Anda di halaman 1dari 10

analisis kebijakan publik terhadap E-KTP

KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang sederhana ini dengan predikat terbilang lancar.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang membantu dalam
penyusunan makalah ini,terutama Bapak Dr. Noudy R.P Tendean, S.ip, M.si selaku dosen
pengajar analisis kebijakan publik yang telah membimbing penulis sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik.
Penyusunan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah analisis kebijakan publik.
Selain itu, penulis juga ingin memberikan wawasan kepada semua pihak yang berkenan
membaca makalah ini mengenai elektronik Kartu Tanda Penduduk, sehingga makalah ini
bukan hanya sebagai kumpulan kertas tak berguna sebagai penghias meja belajar, melainkan
dapat dijadikan sebuah referensi.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang budiman. Dalam
penyusunan tugas ini penulis sadar jauh dari kesempurnaan oleh sebab itu kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan tugas-tugas selanjutnya.

Minahasa Utara, Desember 2011

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Permasalahan

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, orientasi pada kekuasaan yang amat kuat selama
ini telah membuat birokrasi menjadi semakin jauh dari misinya untuk memberikan pelayanan
publik. Birokrasi dan para pejabatnya lebih menempatkan dirinya sebagai penguasa dari pada
sebagai pelayan masyarakat. Akibatnya sikap dan perilaku birokrasi dalam penyelegaraan
pelayanan publik cenderung mengabaikan aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Berkembangnya budaya paternalistik ikut memperburuk sistem pelayanan publik melalui
penempatan kepentingan elite politik dan birokrasi sebagai variabel yang dominan dalam
penyelengaraan pelayanan publik. Elite politik dan birokrasi, dan atau yang dekat dengan
mereka, seringkali memperoleh perlakuan istimewa dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Akses terhadap pelayanan dan kualitas pelayanan publik sering berbeda tergantung pada
kedekatannya dengan elite birokrasi dan politik. Hal seperti ini sering mengusik rasa keadilan
dalam masayrakat yang nerasa diperlakukan secara tidak wajaroleh birokrasi publik.

Meluasnya praktik-praktik KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme)dalam kehidupan


birokrasi publik semakin mencoreng image masyarakat terhadap birokrasi publik. KKN tidak
hanya telah membuat pelayanan birokrasi menjadi amat sulit dinikmati secara wajar oleh
masyarakatnya, tetapi juga membuat masyarakat harus membayar lebih mahal pelayanan yang
diselenggarakan oleh swasta. Masyarakat harus membayar lebih mahal tidak hanya ketika
menyelesaikan urusan KTP, Paspor dan berbagai perijinan tetapi juga ketika mereka
mengonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor swasta, seperti kendaraan bermotor,
jalan tol dan komoditas lainnya. KKN diyakini oleh publik menjadi sumber dari biaya birokrasi
dan distorsi dalam mekanisme pasar, seperti praktik monopoli dan ologopoli yang amat
merugikan kepentingan publik.

Rendahnya kemampuan birokrasi merespons krisis ekonomi memperparah krisis


kepercayaan terhadap birokrasi publik. Dinamika ekonomi dan politik yang amat tinggi, sebgai
akibat dari krisis tersebut ternyata tidak dapat direspons dengan baik oleh birokrasi publik
sehingga membuat kehidupan masyarakat menjadi semakin sulit dan tidak pasti. Inisiatif dan
kreatifitas birokrasi dalam merespons krisis dan dampaknya sama sekali tidak memadai.
Masyarakat yang mengharapkanbirokrasi publik dapat memberi respons yang tepat dan cepat
terhadap krisis yang terjadi menjadi amat kecewa karena ternyata tindakan birokrasi cenderung
reaktif dan tidak efektif. Berbagai persoalan yang terjadi dipusat dan didaerah tidak dapat
diselesaikan dengan baik, bahkan cenderung dibiarkan sehingga masyarakat menjadi semakin
tidak percaya terhadap kemampuan birokrasi dalam menyelesaikan krisis ini.

Berbagai fenomena diatas menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan dan legitimasi


pemerintah dan birokrasinya dimata publik. Ini semua terjadi karena pemerintah dan
birokrasinya telah gagal menempatkan dirinya menjadi institusi yang bisa melindungi dan
memperjuangkan kebutuhan dan kepentingan publik. Praktik-praktik KKN yang terjadi dalam
kehidupan birokrasi telah membuat birokrasi menjadi semakin jauh dari masyarakatnya.
Orientasi kepada kekuasaan membuat birokrasinya menjadi semakin tidak responsif dan tidak
sensitif terhadap kepentingan masyarakatnya. Dominasi birokrasi dalam kehidupan politik dan
ekonomi selama ini ternyata juga menciptakan berbagai distorsi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik yang cenderung memperburuk krisis ekonomi dan politik yang terjadi. Dalam
situasi seperti ini, maka amat sulit mengharapkan pemerintah dan birokrasinya mampu
mewujudkan kinerja yang baik. Pemerintah dan birokrasinya telah gagal menyelenggarakan
pelayanan publik yang efisien, responsif dan akuntabel.

Ada banyak penjelasan yang bisa digunakan untuk memahami mengapa pemerintah dan
birokrasinya gagal mengembangkan kinerja pelayanan yang baik. Dengan menggunakan
metafora biologi, Osborn dan Plastrik (1998)menjelaskan lima DNA, kode genetika, dalam
tubuh birokrasi dan pemerintah yang mempengaruhi kapasitas dan perilakunya. Sikap dan
perilaku dari suatu birokrasi dan pemerintah dalam menyelengarakan pelayanan publik akan
sangat ditentukan oleh bagaimana kelima DNA dari birokrasi itu dikelola, yaitu misi (purpose),
akuntabilitas, konsekuensi, kekuasaan dan budaya. Kelima sistem DNA ini akan saling
mempengaruhi satu sama lainnya dalam membentuk perilaku birokrasi publik. Pengelolaan
dari kelima sistem kehidupan birokrasi ini akan menentukan kualitas sistem pelayanan publik.

Kemampuan dari suatu sistem pelayanan publik dalam merespons dinamika yang terjadi
dalam masyarakatnya secara tepat dan efisien akan sangat ditentukan oleh bagaimana misi dari
birokrasi dipahami dan dijadikan sebagai basis dan kriteria dalam pengambilan kebijakan oleh
birokrasi itu. Birokrasi publik diIndonesia sering kali tidak memiliki misi yang jelas sehingga
fungsi-fungsi dan aktifitas yang dilakukan oleh birokrasi itu cenderung semakin meluas,
bahkan mungkin menjadi semakin jauh dari tujuan yang dimiliki ketika membentuk birokrasi
itu. Perluasan misi birokrasi ini sering kali tidak didorong oleh keinginan birokrasi itu agar
dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan sosial ekonominya, tetapi
didorong oleh keinginan birorasi unr\tuk memperluas aksesnya terhadap kekuasaandan
anggaran. Dalam situasi yang fragmentasi birokrasi amat tinggi, maka kecenderungan
semacam ini tidak hanya akan membengkakkan birokrasi publik, tetapi juga menghasilkan
duplikasi dan konflik kegiatan dan kebijakn antar departemen dan berbagai non departemen.
Dalam sistem penyelenggaraan pelayanan publik, konflik kebijakan antar departemen dan
lembaga non departemen b8kan hanya melahirkan inefisiaensi, tetapi juga membingungkan
masyarakat pengguna jasa birokrasi.

Ketidakpastian misi juga membuat orientasi birokrasi dan pejabatnya pada prosedur dan
peraturan menjadi amat tinggi. Apalagi dalam birokrasi publik diIndonesia yang cenderung
menjadikan prosedur dan peraturan sebagai panglima, maka ketidakjelasan misi birokrasi
publik mendorong para pejabat birokrasi publik menggunakan prosedur dan peraturan sebagai
kriteria utama dalam penyelenggaraan pelayanan. Para pejabat birokrasi sering mengabaikan
perubahan yang terjadidalam lingkungan dan alternatif cara pelayanan yang mungkin bisa
mempermudah para pengguna layanan untuk bisa mengakses pelayanan secara lebih mudah
dan murah. Ketaatan dan kepatuhan terhadap prosedur dan peraturan menjadi indikator kinerja
yang dominan sehingga keberanian untuk mengambil inisiatif dan mengembangkan kreatifitas
dalam merespons perubahan yang terjadi dalam masyarakat menjadi amat rendah. Rutinitas
dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan benar dalam penyelengaraan pelayanan publik.
Birorasi yang seperti ini tentu amat sulit menghadapi dinamika yang amat tinggi, yang muncul
sebagai akibat dari krisis ekonomi dan politik yang sekarang ini terjadi diIndonesia. Krisis ini
mengajarkan kepada kita betapa rapuhnya sistem birokrasi publik diIndonesia dalam
menghadapi perubahan-perubahan yang cepat dalam lingkungannya.Tentunya kegagalan
birokrasi dalam merespons krisis ekonomi dan politik secara baik juga amat ditentukan oleh
bagaimana sistem kekuasaan, akuntabilitas, intensif dan budaya yang berkembang dalam
birokrasi selama ini. Uraian diatas menjelaskan bahwa kemempuan pemerintah dan
birokrasinya dalam menyelenggarakan pelayanan publik amat dipengaruhi oleh banyak faktor
yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Untuk memahami kinerja birokrasi dalam
penyelengaraan pelayanan publik, tentu tidak cukup hanya dengan menganalisisnya dari satu
aspek yang sempit, tetapi harus bersifat menyeluruh dengan memperhatikan semua dimensi
persoalan yang dihadapi oleh birorasi serta keterkaitan sati dengan yang lainnya. Dengan cara
p-andang seperti ini, maka informasi tepat dan lengkap mengenai kinerja birokrasi dapat
diperoleh dan kebijakan reformasi birokrasi yang holistik dan efektif bisa dirumuskan dengan
mudah. Dengan melaksanakan kebijakan seperti ini, maka diharapkan perbaikan kinerja
birokrasi dalam penyelengaraan pelayanan publik akan bisa segera dinikmati oleh masyarakat
luas.
Makalah ini sedikit mengupas bagaimana berbagai faktor tersebut berhubungan dengan
kinerja penyelengaraan pelayanan publik yaitu kebijakan dalam pembuatan E-KTP, yakni
suatu kartu tanda penduduk yang dibuat dari mesin elektronik dan ditulis dengan data digital.
E-KTP sengaja diadakan guna untuk mempermudah pemerintah dalam mengambil data
penduduk, karena dengan E-KTP pemerintah bisa langsung melihat data dari KTP elektronik
tersebut tanpa harus menunggu data yang harus disensus terlebih dahulu. E-KTP bisa terbilang
lebih efektif dan efesien dibanding dengan KTP biasa.

2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini adalah:

· Mengidentifikasi kebijakan E-KTP

· Apa saja fungsi dan keuntungan dari E-KTP

· Permasalahan yang timbul dari E-KTP

· Alternatif dari masalah kebijakan E-KTP

3. Tujuan Pembuatan Makalah

Adapun tujuan pembuatan makalah ini diantaranya adalah:

· Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Bapak Dr.Noudy R.P Tendean, S.IP,Msi selaku
dosen mata kuliah Analisis Kebijakan Publik.

· Agar selaku praja,kita dapat menganalisis permasalahan analisis kebijakan publik yang
terjadi di sekitar kita.

BAB II

PEMBAHASAN

1) Identifikasi Kebijakan E-KTP

Penerapan E-KTP yang baru-baru ini diterapkan di Jakarta dan menyusul kota lainnya
merupan langkah awal dalam penerapan SIN (Single Identify Number). Dengan SIN nantinya
satu orang hanya memiliki satu identitas/ Nomor Induk Kependudukan (NIK) saja sampai yang
bersangkutan meningal. Nomor NIK yang ada di e-KTP nantinya akan dijadikan dasar dalam
penerbitan Paspor, Surat Izin Mengemudi (SIM), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Polis
Asuransi, Sertifikat atas Hak Tanah dan penerbitan dokumen identitas lainnya (Pasal 13 UU
No. 23 Tahun 2006 tentang Adminduk).
Dengan penerapan E-KTP ini sebenarnya ada banyak kemajuan, dimana sudah ada data
kependudukan yang lebih lengkap.
Beberapa fungsi dari E-KTP antara lain :
1. Sebagai identitas jati diri;
2. Berlaku Nasional, sehingga tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk pengurusan izin,
pembukaan rekening Bank, dan sebagainya;
3. Mencegah KTP ganda dan pemalsuan KTP; Terciptanya keakuratan data penduduk untuk
mendukung program pembangunan.

Dengan berbagai kelebihan dari E-KTP, hendaknya program ini tidak hanya berhenti
sampai dengan ini saja, karena dengan keakuratan data kependudukan diharapkan program
pemerintah bisa lebih tepat sasaran, misalnya dalam hal belanja subsidi dan dalam hal
pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Dalam hal subsidi seharusnya dengan E-KTP bisa diketahui mana penduduk yang layak untuk
mendapat subsidi dan mana yang seharusnya sudah tidak mendapat subsidi. Misalnya,jika kita
berandai-andai ketika kita akan mengisi BBM, maka harus menunjukkan E-KTP tersebut.
Sehingga masyarakat yang layak mendapat subsidi bisa mengisi dengan premium sedangkan
yang tidak layak mendapat subsidi maka harus mengisi dengan pertamax. Hal ini juga berlaku
untuk pelayanan kesehatan, mana masyarakat yang harus mendapat jankesmas, mana yang
tidak harus bisa dilihat dari E-KTP tersebut. Dalam hal pendidikan, sudah seharusnya
masyarakat miskin di Indonesia mendapat pendidikan yang gratis. Hal ini seharusnya bisa
dilihat juga dari E-KTP tersebut. Dengan demikian maka pelaksanaan keadilan dalam
penyelenggaraan pendidikan bisa tercapai. Masyarakat yang miskin sekolahnya gratis,
masyarakat menengah sekolahnya bayar setengah saja, sedangkan masyarakat yang kaya sudah
selayaknya bayarnya lebih mahal (premium). Sehingga ada subsidi silang dari masyarakat yang
kaya ke masyarakat yang miskin.

2) Pengkajian Masalah E-KTP


Pemerintah sedang melakukan sebuah “pekerjaan raksasa” yakni menghimpun data
seluruh penduduk Indonesia. Ajaibnya semua itu dilakukan hanya dalam hitungan bulan,
sungguh sebuah pekerjaan yang sangat berani dan “mustahil”, mengingat selama ini pendataan
warga negara kacau balau dan berantakan. Sangat lumrah jika ada istilah KTP ganda,
kerancuan daftar pemilih tetap pada pemilihan umum dan Pilkada serta tidak akuratnya hasil
sensus karena memang database penduduk yang semeraut. Untuk mengatasi masalah tersebut
pemerintah mencanangkan pendataan ulang penduduk Indonesia melalui program elektronik
atau E-KTP.

3) Evaluasi Kebijakan E-KTP


Sesuai rencana awal, e-KTP dimulai Agustus tapi molor sampai akhir September,
bahkan di banyak daerah malah mulai awal November 2011. Alasan pengunduran tersebut
adalah soal ketersediaan peralatan untuk scan sidik jari dan retina mata. Namun belum lama
ini (Kompas.com) mengutip pernyataan Menteri Dalam Negeri yang meralat bahwa elektronik
atau E-KTP akan tuntas pada akhir 2012. Padahal sebelumnya pemerintah yakin bahwa rekam
data penduduk untuk e-KTP selesai pada akhir 2011 ini. Nah, sejauh mana kesiapan pemerintah
dan antusiasme warga dalam menyukseskan program ambisius pemerintah ini?
Prosedur pembuatan e-KTP menurut versi pemerintah sangat simpel dan mudah. Kami
mengambil dari situs resmi (e-KTP.com) mengenai tatacara pembuatan e-KTP:
Proses pembuatan E- KTP (Secara Umum):
a. Penduduk datang ke tempat pelayanan membawa surat panggilan.
b. Petugas melakukan verifikasi data penduduk dengan database.
c. Foto (digital).
d. Tandatangan (pada alat perekam tandatangan).
e. Perekaman sidik jari (pada alat perekam sidik jari) & scan retina mata.
f. Petugas membubuhkan TTD dan stempel pada surat panggilan yang sekaligus sebagai
tandabukti bahwa penduduk telah melakukan perekaman foto tandatangan sidikjari.
g. Penduduk dipersilahkan pulang untuk menunggu hasil PROSES PENCETAKAN 2
MINGGU setelah Pembuatan.
Namun nyatanya tidaklah semudah dan segampang itu, bahkan harus melalui prosedur
yang rumit dan berbelit. Bagi yang belum dapat panggilan dari RT/Kelurahan maka warga
tersebut tidak bisa mengurus e-KTP. Jadwal pemanggilan bergilir itu tidak tentu jadwalnya,
hal ini akan bermasalah karena ada sebagian warga yang ada agenda keluar kota atau pindah
domisili. Kemungkinan mereka tidak bisa mendapatkan surat panggilan tersebut dan tentunya
mereka tidak bisa melakukan rekam data untuk pembuatan e-KTP. Syarat yang tidak tercantum
tapi ini sangat menentukan adalah warga harus memiliki KTP Nasional (warna biru) karena
tidak bisa langsung menggunakan KTP Daerah (warna kuning) dalam mengurus e-KTP. Jika
tidak ada, warga yang bersangkutan harus mengurus KTP Nasional terlebih dahulu. Padahal
jika sudah selesai nanti pembuatan KTP Nasional juga tidak akan dipergunakan. Ditambah lagi
untuk mengurus KTP Nasional membutuhkan beberapa persyaratan dan waktu selesainya juga
paling cepat 2 minggu.
Belum lagi bagi masyarakat daearah dan pedalaman yang punya banyak kendala seperti
keterbatasan listrik sehingga datanya tidak bisa dimasukan, minimnya koneksi internet,
jangkauan wilayah yang begitu luas dan yang menjadi kendala mendasar adalah ketersediaan
alat pemindai tandatangan dan retina mata sehingga harus menunggu. Belum lagi dari segi
kebijakan pengadaan peralatan pendukung e-KTP rawan dengan penyalahgunaan melalui
tender yang tidak transfaran. Ujung-ujungnya dana triliunan rupiah untuk program ini berisiko
mengalami kebocoran. Jikapun nanti e-KTP telah diterbitkan, apakah itu akan berlaku
selamanya? Apakah tidak akan ada lagi proyek-proyek lanjutan yang berkaitan dengan
pemakaian e-KTP tersebut di instansi yang memerlukannya? Karena bagaimanapun pasti harus
ada alat khusus yang bisa membaca data e-KTP tersebut sebagai salah satu fungsional dari e-
KTP sebagai satu-satunya tanda pengenal penduduk yang sah di wilayah NKRI. Sisi lainnya
yang harus diperhatikan adalah mengenai pelayanan dalam pembuatan e-KTP yang masih
harus dibenahi. Ketersediaan alat yang memadai, dan ketepatan waktu pelayanan.

4) Pengembangan Alternatif Kebijakan serta Menyeleksi Alternatif Tebaik


Melihat permasalahan E-KTP seperti yang telah kita lihat pada uraian di atas, maka ada
alternatif yang harus ditempuh. Berdasarkan berbagai data, artikel dan referensi yang telah
kami baca dan bahas mengenai penerapan E-KTP dapat diambil beberapa tanggapan atau
kritikan mengenai hal ini. E-KTP ini sangat bagus untuk diterapkan di Negara Indonesia.
Selain memudahkan pemerintah untuk mendata penduduk, e KTP juga dapat memberikan
keaslian yang valid atas data orang yang membuat E-KTP tersebut. Oleh karena itu, dengan E-
KTP para penduduk pun tidak bisa membuat kepalsuan data pribadinya karena pembuatan E-
KTP ini juga disertai sidik jari secara digital atau elektronik juga. Penduduk juga tidak bisa
menduplikatkan kartu tanda penduduknya dengan data yang berbeda dikarenakan sidik jari
tersebut. Jadi, penerapan E-KTP sangat efisien bila diterapkan. Orang-orang yang ingin
menghilangkan data diri dan mengubahnya pun tidak bisa.
Diharapkan untuk kecamatan-kecamatan yang sudah mulai menerapkan E-KTP juga
harus dengan segera memulai pendataan atau pembuatan E-KTP bagi warga penduduk di
kecamatan tersebut. Hal ini dikarenakan agar adanya angsuran pendataannya sehingga tidak
menambah hambatan untuk penerapan E-KTP di daerah lainnya.
Selain itu, diharapkan juga kepada warga masyarakat untuk memiliki kesadarannya dalam
pembuatan E-KTP ini yaitu dengan cara berbondong-bondong datang ke tempat pembuatan E-
KTP tersebut tanpa harus disuruh. Dengan demikian pengurus dalam pembuatan E-KTP ini
tidak terlalu kerepotan dalam pemberian jadwal kepada penduduk untuk membuat E-KTP
tersebut. Terhadap masyarakat yang datang berbondong- bondong membuat E-KTP, sadar
maupun tidak, bahwa mereka telah ikut mewarnai makna perubahan yang terjadi. Mereka telah
berani membawa sikap positif terhadap perubahan. Mungkin sebagian mereka berpikir, agar
diakui oleh pemerintah kewarganegaraannya dengan ber-KTP nasional bahkan mereka ingin
mengikuti dan merasakan perkembangan zaman. Merekalah yang dengan segala
keterbatasannya rela menghilangkan pikiran negatif terhadap perubahan yang terjadi. Namun
bagi mereka yang acuh, terhadap perubahan ini, harus siap dengan yang masalah yang timbul
dari perubahan ini.
Mungkin urusan administrasi kependudukan, terutama data mereka menjadi tersendat dalam
prosesnya, dibanding dengan yang sudah memiliki E-KTP. Atau mereka tidak mendapatkan
beberapa layanan dari pemerintah dan swasta dikarenakan data pribadi yang sudah tidak
tersistem di database nasional. Inilah sebuah perubahan yang dilakukan oleh pemerintah.
Perubahan tidak dapat dihindari, tetapi perubahan harus dihadapi, untuk dibuat menjadi sesuatu
yang berarti. Saat ini perekaman database masyarakat telah menggunakan perlengkapan
informasi teknologi dan komunikasi yang handal, cepat serta didukung SDM yang sesuai,
semakin memaknai, bahwa perubahan ini harus diteruskan. E-KTP membawa perubahan
perbaikan buat diri, masyarakat bahkan Negara kita.
Selain kepada masyarakat, pemerintah juga harus aktif dalam meluncurkan pemahaman
mengenai e KTP kepada masyarakat, yaitu dengan cara mensosialisasikan melalui media cetak,
media masa, ataupun secara langsung datang di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, bagi
masyarakat yang memang belum paham bahkan tidak paham sama sekali mengenai E-KTP
bisa mengikuti sosialisasi tersebut. Oleh karena itu, hal ini juga kembali ditekankan kepada
masyarakat untuk memiliki kesadaran dalam berpartisipasi membangun sebuah perubahan.
Siapa lagi kalau bukan warga Negara Indonesia yang membangun perubahan di Negara ini?
Pemerintah telah memberikan sebuah perubahan, maka kita juga harus mengikuti arus
perubahan tersebut supaya semua yang telah direncanakan dapat berjalan maksimal. Selain itu,
pesan juga untuk pengurus proyek E-KTP ini, harus dilakukan perincian dana yang dibutuhkan,
dikeluarkan, serta dana yang masuk agar jelas penggunaannya dan tidak timbul suatu masalah
baru yang mungkin dapat menghambat perkembangan E-KTP tersebut. Mengapa demikian?
Karena manusia tidak pernah luput dari kesalahan, kelalaian, dan khilaf.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Adapun simpulan yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah:
· E KTP (Elektronik Kartu Penduduk) adalah suatu kartu tanda penduduk yang dibuat dari
mesin elektronik dan ditulis dengan data digital.
· Hambatan utama dalam penerapan E-KTP adalah listrik, minimnya koneksi internet,
jangkauan wilayah yang begitu luas, ketersediaan alat yang memadai, dan ketepatan waktu
pelayanan.
· E-KTP memang perlu diterapkan di semua kecamatan.

2. Saran
Saran yang dapat diberikan kepada pembaca adalah diharapkan hasil penulisan ini dapat
dijadikan sebagai bahan bacaan dan ilmu pengetahuan.

Anda mungkin juga menyukai