PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Evaluasi formasi batuan adalah suatu proses analisis ciri dan sifat
batuan di bawah tanah dengan menggunakan hasil pengukuran lubang
sumur (Harsono, 1997). Evaluasi formasi membutuhkan berbagai macam
pengukuran dan analisis yang saling melengkapi satu sama lain. Tujuan
utama dari evaluasi formasi adalah untuk mengidentifikasi reservoir,
memperkirakan cadangan hidrokarbon, dan memperkirakan perolehan
hidrokarbon (Harsono, 1997).
2
1. Memantau parameter pengeboran dan memantau sirkulasi
gas/cairan/padatan dari sumur agar pengeboran dapat berjalan dengan
aman dan lancar.
2. Menyediakan informasi sebagai bahan evaluasi bagi petroleum
engineering department.
Mud logging unit akan menghasilkan mud log yang akan dikirim
ke kantor pusat perusahaan minyak. Menurut Darling (2005), mud
log tersebut meliputi :
a. Deskripsi Cutting
3
yang telah dicuci dan dikeringkan dikenal sebagai sampel kering. Sampel
yang telah dibersihkan diamati di bawah mikroskop yang ada di mud
logging unit. Hasil deskripsi kemudian diserahkan ke kantor pusat
pengolahan data.
1. Sifat butir
2. Tekstur
3. Tipe
4. Warna
5. Roundness dan sphericity
6. Sortasi
7. Kekerasan
8. Ukuran
9. Kehadiran mineral jejak (misalnya pirit, kalsit, dolomit, siderit)
10. Tipe partikel karbonat
11. Partikel skeletal (fosil, foraminifera)
12. Partikel non-skeletal (lithoclast, agregat, rounded particles)
13. Porositas dan permeabelitas
14. Tipe porositas (intergranular, fracture, vuggy)
15. Permeabelitas (permeabelitas rendah, menengah, atau tinggi)
b. Deteksi Hidrokarbon
4
2.2.2 Coring
1. Homogenitas reservoir
2. Tipe sementasi dan distribusi dari porositas dan permeabilitas
3. Kehadiran hidrokarbon dari bau dan pengujian dengan sinar
ultraviolet
4. Tipe mineral
5. Kehadiran fracture dan orientasinya
6. Kenampakan dip
5
3. Proses penyumbatan, pembersihan, dan pengeringan dapat
mengubah wettability dari sumbat sehingga membuatnya tidak
bisa merepresentasikan kondisi di bawah lubang bor
4. Pengukuran resistivitas sumbat pada suhu lingkungan dengan
menggunakan udara sebagai fluida yang tidak basah (nonwetting
fluid) bisa tidak merepresentasikan kondisi reservoir
6
2.3 Tujuan dari Evaluasi Formasi
Tujuan dari evaluasi formasi menurut Ellis & Singer (2008) adalah
sebagai berikut :
7
peralatan logging harus digunakan untuk memperoleh hasil yang ideal bor
(Ellis & Singer, 2008).
Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari dua area, yaitu laut
(offshore) di Utara dan darat (onshore) di Selatan (Darman dan Sidi,
2000). Seluruh area didominasi oleh patahan ekstensional (extensional
faulting) dengan sangat minim struktur kompresional. Cekungan
didominasi oleh rift yang berhubungan dengan patahan yang membentuk
beberapa struktur deposenter (half graben), antara lain deposenter
utamanya yaitu Sub-Cekungan Arjuna dan Sub-Cekungan Jatibarang, juga
deposenter yang lain seperti : Sub-Cekungan Ciputat, Sub-Cekungan
8
Pasirputih. Deposenter-deposenter itu didominasi oleh sikuen Tersier
dengan ketebalan melebihi 5500 m. Struktur yang penting pada cekungan
tersebut yaitu terdiri dari bermacam-macam area tinggian yang
berhubungan dengan antiklin yang terpatahkan dan blok tinggian (horst
block), lipatan pada bagian yang turun pada patahan utama, keystone
folding dan mengenai pada tinggian batuan dasar. Struktur kompresional
hanya terjadi pada awal pembentukan rift pertama yang berarah relative
barat laut-tenggara pada periode Paleogen. Sesar ini akan aktif kembali
pada Oligosen. Tektonik Jawa Barat dibagi menjadi tiga fase tektonik
yang dimulai dari Pra Tersier hingga Plio-Pliostosen. Fase tektonik
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Tektonik Pertama
9
sesar normal yang diakibatkan oleh perkembangan rifting-I (early
fill) berarah N 60o W – N 40o W dan hampir N – S yang dikenal
sebagai Pola sesar Sunda. Pada masa ini terbentuk endapan
lacustrin dan volkanik dari Formasi Jatibarang yang menutup
rendahan-rendahan yang ada. Proses sedimentasi ini terus
berlangsung dengan dijumpainya endapan transisi Formasi
Talangakar. Sistem ini kemudian diakhiri dengan diendapkannya
lingkungan karbonat Formasi Baturaja.
b. Tektonik Kedua
10
c. Tektonik Terakhir
Gambar 2.1
(Sayatan melintang fisiografi cekungan dan busur gunungapi Jawa Barat)
(sumber : Pertamina, 1996)
a. Batuan Dasar
11
berumur Pra Tersier (Sinclair, et.al, 1995). Lingkungan Pengendapannya
merupakan suatu permukaan dengan sisa vegetasi tropis yang lapuk
(Koesoemadinata, 1980).
b. Formasi Jatibarang
c. Formasi Talangakar
d. Formasi Baturaja
12
Utara. Perkembangan batugamping terumbu umumnya dijumpai pada
daerah tinggian. Namun, sekarang diketahui sebagai daerah dalam.
Formasi ini terbentuk pada Kala Miosen Awal–Miosen Tengah (terutama
dari asosiasi foraminifera). Lingkungan pembentukan formasi ini adalah
pada kondisi laut dangkal, air cukup jernih, sinar matahari ada (terutama
dari melimpahnya foraminifera Spriroclypens Sp).
1) Massive
2) Main
13
bagian ini Anggota Main terbagi lagi yang disebut dengan Mid
Main Carbonat (Budiyani dkk,1991).
3) Pre Parigi
f. Formasi Parigi
g. Formasi Cisubuh
14
dangkal yang semakin ke atas menjadi lingkungan litoral – paralik
(Arpandi & Patmosukismo, 1975).
Tabel 2.2
(Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara)
(sumber : Pertamina, 1996)
15
2.4.4 Sedimentasi Cekungan
16
Tengah kembali menjauhi kawasan yang stabil, batugamping
berkembang dengan baik. Perkembangan yang baik ini dikarenakan
aktivitas tektonik yang sangat lemah dan lingkungan berupa laut dangkal.
Kala Miosen Akhir – Pliosen (fase regresi) merupakan fase pembentukan
Formasi Parigi dan Cisubuh. Kondisi daerah cekungan mengalami sedikit
perubahan dimana kondisi laut semakin berkurang masuk ke dalam
lingkungan paralik.
17
BAB III
PEMBAHASAN
Log adalah suatu grafik kedalaman (bisa juga waktu), dari satu set data
yang menunjukkan parameter yang diukur secara berkesinambungan di
dalam sebuah sumur (Harsono, 1997). Kegiatan untuk mendapatkan data log
disebut ‘logging’. Logging memberikan data yang diperlukan untuk
mengevaluasi secara kuantitatif banyaknya hidrokarbon di lapisan pada
situasi dan kondisi sesungguhnya. Kurva log memberikan informasi yang
dibutuhkan untuk mengetahui sifat – sifat batuan dan cairan.
18
menghitung potensi hidrokarbon yang terdapat di dalam suatu formasi
batuan.
3.2 Macam – macam metode yang digunakan untuk memperoleh data log
Ellis & Singer (2008) membagi metode yang digunakan untuk memperoleh
data log menjadi dua macam, yaitu :
1. Mobile laboratory
2. Borehole
3. Wireline
4. Sonde
19
tersebut ditarik dari bawah ke atas lubang bor. Kabel tersebut berfungsi
sebagai transmiter data sekaligus sebagai penjaga agar alat logging berada
pada posisi yang diinginkan (Bateman, 1985). Bagian luar kabel tersusun
atas galvanized steel sedangkan bagian dalamnya diisi oleh konduktor
listrik (Ellis & Singer, 2008). Kabel tersebut digulung dengan
menggunakan motorized drum yang digerakkan secara manual
selama logging berlangsung (Ellis & Singer, 2008). Drum tersebut
menggulung kabel dengan kecepatan antara 300 m/jam (1000 ft/jam)
hingga 1800 m/jam (6000 ft/jam) tergantung pada jenis alat yang
digunakan (Ellis & Singer, 2008). Kabel logging mempunyai penanda
kedalaman (misalnya tiap 25 m) yang di cek secara mekanik namun
koreksi kedalaman harus dilakukan akibat tegangan kabel dan pengaruh
listrik (Bateman, 1985).
Biaya sewa rig yang mahal dan logging pada sumur bor yang
harus dilakukan dengan seketika membuat alat logging modern saat ini
dirancang agar bisa menjalankan beberapa fungsi sekaligus.
Rangkaian triple-combo yang dimiliki oleh Schlumberger misalnya dapat
mengukur resistivitas, densitas, mikroresistivitas, neutron, dan gamma ray
sekaligus (Harsono, 1997).
20
format LIS (Log Information Standard), DLIS (Digital Log-Interchange
Standard) atau ACSII (Harsono, 1997). CSU juga berfungsi menampilkan
data log dalam bentuk grafik (Harsono, 1997).
Dari kiri ke kanan, dip-meter, alat sonik, alat densitas, dan dip-meter
dengan banyak elektroda (Ellis & Singer, 2008).
21
Darling (2005) menyebutkan sejumlah kelebihan wireline logging sebagai
berikut :
Alat LWD terdiri dari tiga bagian yaitu : sensor logging bawah
lubang bor, sebuah sistem transmisi data, dan sebuah penghubung
permukaan. Sensor logging ditempatkan dibelakang drill bit, tepatnya
pada drill collars (lengan yang berfungsi memperkuat drill string) dan
aktif selama pemboran dilakukan (Bateman, 1985). Sinyal kemudian
dikirim ke permukaan dalam format digital melalui pulse
telemetry melewati lumpur pemboran dan kemudian ditangkap
oleh receiver yang ada di permukaan (Harsono, 1997). Sinyal tersebut lalu
dikonversi dan log tetap bergerak dengan pelan selama proses
pemboran. Logging berlangsung sangat lama sesudah pemboran dari
22
beberapa menit hingga beberapa jam tergantung pada kecepatan
pemboran dan jarak antara bit dengan sensor di bawah lubang bor
(Harsono, 1997).
23
pemboran berlangsung (Harsono, 1997). Berkaitan dengan hal tersebut
terdapat Darling (2005) menyebutkan sejumlah kelemahan dari LWD
yang membuat penggunaannya menjadi terbatas yaitu :
24
4.1 Macam-macam log
Sesuai dengan namanya, Log Gamma Ray merespon radiasi gamma alami
pada suatu formasi batuan (Ellis & Singer, 2008). Pada formasi batuan sedimen,
log ini biasanya mencerminkan kandungan unsur radioaktif di dalam formasi. Hal
ini dikarenakan elemen radioaktif cenderung untuk terkonsentrasi di dalam
lempung dan serpih. Formasi bersih biasanya mempunyai tingkat radioaktif yang
sangat rendah, kecuali apabila formasi tersebut terkena kontaminasi radioaktif
misalnya dari debu volkanik atau granit (Schlumberger, 1989).
Gambar 2.6 Perbandingan antara kurva Gamma Ray dengan kurva SP dan
Caliper (Ellis & Singer, 2008)
25
a. Karakteristik Gamma Ray
Gambar 2.7 Distribusi sinar gamma dari tiga unsur radioaktif yang
berbeda (Ellis & Singer, 2008)
26
(Schlumberger, 1989). Formasi dengan jumlah unsur radioktif yang sama
per unit volum tapi mempunyai densitas yang berbeda akan menunjukkan
perbedaan tingkat radioaktivitas. Formasi yang densitasnya lebih rendah
akan terlihat sedikit lebih radioaktif. Respon GR log setelah dilakukan
koreksi terhadap lubang bor dan sebagainya sebanding dengan berat
konsentrasi unsur radioaktif yang ada di dalam formasi (Schlumberger,
1989).
b. Peralatan
1. Prinsip Pengukuran
27
jenis interaksi dengan formasi ; efek fotoelektrik, hamburan compton, dan
produksi berpasangan (Ellis & Singer, 2008). Karena tiga jenis interaksi
tersebut dan respon dari detektor sodium iodide scintillation, kurva yang
dihasilkan mengalami degradasi sehingga menjadi lebih lentur.
a. Tampilan Log
28
Gambar 2.8 Tampilan log Spektral Gamma Ray
4.1.3 Log SP
29
base line). Kurva SP akan menunjukkan karakteristik yang berbeda untuk
tiap jenis litologi.
30
Kurva SP tidak dapat direkam di dalam lubang bor yang diisi
dengan lumpur non-konduktif, hal ini karena lumpur tersebut tidak dapat
menghantarkan arus listrik antara elektroda dan formasi (Harsono, 1997).
Selanjutnya apabila resistivitas antara lumpur penyaring dan air formasi
hampir sama, defleksi akan sangat kecil dan kurva SP menjadi tidak
begitu berguna (Harsono, 1997).
31
rata – rata dari 90% butir kuarsa (densitasnya 2,65g/cm3) dan 10% air
(densitasnya 1,0g/cm3) (Rider, 1996).
1. Prinsip Kerja
Perlengkapan
32
berat, dan komposisi mudcake atau mud interposed di antara skid dan
formasi (Schlumberger, 1989).
1. Prinsip Kerja
33
(Schlumberger, 1989). Kehilangan energi terbesar terjadi apabila neutron
bertumbukan dengan material lain yang memiliki massa sama dengannya,
misalnya inti hidrogen (Schlumberger, 1989). Tumbukan dengan inti yang
berat tidak akan terlalu memperlambat laju dari neutron. Jadi, penurunan
terbesar jumlah neutron yang kembali ditentukan oleh seberapa besar
kandungan air di dalam formasi batuan tersebut (Schlumberger, 1989).
34
Gambar 2.11 Skema cara kerja log neutron
2. Peralatan
35
a. Efek lubang bor lebih sedikit
c. Tampilan Log
Gambar 2.12 Tampilan log densitas dan log neutron (Ellis &
Singer, 2008)
36
4.1.6 Log Resistivitas
1. Alat Laterolog
37
resistivitas laterolog dalam (Harsono, 1997). Bagian lain mempunyai
elektroda yang berjarak sedemikian rupa membiarkan arus utama terbuka
sedikit, dan mengukur LLs, resistivitas laterolog dangkal (Harsono, 1997).
Hal ini tercapai karena arus yang dipancarkan adalah arus bolak-balik
dengan frekuensi yang berbeda. Arus LLd menggunakan frekuensi 28kHz
sedangkan frekuensi arus LLs adalah 35 kHz (Harsono, 1997).
a. Alat Induksi
38
Prinsip ISF Log
39
yang ada saat ini : induksi dan laterolog memiliki karakteristik
masing-masing yang membuatnya digunakan untuk situasi yang
berbeda (Harsono, 1997).
40
Jadi crossover antara log densitas dan log neutron lebih baik
digunakan untuk mengidentifikasi reservoar. Zona gas akan menunjukkan
nilai crossover yang lebih besar daripada zona air dan minyak (Darling,
2005). Log densitas dan log neutron merupakan hasil pengukuran statistik
(diukur berdasarkan waktu kedatangan sinar gamma pada detektor yang
bersifat acak) sehingga tampilannya dapat tetap meliuk-liuk walaupun
berada pada litologi yang homogen (Darling, 2005). Oleh karena itu
sangat berbahaya apabila kita membuat aturan ketat bahwa kurva densitas
harus berpotongan dengan kurva neutron untuk menyatakan bahwa
lapisan tersebut adalah net sand. Untuk sebagian besar reservoar, Darling
(2005) menyarankan aturan – aturan berikut ini :
41
tersebut terhadap kedalaman sumur yang kita amati lalu tandai posisinya
pada log (Darling, 2005).
42
kurvanya kita patut menduga bahwa di daerah itu berpotensi mengandung
hidrokarbon (Darling, 2005).
43
terlihat pada zona gas karena Vp lebih dipengaruhi oleh gas dibandingkan
Vs (Darling, 2005).
ɸ =dengan
44
Bila informasi regional tersedia, zona porositas rata-rata dapat
dibandingkan dengan offset sumur.
Rt = Rw* ɸ-m*
Atau
Sw = [(Rt/Rw)*ɸ m](-1/n)
Dengan :
45
Rw = resistivitas air formasi
Sw = saturasi air
N = eksponen saturasi
46
Neutron dipengaruhi oleh kehadiran atom klorin di dalam formasi.
Klorin terdapat di dalam air formasi dan pada mineral lempung. Hal ini
menyebabkan porositas yang dibaca oleh log neutron hanya akurat pada
daerah yang tidak mengandung kedua hal tersebut. Neutron juga
dipengaruhi oleh kehadiran gas tertentu.
Saat dua atau lebih fluida yang tidak bisa menyatu (misalnya air
dan minyak) hadir dalam formasi batuan, kedua fluida tersebut bergerak
saling mengganggu (Schlumberger, 1989). Permeabelitas efektif aliran
47
minyak (ko) atau aliran air (kw) kemudian menjadi berkurang
(Schlumberger, 1989). Selain itu jumlah permeabelitas efektif selalu lebih
rendah atau sama dengan jumlah permeabilitas absolut (k). Permeabelitas
efektif tidak hanya dipengaruhi oleh batuan itu sendiri tetapi juga
dipengaruhi oleh jumlah dan karakteristik fluida yang ada di dalam pori
batuan (Schlumberger, 1989).
Tixier
Timur
48
k1/2 = 100 (ɸ2,25/Swi)
Coastes-Dumanoir
Coates
dengan
k = permeabelitas
ɸ = porositas
Krw = [(Sw-Swi)/(1-Swi)]3
Dan
Kro= (Sw-Swi)2,1/(1-Swi)2
49
Permeabelitas efektif air dan minyak dapat dihitung dengan
persamaan berikut :
kw = krw k
dan
ko = kro k
Swi2 = Swi1 (2 – – )
50
5.5 Menghitung Saturasi
Formasi Bersih
= F Rw/Rt
Dimana
F =a/m
= F Rmf/Rxo
51
Dimana
Formasi Serpih
52
merupakan satu-satunya material konduktif di dalam formasi
(Schlumberger, 1989). Kehadiran material konduktif lainnya (misalnya
serpih) menyebabkan persamaan Archie harus dimodifikasi sehingga
perlu dikembangkan persamaan baru yang menghubungkan antara
resistivitas batuan dengan saturasi air pada formasi serpih (Schlumberger,
1989). Kehadiran lempung juga menyebabkan definisi atau konsep
porositas batuan menjadi lebih kompleks. Lapisan yang mengikat air pada
partikel lempung dapat merepresentasikan jumlah porositas yang sangat
signifikan (Schlumberger, 1989). Meskipun demikian, porositas tersebut
tidak bisa menjadi reservoar hidrokarbon. Jadi, serpih dapat mempunyai
porositas total yang besar namun porositas efektifnya sangat rendah
sehingga tidak berpotensi menjadi reservoar hidrokarbon (Schlumberger,
1989).
53
Material serpih dapat terdistribusi di antara pasir, secara parsial
mengisi ruang antar butir. Serpih yang terdispersi di dalam pori secara
nyata mengurangi permeabelitas formasi.
54
BAB III
PEMBAHASAN
Tugas Mandiri I
55
digunakan untuk menunjukan porositas suatu batuan. Resistivity log adalah kurva
yang digunakan untuk mengukur sifat batuan dan fluida pori disepanjang lubang
bor dengan mengukur sifat tahanan kelistrikannya. SP log adalah kurva yang
digunakan untuk pengukuran nilai beda potensial antara elektroda yang bergerak
dalam lubang sumur dengan elektroda tetap permukaan terhadap kedalaman
lubang sumur. Acoustic log adalah kurva yang digunakan untuk mengukur
interval transit time dari gelombang suara yang melewati setiap feet dari formasi.
Caliper log adalah kurva yang digunakan untuk menggambarkan ukuran lubang
dan bentuk dari lubang bor berdasarkan kedalamnnya. Serta dalam lembar
lampiran tugas pertama ini juga dapat diketahui bagaimana prinsip kerja dari
masing-masing log tersebut.
Tugas Mandiri II
Dari tugas kedua ini saya mendapatkan pemahaman dengan membaca dan
mengamati dari data mud log yang telah diberikan. Kelompok saya mendapatkan
formasi baturaja dengan kedalaman 2.400 depth. Dari formasi baturaja ini dapat
diketahui endapannya secara selaras diatas formasi talang akar dengan
ketebalannya antara 200-250 m. Litologi dari formasi ini terdiri batu gamping,
batu gamping terumbu, batu gamping pasiran, batu gamping serpihan, serpih
gampingan, dan napal kaya foraminifera, moluska, dan koral. Formasi ini
diendapkan pada lingkungan litoral-neritik dan berumur miosen awal. Pada data
mud log pada formasi baturaja ini dapat di deskripsikan data log pemboran mud
loger pada kedalaman 2.300-2.400 depth. Pada depth 2.300-2.400 ROP pada
pemboran sempat menurun karena bertemu dengan batuan gamping yang sifatnya
agak padat/keras namun ada juga terdapat sedikit sisipan batu lempung pada batu
gamping dan untuk oil show trace terdapat sedikit sekali pada batu lempung, dan
pada kolom gas grafik mengalami sedikit kenaikan dari biasanya yaitu sekitar
450.000-900.000 untuk gas etana sedangkan sisanya dibawah 900.000 (metana,
propana, ios-pentana, butana) pada depth 2.390 terdapat lagi sisiapan batu
56
lempung pada lapisan gamping. Pada depth 2.350 ROP pada pemboran
menempati porsi tinggi yaitu sekitar 26 rpm karena bertemu dengan lapisan batu
gamping sampai depth 2.360 ROP kembali tinggi dari sebelumnya yaitu 27 rpm,
kemudian pada depth 2.390 mengalami kenaikan beban yang tinggi hampir
mencapai maksimal yaitu sekitar 25 lbs beban pada bit. Dan untuk revolution
perminute pada pemboran tidak mengalami banyak perubahan terlihat konstan
yaitu kisaran 90 rpm.
Dari tugas ketiga ini saya mendapatkan pemahaman dengan membaca dan
mengamati data log yang telah diberikan. Pada tabel data ini terdapat diketahui
dengan adanya kurva depth (m), kurva GR (gAPI), kurva RHOB (G/C3), serta
litologinya. Pada tugas ini saya disuruh menentukan V.shale pada data yang
diberikan. Langkah pertama yang dilakukan yaitu dengan membagi zona per
kedalaman yang telah dibuat. Langkah kedua yang dilakukan yaitu dengan
menentukan GR.MIN yang mendekati skala rendah 0 ke kiri dan GR.MAX yang
mendekati skala tinggi 150 ke kanan pada kolom kedua yaitu kolom GR (gAPI)
lalu memperkirakan GR.Log yaitu titik perkiraan terdapat dipertengahan
GR.MIN dan GR.MAX tapi jangan terlalu dekat. Saya mendapatkan ada
sembilan zona per kedalaman dalam tugas ini, antara lain sebagai berikut :
1. Depth = 1.100-1.200 m
GR.Log = 75
GR.MAX = 92
GR.MIN = 52
57
2. Depth = 1.200-1.525 m
GR.Log = 115
GR.MAX = 148
GR.MIN = 80
3. Depth = 1.525-1.970 m
GR.Log = 100
GR.MAX = 140
GR.MIN = 64
4. Depth = 1.970-2.260 m
GR.Log = 110
GR.MAX = 138
GR.MIN = 80
5. Depth = 2.260-2.300 m
58
GR.Log = 100
GR.MAX = 125
GR.MIN = 70
6. Depth = 2.300-2.490 m
GR.Log = 65
GR.MAX = 155
GR.MIN = 45
7. Depth = 2.490-2.648 m
GR.Log = 118
GR.MAX = 162
GR.MIN = 42
8. Depth = 2.648-3.070 m
GR.Log = 120
GR.MAX = 230
59
GR.MIN = 40
Litologi = Limestone
9. Depth = 3.070-3.100 m
GR.Log = 90
GR.MAX = 138
GR.MIN = 50
Jadi, kesimpulan yang didapat dengan mengetahui zona per kedalaman (depth)
lalu menentukan GR.Log, GR.MAX, setra GR.MIN yang telah diperkirakan
kemudian saya bisa menghitung V.shale dengan rumus yang ditentukan setelah
mendapatkan hasilnya dan saya membuat litologi yang ada dengan melihat kurva
dari data log tersebut.
Tugas Mandiri IV
Dari tugas keempat ini saya mendapatkan pemahaman sama dengan seperti tugas
ketiga lalu yaitu dengan membaca dan mengamati data log yang telah diberikan.
Tapi pada tugas keempat ini saya disuruh menghitung F (Faktor Formasi) dan
Saturasi Water (SW). Pertama yang dilakukan yaitu dengan membagi zona per
kedalaman (depth) kemudian menentukan Rt (Resistivitas True) terdapat pada
titik perkiraan disebelah kiri dan Rw (Resistivitas Water) terdapat pada titik
perkiraan disebelah kanan.
60
Saya mendapatkan ada tujuh zona per kedalaman dalam tugas ini, antara lain
sebagai berikut :
2. Zona II =>
4. Zona IV =>
5. Zona V =>
6. Zona VI =>
61
SW = 2,0 0,02493X 1100 / 400 = 2,0 0,261 = 1,021
Jadi, kesimpulan yang didapat dengan mengetahui zona per kedalaman (depth)
lalu menentukan Rt atau Rw kemudian menghitung F dan SW dengan
menggunakan rumus yang telah ditentukan. Setelah dihitung dan didapat hasilnya
serta dengan melihat data log yang ada bisa diperkirakan fluida yang terdapat
pada masing-masing zona. Pada Zona I depth 0-1.200 terdapat adanya minyak
(oil), Zona II depth 1.200-1.800 terdapat adanya air (water), Zona III depth
1.800-1.900 terdapat adanya minyak (oil), Zona IV 1.900-2.300 terdapat adanya
air (water), Zona V depth 2.300-2.620 terdapat adanya gas (vapor), Zona VI
depth 2.620-3.100 terdapat adanya minyak (oil), dan Zona VII depth 3.100-
selesai terdapat adanya batuan beku.
62
BAB IV
KESIMPULAN
63
DAFTAR PUSTAKA
https://www.scribd.com/doc/312928298/Pengertian-penilaian-formasi
http://sidikfajar60.blogspot.com/2010/03/penilaian-formasi.html
Arpandi, D., Patmosukismo, S., .1975 The Cibulakan Formation as One of the
Most Prospective Stratigraphic Units in the Northwest Java Basinal Area. IPA
Proceeding. Vol 4th Annual Convention, Jakarta
Gordon, T. L., .1985. Talang Akar coals Ardjuna subbasin oil source.
Proceedings of the Fourteenth Annual Convention Indonesian Petroleum
Association, v.2. hal. 91-120
Hunt, J.M., .1979. Petroleum Geochemistry and Geology. xxi+617 pp., 221 figs.
Oxford: Freeman
64
Reminton. C.H., Nasir. H.,. 1986. Potensi Hidrokarbon Pada Batuan Karbonat
Miosen Jawa Barat Utara. PIT IAGI XV. Yogyakarta
Sinclair, S., Gresko, M., Sunia, C.,. 1995. Basin Evolution of the Ardjuna Rift
System and its Implications for Hydrocarbon Exploration, Offshore Northwest
Java, Indonesia. IPA Proceedings, 24th .Annual Convention, Jakarta. hal 147-162
65
LAMPIRAN
66