direkam
atau data tidak dapat ditransmisikan
5. Kecepatan data : Data ditransmisikan tanpa kabel, hal ini membuat
kecepatannya menjadi sangat lambat yaitu berkisar antara 0,5-12
bit/s jauh dibawah wireline logging yang bisa mencapai 3 mb/s

Gambar 2.5 Alat LWD

24
4.1 Macam-macam log

4.1.1 Log Gamma Ray

Sesuai dengan namanya, Log Gamma Ray merespon radiasi gamma alami
pada suatu formasi batuan (Ellis & Singer, 2008). Pada formasi batuan sedimen,
log ini biasanya mencerminkan kandungan unsur radioaktif di dalam formasi. Hal
ini dikarenakan elemen radioaktif cenderung untuk terkonsentrasi di dalam
lempung dan serpih. Formasi bersih biasanya mempunyai tingkat radioaktif yang
sangat rendah, kecuali apabila formasi tersebut terkena kontaminasi radioaktif
misalnya dari debu volkanik atau granit (Schlumberger, 1989).

Log GR dapat digunakan pada sumur yang telah dicasing (Schlumberger,


1989). Log GR juga sering digunakan bersama-sama dengan log SP atau dapat
juga digunakan sebagai pengganti log SP pada sumur yang dibor dengan
menggunakan salt mud, udara, atau oil-base mud (Schlumberger, 1989). Log ini
dapat digunakan untuk korelasi sumur secara umum.

Gambar 2.6 Perbandingan antara kurva Gamma Ray dengan kurva SP dan
Caliper (Ellis & Singer, 2008)

25
a. Karakteristik Gamma Ray

Gamma ray dihasilkan oleh gelombang elektromagnetik berenergi


tinggi yang dikeluarkan secara spontan oleh elemen radioaktif
(Schlumberger, 1989). Hampir semua radiasi gamma yang ditemukan di
bumi berasal dari isotop potassium yang mempunyai berat atom 40 (K40)
serta unsur radioaktif uranium dan thorium (Schlumberger, 1989).

Setiap unsur tersebut menghasilkan gamma ray dengan jumlah dan


energi yang berbeda untuk masing – masing unsur. Potassium (K40)
mengeluarkan gamma ray sebagai energi tunggal pada 1,46 MeV,
sedangkan uranium dan thorium mengeluarkan berbagai variasi gamma
ray (Ellis & Singer, 2008).

Gambar 2.7 Distribusi sinar gamma dari tiga unsur radioaktif yang
berbeda (Ellis & Singer, 2008)

Untuk melewati suatu materi, gamma ray bertumbukan dengan


atom dari zat penyusun formasi (Ellis & Singer, 2008). Gamma ray akan
kehilangan energinya setiap kali mengalami tumbukan. Setelah energinya
hilang, gamma ray di absorbsi oleh atom formasi melalui suatu proses
yang disebut efek fotoelektrik (Ellis & Singer, 2008). Jadi gamma ray di
absorbsi secara gradual dan energinya mengalami reduksi setiap kali
melewati formasi. Laju absorbsi berbeda sesuai dengan densitas formasi

26
(Schlumberger, 1989). Formasi dengan jumlah unsur radioktif yang sama
per unit volum tapi mempunyai densitas yang berbeda akan menunjukkan
perbedaan tingkat radioaktivitas. Formasi yang densitasnya lebih rendah
akan terlihat sedikit lebih radioaktif. Respon GR log setelah dilakukan
koreksi terhadap lubang bor dan sebagainya sebanding dengan berat
konsentrasi unsur radioaktif yang ada di dalam formasi (Schlumberger,
1989).

b. Peralatan

GR sonde memiliki detektor untuk mengukur radiasi gamma yang


terjadi pada formasi di dekat sonde. Detektor scintillation umumnya
digunakan untuk pengukuran ini (Schlumberger, 1989). Detektor ini
lebih efisien dibandingkan dengan detektor Geiger-Mueller yang
digunakan di masa lalu (Schlumberger, 1989). Panjang detektor ini
hanya beberapa inchi sehingga detil formasi bisa diperoleh dengan
baik.

4.1.2 Spectral Gamma Ray Log

Sama seperti GR log, spectral gamma ray log mengukur


radioaktivitas alami dari formasi. Namun berbeda dengan GR log yang
hanya mengukur radioakivitas total, log ini dapat membedakan
konsentrasi unsur potassium, uranium, dan thorium di dalam formasi
batuan (Schlumberger, 1989).

1. Prinsip Pengukuran

Log spektral menggunakan detektor sodium iodide


scintillation (Schlumberger, 1989). Sinar gamma yang dikeluarkan oleh
formasi jarang yang langsung ditangkap oleh detektor. Hal ini disebabkan
karena sinar tersebut menyebar dan kehilangan energinya melalui tiga

27
jenis interaksi dengan formasi ; efek fotoelektrik, hamburan compton, dan
produksi berpasangan (Ellis & Singer, 2008). Karena tiga jenis interaksi
tersebut dan respon dari detektor sodium iodide scintillation, kurva yang
dihasilkan mengalami degradasi sehingga menjadi lebih lentur.

Gelombang energi yang di deteksi dibagi menjadi tiga jendela


energi yaitu W1, W2, dan W3 ; dimana tiap – tiap jendela merefleksikan
karakter dari tiga jenis radioaktivitas yang berbeda. Dengan mengetahui
respon alat dan jumlah yang dihitung pada tiap jendela kita dapat
mendeterminasi banyaknya thorium 232, uranium 238, dan potassium 40
yang ada di dalam formasi (Schlumberger, 1989).

a. Tampilan Log

Log spektral merekam jumlah potassium, thorium, dan


uranium yang ada di dalam formasi (Schlumberger, 1989). Unsur
– unsur tersebut biasanya ditampilkan di dalam Track 2 dan 3 dari
log . Konsentrasi thorium dan uranium ditampilkan dalam bentuk
berat per juta (bpj) sedangkan konsentrasi potassium ditampilkan
dalam bentuk persentase (Schlumberger, 1989).

Jumlah total ketiga unsur radioaktif tersebut direkam di


dalam kurva GR yang ditampilkan di Track 1 (Schlumberger,
1989). Respon total tersebut dideterminasi berdasarkan kombinasi
linear dari konsentrasi potassium, uranium, dan
thorium (Schlumberger, 1989). Kurva GR standar ditampilkan
dalam bentuk API units. Jika diperlukan, nilai CGR juga bisa
ditampilkan. Nilai tersebut merupakan jumlah sinar gamma yang
berasal dari potassium dan thorium saja, tanpa
uranium (Schlumberger, 1989).

28
Gambar 2.8 Tampilan log Spektral Gamma Ray

(Ellis & Singer,2008)

4.1.3 Log SP

Log SP adalah rekaman perbedaan potensial listrik antara


elektroda di permukaan yang tetap dengan elektroda yang terdapat di
dalam lubang bor yang bergerak turun naik (Harsono, 1997). Potensial
listrik tersebut disebut ‘potentiels spontanes’, atau ‘spontaneous
potentials’ oleh Conrad Schlumberger dan H.G. Doll yang
menemukannya (Rider, 1996). Supaya SP dapat berfungsi, lubang harus
diisi oleh lumpur konduktif.

Secara alamiah, karena perbedaan kandungan garam air, arus


listrik hanya mengalir di sekeliling perbatasan formasi di dalam lubang
bor (Harsono, 1997). Pada lapisan serpih, tidak ada aliran listrik sehingga
potensialnya konstan. Hal ini menyebabkan kurva SP-nya menjadi rata
dan menghasilkan garis yang disebut sebagai garis dasar serpih (shale

29
base line). Kurva SP akan menunjukkan karakteristik yang berbeda untuk
tiap jenis litologi.

Gambar 2.9 Pergerakan kurva SP di dalam lubang bor

(Dewan dalam Ellis & Singer, 2008 dengan modifikasi)

Saat mendekati lapisan permeabel, kurva SP akan mengalami


defleksi ke kiri (negatif) atau ke kanan (positif). Defleksi ini dipengaruhi
oleh salinitas relatif dari air formasi dan lumpur penyaring (Harsono,
1997). Jika salinitas air formasi lebih besar daripada salinitas lumpur
penyaring maka defleksi akan mengarah ke kiri sebaliknya apabila
salinitas lumpur penyaring yang lebih besar daripada salinitas air formasi
maka defleksi akan mengarah ke kanan (Harsono, 1997).

Penurunan kurva SP tidak pernah tajam saat melewati dua lapisan


yang berbeda melainkan selalu mempunyai sudut kemiringan (Harsono,
1997). Jika lapisan permeabel itu cukup tebal maka kurva SP menjadi
konstan bergerak mendekati nilai maksimumnya sebaliknya bila
memasuki lapisan serpih lain maka kurva akan bergerak kembali ke nilai
serpih secara teratur (Harsono, 1997).

30
Kurva SP tidak dapat direkam di dalam lubang bor yang diisi
dengan lumpur non-konduktif, hal ini karena lumpur tersebut tidak dapat
menghantarkan arus listrik antara elektroda dan formasi (Harsono, 1997).
Selanjutnya apabila resistivitas antara lumpur penyaring dan air formasi
hampir sama, defleksi akan sangat kecil dan kurva SP menjadi tidak
begitu berguna (Harsono, 1997).

Gambar 2.10 Kenampakan kurva SP terhadap berbagai variasi


litologi (Asquith dalam Ellis & Singer, 2008)

4.1.4 Log Densitas

Log densitas merekam bulk density formasi batuan


(Schlumberger, 1989). Bulk density merupakan densitas total dari batuan
meliputi matriks padat dan fluida yang mengisi pori. Secara geologi, bulk
density merupakan fungsi dari densitas mineral yang membentuk batuan
tersebut dan volume fluida bebas yang menyertainya (Rider, 1996).
Sebagai contoh, batupasir tanpa porositas mempunyai bulk
density 2,65g/cm3, densitasnya murni berasal dari kuarsa. Apabila
porositasnya 10%, bulk density batupasir tersebut tinggal 2,49g/cm3, hasil

31
rata – rata dari 90% butir kuarsa (densitasnya 2,65g/cm3) dan 10% air
(densitasnya 1,0g/cm3) (Rider, 1996).

1. Prinsip Kerja

Sebuah sumber radioaktif yang diarahkan ke dinding bor


mengeluarkan sinar gamma berenergi sedang ke dalam formasi
(Schlumberger, 1989). Sinar gamma tersebut bertumbukan dengan
elektron yang ada di dalam formasi. Pada tiap kali tumbukan, sinar
gamma kehilangan sebagian energinya yang diserap oleh elektron
(Schlumberger, 1989). Sinar gamma tersebut terus bergerak dengan
energinya yang tersisa. Jenis interaksi ini dikenal sebagai hamburan
Compton (Schlumberger, 1989). Hamburan sinar gamma tersebut
kemudian ditangkap oleh detektor yang ditempatkan di dekat sumber
sinar gamma. Jumlah sinar gamma yang kembali tersebut kemudian
digunakan sebagai indikator dari densitas formasi (Schlumberger, 1989).

Nilai hamburan Compton dipengaruhi oleh jumlah elektron yang


di dalam formasi (Schlumberger, 1989). Sebagai akibatnya,
respon density tool dibedakan berdasarkan densitas elektronnya (jumlah
elektron tiap centimeter kubik). Densitas elektron berhubungan
dengan true bulk density yang bergantung pada densitas matriks batuan,
porositas formasi, dan densitas fluida yang mengisi pori (Schlumberger,
1989).

Perlengkapan

Untuk mengurangi pengaruh dari mud column, maka detektor


dan skidmounted source harus dipasangi perisai (Schlumberger, 1989).
Sebuah koreksi diperlukan ketika kontak antara skid dan formasi tidak
sempurna. Jika hanya ada satu detektor yang digunakan, koreksi tidak
mudah untuk dilakukan karena pengoreksian bergantung pada ketebalan,

32
berat, dan komposisi mudcake atau mud interposed di antara skid dan
formasi (Schlumberger, 1989).

Pada formation density logging (FDC), digunakan dua buah


detektor dengan ruang dan kedalaman yang berbeda (Schlumberger,
1989). Dengan demikian maka koreksi dapat lebih mudah dilakukan.

4.1.5 Log Neutron

Log Neutron digunakan untuk mendeliniasi formasi yang porous


dan mendeterminasi porositasnya (Schlumberger, 1989). Log ini
mendeteksi keberadaan hidrogen di dalam formasi. Jadi pada formasi
bersih dimana pori – pori telah terisi oleh air atau minyak, log neutron
merefleksikan porositas yang terisi oleh fluida (Schlumberger, 1989).

Zona gas juga dapat diidentifikasi dengan membandingkan hasil


pengukuran log neutron dengan log porositas lainnya atau
analisis core (Schlumberger, 1989). Kombinasi log neutron dengan satu
atau lebih log porositas lainnya dapat menghasilkan nilai porositas dan
identifikasi litologi yang lebih akurat dibandingkan dengan evaluasi
kandungan serpih (Schlumberger, 1989).

1. Prinsip Kerja

Neutron merupakan bagian dari atom yang tidak memiliki muatan


namun massanya ekuivalen dengan inti hidrogen (Schlumberger, 1989).
Neutron berinteraksi dengan material lain melalui dua cara, yaitu melalui
kolisi dan absorbsi: kolisi umumnya terjadi pada tingkat energi tinggi
sedangkan absorbsi terjadi pada tingkat energi yang lebih rendah
(Schlumberger, 1989).

Jumlah energi yang hilang setiap kali terjadi kolisi tergantung


pada massa relatif inti yang betumbukan dengan neutron tersebut

33
(Schlumberger, 1989). Kehilangan energi terbesar terjadi apabila neutron
bertumbukan dengan material lain yang memiliki massa sama dengannya,
misalnya inti hidrogen (Schlumberger, 1989). Tumbukan dengan inti yang
berat tidak akan terlalu memperlambat laju dari neutron. Jadi, penurunan
terbesar jumlah neutron yang kembali ditentukan oleh seberapa besar
kandungan air di dalam formasi batuan tersebut (Schlumberger, 1989).

Dalam waktu beberapa mikrodetik, neutron yang telah diperlambat


melalui kolisi akan bergerak menyebar secara acak tanpa kehilangan
banyak energi (Schlumberger, 1989). Neutron tersebut baru akan berhenti
apabila ditangkap oleh inti dari atom seperti klorin, hidrogen, atau silikon
(Schlumberger, 1989).

Saat konsentrasi hidrogen di dalam material yang mengelilingi


sumber neutron besar, sebagian besar neutron akan bergerak semakin
lambat dan dapat ditangkap pada jarak yang dekat dengan sumber
(Schlumberger, 1989). Sebaliknya, apabila konsentrasi hidrogennya
sedikit, neutron akan bergerak jauh dari sumbernya baru kemudian
ditangkap oleh inti atom lain. Berdasarkan hal tersebut maka kandungan
hidrogen di dalam suatu formasi batuan dapat ditentukan (Schlumberger,
1989).

34
Gambar 2.11 Skema cara kerja log neutron

2. Peralatan

Peralatan logging neutron meliputi GNT (gamma neutron


tool) tool series, dan SNP (sidewall neutron porosity) tool (Harsono,
1997). GNT merupakan detektor yang sensitif terhadap energi tinggi sinar
gamma dan panas dari neutron. GNT dapat digunakan pada lubang bor
dengan atau tanpa casing (Harsono, 1997). Meskipun perlengkapan ini
respon utamanya adalah terhadap porositas, GNT juga bisa mendeteksi
pengaruh akibat salinitas fluida, suhu, tekanan, ukuran lubang
bor, mudcake, standoff, dan berat lumpur (Harsono, 1997).

Pada peralatan SNP, detektornya hanya mampu mendeteksi


neutron yang memiliki energi sekitar 0,4 eV (epitermal). Harsono (2007)
menyebutkan sejumlah keunggulan SNP dibandingkan dengan NGT yaitu
:

35
a. Efek lubang bor lebih sedikit

Neutron yang diukur adalah neutron epithermal, hal ini


mengurangi efek negatif dari penyerap neutron thermal kuat (seperti
boron dan klorin) pada air formasi dan matriks.

Koreksi yang diperlukan dilakukan secara otomatis oleh instrumen


yang ada di permukaan.

b. SNP menghasilkan pengukuran yang baik pada lubang kosong

Perlengkapan SNP dirancang hanya bisa dioperasikan pada open


holes, baik yang terisi oleh cairan maupun yang kosong. Diameter
minimal lubang bor yang diperlukan adalah 5 inchi (Harsono, 1997).

c. Tampilan Log

Gambar 2.12 Tampilan log densitas dan log neutron (Ellis &
Singer, 2008)

36
4.1.6 Log Resistivitas

Log resistivitas adalah rekaman tahanan jenis formasi ketika


dilewati oleh kuat arus listrik, dinyatakan dalam ohmmeter
(Schlumberger, 1989). Resistivitas ini mencerminkan batuan dan fluida
yang terkandung di dalam pori-porinya. Reservoir yang berisi
hidrokarbon akan mempunyai tahanan jenis lebih tinggi (lebih dari 10
ohm meter), sedangkan apabila terisi oleh air formasi yang mempunyai
salinitas ringgi maka harga tahanan jenisnya hanya beberapa ohmmeter
(Schlumberger, 1989). Suatu formasi yang porositasnya sangat
kecil (tight) juga akan menghasilkan tahanan jenis yang sangat tinggi
karena tidak mengandung fluida konduktif yang dapat menjadi konduktor
alat listrik (Schlumberger, 1989). Menurut jenis alatnya, log ini dibagi
menjadi dua yaitu laterolog, dipakai untuk pemboran yang menggunakan
lumpur pemboran yang konduktif dan induksi yang digunakan untuk
pemboran yang menggunakan lumpur pemboran yang fresh
mud (Harsono, 1997). Berdasarkan jangkauan pengukuran alatnya, log ini
dibagi menjadi tiga yaitu dangkal (1-6 inci), medium (1,5-3 feet) dan
dalam (>3 feet).

1. Alat Laterolog

Alat DLT memfokuskan arus listrik secara lateral ke dalam


formasi dalam bentuk lembaran tipis (Harsono, 1997). Ini dicapai dengan
menggunakan arus pengawal (bucking current) yang berfungsi untuk
mengawal arus utama (measured current) masuk ke dalam formasi
sedalam-dalamnya. Dengan mengukur tegangan listrik yang diperlukan
untuk menghasilkan arus listrik utama yang besarnya tetap, resistivitasnya
dapat dihitung dengan hukum Ohm (Schlumberger, 1989).

Sebenarnya alat DLT terdiri dari dua bagian, bagian pertama


mempunyai elektroda yang berjarak sedemikian rupa untuk memaksa arus
utama masuk sejauh mungkin ke dalam formasi dan mengukur LLd,

37
resistivitas laterolog dalam (Harsono, 1997). Bagian lain mempunyai
elektroda yang berjarak sedemikian rupa membiarkan arus utama terbuka
sedikit, dan mengukur LLs, resistivitas laterolog dangkal (Harsono, 1997).
Hal ini tercapai karena arus yang dipancarkan adalah arus bolak-balik
dengan frekuensi yang berbeda. Arus LLd menggunakan frekuensi 28kHz
sedangkan frekuensi arus LLs adalah 35 kHz (Harsono, 1997).

Bila alat DLT mendekati formasi dengan resistivitas sangat tinggi


atau selubung baja, bentuk arus DLT akan terpengaruh (Harsono, 1997).
Hal ini akan mengakibatkan pembacaan yang terlalu tinggi pada LLd.
Pengaruh ini dikenal dengan sebutan efek Groningen (Harsono, 1997).

DLT generasi baru telah dilengkapi dengan suatu rangkaian


elektronik yang mampu mendeteksi dampak Groningen ini dengan
menampilkan kurva LLg (Harsono, 1997). Bila terdapat efek Groningan
biasanya pembacaan LLg tidak sama dengan LLd pada jarak antara titik
sensor dan torpedo kabel logging (Harsono, 1997).

a. Alat Induksi

Terdapat beberapa jenis alat induksi yaitu : IRT (Induction


Resistivity Tool), DIT-D (Dual Induction Type-D), dan DIT-
E (Dual Induction Type-E) (Harsono, 1997). Alat-alat tersebut
menghasilkan jenis log yang berbeda pula. IRT menghasilkan
ISF (Induction Spherically Focussed), DIT-D menghasilkan
DIL (Dual Induction Log) sedangkan DIT-E menghasilkan
PI (Pahsor Induction) (Harsono, 1997).

38
Prinsip ISF Log

Sonde terdiri dari dua set kumparan yang disusun dalam


batangan fiberglass non-konduktif (Harsono, 1997). Suatu
rangkaian osilator menghasilkan arus konstan pada kumparan
pemancar.

Berdasarkan hukum fisika kita tahu bahwa bila suatu


kumparan dialiri arus listrik bolak-balik akan menghasilkan
medan magnet, sebaliknya medan magnet akan menimbulkan
arus listrik pada kumparan (Harsono, 1997). Hal ini
menyebabkan arus listrik yang mengalir dalam kumparan alat
induksi ini menghasilkan medan magnet di sekeliling sonde
(Harsono, 1997). Medan magnet ini akan menhasilkan arus
eddy di dalam formasi di sekitar alat sesuai dengan hukum
Faraday.

Formasi konduktif di sekitar alat bereaksi seperti


kumparan kumparan kecil (Harsono, 1997). Bisa dibayangkan
terdapat berjuta-juta kumparan kecil di dalam kumparan yang
menghasilkan arus eddy terinduksi (Harsono, 1997). Arus eddy
selanjutnya menghasilkan medan magnet sendiri yang dideteksi
oleh kumparan penerima. Kekuatan dari arus pada penerima
sebanding dengan kekuatan dari medan magnet yang dihasilkan
dan sebanding dengan arus eddy dan juga konduktivitas dari
formasi (Harsono, 1997).

Perbandingan antara pengukuran Laterolog dan Induksi

Hampir setiap alat pengukur resistivitas saat ini


dilengkapi dengan alat pemfokus. Alat tersebut berfungsi untuk
mengurangi pengaruh akibat fluida lubang bor dan lapisan di
sekitarnya (Harsono, 1997). Dua jenis alat pungukur resistivitas

39
yang ada saat ini : induksi dan laterolog memiliki karakteristik
masing-masing yang membuatnya digunakan untuk situasi yang
berbeda (Harsono, 1997).

Log induksi biasanya direkomendasikan untuk lubang


bor yang yang menggunakan lumpur bor konduktif sedang,
non-konduktif (misalnya oil-base muds) dan pada lubang bor
yang hanya berisi udara (Harsono, 1997). Sementara itu
laterolog direkomendasikan pada lubang bor yang
menggunakan lumpur bor sangat konduktif (misalnya salt
muds) (Harsono, 1997).

Alat induksi, karena sangat sensitif terhadap


konduktivitas baik digunakan pada formasi batuan dengan
resistivitas rendah sampai sedang (Harsono, 1997). Sedangkan
laterolog karena menggunakan peralatan yang sensitif terhadap
resistivitas sangat akurat digunakan pada formasi dengan
resistivitas sedang sampai tinggi (Harsono, 1997).

5.1 Mengidentifikasi Reservoir

Indikator yang paling dapat dipercaya terhadap keberadaan


reservoar adalah dengan melihat pergerakan dari log densitas dan log
neutron, yaitu ketika log densitas bergerak ke kiri (densitas rendah) dan
bersinggungan atau bersilangan dengan kurva neutron (Darling, 2005).
Pada reservoar klastik, hampir tiap keberadaan reservoar dihubungkan
dengan log gamma ray. Pada sejumlah kecil reservoar, log GR tidak dapat
digunakan sebagai indikator pasir karena kehadiran mineral radioaktif di
dalam pasir. Serpih dapat dengan jelas dikenali sebagai suatu zona ketika
log densitas berada di sebelah kanan dari log neutron, dicirikan dengan
nilai unit porositas sebesar 6 atau lebih (Darling, 2005).

40
Jadi crossover antara log densitas dan log neutron lebih baik
digunakan untuk mengidentifikasi reservoar. Zona gas akan menunjukkan
nilai crossover yang lebih besar daripada zona air dan minyak (Darling,
2005). Log densitas dan log neutron merupakan hasil pengukuran statistik
(diukur berdasarkan waktu kedatangan sinar gamma pada detektor yang
bersifat acak) sehingga tampilannya dapat tetap meliuk-liuk walaupun
berada pada litologi yang homogen (Darling, 2005). Oleh karena itu
sangat berbahaya apabila kita membuat aturan ketat bahwa kurva densitas
harus berpotongan dengan kurva neutron untuk menyatakan bahwa
lapisan tersebut adalah net sand. Untuk sebagian besar reservoar, Darling
(2005) menyarankan aturan – aturan berikut ini :

Menentukan pembacaan rata-rata GR pada clean sand (GRsa) dan


nilai serpih (GRsh). Jangan gunakan nilai pembacaan terbesar yang
teramati tapi gunakan kenampakan secara umum yang teramati.

Menentukan volume serpih, Vsh sebagai (GR-GRsa)/(GRsh-


GRsa). Dengan membandingkan Vsh terhadap respon densitas dan
neutron, tentukan nilai Vsh yang akan digunakan sebagai cutoff.
Umumnya nilai cutoff adalah 50%.

Jika GR tidak dapat digunakan sebagai indikator pasir, lakukan


langkah yang sama seperti pada pengukuran net sand lalu gunakan
nilai porosity cutoff.

5.2 Mengidentifikasi jenis fluida dan kontak antar fluida

Perhitungan porositas tergantung pada jenis fluida yang ada di


dalam formasi sehingga penting bagi kita untuk tahu mengenai prinsip
keberadaan dan kontak fluida tersebut di dalam formasi (Darling, 2005).
Jika tersedia informasi regional mengenai posisi gas/oil contact (GOC)
atau oil/water contact (OWC), hubungkan kedalaman OWC atau GWC

41
tersebut terhadap kedalaman sumur yang kita amati lalu tandai posisinya
pada log (Darling, 2005).

Hal pertama yang dilakukan adalah membandingkan densitas dan


pembacaan paling besar dari log resistivitas untuk mengetahui kehadiran
hirokarbon. Pada classic response, resistivitas dan densitas akan terlihat
seperti tremline (bergerak searah ke kiri atau ke kanan) untuk pasir yang
mengandung air dan membentuk kenampakan seperti cermin (bergerak
berlawanan arah, yang satu ke kiri dan yang satu kanan) pada pasir yang
mengandung hidrokarbon (Darling, 2005). Meskipun demikian Menurut
Darling (2005) tidak semua zona air dan hidrokarbon tidak menunjukkan
kenampakan seperti itu karena :

Ketika salinitas air formasi sangat tinggi, resistivitas clean


sand juga akan turun.

Pada shally sand zones yang mempunyai proporsi zat konduktif


tinggi, resestivitasnya akan tetap kecil walaupun berfungsi sebagai
reservoir.

Jika pasir tersebut merupakan laminasi tipis yang terletak diantara


serpih, maka resistivitasnya akan tertutupi oleh resistivitas serpih
sehingga nilainya akan tetap kecil.

Jika sumur telah dibor dengan jauh melebihi kesetimbangan


normal (very high overbalance) maka invasi dapat menutupi respon
hidrokarbon.

Bila air formasi sangat murni (Rw tinggi) resistivitasnya dapat


terlihat seperti hidrokarbon padahal merupakan water-bearing zones.

Sangat penting untuk melihat nilai absolut dari resistivitas


dibandingkan sekedar melihat kenampakan kurva densitas. Bila
resistiviasnya lebih besar daripada resistivitas air maka apapun bentuk

42
kurvanya kita patut menduga bahwa di daerah itu berpotensi mengandung
hidrokarbon (Darling, 2005).

Apabila kita masih ragu di daerah tersebut ada hidrokarbon atau


tidak maka kita bisa mengujinya dengan data mud log. Meskipun
demikian data mud log tidak selalu bisa digunakan untuk mengetahui
keberadaan hidrokarbon, khususnya bila pasirnya tipis
dan overbalance tinggi (Darling, 2005). Selain itu beberapa gas minor
akan terlihat hanya sebagai water bearing (Darling, 2005).

Seperti yang telah dinyatakan di awal, zona gas akan


mempunyai crossover kurva neutron dan densitas yang lebih besar
daripada zona minyak (Darling, 2005). Pada very clean porous sand, GOC
akan relatif lebih mudah untuk diidentifikasi. Meskipun demikian, GOC
hanya teridentifikasi dengan benar pada sekitar 50% kasus (Darling,
2005). Secondary gas caps yang muncul pada depleted reservoir biasanya
tidak bisa diidentifikasi dengan menggunakan cara ini (Darling, 2005).
Formation pressure plots lebih bisa diandalkan untuk mengidentifikasi
GOC namun biasanya hanya berguna pada virgin reservoirs (Darling,
2005). Berbagai variasi crossplot diusulkan di masa lalu untuk
mengidentifikasi zona gas meliputi log GR, densitas, neutron, dan sonik
namun semuanya tidak bisa dijadikan sebagai acuan (Darling, 2005).
Pada depleted reservoir gas telah keluar melalui solution dari zona minyak
dan tidak bisa lagi mencapai kesetimbangan (Darling, 2005). Gas akan
tetap dalam bentuk football-sized pockets yang dikelilingi oleh minyak.
Pada situasi seperti ini log dasar tidak akan bisa memberikan jawaban
yang tepat (Darling, 2005).

Cara yang paling tepat untuk mengidentifikasi zona gas adalah


dengan menggunakan shear sonic log yang dikombinasikan
dengan compressional sonic (Darling, 2005). Jika compressional
velocity (Vp)/shear velocity (Vs) diplotkan terhadap Vp, deviasi akan

43
terlihat pada zona gas karena Vp lebih dipengaruhi oleh gas dibandingkan
Vs (Darling, 2005).

5.3 Menghitung Porositas

Menurut Schlumberger (1989), porositas dapat dihitung dari log


densitas dengan menggunakan persamaan :

ɸ =dengan

rhom = densitas matriks (g/cc)

rhof = densitas fluida (g/cc)

Alat densitas bekerja dengan menginjeksikan sinar gamma ke


dalam formasi batuan yang kemudian menghasilkan efek Compton
scattering (Schlumberger, 1989). Sinar gamma tersebut kemudian
dideteksi oleh dua buah detektor. Terdapat perbedaan densitas elektron
yang disebabkan oleh perbedaan mineral sehingga sebaiknya dilakukan
kalibrasi terhadap hasil pengukuran densitas. Koreksi tersebut sebenarnya
sangat kecil (kurang dari 1%) sehingga tidak terlalu menjadi masalah
(Schlumberger, 1989).

Pada batupasir, rhom memiliki kisaran nilai antara 2,65 sampai


2,67 g/cc. Bila data core regional tersedia, nilai tersebut dapat diambil dari
nilai rata-rata pengukuran pada conventional core plugs (Schlumberger,
1989). Densitas fluida (rhom) tergantung pada tipe lumpur pemboran,
sifat fluida yang ada di formasi, dan sebagian invasi yang terlihat pada log
densitas (Schlumberger, 1989).

Untuk menguji kelayakan nilai yang digunakan, Darling (2005)


menyarankan tes berikut :

44
Bila informasi regional tersedia, zona porositas rata-rata dapat
dibandingkan dengan offset sumur.

Pada banyak kasus, tidak ada lompatan nilai porositas yang


teramati melewati kontak. Sebuah pengecualian dimana ada nilai
porositas yang melewati OWC merupakan efek diagenetik yang bisa saja
terjadi.

Pada batupasir umumnya porositasnya tidak lebih dari 36%.

Hal yang perlu diingat adalah bahwa porositas yang dihitung


dengan menggunakan log densitas merupakan nilai porositas total
sehingga air yang terikat di dalam pori-pori lempung (clay-bound
water) tetap termasuk di dalamnya (Darling, 2005). Untuk itu hasil
pengukuran log densitas perlu dibandingkan dengan hasil analisis batu inti
yang relatif lebih bisa menghilangkan pengaruh clay-bound water.

Dalam menghitung porositas, penting untuk memeriksa zona yang


mengalami washout sehingga nilai densitasnya menjadi sangat tinggi tak
menentu dan mengakibatkan nilai porositas tinggi yang tidak realistis
(Darling, 2005). Pada sejumlah kasus zona tersebut dapat dikenali dari
karakternya yang soft dan mempunyai porositas tinggi. Meskipun
demikian, pada sejumlah kasus perlu dilakukan pengeditan data log
densitas secara manual dengan menggunakan persamaan tertentu
(Darling, 2005). Menurut Schlumberger (1989), estimasi yang paling baik
pada water-bearing section adalah dengan menggunakan resistivitas
sebenarnya (Rt) dan persamaan Archie sebagai berikut :

Rt = Rw* ɸ-m*

Atau

Sw = [(Rt/Rw)*ɸ m](-1/n)

Dengan :

45
Rw = resistivitas air formasi

M = eksponen dari sementasi atau porositas

Sw = saturasi air

N = eksponen saturasi

Pada porositas efektif, pengukurannya agak berbeda. Pengertian


porositas efektif agak berbeda untuk tiap orang namun menurut Darling
(2005), “porositas efektif adalah porositas total dikurangi dengan clay-
bound water“. Persamaan untuk menghitung porositas efektif adalah
sebagai berikut :

ɸeff = ɸtotal * (1 – C*Vsh)

Dengan C merupakan faktor yang tergantung pada porositas serpih


dan CEC (caution exchange capacity). Nilai C dapat diperoleh dengan
menghitung porositas total dari serpih murni (Vsh=1) dan mengatur agar
ɸeff menjadi nol (Darling, 2005). Meskipun demikian sejumlah ahli
meragukan apakah pengkoreksian dengan menggunakan asusmsi pada
serpih non-reservoar bisa digunakan pada serpih yang bercampur pasir di
reservoar (Darling, 2005). Hal ini menyebabkan sejumlah ahli tidak
merekomendasikan penghitungan porositas efektif sebagai bagian
dari quicklook evaluation (Darling, 2005).

Darling (2005) mengemukakan sejumlah alasan mengenai


kelemahan penggunaan crossplot log densitas dan neutron di dalam
menghitung porositas sebagai berikut :

Log neutron dan densitas merupakan statistical devices dan sangat


dipengaruhi oleh kecepatan logging, kondisi detektor, kekuatan sumber,
dan efek lubang bor. Kesalahan ketika dua buah alat yang bersifat acak
tersebut dikomparasikan jauh lebih besar daripada ketika digunakan
sendiri-sendiri.

46
Neutron dipengaruhi oleh kehadiran atom klorin di dalam formasi.
Klorin terdapat di dalam air formasi dan pada mineral lempung. Hal ini
menyebabkan porositas yang dibaca oleh log neutron hanya akurat pada
daerah yang tidak mengandung kedua hal tersebut. Neutron juga
dipengaruhi oleh kehadiran gas tertentu.

5.4 Menghitung Permeabilitas

Permeabilitas merupakan kemampuan lapisan untuk melewatkan


suatu fluida (Darling, 2005). Agar permeabel, suatu batuan harus
mempunyai porositas yang saling berhubungan (vugs, capillaries, fissures,
atau fractures). Ukuran pori, bentuk dan kontinuitas mempengaruhi
permeabilitas formasi (Darling, 2005).

Satuan permeabilitas adalah darcy. Satu darcy adalah kemampuan


lapisan untuk melewatkan satu kubik centimeter per detik fluida dengan
viskositas satu centipose melewati area seluas satu sentimeter persegi
dibawah tekanan sebesar satu atmosfer per sentimeter (Schlumberger,
1989). Satu darcy merupakan unit yang sangat besar sehingga pada
prakteknya satuan milidarcy (md) lebih sering digunakan (Schlumberger,
1989).

Permeabelitas formasi batuan sangat bervariasi dari 0,1 md sampai


lebih dari 10.000 md (Schlumberger, 1989). Penentuan batas minimal
permeabelitas untuk kepentingan komersial dipengaruhi oleh sejumlah
faktor yaitu : produksi minyak atau gas, viskositas hidrokarbon, tekanan
formasi, saturasi air, harga minyak dan gas, kedalaman sumur, dan lain-
lain (Schlumberger, 1989).

Saat dua atau lebih fluida yang tidak bisa menyatu (misalnya air
dan minyak) hadir dalam formasi batuan, kedua fluida tersebut bergerak
saling mengganggu (Schlumberger, 1989). Permeabelitas efektif aliran

47
minyak (ko) atau aliran air (kw) kemudian menjadi berkurang
(Schlumberger, 1989). Selain itu jumlah permeabelitas efektif selalu lebih
rendah atau sama dengan jumlah permeabilitas absolut (k). Permeabelitas
efektif tidak hanya dipengaruhi oleh batuan itu sendiri tetapi juga
dipengaruhi oleh jumlah dan karakteristik fluida yang ada di dalam pori
batuan (Schlumberger, 1989).

Permeabilitas relatif merupakan rasio permeabelitas efektif


terhadap permeabilitas absolut (Schlumberger, 1989). Jadi permeabelitas
relatif dari air (krw) sebanding dengan kw/k sedangkan permeabelitas
minyak (kro) setara dengan ko/k (Schlumberger, 1989). Hal tersebut
menjelaskan mengapa permeabelitas relatif biasanya dinyatakan dalam
persentase atau pecahan dan nilainya tidak pernah melebihi 1 atau 100%
(Schlumberger, 1989).

Pada sejumlah kasus, terdapat hubungan antara nilai porositas


dengan permeabelitas. Hal tersebut mendorong sejumlah peneliti untuk
merumuskan hubungan antara kedua faktor tersebut dalam bentuk
persamaan. Wyllie dan Rose menngeluarkan persamaan k = Cɸ* / (Swi) y
yang dirumuskan berdasarkan hubungan antara permeabelitas
dan irreducible water saturation (Schlumberger, 1989). Ketergantungan
permeabelitas terhadap porositas tidak dijelaskan melalui persamaan
tersebut (Schlumberger, 1989).

Berdasarkan persamaan Wyllie dan Rose tersebut sejumlah


peneliti mengeluarkan berbagai macam persamaan yang bisa digunakan
untuk menghitung permeabelitas berdasarkan porositas dan irreducible
water saturation yang didapat dari data well log sebagai berikut :

Tixier

k1/2 = 250 (ɸ3/Swi)

Timur

48
k1/2 = 100 (ɸ2,25/Swi)

Coastes-Dumanoir

k1/2 = (300/w4) (ɸ3/Swiw)

Coates

k1/2 = 70 ɸe2 (1-Swi) / Swi

dengan

k = permeabelitas

ɸ = porositas

Swi = irreducible water saturation

w = parameter tekstural yang berhubungan dengan eksponen sementasi


dan saturasi, w

Jika irreducible water saturation telah dapat ditentukan maka


permeabelitas efektif dan permeabelitas relatif bisa dihitung. Hubungan
tersebut diusulkan oleh Park Jones yang mengeluarkan perhitungan yang
masuk akal untuk shaly dan shaly sand (Schlumberger, 1989).

Krw = [(Sw-Swi)/(1-Swi)]3

Dan

Kro= (Sw-Swi)2,1/(1-Swi)2

Dimana Krw dan Kro merupakan permeabelitas relatif untuk air


dan minyak; Swi merupakan irreducible water saturation; dan
Sw merupakan saturasi air sebenarnya. Saturasi air menunjukkan
porositas yang berasosiasi dengan pasir bersih, non-shaly rock
matrix (Schlumberger, 1989).

49
Permeabelitas efektif air dan minyak dapat dihitung dengan
persamaan berikut :

kw = krw k

dan

ko = kro k

dimana kw dan ko merupakan permeabelitas efektif air dan


minyak (md) dan k merupakan permeabelitas absolut atau permeabelitas
intrinsik batuan.

Jika perhitungan langsung tidak bisa dilakukan karena nilai


Swi tidak diketahui maka nilai tersebut dapat diperkirakan dengan
menggunakan nilai Swi dari reservoir lain yang berdekatan
(Schlumberger, 1989). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut
:

Swi2 = Swi1 (2 – – )

dimana ɸ1 dan Swi1 merupakan nilai porositas dan irreducible


water saturation dari reservoar yang telah diketahui sedangkan ɸ2 dan
Swi2 merupakan nilai porositas dan irreducible water saturation dari
reservoar yang belum diketahui (Schlumberger, 1989).

Hubungan tersebut dibuat berdasarkan asumsi bahwa variasi


porositas dan Swi merupakan akibat dari perbedaan ukuran dan sortasi
butir (Schlumberger, 1989). Cara tersebut tidak valid digunakan pada
konglomerat atau batuan yang mempunyai sistem porositas sekunder
(Schlumberger, 1989).

50
5.5 Menghitung Saturasi

Saturasi air merupakan fraksi (atau persentase) volume pori dari


batuan reservoir yang terisi oleh air (Schlumberger, 1989). Selama ini
terdapat asumsi umum bahwa volume pori yang tidak terisi oleh air
berarti terisi oleh hidrokarbon (Schlumberger, 1989). Mendeterminasi
saturasi air dan hidrokarbon merupakan salah satu tujuan dasar dari well
logging.

Formasi Bersih

Semua determinasi saturasi air dari log resistivitas pada formasi


bersih dengan porositas intergranular yang homogen didasarkan pada
persamaan Archie atau turunannya (Schlumberger, 1989). Persamaan
tersebut adalah sebagai berikut :

= F Rw/Rt

Dimana

Rw = resistivitas air formasi

Rt = resistivitas formasi sebenarnya

F = faktor resistivitas formasi

F biasanya didapat dari perhitungan porositas formasi dengan


menggunakan persamaan.

F =a/m

Untuk Sxo, saturasi air pada zona terbilas, persamaan tersebut


menjadi :

= F Rmf/Rxo

51
Dimana

Rmf = resistivitas lumpur penyaring

Rxo = resistivitas zona terbilas

Pada persamaan tersebut, nilai eksponen saturasi n yang biasa


digunakan adalah 2 (Schlumberger, 1989). Percobaan laboratorium
menunjukkan bahwa angka tersebut merupakan nilai terbaik untuk rata –
rata kasus. Nilai a dan m yang digunakan lebih bervariasi: pada karbonat,
F = 1/ 2 merupakan yang sering digunakan; pada pasir yang sering
digunakan adalah F = 0,62/ 2,15 (persamaan Humble) atau F =
0,81/ 2 (bentuk sederhana dari persamaan Humble).

Akurasi dari persamaan Archie bergantung pada kualitas


parameter fundamental yang dimasukkan meliputi : Rw, F, dan
Rt (Schlumberger, 1989). Pengukuran resistivitas dalam (induksi atau
laterolog) harus dikoreksi, meliputi lubang bor, ketebalan lapisan dan
invasi (Schlumberger, 1989). Log porositas yang paling sesuai (neutron,
densitas, atau yang lainnya) atau kombinasi dari pengukuran porositas dan
litologi harus digunakan untuk mendapatkan nilai porositas
(Schlumberger, 1989). Akhirnya nilai Rw diperoleh dengan menggunakan
berbagai cara : perhitungan dari kurva SP, katalog air, perhitungan water-
bearing formation, dan ukuran sampel air (Schlumberger, 1989).

Formasi Serpih

Serpih merupakan salah satu batuan paling penting di dalam


analisis log. Selain efek porositas dan permeabelitasnya, serpih
mempunyai sifat kelistrikan tersendiri yang memberikan pengaruh besar
pada penentuan saturasi fluida (Schlumberger, 1989).

Sebagaimana diketahui persamaan Archie yang menghubungkan


resistivitas batuan dengan saturasi air mengasumsikan bahwa air formasi

52
merupakan satu-satunya material konduktif di dalam formasi
(Schlumberger, 1989). Kehadiran material konduktif lainnya (misalnya
serpih) menyebabkan persamaan Archie harus dimodifikasi sehingga
perlu dikembangkan persamaan baru yang menghubungkan antara
resistivitas batuan dengan saturasi air pada formasi serpih (Schlumberger,
1989). Kehadiran lempung juga menyebabkan definisi atau konsep
porositas batuan menjadi lebih kompleks. Lapisan yang mengikat air pada
partikel lempung dapat merepresentasikan jumlah porositas yang sangat
signifikan (Schlumberger, 1989). Meskipun demikian, porositas tersebut
tidak bisa menjadi reservoar hidrokarbon. Jadi, serpih dapat mempunyai
porositas total yang besar namun porositas efektifnya sangat rendah
sehingga tidak berpotensi menjadi reservoar hidrokarbon (Schlumberger,
1989).

Efek kehadiran serpih terhadap pembacaan log bergantung pada


jumlah serpihnya dan sifat fisiknya (Schlumberger, 1989). Hal tersebut
juga dipengaruhi oleh bagaimana pendistribusian serpih di dalam formasi.
Dalam Schlumberger (1989) disebutkan bahwa material yang
mengandung serpih dapat terdistribusi di dalam batuan melalui tiga cara
yaitu :

Serpih dapat hadir dalam bentuk laminasi di antara lapisan pasir.


Laminasi serpih tersebut tidak mempengaruhi porositas dan permeabelitas
dari pasir yang melingkupinya. Meskipun demikian, bila kandungan
laminasi serpih tersebut bertambah dan kandungan pori-pori berukuran
sedang berkurang, nilai porositas rata-rata secara keseluruhan akan
berkurang.

Serpih dapat hadir sebagai butiran atau nodul dalam matriks


formasi. Matriks serpih tersebut dikenal dengan istilah serpih struktural.
Matriks serpih tersebut biasanya dianggap mempunyai sifat fisik yang
sama dengan laminasi serpih dan serpih masif.

53
Material serpih dapat terdistribusi di antara pasir, secara parsial
mengisi ruang antar butir. Serpih yang terdispersi di dalam pori secara
nyata mengurangi permeabelitas formasi.

Semua bentuk distribusi serpih di atas dapat hadir bersamaan di


dalam formasi (Schlumberger, 1989). Selama beberapa tahun terakhir
berbagai model telah dikembangkan untuk mengakomodasi kehadiran
serpih di dalam formasi. Sebagian besar model tersebut dikembangkan
dengan asumsi bahwa serpih hadir di dalam formasi dalam bentuk yang
spesifik (misalnya laminar, struktural, terdispersi). Semua model yang ada
dikembangkan dengan terminologi pasir bersih menurut Archie ditambah
dengan terminologi serpih (Schlumberger, 1989).

Dari berbagai model yang dikembangkan, penyelidikan di


laboratorium, dan pengalaman di lapangan, akhirnya ditemukan sebuah
persamaan yang dapat digunakan untuk mengakomodir kehadiran serpih
di dalam formasi sebagai berikut :

1/Rt =[ ( 2 Sw2 ) / a Rw (1-Vsh) ] + [ (Vsh Sw) / Rsh ]

Dalam persamaan ini Rsh merupakan resistivitas dari lapisan


serpih yang berdekatan dan Vsh merupakan fraksi serpih yang didapat
dari indikator serpih total (Schlumberger, 1989).

54
BAB III

PEMBAHASAN

Tugas Mandiri I

Dari tugas pertama ini saya mendapatkan pemahaman dengan menjelaskan


perbedaan dari Logging While Drilling (LWD) dan Wireline Logging (WL)
beserta kelebihannya serta kekurangannya. Logging While Drilling merupakan
suatu metode pengambilan data log dimana logging dilakukan bersamaan dengan
pemboran, sedangkan Wireline Logging sebuah pengukuran kontinu sifat formasi
dengan instrumen bertenaga listrik untuk menyimpulkan sifat dan membuat
keputusan tentang pengeboran dan operasi produksi. Alat-alat yang termasuk
LWD yaitu : sensor logging, sistem transmisi data, dan sebuah penghubung
permukaan. Sedangkan alat-alat yang termasuk WL yaitu : mobile laboratory,
borehole, wireline, dan sonde. Adapun kelebihan LWD yaitu : data yang didapat
“real time”, dapat digunakan pada lintasan sulit, dan hemat waktu=hemat biaya.
Sedangkan kekurangan LWD yaitu : hanya bekerja selama 40-90 jam dan
kecepatan transisi data (ROP) 0,5-12 bit/s. Adapun kelebihan WL yaitu :
kecepatan transisi data lebih cepat dari LWD (3 mb/s) dan pembacaan data lebih
detail. Sedangkan kekurangan WL yaitu : tidak bisa digunakan pada sumur
horizontal dan data yang didapat tidak “real time”. Dari tugas pertama ini juga
saya mendapatkan pemahaman dengan menjelaskan jenis-jenis logging. Log itu
sendiri dibagi menjadi empat bagian yaitu : log radioaktif (gamma-ray log,
neutron log, density log), log listrik (resistivity log dan sp log), log sonic
(acoustic log), dan log mekanik (caliper log). Gamma-ray log adalah kurva yang
digunakan untuk mengukur radiasi sinar gamma yang dihasilkan oleh unsur
radioaktif yang terdapat dalam lapisan batuan pada lubang bor. Neutron log
adalah kurva yang digunakan untuk mengetahui banyaknya kandungan atom
hidrogen yang terdapat pada suatu batuan. Density log adalah kurva yang

55
digunakan untuk menunjukan porositas suatu batuan. Resistivity log adalah kurva
yang digunakan untuk mengukur sifat batuan dan fluida pori disepanjang lubang
bor dengan mengukur sifat tahanan kelistrikannya. SP log adalah kurva yang
digunakan untuk pengukuran nilai beda potensial antara elektroda yang bergerak
dalam lubang sumur dengan elektroda tetap permukaan terhadap kedalaman
lubang sumur. Acoustic log adalah kurva yang digunakan untuk mengukur
interval transit time dari gelombang suara yang melewati setiap feet dari formasi.
Caliper log adalah kurva yang digunakan untuk menggambarkan ukuran lubang
dan bentuk dari lubang bor berdasarkan kedalamnnya. Serta dalam lembar
lampiran tugas pertama ini juga dapat diketahui bagaimana prinsip kerja dari
masing-masing log tersebut.

Tugas Mandiri II

Dari tugas kedua ini saya mendapatkan pemahaman dengan membaca dan
mengamati dari data mud log yang telah diberikan. Kelompok saya mendapatkan
formasi baturaja dengan kedalaman 2.400 depth. Dari formasi baturaja ini dapat
diketahui endapannya secara selaras diatas formasi talang akar dengan
ketebalannya antara 200-250 m. Litologi dari formasi ini terdiri batu gamping,
batu gamping terumbu, batu gamping pasiran, batu gamping serpihan, serpih
gampingan, dan napal kaya foraminifera, moluska, dan koral. Formasi ini
diendapkan pada lingkungan litoral-neritik dan berumur miosen awal. Pada data
mud log pada formasi baturaja ini dapat di deskripsikan data log pemboran mud
loger pada kedalaman 2.300-2.400 depth. Pada depth 2.300-2.400 ROP pada
pemboran sempat menurun karena bertemu dengan batuan gamping yang sifatnya
agak padat/keras namun ada juga terdapat sedikit sisipan batu lempung pada batu
gamping dan untuk oil show trace terdapat sedikit sekali pada batu lempung, dan
pada kolom gas grafik mengalami sedikit kenaikan dari biasanya yaitu sekitar
450.000-900.000 untuk gas etana sedangkan sisanya dibawah 900.000 (metana,
propana, ios-pentana, butana) pada depth 2.390 terdapat lagi sisiapan batu

56
lempung pada lapisan gamping. Pada depth 2.350 ROP pada pemboran
menempati porsi tinggi yaitu sekitar 26 rpm karena bertemu dengan lapisan batu
gamping sampai depth 2.360 ROP kembali tinggi dari sebelumnya yaitu 27 rpm,
kemudian pada depth 2.390 mengalami kenaikan beban yang tinggi hampir
mencapai maksimal yaitu sekitar 25 lbs beban pada bit. Dan untuk revolution
perminute pada pemboran tidak mengalami banyak perubahan terlihat konstan
yaitu kisaran 90 rpm.

Tugas Mandiri III

Dari tugas ketiga ini saya mendapatkan pemahaman dengan membaca dan
mengamati data log yang telah diberikan. Pada tabel data ini terdapat diketahui
dengan adanya kurva depth (m), kurva GR (gAPI), kurva RHOB (G/C3), serta
litologinya. Pada tugas ini saya disuruh menentukan V.shale pada data yang
diberikan. Langkah pertama yang dilakukan yaitu dengan membagi zona per
kedalaman yang telah dibuat. Langkah kedua yang dilakukan yaitu dengan
menentukan GR.MIN yang mendekati skala rendah 0 ke kiri dan GR.MAX yang
mendekati skala tinggi 150 ke kanan pada kolom kedua yaitu kolom GR (gAPI)
lalu memperkirakan GR.Log yaitu titik perkiraan terdapat dipertengahan
GR.MIN dan GR.MAX tapi jangan terlalu dekat. Saya mendapatkan ada
sembilan zona per kedalaman dalam tugas ini, antara lain sebagai berikut :

1. Depth = 1.100-1.200 m

GR.Log = 75

GR.MAX = 92

GR.MIN = 52

V.shale = GR.Log-GR.MIN/GR.MAX-GR.MIN = 75-52/92-52 = 0,575 V/v

Litologi = Sand stone

57
2. Depth = 1.200-1.525 m

GR.Log = 115

GR.MAX = 148

GR.MIN = 80

V.shale = GR.Log-GR.MIN/GR.MAX-GR.MIN = 115-80/148-80 = 0,514


V/v

Litologi = Shale stone

3. Depth = 1.525-1.970 m

GR.Log = 100

GR.MAX = 140

GR.MIN = 64

V.shale = GR.Log-GR.MIN/GR.MAX-GR.MIN = 100-64/140-64 = 0,473


V/v

Litologi = Shale stone

4. Depth = 1.970-2.260 m

GR.Log = 110

GR.MAX = 138

GR.MIN = 80

V.shale = GR.Log-GR.MIN/GR.MAX-GR.MIN = 110-80/138-80 = 0,517


V/v

Litologi = Shale stone

5. Depth = 2.260-2.300 m

58
GR.Log = 100

GR.MAX = 125

GR.MIN = 70

V.shale = GR.Log-GR.MIN/GR.MAX-GR.MIN = 100-70/125-70 = 0,545


V/v

Litologi = Sand stone

6. Depth = 2.300-2.490 m

GR.Log = 65

GR.MAX = 155

GR.MIN = 45

V.shale = GR.Log-GR.MIN/GR.MAX-GR.MIN = 65-45/155-45 = 0,181 V/v

Litologi = Sand stone

7. Depth = 2.490-2.648 m

GR.Log = 118

GR.MAX = 162

GR.MIN = 42

V.shale = GR.Log-GR.MIN/GR.MAX-GR.MIN = 118-42/162-42 = 0,633


V/v

Litologi = Sand stone

8. Depth = 2.648-3.070 m

GR.Log = 120

GR.MAX = 230

59
GR.MIN = 40

V.shale = GR.Log-GR.MIN/GR.MAX-GR.MIN = 120-40/230-40 = 0,421


V/v

Litologi = Limestone

9. Depth = 3.070-3.100 m

GR.Log = 90

GR.MAX = 138

GR.MIN = 50

V.shale = GR.Log-GR.MIN/GR.MAX-GR.MIN = 90-50/138-50 = 0,454 V/v

Litologi = Shale stone

Jadi, kesimpulan yang didapat dengan mengetahui zona per kedalaman (depth)
lalu menentukan GR.Log, GR.MAX, setra GR.MIN yang telah diperkirakan
kemudian saya bisa menghitung V.shale dengan rumus yang ditentukan setelah
mendapatkan hasilnya dan saya membuat litologi yang ada dengan melihat kurva
dari data log tersebut.

Tugas Mandiri IV

Dari tugas keempat ini saya mendapatkan pemahaman sama dengan seperti tugas
ketiga lalu yaitu dengan membaca dan mengamati data log yang telah diberikan.
Tapi pada tugas keempat ini saya disuruh menghitung F (Faktor Formasi) dan
Saturasi Water (SW). Pertama yang dilakukan yaitu dengan membagi zona per
kedalaman (depth) kemudian menentukan Rt (Resistivitas True) terdapat pada
titik perkiraan disebelah kiri dan Rw (Resistivitas Water) terdapat pada titik
perkiraan disebelah kanan.

60
Saya mendapatkan ada tujuh zona per kedalaman dalam tugas ini, antara lain
sebagai berikut :

1. Zona I => tidak terdapat Rt atau Rw

2. Zona II =>

F = 0,62/522,15= 0,62/4891,107 = 0,00012

SW = 2,0 0,00012 X 1000 / 200 = 2,0 0,024 = 0,309

3. Zona III =>

F = 0,81/122,0 = 0,81/144 = 0,005

SW = 2,0 0,00562 X 1000 / 350 = 2,0 0,126 = 0,709

4. Zona IV =>

F = 0,81/62,0= 0,81/36 = 0,0225

SW = 2,0 0,0225 X 1000 / 350 = 2,0 0,253 = 1,0059

5. Zona V =>

F = 0,62/5,72,15= 0,62/42,182 = 0,01469

SW = 2,0 0,01469 X 2000 / 450 = 2,0 0,255 = 1,0099

6. Zona VI =>

F = 0,62/122,15= 0,62/209,04 = 0,00296

SW = 2,0 0,00296 X 1050 / 425 = 2,0 0,085 = 0,58309

7. Zona VII =>

F = 0,81/5,72,0= 0,81/32,49 = 0,02493

61
SW = 2,0 0,02493X 1100 / 400 = 2,0 0,261 = 1,021

Jadi, kesimpulan yang didapat dengan mengetahui zona per kedalaman (depth)
lalu menentukan Rt atau Rw kemudian menghitung F dan SW dengan
menggunakan rumus yang telah ditentukan. Setelah dihitung dan didapat hasilnya
serta dengan melihat data log yang ada bisa diperkirakan fluida yang terdapat
pada masing-masing zona. Pada Zona I depth 0-1.200 terdapat adanya minyak
(oil), Zona II depth 1.200-1.800 terdapat adanya air (water), Zona III depth
1.800-1.900 terdapat adanya minyak (oil), Zona IV 1.900-2.300 terdapat adanya
air (water), Zona V depth 2.300-2.620 terdapat adanya gas (vapor), Zona VI
depth 2.620-3.100 terdapat adanya minyak (oil), dan Zona VII depth 3.100-
selesai terdapat adanya batuan beku.

62
BAB IV

KESIMPULAN

Untuk memastikan ada tidaknya suatu reservoir yang prospek di bawah


permukaan diperlukan adanya pengukuran terhadap lubang bor (logging).
Logging yaitu suatu proses pengukuran (perekaman) sifat – sifat fisik batuan
dengan menggunakan wireline log. Dari hasil logging akan didapatkan data log
yaitu berupa kurva – kurva yang mengindikasikan sifat – sifat fisik di suatu
lapisan batuan dari defleksi kurva – kurva tersebut. Untuk mengetahui seberapa
prospek zona yang diukur maka perlu dilakukan adanya suatu evaluasi formasi
atau penilaina formasi yang dapat dilakukan dengan interpretasi pintas (quick
look) atau denga menggunakan software.
Penilaian formasi adalah suatu proses analisis ciri dan sifat batuan di bawah tanah
dengan menggunakan hasil pengukuran lubang sumur (logging) yang digunakan
untuk menentukan kualitas sumur.
Tujuan utama evaluasi formasi yaitu :
• Identifikasi reservoir
• Perkiraan cadangan hidrokarbon di tempat
• Perkiraan perolehan hidrokarbon

63
DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/doc/312928298/Pengertian-penilaian-formasi

http://sidikfajar60.blogspot.com/2010/03/penilaian-formasi.html

Amril, A., Sukowitono., Supriyanto., .1991. Jatibarang Sub Basin – a half


Graben Model in the Onshoe of North West Java. IPA Proceedings,
20thAnnual Convention, Jakarta. hal 279-307

Arpandi, D., Patmosukismo, S., .1975 The Cibulakan Formation as One of the
Most Prospective Stratigraphic Units in the Northwest Java Basinal Area. IPA
Proceeding. Vol 4th Annual Convention, Jakarta

Budiyani,S., Priambodo, D.,Haksana, B.w.,Sugianto,P., .1991. Konsep


Eksplorasi Untuk Formasi Parigi di Cekungan Jawa Barat Utara. Makalah
IAGI. Vol 20th, Indonesia. hal 45-67

Darman, H. dan Sidi, F.H.,. 2000. An Outline of The Geology of Indonesia.


IAGI. Vol 20th. Indonesia

Gordon, T. L., .1985. Talang Akar coals Ardjuna subbasin oil source.
Proceedings of the Fourteenth Annual Convention Indonesian Petroleum
Association, v.2. hal. 91-120

Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian Region. USGS Professional


Paper, 1078

Hunt, J.M., .1979. Petroleum Geochemistry and Geology. xxi+617 pp., 221 figs.
Oxford: Freeman

Noble, Ron A.,. 1997. Petroleum System of Northwest Java Indonesia.


Proceeding IPA. 26th Annual Convention. hal: 585 – 600

64
Reminton. C.H., Nasir. H.,. 1986. Potensi Hidrokarbon Pada Batuan Karbonat
Miosen Jawa Barat Utara. PIT IAGI XV. Yogyakarta

Sinclair, S., Gresko, M., Sunia, C.,. 1995. Basin Evolution of the Ardjuna Rift
System and its Implications for Hydrocarbon Exploration, Offshore Northwest
Java, Indonesia. IPA Proceedings, 24th .Annual Convention, Jakarta. hal 147-162

65
LAMPIRAN

66

Anda mungkin juga menyukai