Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN PUSTAKA

MENINGITIS

I. PENDAHULUAN

Meningitis atau radang selaput otak adalah infeksi pada cairan serebrospinal
maupun selaput otak yang membungkus jaringan otak dan medula spinalis.
Kuman-kuman masuk ke setiap bagian ruang subarakhnoidal dan dengan cepat
menyebar ke bagian lain sehingga medula spinalis terkena, yang akhirnya
menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa yang disebabkan oleh bakteri
maupun virus. 6,12

II. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

Data WHO menunjukkan bahwa sekitar 1,8 juta kematian anak balita di
seluruh dunia setiap tahun. Lebih dari 700.000 kematian anak terjadi di negara
kawasan Asia tenggara da Pasifik barat. Pada satu penelitian di Amerika, tercatat
55% dari kasus meningitis terjadi pada anak laki-laki. Meningococcal meningitis
umumnya terjadi antara umur 3 tahun sampai masa pubertas.3

III. ETIOLOGI

Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh mikroorganisme seperti


virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak.
Meningitis disebabkan oleh berbagai macam organisme tetapi kebanyakan pasien
dengan meningitis mempunyai faktor predisposisi seperti fraktur tulang
tengkorak, infeksi, operasi otak atau sumsum tulang belakang.5

IV. PATOFISIOLOGI

Mekanisme invasi bakteri ke selaput otak dan ruang arakhnoid belum


diketahui secara pasti, namun banyak kasus meningitis diawali oleh infeksi primer
seperti nasofaringitis, otitis media dan miokarditis yang menunjukakn bahwa
meningitis adalah infeksi sekunder yang terjadi secara hematogen ataupun
perkontinuitatum.12
Invasi kuman-kuman (meningokokus, pneumokokus, hemofilus influenza,
streptokokus) ke dalam ruang subarakhnoid menyebabkan reaksi radang pada pia
dan arakhnoid, CSS dan sistem ventrikulus.12

Jika bakteri patogen dapat memasuki ruang subarakhnoid, berarti


mekanisme pertahanan tubuh yang menurun. Pada umumnya didalam cairan
serebrospinal yang normal tidak ditemukan bakteri dan komplemen lainnya.
Namun paba meningitis atau peradangan pada selaput otak ditemukan bakteri dan
peningkatan komplemen dalam cairan serebrospinal. Konsenterasi komplemen ini
memegang peranan penting dalam opsoniasi dari Encapsuled Meningeal Patogen,
suatu proses yang penting untuk terjadinya fagositosis.1

Mula-mula pembulu darah meningeal yang kecil dan seang mengalami


hiperemi akibat inflaasi yang disebabkan oleh bakterimia, dan dalam waktu yang
sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimormonuklear ke dalam
ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi
pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua sel-sel plasma.
Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit
polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisan dalam terdapat makrofag.12

a. MENINGITIS BAKTERI

Meningitis bakteri adalah peradangan pada selaput otak (menings), yang


disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang paling sering adalah H influenza,
Diplocooccus pneumoniae, Streptokokus grup A, Sthapilococcus Aureus, E coli,
Kliebsella dan Pseudomonas. Tubuh akan berespon terhadap bakteri sebagai
benda asing dengan terjadinya peradangan yang disebabkan oleh neutrofil,
monosit, dan limfosit. Cairan eksudat yang terdiri dari bakteri, fibrin dan leukosit
terbentuk di ruangan subarakhnoid akan terkumpul di dalam cairan serebrospinal
sehingga dapat menyebabkan peningkatan intracranial. Hal ini akan
mengakibatkan jaringan otak akan menjadi infark. Resiko terjadinya meningitis
bakterialis meningkat pada penderita infeksi primer seperti infeksi telinga, infeksi
tenggorokan, miokarditis dan pasien pasca bedah.7
b. MENINGITIS TUBERKULOSA

Meningitis Tuberkulosa adalah peradangan selaput otak akibat komplikasi


dari infeksi tuberkulosa primer. Terjadinya meningitis bukanlah karna
terinfeksinya selaput otak okle M. Tuberkulosis secara langsung oleh pnyebaran
hematogen tetapi biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel-tuberkel pada
permukaan otak, sum-sum tulang belakang atau vertebra yang kemudian peceh ke
dalam rongga subarakhniod yang akhirnya akan memberikan gejala klinis
terhadap penderita. 2

c. MENINGITIS VIRUS

Suatu sindrom infeksi virus SSP yang akut dengan gejala rangsang
meningeal, pleiositosis dalam cairan serebrospinal, perjalanan penyakit tidak lama
dan self limiting disease tanpa didahului dengan demam untuk beberapa hari.
Gejala yang ditemukan pada anak ialah demam dan nyeri kepala yang mendadak,
nausea, vomiting, kesadaran menurun, kaku kuduk, fotoofobia, parastesia serta
mialgia. Gejala pada bayi tidak khas, bayi mudah terangsang dan menjadi gelisah,
mual dan muntah sering terjadi tapi kejang jarang terjadi.2

d. MENINGITIS KRONIK

Meningitis kronik adalah suatu infeksi selaput otak (menings) yang


berlangsung selama satu bulan atau lebih. Beberapa organisme infeksius bisa
menyerang otak dan tumbuh didalam otak, kemudian secara bertahap
menyebabkan gejala-gejala klinis pada pasien. Penyebab yang paling sering
adalah jamur crypococcus, cytomegalo virus, dan M. Tuberkulosa. Gejalanya
menyerupai meningitis bakterial namun perkembangan penyakitnya berlangsung
lambat, biasanya lebih dari beberapa minggu. Demam timbul tidak sehebat
meningitis bakterial. Sering terjadi nyeri kepala, linglug dan bahkan sakit
punggung.11
e. MENINGITIS NEONATUS

Meningitis pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh bakteri, virus jamur,
atau protozoa. Meningitis dapat dikaitkan dengan sepsis atau muncul sebagai
infeksi lokal. Kebanyakan kasus meningitis akibat dari penyebaran hematogen.
Dapat juga melalui defek neural tube, saluran sinus kongenital atau luka tembus
waktu pengambilan sampel kulit kepala janin. Radang otak dan infark septik
sering terjadi pada meningitis bakteri. Pembentukan abses, ventrikulitis,
hydrocephalus.10

V. GEJALA KLINIS

Pada neonatus gejala klinis berbeda dengan anak yang lebih besar dan
dewasa. Umumnya meningitis terjadi secara akut dengan panas tinggi, mual,
muntah, gangguan pernapasan, kejang, nafsu makan berkurang, minum sangat
berkurang, konstipasi, diare, biiasanya disertai dengan septikemia dan
pneumonitis. Kejang terjadi lebih kurang 44% anak dengan penyebab H.
Influenza, 25% oleh streptokokus pneumoniae, 78% sterptokokus, dan 10% oleh
meningokokus.

Tanda-tanda iritasi meningeal seperti kaku kuduk, tanda kernig, brudzinki dan
fontanela menonjol untuk waktu awal belum muncul. Pada anak yang lebih besar,
permulaan penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat
sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot, nyeri punggung. Biasanya dimulai
dengan gangguan pernafasan bagian atas. 10

Gejala klinis jika dibagi menurut mur tercantum seperti dibawah ini.
Pada neonatus :

 Gejala tidak khas


 Demam kadang-kadang, tampak malas, lemah, tidak mau minum, muntah
dan kesadaran menurun
 Ubun-ubun besar kadang cembung
 Pernapasan tidak teratur

Pada anak umur 2 bulan – 2 tahun


 Gambaran klasik tidak tampak
 Demam, muntah, gelisah dan kejang berulang
 Kadang “high pitched cry”

Pada anak > 2 tahun

 Demam, menggigil, muntah dan nyeri kepala


 Kejang
 Gangguan kesadaran
 Tanda-tanda rangsang meningeal ada

VI. DIAGNOSIS

Adanya gejala-gejala seperti panas yang mendadak yang tidak diketahui


etiologinya , letargi, muntah, kejang dan gejala lainnya harus dipikirkan
kemungkinan meningitis. Diagnosis pasti untuk meningitis mutlak harus dengan
pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal. Namun jika terdapat
tanda peningkatan intra kranial berupa kesadaran menurun, sakit kepala, papil
edem dan muntah maka harus penggunaan pungsi lumbal harus dengan hati-hati
atau tidak sama sekali, karena akan menyebabkan herniasi serebelum dan batang
otak akibat dekompresi dibawa foramen magnum.11
Pada meningitis bakterial stadium akut terdapat leukosit polimorfonuklear.
Jumlah sel berkisar antara 1.000-10.000 dan pada kasus tertentu bisa mencapai
100.000/mm3, dapat disertai sedikit eritrosit. Bila jumlah sel di atas 50.000 mm3
maka kemungkinan abses otak yang pecah dan masuk ke dalam sistem
ventrikulus. Pada meningitis tuberkulosa didapatkan CSF yang jernih kadang-
kadang sedikit keruh. Bila CSF didiamkan maka akan terjadi pengendapan fibrin
yang halus seperti sarang laba-laba. Jumlah sel antara 10-500/ml. Tes tuberkulin
dilakukan pada bayi dan anak untuk memastikan meningitis tuberkulosa.11

VII. DIAGNOSIS BANDING

Meningitis meningokokus harus dibedakan dengan penyebab utama lainya


pada anak, yaitu haemophilus influenza dan streptokokus dapat ditegakkan. Bila
rash pada anak tidak didapatkan, diagnosis harus didasarkan pada pewarnaan
gram dari CSF dan pemeriksaan laboratorium lainnya. Pada keaadaan non
epidemic, beberapa infeksi viral dan rickketsia harus dipertimbangkan dalam
defferensial diagnosis. Rash dan arthralgia didapatkan pada infeksi rubella, pada
infeksi picona virus (terutama coxsackie dan echo virus) dapat timbul rash dan
sering menyebabkan meningitis aseptik. Leptospirosis mempunyai kemiripin
dengan gambaran klinis dari infeksi meningokokus.5

Terdapat infeksi bakteri yang menyerupai infeksi meningokokus. Infeksi


genokokus bakterimia pada umumnya lebih ringan dibandingkan dengan
meningokokus. Karakteristik dari infeksi genokokus barupa erupsi makulopapular
dan demam, namun gambaran purpura dan kolaps tidak ditemukan. Infeksi
moraella urethralis dapat menyebabkan febris, erupsi kulit dan meningitis.5
VIII. PENATALAKSANAAN

Meningitis termasuk penyakit gawat darurat, karena itu penderita harus


menginap di rumah sakit untuk perawatan dan pengobatan intensif. Penderita
perlu istirahat mutlak dan apabila infeksi cukup berat maka penderita perlu
dirawat diruang isolasi. Penderita dengan demam dan renjatan atau koma harus
dirawat intensif. Fungsi respirasi dan kebutuhan gizi dan cairan harus dipantau
dengan ketat.

Apabila telah ditegakkan diagnosis melalui biakan atau kultur CSF yang
telah diambil, maka terapi dengan antibiotik harus segera diberikan. Tetapi untuk
terapi permulaan diberikan ampicilin dengan gentamicin atau aminoglikosida
lainnya melalui inra vena atau intra muscular. Pemilihan terhadap aminoglikosida
dipengaruhi oleh tempat infeksi didapat dan tempat asal kuman enterik gram
negatif ditemukan, yaitu apakah di ruang rawat neonatus atau di ruang rawat
neonatus intensif.infeksi gram negatif yang didapat dari ibu atau masyarakat
sekitarnya sensitif terhadap kinamicin, sedangkan infeksi yang didapat di ruang
rawat intensif lebih sensitif terhadap gentamicin. Pengobatan lesi kulit yang
nekrotik dan diduga disebabkan oleh pseudomonas adalah dengan tikarsilin dan
gentamicin.10

Sesudah diketahui bakteri penyebab dari meningitis dengan uji sensitifitas


maka pengobatan harus segera diberikan. Sebagan besar kuman gram negatif dan
enterokokus harus diberikan terapi kombinasi penisilin dengan aminoglikosida,
karena kedua obat ini bekerja secara sinergis.10

Terapi sepsis harus diberikan selama 10-14 hari atau 5-7 hari sesudah
tampak tanda perbaikan kelinik dan tidak disertai oleh adanya abses atau
kerusakan jaringan yang luas. Biakan darah yang dilakukan 24-48 jam sesudah
pengobatan harus negatif. Apabila biakan positif atau ada abses yang tersembunyi,
maka terapi harus diganti. Terapi meningitis diberikan selama tiga minggu.
Pengobatan yang lebih lama mungkin diperlukan apabila perbaikan klinis lambat
atau hasil lab yang tidak membaik.10
Disamping pengobatan dengan antibiotik, diperlukan juga terapi penunjang
seperti pemberian cairan dan elektrolit, dan bantuan ventilasi.10

IX. KOMPLIKASI

Komplikasi yang biasanya timbul berhubungan dengan proses inflamasi


pada menings dan pembulu dara serebral berupa kejang, parese nervus kranialis,
lesi serebri fokal, dan hidrosefalus. Dan komplikasi yang disebabkan oleh bakteri
meningokokus pada organ tubuh lainnya seperti infeksi okular, arthritis, purpura,
pericarditis, endicarditis, myocarditis, orchitis, eepydidimiti, albuminuria atau
hematuria dan perdarahan adrenal. DIC dapat terjadi sebagai komplikasi dari
meningitis. Komplikasi dapat pula terjadi karena infeksi pada saluran napas
bagian atas, telinga tengah dan paru-paru.5

X. PROGNOSIS

Angka mortalitas pada kasus yang tidak diobati sangat bervariasi tergantung
daerah endemik, biasanya berkisar antara 50-90%. Dengan terapai saat ini, angka
mortalitas sekitar 10% dan insiden dari kompikasi dan sequelle rendah. Faktor
yang mempengaruhi prognosis adalah usia pasien, bakterimia, kecepatanterapi,
komplikasi dan keadaan umum dari pasien sendiri. Kejjadian fatal rendah terjadi
pada kelompok usia antara 3-10 tahun. Angka mortalitas tiggi didapatkan pada
infant, pasien dewasa dengan keadaan umum yang buruk dan pasien dengan
perdarahan adrenal yang ekstensif.5

XI. PENCEGAHAN
1. Imunisasi
Vaksin meningokokus sangat penting untuk epidemis controling di negara
yang selalu terdapat infeksi meningokokus grup A, dengan epidemic setiap
beberapa tahun. Imunitas yang didapat tidak bertahan selamanya dan akan
berkurang dalam 3-5 tahun setelah vaksinasi. Polisakarida grup C menghasilkan
respon imun yang lebih rendah pada anak dibawah usia 2 tahun. Imunoprofilaksis
terhadap infeksi meningokokus menggunakan vaksin polisakarida kuadrivalent
(serogrup A, C, Y dan W 135). Pada bayi, hanya komponen vaksin meningokokus
grup A yang menghasilkan pritektif antibodi. Vaksinasi hanya direkomendasikan
untuk individu dengan resiko tinggi, termasuk pengunjung negara dengan
penyakit endemik atau epidemik.5
Pada negara berkembang, penyebab infeksi meningokokus adalah grup B.
Kapsul polisakarida dari organisme ini mempunyai imunogenisitas yang sangat
rendah, sebab antibodi anti-B polisakarida tidak bersifat bakterisidal didalam
komplemen manusia. Untuk meningkatkan imunogenisitas dari polisakarida
serogrup B, telah dikembangkan suatu polisakarida protein konyugat vaksin yang
serupa dengan protein konyugat vaksin H. Influenza tipe B.5

2. Kemoprofilaksis
Resiko dari meningitis pada kontak keluarga sekitar 4 : 100, kurang lebih
500-1000 kali lipat dibandingkan dengan populasi secara umum dan resiko akan
meningkat pada anak-anak. Resiko untuk terkena meningitis menjadi tinggi segera
setelah kontak dengan penderita, diman kebanyakan kasus timbul pada minggu
pertama setelah kontak, paling lambat dua bulan. Pada kasus degan penderita,
secepatnya harus diberikan kemoprofilaksis. Kontak didefinisikan sebagai
keluarga, perawat yang kontak dengan sekret oral dari pasien dan petugas
kesehatan yang melakukan tindakan resusitasi mouth to mouth secara langsung.5
Kemoprofilaksis meningitis meningokokus
ANTIBIOTIK DOSIS
Rifampin (oral) Dewasa: 600 mg setiap 12 jam selama 2 hari
Anak > 1 tahun : 10 mg/kgBB setiap 12 jam selama 2
hari
Anak < 1 tahun : 5 mg/kgBB setiap 12 jam selama 2
hari
Ceftriaxone (IM) Dewasa : 250 mg
Anak : 125 mg
Ciprofloxasin (oral) 750 mg
Sulfisoxazole (oral) Dewasa : 1 g setiap 12 jam selama 2 hari
Anak 1-12 tahun : 500 mg setiap 12 jam selama 2 hari
Anak < 1 tahun : 500 mg selama 2 hari
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, meningitis bakterialis (online) 2010. Available from URL


http://www.medicastore.com diakses tanggal 27 januari 2012.
2. Anonim, meningitis kronis (online) 2010. Available from URL
http//www.medicastore.com diakses tanggal 27 januari 2012.
3. Assis Aquino Gondim de F, Meningoccocal Meningitis (agustus 2009).
Available from URL http//www.madscape.com diakses tanggal 29 januari
2012.
4. Horn J, Pediatrics, Meningitis and Encephalitis (mei 2010). Available
from URL http//www.medscape.com diakses tanggal 29 januari 2012.
5. Japardi j, Meningitis Meningoccocal. Medan : Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara : 2002. Available from URL http//ww w.
Bedahiskandarjapari23.com diakses tanggal 27 januari 2012.
6. Saharso Darto, Diktat Kuliah Neurologi Anak, Makassar. Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin : 2003. Hal. 134-136.
7. Staf pengajat Ilmu Kesahatan Anak FK-UI, Meningitis Purulenta. Buku
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Vol. 2 editor : Rusepno Hasan, et al.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. Hal 558-9.
8. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK-UH, Meningitis Purulenta. Diktat
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Universitas Hasanuddin. Makassar. 2004.
Hal. 78.
9. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK-UI, Meningitis Purulenta. Buku
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Vol. 2. Editor : Rusepno Hasan, et al.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. Hal 562, 628-9
10. Markum A. H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta : Balai
penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002. Hal 327-3
11. Nelson W. Ilmu Kesehatan Anak Vol. 2 Jakarta : ECG. 2009. Hal 655
12. Harsono. Buku Ajae Neurologi Klinis cetakan ke-4. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press. 2008. Hal 161-168, 181-187

Anda mungkin juga menyukai